Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 3 : Menopause

“Dio! Dio!”

Aku tersentak dan perlahan Ku lihat orang yang memanggilku. Zima!

Aku seperti tak bisa bicara. Apakah Zima tahu ya?

“Nomor 4 sampe 6 udah Lo?” tanyanya.

“Ha?”

“Ini, nomor 4 sampe 6 (sembari menunjukkan buku).”

“Oh, ini.”

Aku hanya diam melihatnya menyalin jawabanku. Tumben juga Dia tidak selesai. Biasanya kan Dia selalu beres. Ini malah terbalik.

“Tumben Lo gak beres.” tanyaku heran.

“Capek Gw, semalem begadang nonton. Kemarin baru dateng kiriman paket. Mau Gw tonton. Ada LOTR Collector Edition lengkap, Superman lengkap, sama Indiana Jones juga.”

“Wah….” Belum Aku melanjutkan, Aku terdiam. Terus terang ada perasaan tidak nyaman. Bagaimana jika Ibunya cerita jika Aku pamit ke Ibunya saat Ibunya sedang berganti pakaian. Terlebih Aku sempat mendapati semua tubuhnya dalam keadaan telanjang, walaupun hanya dari belakang. Bodohnya Aku, Aku tidak menyadari jika Ibunya sedang menghadap cermin. Wajahku habis pucat pasi tertangkap mata Ibunya.

“Dah lama Lo gak maen lagi. Nyokap Gw sempet nanyain.” jelasnya.

“Eh, nyokap??”

“Iya. Awal – awal sering banget Lo maen. Trus ilang.”

“Ya elah, baru sebulan. Lagian juga banyak tugas.” jawabku asal.

“Iya, Gw juga bilang Kita lagi banyak tugas. Klo mau Jum’at nonton, lumayan ngeramein. Tadi juga Komar mau ikut, tahu Gw punya film. Dia mintanya bokep. Ya Gw gak ada.”

“Ya udah.” Jawabku datar.

***
Jum'at pun datang. Aku kembali mengunjungi rumahnya Zima sepulang belajar. Pelan tapi pasti, Kami sampai dan memasuki rumah. Hari ini Aku kembali main di rumah Zima setelah sekian minggu tak main sepeti biasanya. Aku kemudian berhadapan dengan Ibunya Zima. Aku tak berani bertatap lama.

“Eh, Dio! Wah, lama Kamu gak main. Kasihan Zima.”

“Apaan sih Mah.” protes Zima.

“Iya Tante. Lagi banyak tugas aj.”

Seperti biasa, Kami pasti makan dulu. Tidak ada sosis, yang ada sayur kangkung, sayur lodeh, ikan gurame, tempe, tahu, sambal, sirup, lengkap juga. Kami makan dengan lahap dan dahaganya.

Setelah makan, Zima diminta Ibunya pergi untuk mengantarkan makanan ke saudaranya di daerah sebelah. Terpaksa Aku ditinggal sebentar. Tak tahu harus berbuat apa, Ibunya Zima memanggil.

“Dio, sini. Di ruang TV saja ngobrolnya.”

“Oh, Iya tante.”

“Kamu rencananya mau masuk mana?” Ibunya Zima mengawali obrolan sambil menyeruput teh.

“Mmmh, belum tahu Tante, yang jelas gak di sini.”

“Di mana? Di provinsi lain? Di sini kan enak deket.”

“Iya sih, tapi Saya ingin coba daerah baru. Di sini padat dan banyak kendaraan.” jelasku.

“Oh, orang tua setuju Kamu jauh – jauh?”

“Setuju sih Tante. Bapak malah mendukung banget, biar Saya mandiri katanya.”

“Oh, ya ya. Enak ya, Bapak dan Ibu Kamu di rumah. si Dio Ayahnya sudah lama di luar. Katanya mau pulang tiga bulan lagi. Untungnya Zima anaknya hommy dan gak macem – macem…."

Seperti biasa, Ibunya banyak cerita. Sesekali Aku menimpali, hingga kemudian Aku menjadi teralihkan oleh perkataannya..

“….menopause.”

“Ah? Apa Tante?” tanyaku.

“Iya, menopause. Di usia yang sudah gak muda begini, Tante sudah berada di fase itu. Klo laki – laki kan sampe tua juga masih bisa.”

“Oh, menopause ya.”

“Tahu kan?” tanyanya.

“Iya Tante. Kasihan juga Tante. Dikunjungi Ayahnya Zima setahun sekali. Itu pun hanya sebentar. Tapi, Kok masih bisa buat nikah lagi ya? Bude Saya aj udah kepala enam, masih mau nikah lagi. Berarti kan menopause buat sebagian orang gak juga.”

“Oh, ya itu mah tergantung orangnya juga Dio. Klo dipancing – pancing yang bisa juga. Bude kamu yang kepala enam aja bisa apalagi Tante yang belum kepala lima” Jelasnya.

Orbolan terhenti sejenak. Aku juga bingung sebenarnya mau ngobrol apa.

“Kemarin Kamu Kok gak ngetok dulu?”

Duarr!! Jantung mau copot bro. Ibunya Zima masih teringat kejadian itu, padahal sudah sebulan lebih tidak bertemu.

“Aa..aa…maaf Tante. Saya…maaf Tante. Awalnya Saya mau pamit. Tapi,….bingung mau gimana bilangnya. Baru mau ngomong udah ketahuan Tante. Maaf Tante…” Habis sudah, Zima balik, abis Gw…

“Iya gapapa. Tante juga salah gak nutup pintu dulu. Untung Tante ngadep belakang. Iya gapapa, namanya juga Kamu masih muda. Kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.

“Belum Tante.” Jawabku malu.

“Oh.” jawabnya biasa sambil memegang leher dan pundak.

“Oh, kenapa Tante?”

“Gak, ini, kemarin habis senam. Mungkin sedikit pegal – pegal.”

“Oh.” Jawabku datar.

“Kamu bisa mijit?”

Pertanyaan Ibunya Zima ini membuatