john robert
Senpai Semprot
- Daftar
- 24 Nov 2013
- Post
- 920
- Like diterima
- 708
Bab 6 : Kepala Batu
Jum’at, 3 April 2020
Jam 3.30
Hotel Z, Kota Bonjormo
Setelah membersihkan sisa-sisa darah hasil melaksanakan tugas semalam aku kembali ke hotel. Sarung tangan berwarna hijau kuletakkan di tas kecilku. Hanya ada tiga benda di tas kecilku : sarung tangan hijau, minyak zaitun, dan hand sanitizer. Apabila bau darah sudah merembes masuk sampai sarung tangan aku pasti mengoleskan pembersih tangan untuk menghilangkan bau amis.
“ Kok sudah bangun, Nikita, kenapa?” Tanyaku pada Nikita saat melihatnya sudah terbangun.
“ Terima kasih ya, Mas,” Jawabnya.
“ Buat apa?”
Aku meletakkan tas kecil di meja kamar hotel.
“ Kamu pasti tidak percaya apa yang terjadi?” Tanya Nikita. Raut wajahnya sangat serius.
“ Apa yang terjadi?” Tanyaku.
“ Barusan temanku telpon, katanya teman-teman satu Bus yang sama-sama berangkat ke acara Pergantian Pimpinan semalam… Mereka dikarantina semua.”
Aku kaget mendengar berita itu. “Apa?? Dikarantina?”
“ Iya. Satu diantara temanku tiba-tiba jatuh pingsan kesulitan bernafas di dalam Bus. Pimpinan mencurigai temanku yang jatuh itu kena Virus Corona.. Jadi.. Kami semua.. Maksudku teman temanku satu Bus semua harus dikarantina…”
Aku melongo tak percaya.
“ Sebegitu mengerikannya kah penyakit yang bernama Corona itu?” Tanyaku.
Nikita menggeleng. Aku yakin yang menanyakan pertanyaan dan yang ditanya sama-sama tidak paham terhadap persoalan ini.
“ Kayak Zombie mungkin, Mas.” Jawab Nikita polos.
“ Apa?” Sambil kembali rebah di ranjang Aku mendengarkan Nikita bicara. Aku belum tidur dari semalam. Bayangkan saja sehabis melayani nafsu Nikita di ranjang aku langsung disuruh membunuh orang : empat orang sekaligus. Rasanya baru ini aku rasakan badanku terasa amat sangat lelah.
Nikita menyusulku rebah di ranjang. Dia serta merta memelukku hanya mengenakan bath robe hotel yang kebesaran di tubuhnya.
“ Cara orang menangani penyakit ini maksudku. Mas pernah lihat film Zombie?” Nikita melendot ditubuhku.
Aku berusaha mengingat-ingat salah satu film tentang zombie yang pernah kusaksikan kemudian menjawab, “ Yah… Film Zombie kan biasanya tentang wabah penyakit. Wabahnya Bikin orang jadi mayat hidup. Terus gigit orang seperti ini,” aku menggigit nakal Nikita di lehernya.
“ Auuuuhhhhh…. Nakal…. Mas…. lepasiiinnn apaaan sih.”
Nikita berusa berontak dari pergulatan main-mainku. Jujur aku senang bermain-main di tubuh mungilnya yang sexy.
“ Aku serius, Mas.” Katanya setelah pelukanku dilepas paksa.
“ Iya,” jawabku. Rasa kantuk telah melandaku parah.
“ Di Film Zombie itu kan wabah selalu meluas, terus bikin orang jadi mayat hidup semakin banyak. Mereka gigit sana gigit sini… Bikin orang ketularan…”
Kulihat wajah manis Nikita yang menghidupkan kembali kecantikan Sally Marcelina muda. Kuperhatikan gairah luar biasanya ketika bercerita. Bagaimana Dia mengerahkan seluruh perhatiannya menyampaikan teori Zombie konspirasi yang menurutnya mirip virus Corona.
***
Aku sedang berada di Terminal Bus Way. Sepertinya aku sudah membeli tiket karena aku sudah menunggu di depan pintu gerbang penumpang.
Disampingku berdiri Nikita. Dia telanjang bulat. Tanpa satu helai baju pun. Aku heran melihatnya. Tapi para penumpang lain disekitarku terlihat biasa saja.
“ Kenapa tanganmu diborgol begitu?” tanyaku bingung, melihat dalam keadaan telanjang, kedua tangan Nikita melingkar di belakang punggungnya dengan posisi terborgol.
“ Biarin aja,” jawabnya lempeng. “ Aku suka diborgol.”
Alisku terangkat heran. Kuperhatikan para penumpang disekitarku sama sekali tidak terganggu melihatku bersama seorang wanita yang telanjang bulat begini.
“ Para penumpang silakan bersiap naik! Bus sudah datang! Waspada dan perhatikan jalan,” laki-laki yang bertugas menaik turunkan penumpang berujar. “ Tolong dahulukan penumpang yang akan turun dahulu,” perintahnya.
Nikita bersamaku naik setelah para penumpang yang lain turun.
Sesampainya di dalam banyak sekali bangku kosong. Tidak seperti yang kulihat di ruang tunggu tadi yang banyak sekali orang, di dalam rupanya hanya ada enam penumpang : Empat laki-laki. Dua perempuan.
Aku tidak habis pikir kenapa kami berdua tidak duduk saja di Bus yang lowong seperti itu. Kami malahan berdiri berdua di tengah bus dalam posisi tangan bergelantungan ke atas.
Tunggu… Bukankah tangan Nikita tadi terborgol, kok Dia bisa bergantungan?
“ Eh, kamu kan diborgol?” Tanyaku.
Nikita memintaku melihat posisi kedua tangannya di atas tiang pegangan. Kedua tangannya tetap terborgol tapi di atas tiang itu.
Kok cepat sekali Dia memindahkan borgol. Pikirku.
“ Mas,” katanya.
“ Ya.”
“ Cumbu aku donk!” Nikita memintaku.
“ Tapi disini ada banyak orang. Ada enam orang ditambah Pak Supirnya.”
“ Biarkan saja. Mereka semua pasti senang melihat kita.”
Bodohnya Aku nurut saja mencumbunya. Penisku ereksi tiba-tiba saat bibirku mencium bibir Nikita. Gairahku tiba-tiba meluap-luap. Sama sekali aku tidak mempedulikan ada orang lain disana yang terpenting hanya bagaimana segera memperturutkan hawa nafsuku.
Tubuh Nikita yang sekarang di terborgol erat di antara tiang bus way masih sexy seperti sebelumnya. Bedanya hanya gairahku yang berkobar-kobar lebih dahsyat.
Buktinya, aku bukan hanya mencium tapi menjilati seluruh tubuh Nikita yang masih terborgol erat. Lucunya, saat aku asyik menjilati tubuhnya, aku masih sempat melirik ekspresi penumpang lainnya. Mereka semua tidak antusias melihat kelakuan kami berdua. Mereka berenam seperti tengah tenggelam dalam pikirannya masih-masing.
Bahkan ketika aku tengah mengeyot-ngeyot payudara Nikita bagaikan bayi, dan yang punya payudara itu mendesah keras mereka sama sekali tidak peduli.
Barangkali apabila aku mencoba melakukan oral pada Wanitaku ini mereka baru peduli, pikirku. Tapi sayangnya tidak. Mereka tetap tidak peduli dan tetap sibuk dengan urusannya masing-masing.
“ Mas,” Panggil Nikita mesra di tengah kegiatan oralku kepadanya.
“ Ya?”
“ Jangan hanya di oral donk. Coba di finger.” Harapnya.
Aku mengangguk. Seketika merubah aktifitasku dari menggunakan lidah menjadi jari. Awalnya aku mencoba memasukkan satu jari ke dalam vagina Nikita. Yang punya kemudian mendesah. “Tambahin donk!” perintahnya. Maka kutambahkan satu jari lagi.
Setelah itu Wanitaku itu menyuruh lagi, “ Kocok donk.” Katanya.
Tanpa menunggu lama aku melaksanakan perintahnya.
“ Lebih kenceng Mas ngocoknya.”
Kuturuti lagi kedua jariku berusaha mengobok-obok liang vaginanya semakin keras.
“ Aaaagghh lagi donk, Mas… Yang kenceng ngocoknya,” rengeknya.
Permintaan ini pun kuturuti lagi. Sekarang menggunakan otot-otot lengan bisepku.
“ Laaaggii… Lagiiii… Aaaagggghhhh.”
Rasanya lelah sekali tanganku mengocok ke dalam vagina Nikita sampai akhirnya Wanitaku itu kurasakan mulai mengeluarkan cairan hangat dari dalam area intimnya.
“ Crrriiitttt…. Crrriiitttt…. Crrriiiitttt.”
“ Aaaauuuuggghhh…. Aaaahhhhh,” jerit Nikita.
Kuperhatikan enam orang penumpang Bus menjadi berubah sangat tertarik melihat adegan ini. Salah seorang dari dua wanita yang berumur tampak maju mendekatiku lalu menuding, “ darah!!” katanya. “ DARAH!!!”
Aku kaget. Apa yang darah? Dari mana? Aku mencoba memperhatikan tanganku sendiri yang kedua jarinya masih mengobok-obok vagina Nikita dan disitu ternyata benar mengeluarkan darah. Lebih tepatnya bukan jariku yang berdarah tapi cairan yang keluar dari vagina Wanitaku tadi rupanya bukan air tapi darah. Darah kental berwarna merah keunguan yang mengalir terus menerus.
“ Darah.” Kata penumpang yang laki-laki.
“ Darah merah,” sahut penumpang laki-laki yang lain sambil menudingku.
“ BERARTI KAMU PEMBUNUH!” Jerit penumpang wanita yang satunya lagi.
“ PEMBUNUH.” Tuding penumpang laki-laki yang lainnya lagi tepat di mukaku.
“ PEMBUNUH…. PEMBUNUH…. PEMBUNUH….” Setelah itu keenam penumpang lain sama sama menudingku.
Mereka menyudutkanku. Menghakimi. Melontarkan tuduhan tidak berdasar yang membuatku bangkit dan berteriak keras, “ TIDAK!! KALIAN SALAH AKU BUKAN PEMBUNUH!” Bantahku.
“ PEMBUNUH…. PEMBUNUH…. PEMBUNUH….” balas mereka lagi.
“ Aku bukan pembunuh!” Kataku berusaha membela diri. “Bukan pembunuh.”
“ PEMBUNUH.”
Aku tidak tahan lagi dan berteriak lantang, “ AKU BUKAN PEMBUNUH.”
Keringat dingin membasahi tubuhku.
Teriakan kalimat itu masih terngiang-ngiang saat aku bangun. Sebuah mimpi aneh lagi. Lebih mengerikan dari sebelum-sebelumnya. Tidak biasanya aku melihat darah. Bahkan ketika aku harus melenyapkan nyawa sesorang aku tidak melihat darah.
Sejenak aku perhatikan tubuh Nikita yang masih tertidur disampingku menggunakan bath robe nya. Untuk sesaat aku bersyukur ada Dia disampingku. Setidaknya aku tidak sendirian ketika menghadapi mimpi yang semakin hari jadi semakin buruk.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 10.30
Hotel Z, Kota Bonjormo
[/URL
]
Nikita
“ Aku ikut Mas!” Kata Nikita pada saat kami menjelang check out.
“ Apa? Tidak!,” Jawabku refleks. “ Tidak! Tidak! Tidak!”
Nikita menedekatiku lalu tanpa awalan apa pun langsung mencengkram bajuku dan berkata lantang , “Mas, kamu dengar, ya! Teman-temanku semua yang naik Bus kemarin malam sedang dikarantina. Kantor memintaku melakukan karantina mandiri terhadap Virus Corona. Aku bahkan tidak tau apa karantina mandiri itu, Mas… Tolonglah… Aku tidak mau tinggal sendirian di saat seperti ini. Tolong bawa aku, Mas. Kemana saja. Katanya waktu karantina itu 14 hari. Aku ingin karantina itu kulakukan bersamamu! Titik!”
Aku menepis cengkraman tangan Nikita dan berkata tak kalah lantang , “ Kamu tidak tau apa yang sedang kamu bicarakan.”
“ Aku sangat tau apa yang sedang kubicarakan, Mas. Aku sangat tau apa yang kuinginkan.”
“ Memangnya apa yang kamu inginkan?”
“ Sederhana saja : Aku ingin menghabiskan karantina mandiri selama 14 hari bersamamu. Mudah kan?”
“ Rupanya kamu benar-benar sudah gila.”
“ Benar aku memang gila!,” tantangnya. “ Tapi itu kan resikonya Mas. Siapa suruh Mas berani meniduri seorang Detektif Wanita? Semalam kan Aku sudah tanya : Mas serius tidak sama ajakan Mas kepadaku? Mas terus jawab : Kalo tidak serius Aku tidak akan terus memegang tanganmu?? Ayok sekarang mau ngomong apa? Buktikan ucapanmu sendiri!” Nikita ganti memelototiku dengan posisi kedua tangan memegangi pinggangnya.
“ Keras kepala banget kamu tuh!” Jawabku kesal.
“ Itulah, Aku,Mas. Salah sendiri mengajakku tidur bareng.” kata Nikita bangga sambil mendangakkan wajah. “ Salah kamu sendiri, kan!”
Belum pernah aku kalah berdebat melawan wanita tapi pagi ini, hari jum’at pagi aku kalah telak melawan Dia.
Tapi Aku masih mencoba membujuknya, “Helmku hanya satu,” kataku kepada Nikita setibanya kami diparkiran. “ Kamu yakin mau ikut?”
“ Ikut. Aku harus ikut. Tidak boleh tidak.”
“ Tidak ada Detektif Wanita yang boleh tidak pakai helm kalo naik motor,” bujukku lagi.
“ Ada. Helmnya ada. Sebentar!” Nikita berjalan santai ke arah satpam, melobby sebentar, dan sudah bisa mendapatkan helm dari satpam itu.
“ Nih aku sudah dapat.” Serunya bangga.
Aku menggeleng resah tak tau harus berusaha bagaimana lagi, “ Ayolah. Kamu jangan ikutlah! Please!” Kataku putus asa.
Nikita menggeleng keras , “ Tidak aku harus ikut.”
Aku benar-benar menyesal memilihnya sebagai wanita yang kutiduri semalam setelah merasakan betapa keras wataknya yang rupanya benar-benar kepala batu. “ Oke. Terserahlah! Naik!”
Nikita memboncengku ala boncengan laki-laki. Dia tidak berupaya duduk menyamping seperti biasanya wanita. Padahal Dia masih pakai gaun bekas semalam tapi asal saja ditumpanginya bangku belakang motor Varioku begitu saja.
“ Jalan, Mas!” Perintahnya.
Aku mendengus kesal dan jalan meninggalkan hotel.
Sebenarnya tempat tinggal sementaraku yang kusebut sebagai safe house tidak boleh diakses oleh orang lain. Namun dengan perkembangan keadaan terbaru aku tidak punya pilihan. Rumah itu terletak di perbatasan Kota Bonjormo dan memiliki halaman luas berpagar tinggi sangat cocok sebagai rumah aman untuk para tukang jagal sepertiku.
Diperlukan lebih dari setengah jam perjalanan menuju kesana termasuk melewati Taman Kota Bonjormo tempat berlangsungnya kebiadabanku semalam.
“ Mas jangan lewat sana!” Kata Nikita saat kami mendekati Taman Kota. “ Banyak teman-temanku Detektif disana. Aku takut dikenali.”
Sedikit Aku tersenyum melihatnya takut. Karena rupanya Nikita masih punya rasa ngeri saat berhadapan dengan teman-temannya sesama Detektif.
“ Sepertinya ada yang dibunuh, Mas,” kata Nikita sambil memeluk pinggangku setelah kami meninggalkan Taman Kota.
“ Kok tau?”
“ Itu Divisi Kriminal semua yang turun. Padahal kemarin lusa juga ada yang mati, satu orang. Jaman milenial kok masih banyak banget orang jahat.” Sambil berkata Nikita mengelendotkan tubuhnya di punggungku. Aku bisa merasakan kenyalnya payudara Nikita yang seolah secara sengaja Dia sandarkan ke punggungku.
Dalam kehidupanku yang hina ini, baru kali ini aku merasakan seolah-olah membawa pacar sendiri. Ya dilendot pacar di sepeda motor baru pertama kali kualami. Kata orang, adegan yang kami berdua lakukan bagaikan dunia ini hanya milik berdua. Mau mobil mengklakson, mau dunia ini kiamat kami tidak peduli karena manisnya cinta membuat kami terlena.
Nikita pun kurasa sangat menikmati melendot di punggungku. Malahan Dia terlalu menikmati sampai kurasakan dengan ilmu kepekaan rasa ada bahaya datang mendekat.
“ Aawwaaass…. Nikita!!! awasss….” Aku kaget bukan main tapi bisa merasakan bahaya sebelum bahaya itu mendekat.
Saat kami berdua asyik berboncengan mendekati perbatasan Kota Bonjormo sebuah mobil Daihatsu Luxio warna hitam tiba-tiba melaju kencang dari belakang, lalu mendadak memperlambat kecepatannya dan berusaha memepet kami.
Nikita yang kaget refleks mengarahkan kaki kanannya mendang pintu samping mobil itu dan berteriak, “ HEEEII…. MATAMU DIMANA?? BRENGSEK.”
Kontrol tubuhku sangat terganggu dengan pepetan mobil Luxio. pegangan tanganku mulai kehilangan kendali sehingga motor kupaksakan mulai masuk ke pinggiran jalan yang berkerikil.
“ BRENGSEK!” Nikita menendang lagi. Dia merogoh tas kecilnya membukanya cepat kemudian melakukan hal yang tidak pernah kuduga : Nikita mengambil Pistol di tasnya dan menodongkan ke arah mobil Luxio itu. “ MAU MATI, KAMU!” Bentak Nikita lagi.
Aku yang mempunyai ilmu kepekaan rasa bisa merasakan penumpang mobil ini ingin membunuhku. Bukan bukan hanya Aku tapi juga Nikita pada saat yang bersamaan.
“ NIKITA!” Teriakku masih berupaya mengendalikan motor yang mulai bergerak ke kerikil-kerikil pinggiran jalan.
“ Apa???” Tanyanya masih menodongkan pistol.
“ BUKA PENGAMAN PISTOLNYA! BERSIAP MENEMBAK!”
“ APA??” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
“ KALO PINTU MOBIL ITU TERBUKA!!! TEMBAK!! LANGSUNG TEMBAK!!”
Aba-abaku tepat waktu. Di detik berikutnya mobil Luxio terbuka pintu sampingnya dan Nikita menuruti perintahku langsung menembak.
“ DOOOORRR.”
“ TEMBAK LAGI!!!”
“ DOOOR….DORRR….DORRRRR…..”
Pada saat itu, Nikita dan aku melihat hal yang sama : setelah pintu samping Luxio terbuka, ada satu orang bersiap menembakkan senapan serbunya untuk membunuh kami tapi keduluan oleh tembakan Nikita dan mati seketika. Selanjutnya, ada tiga orang lagi di dalam mobil itu yang berupaya meneruskan pekerjaan temannya untuk menembak kami juga kalah cepat oleh Nikita yang menembak cepat dalam jarak dekat.
Melihat teman-temannya tertembak sopir Luxio panik membanting mobil dengan ekstrem mengakibatkan mobil sliding secara prematur dan terguling.
Aku bisa mengendalikan motor menghindari manuver mobil itu namun dengan segera bisa merasakan bukan hanya mobil yang mengejar kami. Di belakang mobil tadi ternyata telah mengejar juga puluhan motor yang tujuannya adalah melenyapkan kami.
“ PEGANG ERAT-ERAT, NIKITA!” Perintahku. “ MOTOR-MOTOR ITU NGEJAR KITA!”
Aku berusaha memacu motor Vario secepat mungkin. Sayangnya motorku memang benar-benar pelan. Para pengejar kami yang motornya kebanyakan motor balap segera saja mengejar. Dalam waktu singkat beberapa diantara mereka bahkan sudah berhasil memepet motor kami dan mulai mengancam, bahkan menyentuh tubuh Nikita.
“ BANGSAT!” Teriak Nikita sebelum mengarahkan senjatanya ke arah pengendara motor yang berani menyentuhnya.
Sebenarnya aku sangat tenang apabila ancaman dan gangguan mereka hanya ditujukan kepadaku seorang. bagiku itu hal yang biasa karena pembalasan dendam bagi profesiku yang seorang pembunuh ibarat garam di dalam nasi. Tapi masalahnya Nikita yang diganggu. Walaupun wanitaku ini terlalu berangasan sifatnya. Terlalu emosional. Aku tetap tidak mau sesuatu yang buruk menimpanya.
Sejenak memikirkan hal ini aku memutuskan membuat satu maneuver tajam tiba-tiba berkelok ke kiri dan menuju lapangan kosong yang tidak terpakai di ujung perbatasan Kota Bonjormo yang aku tau lokasinya.
Sesampainya disana aku parkirkan motorku diiringi oleh rombongan motor pengejar yang juga tiba.
“ Bangsat orang ini!” kata Nikita langsung turun dari motor sambil menodongkan pistol ke arah mereka.
“ Jangan!” Perintahku.
“ Jangan apa, Mas?”
“ Kamu tidak usah bunuh orang lagi!”
“ Tapi mereka orang jahat! Mereka mau bunuh kita, Mas!”
“ Ssssstttt,” Kataku sambil memeluknya. “ Sudah. Kamu sudah terlalu luar biasa membantuk. Berikutnya, biar Aku yang membereskan mereka.”
“ Apa?? Apa yang mau kamu lakukan? Kamu mau melawan mereka? Kamu gila ya? Mereka banyak sekali.” Nikita memberondongku dengan pertanyaan ngeri. “ Mas…”
“ Biar aku yang hadapi!” Kataku berjalan ke arah para rombongan motor pengejar. “ Kamu disana saja!”
Pandangan Nikita penuh kekhawatiran.
Kekhawatiran yang sama juga menyergapku karena aku merasakan satu penyesalan : Kenapa aku harus membawa Nikita terlibat pada sebuah kondisi biadab : Kondisi dimana orang saling memangsa satu sama lain bagaikan kanibal.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 11.00
Sebuah Lapangan Kosong di Perbatasan Kota Bonjormo
Di lapangan aku tidak percaya dengan pemandangan yang aku lihat : Orang-orang bermotor yang ingin memakan dagingku hidup-hidup atas nama apa pun, dan akan segera kucari tau penyebabnya, adalah anak-anak tanggung. Umurnya kebanyakan paling baru menginjak 20 tahun tapi sudah mau membunuhku. Hebat mereka. Anak kemarin sore.
Aku menjadi kesal memikirkannya : Siapa pun yang merekrut anak bau kencur untuk mencoba membunuhku sangat keterlaluan. Apa alasan mereka? Apa ada yang tau kalo aku yang melakukan salah satu pembunuhan dari banyak yang telah kulakukan? Tapi bukankah seharusnya Sang Suara yang melindungiku dari mereka. Kemana Sang Suara? Aku masih terus mempertanyakan banyak sekali hal yang melintas dalam pikiranku sambil menghitung jumlah penyeranngku yang mengendarai sepeda motor.
Kuhitung mereka 40 orang yang turun dari motor. Yang lima masih di motor barangkali guna berjaga-jaga. Masing-masing dari setiap 40 orang itu kompak menghunus senjatanya masing-masing. Ada yang bawa parang, samurai. Ada yang mengeluarkan rantai, belati, pisau lipat, tombak panjang, macam-macam. Ini ciri khas pengeroyok. Sama seperti yang kujumpai di Taman Kota. Mereka akan segera memamerkan senjata. Tujuannya untuk membuat mental lawan ciut.
Anak-anak ini… aku tidak habis pikir melihat mereka.
“ Ayoooo bunuh Dia! Habis itu perkosa pacarnya!!” Kata salah seorang dari mereka.
Apakah ini perkataan seorang manusia? Atau perkataan binatang? Tapi tidak ada binatang yang ingin memperkosa binatang lainnya. Keterlaluan.
Aku menunggu mereka datang ke tengah lapangan.
Mereka tersebar maju dari depan, kiri, kanan, belakangku datang bak air bah sembari menghunus senjatanya masing-masing. Aku mengenakan dahulu sarung tangan hijauku sambil bersyukur : kebetulan di bawah kakiku ada batu besar yang biasa dipakai anak-anak buat bikin gawang waktu main bola. Aku ambil batu yang muat ditanganku itu lalu kugenggam kuat.
Setelahnya aku menunggu orang pertama mendekatiku yang membawa belati. Aku membiarkannya menyerang duluan, membiarkannya mengayunkan belatinya ke udara lalu kuelakkan menggunakan pola merundukkan badan sambil cepat mengangkat tubuh kembali, langsung disusul mengayunkan tangan kanan berbatu ke pelipis mata orang pertama tadi.
“ Praaaaaaaak.”
Pukulanku tidak pernah meleset. Matanya kena. Seketika merobohkannya dengan teriakan nyaring, sekaligus memberiku ruang gerak memutar badan untuk menangkis tusukan penyerang kedua yang datang membawa senjata yang sama dengan cara menghantam tangannya dan mengambil belati itu dari tangannya. Tangan si pemegang belati kuhantam pakai batu sampai berbunyi. Setelah itu batu tadi juga kugunakan menghajar wajahnya sampai patah hidungnya.
Kuperhatikan sejenak perkembangan situasi yang berubah dalam hitungan detik : belati sudah berhasil kugenggam maka batu kuletakkan di tanah.
Satu kelemahan dari orang-orang yang menyerangku secara bersaamaan ini adalah mereka semua ingin mengunci tubuhku lalu membantingnya ala pemain UFC. Masalahnya aku sudah memegang belati dan tau cara menggunakannya. Setiap mereka yang datang baik itu penyerang ketiga, keempat, sampai kelima belas semua kutusuk di bagian terlemah tubuhnya dari leher, dada, perut, sampai pinggang. Kecepatan tanganku disambut kecepatan gerakan mereka sendiri menimbulkan efek ngeri berantai. Kebetulan pisau ini tajam sekali karena habis diasah oleh pemilik sebelumnya sehingga aku bisa menusuk dan menariknya cepat sekali tanpa membuang waktu.
“ Adddddduuuuuh…………. Aaaaaaaaaaaaaaaghhhhhh…….. Oh My God……………..”
Sabetan pisauku menghantam tanpa ampun dan menjatuhkan lima belas orang membuat mereka meraung raung di tanah. Sisa 25 orang penyerangku.
“ TUNGGU APA LAGI?? BANTAI DIA!!!” Teriak mereka yang masih berdiri di belakang gelombang penyerang pertama.
Kuhitung ada sepuluh anggota gank bersamurai yang maju.
Sepuluh samurai. Aku merasakan diriku sebentar lagi akan menjadi Batosai si pembantai. Bedanya pedangku pedang mini. Seperti pedang G String.
Mereka yang bersamurai semuanya berlari dalam nafsu membunuh yang sama. Nafsu kebinatangan yang membuat mereka menjadi manusia yang sulit dibedakan dari binatang.
Aku memang hanya punya belati mini tapi ini sudah cukup melindungi diri. Kedua mataku mengamati cepat menghitung penyerang yang paling cepat datang. yaitu Dia yang berlari dari sebelah kiriku.
Tebasan samurai dari jauh seketika dilayangkannya ke arahku namun aku menghadapinya ala atlet anggar professional. Aku perhitungkan momentum terbangnya orang itu, tebasan pedangnya yang menyamping, ketinggiannya, lalu aku merunduk sebagaimana dilakukan pemain anggar professional lalu melenting cepat menusukkan belati tepat di pinggang laki-laki itu menggunakan belati, seketika mengenai pingganya membuat luka tusuk dalam.
“ Anjingggggggggggg……….” Makinya.
Aku tidak punya waktu mencabut samurai miniku, jadi kutinggalkan saja, dan kuganti dengan samurainya yang otomatis terlepas waktu pertama kali merasakan nyerinya tertembus pisau.
Sekarang Aku punya samurai. Batosai si pembantai lahir dengan parang panjang.
Maka aku hitung momentum dari sembilan penyerangku tersisa yang berlari dalam kecepatan berbeda. Penyerang kedua yang harusnya datang paling cepat adalah yang datang tepat di hadapanku jadi kuayunkan samuraiku ke hadapannya yang pasti dia tangkis.
“ Klaaaanggggggggggg.” Bunyi samurai bertumbukan.
Tanganku bergetar saat kedua samurai beradu dan kuarahkan tenaga getaran yang ada itu ke pembawa samurai paling cepat berikutnya yaitu yang datang dari sebelah kanan. Samuraiku itu begitu cepat menebasnya sampai-sampai Dia tidak siap dan tangannya putus tersambar samuraiku.
“ Yaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh,” raungnya saat melihat tangannya copot.
Disaat tangan putus itulah aku mengayunkan lagi ke orang yang sebelumnya beradu samurai dan kini dia tidak siap. Dengan mudah aku bisa menyayat tubuh depannya. Membuat luka goresan lebar yang pasti membuatnya menjerit jerit.
“ Biaaadaabbbbbbbbbbbb.” Makinya.
Mereka tidak tau : Aku tidak pernah berniat menyerang orang yang kubidik pertama tapi hanya menggunakannya sebagai tembok untuk memantulkan seranganku kepada mereka yang sial karena tidak siap. Jadi berikutnya kuulangi lagi metode serangan memantulku ini kepada empat, lima, enam, sampai sepuluh penyerang berikutnya kemudian mereka jatuh berurutan dengan darah dimana mana mengunakan jurus pantulan samuraiku yang memantulkan serangan dari satu titik ke titik berikutnya.
Saat orang kesepuluh juga jatuh karena pahanya kusayat dia menjerit jerit seperti anak kecil , “ anjjjjaaaaaaaaaayyyyyy kampreeeeeeeeeeeeeetttttttttttt.”
Jatuhnya penyerang kesepuluh di gelombang serangan yang kedua membuat total dua puluh lima orang sudah jatuh. Tinggal 15 orang lagi dan lima orang masih duduk di atas motor. Sejenak kulirik Nikita. Dia baik-baik saja.
“ Bangsaaattt! Habisi dia!!! Maju semua kalian!!!”
Ada sembilan samurai yang tergelak di sekitarku dan sebelum mereka bergerak kulemparkan satu demi satu samurai itu ke arah mereka menggunakan teknik lempar lembingku yang sudah kugunakan di taman Kota bebeapa jam sebelumnya.
“ Yaaaaaaaaaaaaaa Makkkk.”
“ MaaaaaaMaaaaa.”
“Setaaaannnnnnnnnnn.”
“ Babi hutaaaaaaaaaaaaaaaaann.”
“ Kaaaaampreeettttttttt.”
Bidikanku membuat kesembilan samurai itu menancap semua di titik yang aku inginkan. Di orang yang aku incar.
Sembilan orang lagi roboh. Total 34 orang.
Tinggal 6 orang lagi. Termasuk lima di motor.
Mereka kompak saling memandang. Melihat banyak sekali teman-temannya selesai di tanganku nyalinya ciut.Termasuk yang di atas motor. Seperti tanpa harus dikomando lagi kesebelas orang tersisa dari mereka semua kompak kabur berboncengan ke atas motor lalu menjauh sekencang-kencangnya.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 13.00
Safe House di Perbatasan Kota Bonjormo
Aku membawa Nikita menuju Safe Houseku di perbatasan Kota Bonjormo.
“ Mas, Bangsat sekali mereka. Siapa, sih?” Tanya Nikita.
Sambil menggeleng aku membuka sapu tangan hijauku dan mencuci tangan seperti biasa kulakukan. “ Aku akan segera mencari tau,” janjiku.
“ Empat orang mampus ditanganku mereka menodongkan pistol mau bunuh kita, Mas.”
Aku mengangguk, “ terima kasih, Nikita.” kataku tulus. “Kalo gak ada kamu kita pasti sudah mati.”
“ Mas siapa sih mereka?”
Dengan kebingungan yang sama aku menggeleng, “Aku tidak tau.”
“ Mas aku ini Detektif lho, kamu harus jujur kepadaku. Siapa mereka? Biar kukontak orang kantor buat mengejar mereka.”
Pada saat itulah aku menghentikan pembicaraan Nikita dan berkata pelan kepadanya.
“ Jangan! Jangan kamu telpon orang kantormu!”
Nikita terus mendesakku dengan kekerasan argumennya yang khas namun kembali kuhentikan.
“ Pokoknya jangan!” tegasku.
“ Tapi kenapa, Mas? Kan harus ada alasannya!!”
“ Ya Nikita.” Kataku sambil memikirkan barangkali Inilah arti dari mimpiku semalam. “ Tolong dengar baik-baik..”
“ Apa, Mas?”
“ Mereka ingin mengejarku.”
“ Iya karena apa??”
“ Karena aku adalah seorang pembunuh.”
Jum’at, 3 April 2020
Jam 3.30
Hotel Z, Kota Bonjormo
Setelah membersihkan sisa-sisa darah hasil melaksanakan tugas semalam aku kembali ke hotel. Sarung tangan berwarna hijau kuletakkan di tas kecilku. Hanya ada tiga benda di tas kecilku : sarung tangan hijau, minyak zaitun, dan hand sanitizer. Apabila bau darah sudah merembes masuk sampai sarung tangan aku pasti mengoleskan pembersih tangan untuk menghilangkan bau amis.
“ Kok sudah bangun, Nikita, kenapa?” Tanyaku pada Nikita saat melihatnya sudah terbangun.
“ Terima kasih ya, Mas,” Jawabnya.
“ Buat apa?”
Aku meletakkan tas kecil di meja kamar hotel.
“ Kamu pasti tidak percaya apa yang terjadi?” Tanya Nikita. Raut wajahnya sangat serius.
“ Apa yang terjadi?” Tanyaku.
“ Barusan temanku telpon, katanya teman-teman satu Bus yang sama-sama berangkat ke acara Pergantian Pimpinan semalam… Mereka dikarantina semua.”
Aku kaget mendengar berita itu. “Apa?? Dikarantina?”
“ Iya. Satu diantara temanku tiba-tiba jatuh pingsan kesulitan bernafas di dalam Bus. Pimpinan mencurigai temanku yang jatuh itu kena Virus Corona.. Jadi.. Kami semua.. Maksudku teman temanku satu Bus semua harus dikarantina…”
Aku melongo tak percaya.
“ Sebegitu mengerikannya kah penyakit yang bernama Corona itu?” Tanyaku.
Nikita menggeleng. Aku yakin yang menanyakan pertanyaan dan yang ditanya sama-sama tidak paham terhadap persoalan ini.
“ Kayak Zombie mungkin, Mas.” Jawab Nikita polos.
“ Apa?” Sambil kembali rebah di ranjang Aku mendengarkan Nikita bicara. Aku belum tidur dari semalam. Bayangkan saja sehabis melayani nafsu Nikita di ranjang aku langsung disuruh membunuh orang : empat orang sekaligus. Rasanya baru ini aku rasakan badanku terasa amat sangat lelah.
Nikita menyusulku rebah di ranjang. Dia serta merta memelukku hanya mengenakan bath robe hotel yang kebesaran di tubuhnya.
“ Cara orang menangani penyakit ini maksudku. Mas pernah lihat film Zombie?” Nikita melendot ditubuhku.
Aku berusaha mengingat-ingat salah satu film tentang zombie yang pernah kusaksikan kemudian menjawab, “ Yah… Film Zombie kan biasanya tentang wabah penyakit. Wabahnya Bikin orang jadi mayat hidup. Terus gigit orang seperti ini,” aku menggigit nakal Nikita di lehernya.
“ Auuuuhhhhh…. Nakal…. Mas…. lepasiiinnn apaaan sih.”
Nikita berusa berontak dari pergulatan main-mainku. Jujur aku senang bermain-main di tubuh mungilnya yang sexy.
“ Aku serius, Mas.” Katanya setelah pelukanku dilepas paksa.
“ Iya,” jawabku. Rasa kantuk telah melandaku parah.
“ Di Film Zombie itu kan wabah selalu meluas, terus bikin orang jadi mayat hidup semakin banyak. Mereka gigit sana gigit sini… Bikin orang ketularan…”
Kulihat wajah manis Nikita yang menghidupkan kembali kecantikan Sally Marcelina muda. Kuperhatikan gairah luar biasanya ketika bercerita. Bagaimana Dia mengerahkan seluruh perhatiannya menyampaikan teori Zombie konspirasi yang menurutnya mirip virus Corona.
***
Aku sedang berada di Terminal Bus Way. Sepertinya aku sudah membeli tiket karena aku sudah menunggu di depan pintu gerbang penumpang.
Disampingku berdiri Nikita. Dia telanjang bulat. Tanpa satu helai baju pun. Aku heran melihatnya. Tapi para penumpang lain disekitarku terlihat biasa saja.
“ Kenapa tanganmu diborgol begitu?” tanyaku bingung, melihat dalam keadaan telanjang, kedua tangan Nikita melingkar di belakang punggungnya dengan posisi terborgol.
“ Biarin aja,” jawabnya lempeng. “ Aku suka diborgol.”
Alisku terangkat heran. Kuperhatikan para penumpang disekitarku sama sekali tidak terganggu melihatku bersama seorang wanita yang telanjang bulat begini.
“ Para penumpang silakan bersiap naik! Bus sudah datang! Waspada dan perhatikan jalan,” laki-laki yang bertugas menaik turunkan penumpang berujar. “ Tolong dahulukan penumpang yang akan turun dahulu,” perintahnya.
Nikita bersamaku naik setelah para penumpang yang lain turun.
Sesampainya di dalam banyak sekali bangku kosong. Tidak seperti yang kulihat di ruang tunggu tadi yang banyak sekali orang, di dalam rupanya hanya ada enam penumpang : Empat laki-laki. Dua perempuan.
Aku tidak habis pikir kenapa kami berdua tidak duduk saja di Bus yang lowong seperti itu. Kami malahan berdiri berdua di tengah bus dalam posisi tangan bergelantungan ke atas.
Tunggu… Bukankah tangan Nikita tadi terborgol, kok Dia bisa bergantungan?
“ Eh, kamu kan diborgol?” Tanyaku.
Nikita memintaku melihat posisi kedua tangannya di atas tiang pegangan. Kedua tangannya tetap terborgol tapi di atas tiang itu.
Kok cepat sekali Dia memindahkan borgol. Pikirku.
“ Mas,” katanya.
“ Ya.”
“ Cumbu aku donk!” Nikita memintaku.
“ Tapi disini ada banyak orang. Ada enam orang ditambah Pak Supirnya.”
“ Biarkan saja. Mereka semua pasti senang melihat kita.”
Bodohnya Aku nurut saja mencumbunya. Penisku ereksi tiba-tiba saat bibirku mencium bibir Nikita. Gairahku tiba-tiba meluap-luap. Sama sekali aku tidak mempedulikan ada orang lain disana yang terpenting hanya bagaimana segera memperturutkan hawa nafsuku.
Tubuh Nikita yang sekarang di terborgol erat di antara tiang bus way masih sexy seperti sebelumnya. Bedanya hanya gairahku yang berkobar-kobar lebih dahsyat.
Buktinya, aku bukan hanya mencium tapi menjilati seluruh tubuh Nikita yang masih terborgol erat. Lucunya, saat aku asyik menjilati tubuhnya, aku masih sempat melirik ekspresi penumpang lainnya. Mereka semua tidak antusias melihat kelakuan kami berdua. Mereka berenam seperti tengah tenggelam dalam pikirannya masih-masing.
Bahkan ketika aku tengah mengeyot-ngeyot payudara Nikita bagaikan bayi, dan yang punya payudara itu mendesah keras mereka sama sekali tidak peduli.
Barangkali apabila aku mencoba melakukan oral pada Wanitaku ini mereka baru peduli, pikirku. Tapi sayangnya tidak. Mereka tetap tidak peduli dan tetap sibuk dengan urusannya masing-masing.
“ Mas,” Panggil Nikita mesra di tengah kegiatan oralku kepadanya.
“ Ya?”
“ Jangan hanya di oral donk. Coba di finger.” Harapnya.
Aku mengangguk. Seketika merubah aktifitasku dari menggunakan lidah menjadi jari. Awalnya aku mencoba memasukkan satu jari ke dalam vagina Nikita. Yang punya kemudian mendesah. “Tambahin donk!” perintahnya. Maka kutambahkan satu jari lagi.
Setelah itu Wanitaku itu menyuruh lagi, “ Kocok donk.” Katanya.
Tanpa menunggu lama aku melaksanakan perintahnya.
“ Lebih kenceng Mas ngocoknya.”
Kuturuti lagi kedua jariku berusaha mengobok-obok liang vaginanya semakin keras.
“ Aaaagghh lagi donk, Mas… Yang kenceng ngocoknya,” rengeknya.
Permintaan ini pun kuturuti lagi. Sekarang menggunakan otot-otot lengan bisepku.
“ Laaaggii… Lagiiii… Aaaagggghhhh.”
Rasanya lelah sekali tanganku mengocok ke dalam vagina Nikita sampai akhirnya Wanitaku itu kurasakan mulai mengeluarkan cairan hangat dari dalam area intimnya.
“ Crrriiitttt…. Crrriiitttt…. Crrriiiitttt.”
“ Aaaauuuuggghhh…. Aaaahhhhh,” jerit Nikita.
Kuperhatikan enam orang penumpang Bus menjadi berubah sangat tertarik melihat adegan ini. Salah seorang dari dua wanita yang berumur tampak maju mendekatiku lalu menuding, “ darah!!” katanya. “ DARAH!!!”
Aku kaget. Apa yang darah? Dari mana? Aku mencoba memperhatikan tanganku sendiri yang kedua jarinya masih mengobok-obok vagina Nikita dan disitu ternyata benar mengeluarkan darah. Lebih tepatnya bukan jariku yang berdarah tapi cairan yang keluar dari vagina Wanitaku tadi rupanya bukan air tapi darah. Darah kental berwarna merah keunguan yang mengalir terus menerus.
“ Darah.” Kata penumpang yang laki-laki.
“ Darah merah,” sahut penumpang laki-laki yang lain sambil menudingku.
“ BERARTI KAMU PEMBUNUH!” Jerit penumpang wanita yang satunya lagi.
“ PEMBUNUH.” Tuding penumpang laki-laki yang lainnya lagi tepat di mukaku.
“ PEMBUNUH…. PEMBUNUH…. PEMBUNUH….” Setelah itu keenam penumpang lain sama sama menudingku.
Mereka menyudutkanku. Menghakimi. Melontarkan tuduhan tidak berdasar yang membuatku bangkit dan berteriak keras, “ TIDAK!! KALIAN SALAH AKU BUKAN PEMBUNUH!” Bantahku.
“ PEMBUNUH…. PEMBUNUH…. PEMBUNUH….” balas mereka lagi.
“ Aku bukan pembunuh!” Kataku berusaha membela diri. “Bukan pembunuh.”
“ PEMBUNUH.”
Aku tidak tahan lagi dan berteriak lantang, “ AKU BUKAN PEMBUNUH.”
Keringat dingin membasahi tubuhku.
Teriakan kalimat itu masih terngiang-ngiang saat aku bangun. Sebuah mimpi aneh lagi. Lebih mengerikan dari sebelum-sebelumnya. Tidak biasanya aku melihat darah. Bahkan ketika aku harus melenyapkan nyawa sesorang aku tidak melihat darah.
Sejenak aku perhatikan tubuh Nikita yang masih tertidur disampingku menggunakan bath robe nya. Untuk sesaat aku bersyukur ada Dia disampingku. Setidaknya aku tidak sendirian ketika menghadapi mimpi yang semakin hari jadi semakin buruk.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 10.30
Hotel Z, Kota Bonjormo
[/URL
]
Nikita
“ Aku ikut Mas!” Kata Nikita pada saat kami menjelang check out.
“ Apa? Tidak!,” Jawabku refleks. “ Tidak! Tidak! Tidak!”
Nikita menedekatiku lalu tanpa awalan apa pun langsung mencengkram bajuku dan berkata lantang , “Mas, kamu dengar, ya! Teman-temanku semua yang naik Bus kemarin malam sedang dikarantina. Kantor memintaku melakukan karantina mandiri terhadap Virus Corona. Aku bahkan tidak tau apa karantina mandiri itu, Mas… Tolonglah… Aku tidak mau tinggal sendirian di saat seperti ini. Tolong bawa aku, Mas. Kemana saja. Katanya waktu karantina itu 14 hari. Aku ingin karantina itu kulakukan bersamamu! Titik!”
Aku menepis cengkraman tangan Nikita dan berkata tak kalah lantang , “ Kamu tidak tau apa yang sedang kamu bicarakan.”
“ Aku sangat tau apa yang sedang kubicarakan, Mas. Aku sangat tau apa yang kuinginkan.”
“ Memangnya apa yang kamu inginkan?”
“ Sederhana saja : Aku ingin menghabiskan karantina mandiri selama 14 hari bersamamu. Mudah kan?”
“ Rupanya kamu benar-benar sudah gila.”
“ Benar aku memang gila!,” tantangnya. “ Tapi itu kan resikonya Mas. Siapa suruh Mas berani meniduri seorang Detektif Wanita? Semalam kan Aku sudah tanya : Mas serius tidak sama ajakan Mas kepadaku? Mas terus jawab : Kalo tidak serius Aku tidak akan terus memegang tanganmu?? Ayok sekarang mau ngomong apa? Buktikan ucapanmu sendiri!” Nikita ganti memelototiku dengan posisi kedua tangan memegangi pinggangnya.
“ Keras kepala banget kamu tuh!” Jawabku kesal.
“ Itulah, Aku,Mas. Salah sendiri mengajakku tidur bareng.” kata Nikita bangga sambil mendangakkan wajah. “ Salah kamu sendiri, kan!”
Belum pernah aku kalah berdebat melawan wanita tapi pagi ini, hari jum’at pagi aku kalah telak melawan Dia.
Tapi Aku masih mencoba membujuknya, “Helmku hanya satu,” kataku kepada Nikita setibanya kami diparkiran. “ Kamu yakin mau ikut?”
“ Ikut. Aku harus ikut. Tidak boleh tidak.”
“ Tidak ada Detektif Wanita yang boleh tidak pakai helm kalo naik motor,” bujukku lagi.
“ Ada. Helmnya ada. Sebentar!” Nikita berjalan santai ke arah satpam, melobby sebentar, dan sudah bisa mendapatkan helm dari satpam itu.
“ Nih aku sudah dapat.” Serunya bangga.
Aku menggeleng resah tak tau harus berusaha bagaimana lagi, “ Ayolah. Kamu jangan ikutlah! Please!” Kataku putus asa.
Nikita menggeleng keras , “ Tidak aku harus ikut.”
Aku benar-benar menyesal memilihnya sebagai wanita yang kutiduri semalam setelah merasakan betapa keras wataknya yang rupanya benar-benar kepala batu. “ Oke. Terserahlah! Naik!”
Nikita memboncengku ala boncengan laki-laki. Dia tidak berupaya duduk menyamping seperti biasanya wanita. Padahal Dia masih pakai gaun bekas semalam tapi asal saja ditumpanginya bangku belakang motor Varioku begitu saja.
“ Jalan, Mas!” Perintahnya.
Aku mendengus kesal dan jalan meninggalkan hotel.
Sebenarnya tempat tinggal sementaraku yang kusebut sebagai safe house tidak boleh diakses oleh orang lain. Namun dengan perkembangan keadaan terbaru aku tidak punya pilihan. Rumah itu terletak di perbatasan Kota Bonjormo dan memiliki halaman luas berpagar tinggi sangat cocok sebagai rumah aman untuk para tukang jagal sepertiku.
Diperlukan lebih dari setengah jam perjalanan menuju kesana termasuk melewati Taman Kota Bonjormo tempat berlangsungnya kebiadabanku semalam.
“ Mas jangan lewat sana!” Kata Nikita saat kami mendekati Taman Kota. “ Banyak teman-temanku Detektif disana. Aku takut dikenali.”
Sedikit Aku tersenyum melihatnya takut. Karena rupanya Nikita masih punya rasa ngeri saat berhadapan dengan teman-temannya sesama Detektif.
“ Sepertinya ada yang dibunuh, Mas,” kata Nikita sambil memeluk pinggangku setelah kami meninggalkan Taman Kota.
“ Kok tau?”
“ Itu Divisi Kriminal semua yang turun. Padahal kemarin lusa juga ada yang mati, satu orang. Jaman milenial kok masih banyak banget orang jahat.” Sambil berkata Nikita mengelendotkan tubuhnya di punggungku. Aku bisa merasakan kenyalnya payudara Nikita yang seolah secara sengaja Dia sandarkan ke punggungku.
Dalam kehidupanku yang hina ini, baru kali ini aku merasakan seolah-olah membawa pacar sendiri. Ya dilendot pacar di sepeda motor baru pertama kali kualami. Kata orang, adegan yang kami berdua lakukan bagaikan dunia ini hanya milik berdua. Mau mobil mengklakson, mau dunia ini kiamat kami tidak peduli karena manisnya cinta membuat kami terlena.
Nikita pun kurasa sangat menikmati melendot di punggungku. Malahan Dia terlalu menikmati sampai kurasakan dengan ilmu kepekaan rasa ada bahaya datang mendekat.
“ Aawwaaass…. Nikita!!! awasss….” Aku kaget bukan main tapi bisa merasakan bahaya sebelum bahaya itu mendekat.
Saat kami berdua asyik berboncengan mendekati perbatasan Kota Bonjormo sebuah mobil Daihatsu Luxio warna hitam tiba-tiba melaju kencang dari belakang, lalu mendadak memperlambat kecepatannya dan berusaha memepet kami.
Nikita yang kaget refleks mengarahkan kaki kanannya mendang pintu samping mobil itu dan berteriak, “ HEEEII…. MATAMU DIMANA?? BRENGSEK.”
Kontrol tubuhku sangat terganggu dengan pepetan mobil Luxio. pegangan tanganku mulai kehilangan kendali sehingga motor kupaksakan mulai masuk ke pinggiran jalan yang berkerikil.
“ BRENGSEK!” Nikita menendang lagi. Dia merogoh tas kecilnya membukanya cepat kemudian melakukan hal yang tidak pernah kuduga : Nikita mengambil Pistol di tasnya dan menodongkan ke arah mobil Luxio itu. “ MAU MATI, KAMU!” Bentak Nikita lagi.
Aku yang mempunyai ilmu kepekaan rasa bisa merasakan penumpang mobil ini ingin membunuhku. Bukan bukan hanya Aku tapi juga Nikita pada saat yang bersamaan.
“ NIKITA!” Teriakku masih berupaya mengendalikan motor yang mulai bergerak ke kerikil-kerikil pinggiran jalan.
“ Apa???” Tanyanya masih menodongkan pistol.
“ BUKA PENGAMAN PISTOLNYA! BERSIAP MENEMBAK!”
“ APA??” Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
“ KALO PINTU MOBIL ITU TERBUKA!!! TEMBAK!! LANGSUNG TEMBAK!!”
Aba-abaku tepat waktu. Di detik berikutnya mobil Luxio terbuka pintu sampingnya dan Nikita menuruti perintahku langsung menembak.
“ DOOOORRR.”
“ TEMBAK LAGI!!!”
“ DOOOR….DORRR….DORRRRR…..”
Pada saat itu, Nikita dan aku melihat hal yang sama : setelah pintu samping Luxio terbuka, ada satu orang bersiap menembakkan senapan serbunya untuk membunuh kami tapi keduluan oleh tembakan Nikita dan mati seketika. Selanjutnya, ada tiga orang lagi di dalam mobil itu yang berupaya meneruskan pekerjaan temannya untuk menembak kami juga kalah cepat oleh Nikita yang menembak cepat dalam jarak dekat.
Melihat teman-temannya tertembak sopir Luxio panik membanting mobil dengan ekstrem mengakibatkan mobil sliding secara prematur dan terguling.
Aku bisa mengendalikan motor menghindari manuver mobil itu namun dengan segera bisa merasakan bukan hanya mobil yang mengejar kami. Di belakang mobil tadi ternyata telah mengejar juga puluhan motor yang tujuannya adalah melenyapkan kami.
“ PEGANG ERAT-ERAT, NIKITA!” Perintahku. “ MOTOR-MOTOR ITU NGEJAR KITA!”
Aku berusaha memacu motor Vario secepat mungkin. Sayangnya motorku memang benar-benar pelan. Para pengejar kami yang motornya kebanyakan motor balap segera saja mengejar. Dalam waktu singkat beberapa diantara mereka bahkan sudah berhasil memepet motor kami dan mulai mengancam, bahkan menyentuh tubuh Nikita.
“ BANGSAT!” Teriak Nikita sebelum mengarahkan senjatanya ke arah pengendara motor yang berani menyentuhnya.
Sebenarnya aku sangat tenang apabila ancaman dan gangguan mereka hanya ditujukan kepadaku seorang. bagiku itu hal yang biasa karena pembalasan dendam bagi profesiku yang seorang pembunuh ibarat garam di dalam nasi. Tapi masalahnya Nikita yang diganggu. Walaupun wanitaku ini terlalu berangasan sifatnya. Terlalu emosional. Aku tetap tidak mau sesuatu yang buruk menimpanya.
Sejenak memikirkan hal ini aku memutuskan membuat satu maneuver tajam tiba-tiba berkelok ke kiri dan menuju lapangan kosong yang tidak terpakai di ujung perbatasan Kota Bonjormo yang aku tau lokasinya.
Sesampainya disana aku parkirkan motorku diiringi oleh rombongan motor pengejar yang juga tiba.
“ Bangsat orang ini!” kata Nikita langsung turun dari motor sambil menodongkan pistol ke arah mereka.
“ Jangan!” Perintahku.
“ Jangan apa, Mas?”
“ Kamu tidak usah bunuh orang lagi!”
“ Tapi mereka orang jahat! Mereka mau bunuh kita, Mas!”
“ Ssssstttt,” Kataku sambil memeluknya. “ Sudah. Kamu sudah terlalu luar biasa membantuk. Berikutnya, biar Aku yang membereskan mereka.”
“ Apa?? Apa yang mau kamu lakukan? Kamu mau melawan mereka? Kamu gila ya? Mereka banyak sekali.” Nikita memberondongku dengan pertanyaan ngeri. “ Mas…”
“ Biar aku yang hadapi!” Kataku berjalan ke arah para rombongan motor pengejar. “ Kamu disana saja!”
Pandangan Nikita penuh kekhawatiran.
Kekhawatiran yang sama juga menyergapku karena aku merasakan satu penyesalan : Kenapa aku harus membawa Nikita terlibat pada sebuah kondisi biadab : Kondisi dimana orang saling memangsa satu sama lain bagaikan kanibal.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 11.00
Sebuah Lapangan Kosong di Perbatasan Kota Bonjormo
Di lapangan aku tidak percaya dengan pemandangan yang aku lihat : Orang-orang bermotor yang ingin memakan dagingku hidup-hidup atas nama apa pun, dan akan segera kucari tau penyebabnya, adalah anak-anak tanggung. Umurnya kebanyakan paling baru menginjak 20 tahun tapi sudah mau membunuhku. Hebat mereka. Anak kemarin sore.
Aku menjadi kesal memikirkannya : Siapa pun yang merekrut anak bau kencur untuk mencoba membunuhku sangat keterlaluan. Apa alasan mereka? Apa ada yang tau kalo aku yang melakukan salah satu pembunuhan dari banyak yang telah kulakukan? Tapi bukankah seharusnya Sang Suara yang melindungiku dari mereka. Kemana Sang Suara? Aku masih terus mempertanyakan banyak sekali hal yang melintas dalam pikiranku sambil menghitung jumlah penyeranngku yang mengendarai sepeda motor.
Kuhitung mereka 40 orang yang turun dari motor. Yang lima masih di motor barangkali guna berjaga-jaga. Masing-masing dari setiap 40 orang itu kompak menghunus senjatanya masing-masing. Ada yang bawa parang, samurai. Ada yang mengeluarkan rantai, belati, pisau lipat, tombak panjang, macam-macam. Ini ciri khas pengeroyok. Sama seperti yang kujumpai di Taman Kota. Mereka akan segera memamerkan senjata. Tujuannya untuk membuat mental lawan ciut.
Anak-anak ini… aku tidak habis pikir melihat mereka.
“ Ayoooo bunuh Dia! Habis itu perkosa pacarnya!!” Kata salah seorang dari mereka.
Apakah ini perkataan seorang manusia? Atau perkataan binatang? Tapi tidak ada binatang yang ingin memperkosa binatang lainnya. Keterlaluan.
Aku menunggu mereka datang ke tengah lapangan.
Mereka tersebar maju dari depan, kiri, kanan, belakangku datang bak air bah sembari menghunus senjatanya masing-masing. Aku mengenakan dahulu sarung tangan hijauku sambil bersyukur : kebetulan di bawah kakiku ada batu besar yang biasa dipakai anak-anak buat bikin gawang waktu main bola. Aku ambil batu yang muat ditanganku itu lalu kugenggam kuat.
Setelahnya aku menunggu orang pertama mendekatiku yang membawa belati. Aku membiarkannya menyerang duluan, membiarkannya mengayunkan belatinya ke udara lalu kuelakkan menggunakan pola merundukkan badan sambil cepat mengangkat tubuh kembali, langsung disusul mengayunkan tangan kanan berbatu ke pelipis mata orang pertama tadi.
“ Praaaaaaaak.”
Pukulanku tidak pernah meleset. Matanya kena. Seketika merobohkannya dengan teriakan nyaring, sekaligus memberiku ruang gerak memutar badan untuk menangkis tusukan penyerang kedua yang datang membawa senjata yang sama dengan cara menghantam tangannya dan mengambil belati itu dari tangannya. Tangan si pemegang belati kuhantam pakai batu sampai berbunyi. Setelah itu batu tadi juga kugunakan menghajar wajahnya sampai patah hidungnya.
Kuperhatikan sejenak perkembangan situasi yang berubah dalam hitungan detik : belati sudah berhasil kugenggam maka batu kuletakkan di tanah.
Satu kelemahan dari orang-orang yang menyerangku secara bersaamaan ini adalah mereka semua ingin mengunci tubuhku lalu membantingnya ala pemain UFC. Masalahnya aku sudah memegang belati dan tau cara menggunakannya. Setiap mereka yang datang baik itu penyerang ketiga, keempat, sampai kelima belas semua kutusuk di bagian terlemah tubuhnya dari leher, dada, perut, sampai pinggang. Kecepatan tanganku disambut kecepatan gerakan mereka sendiri menimbulkan efek ngeri berantai. Kebetulan pisau ini tajam sekali karena habis diasah oleh pemilik sebelumnya sehingga aku bisa menusuk dan menariknya cepat sekali tanpa membuang waktu.
“ Adddddduuuuuh…………. Aaaaaaaaaaaaaaaghhhhhh…….. Oh My God……………..”
Sabetan pisauku menghantam tanpa ampun dan menjatuhkan lima belas orang membuat mereka meraung raung di tanah. Sisa 25 orang penyerangku.
“ TUNGGU APA LAGI?? BANTAI DIA!!!” Teriak mereka yang masih berdiri di belakang gelombang penyerang pertama.
Kuhitung ada sepuluh anggota gank bersamurai yang maju.
Sepuluh samurai. Aku merasakan diriku sebentar lagi akan menjadi Batosai si pembantai. Bedanya pedangku pedang mini. Seperti pedang G String.
Mereka yang bersamurai semuanya berlari dalam nafsu membunuh yang sama. Nafsu kebinatangan yang membuat mereka menjadi manusia yang sulit dibedakan dari binatang.
Aku memang hanya punya belati mini tapi ini sudah cukup melindungi diri. Kedua mataku mengamati cepat menghitung penyerang yang paling cepat datang. yaitu Dia yang berlari dari sebelah kiriku.
Tebasan samurai dari jauh seketika dilayangkannya ke arahku namun aku menghadapinya ala atlet anggar professional. Aku perhitungkan momentum terbangnya orang itu, tebasan pedangnya yang menyamping, ketinggiannya, lalu aku merunduk sebagaimana dilakukan pemain anggar professional lalu melenting cepat menusukkan belati tepat di pinggang laki-laki itu menggunakan belati, seketika mengenai pingganya membuat luka tusuk dalam.
“ Anjingggggggggggg……….” Makinya.
Aku tidak punya waktu mencabut samurai miniku, jadi kutinggalkan saja, dan kuganti dengan samurainya yang otomatis terlepas waktu pertama kali merasakan nyerinya tertembus pisau.
Sekarang Aku punya samurai. Batosai si pembantai lahir dengan parang panjang.
Maka aku hitung momentum dari sembilan penyerangku tersisa yang berlari dalam kecepatan berbeda. Penyerang kedua yang harusnya datang paling cepat adalah yang datang tepat di hadapanku jadi kuayunkan samuraiku ke hadapannya yang pasti dia tangkis.
“ Klaaaanggggggggggg.” Bunyi samurai bertumbukan.
Tanganku bergetar saat kedua samurai beradu dan kuarahkan tenaga getaran yang ada itu ke pembawa samurai paling cepat berikutnya yaitu yang datang dari sebelah kanan. Samuraiku itu begitu cepat menebasnya sampai-sampai Dia tidak siap dan tangannya putus tersambar samuraiku.
“ Yaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh,” raungnya saat melihat tangannya copot.
Disaat tangan putus itulah aku mengayunkan lagi ke orang yang sebelumnya beradu samurai dan kini dia tidak siap. Dengan mudah aku bisa menyayat tubuh depannya. Membuat luka goresan lebar yang pasti membuatnya menjerit jerit.
“ Biaaadaabbbbbbbbbbbb.” Makinya.
Mereka tidak tau : Aku tidak pernah berniat menyerang orang yang kubidik pertama tapi hanya menggunakannya sebagai tembok untuk memantulkan seranganku kepada mereka yang sial karena tidak siap. Jadi berikutnya kuulangi lagi metode serangan memantulku ini kepada empat, lima, enam, sampai sepuluh penyerang berikutnya kemudian mereka jatuh berurutan dengan darah dimana mana mengunakan jurus pantulan samuraiku yang memantulkan serangan dari satu titik ke titik berikutnya.
Saat orang kesepuluh juga jatuh karena pahanya kusayat dia menjerit jerit seperti anak kecil , “ anjjjjaaaaaaaaaayyyyyy kampreeeeeeeeeeeeeetttttttttttt.”
Jatuhnya penyerang kesepuluh di gelombang serangan yang kedua membuat total dua puluh lima orang sudah jatuh. Tinggal 15 orang lagi dan lima orang masih duduk di atas motor. Sejenak kulirik Nikita. Dia baik-baik saja.
“ Bangsaaattt! Habisi dia!!! Maju semua kalian!!!”
Ada sembilan samurai yang tergelak di sekitarku dan sebelum mereka bergerak kulemparkan satu demi satu samurai itu ke arah mereka menggunakan teknik lempar lembingku yang sudah kugunakan di taman Kota bebeapa jam sebelumnya.
“ Yaaaaaaaaaaaaaa Makkkk.”
“ MaaaaaaMaaaaa.”
“Setaaaannnnnnnnnnn.”
“ Babi hutaaaaaaaaaaaaaaaaann.”
“ Kaaaaampreeettttttttt.”
Bidikanku membuat kesembilan samurai itu menancap semua di titik yang aku inginkan. Di orang yang aku incar.
Sembilan orang lagi roboh. Total 34 orang.
Tinggal 6 orang lagi. Termasuk lima di motor.
Mereka kompak saling memandang. Melihat banyak sekali teman-temannya selesai di tanganku nyalinya ciut.Termasuk yang di atas motor. Seperti tanpa harus dikomando lagi kesebelas orang tersisa dari mereka semua kompak kabur berboncengan ke atas motor lalu menjauh sekencang-kencangnya.
***
Jum’at, 3 April 2020
Jam 13.00
Safe House di Perbatasan Kota Bonjormo
Aku membawa Nikita menuju Safe Houseku di perbatasan Kota Bonjormo.
“ Mas, Bangsat sekali mereka. Siapa, sih?” Tanya Nikita.
Sambil menggeleng aku membuka sapu tangan hijauku dan mencuci tangan seperti biasa kulakukan. “ Aku akan segera mencari tau,” janjiku.
“ Empat orang mampus ditanganku mereka menodongkan pistol mau bunuh kita, Mas.”
Aku mengangguk, “ terima kasih, Nikita.” kataku tulus. “Kalo gak ada kamu kita pasti sudah mati.”
“ Mas siapa sih mereka?”
Dengan kebingungan yang sama aku menggeleng, “Aku tidak tau.”
“ Mas aku ini Detektif lho, kamu harus jujur kepadaku. Siapa mereka? Biar kukontak orang kantor buat mengejar mereka.”
Pada saat itulah aku menghentikan pembicaraan Nikita dan berkata pelan kepadanya.
“ Jangan! Jangan kamu telpon orang kantormu!”
Nikita terus mendesakku dengan kekerasan argumennya yang khas namun kembali kuhentikan.
“ Pokoknya jangan!” tegasku.
“ Tapi kenapa, Mas? Kan harus ada alasannya!!”
“ Ya Nikita.” Kataku sambil memikirkan barangkali Inilah arti dari mimpiku semalam. “ Tolong dengar baik-baik..”
“ Apa, Mas?”
“ Mereka ingin mengejarku.”
“ Iya karena apa??”
“ Karena aku adalah seorang pembunuh.”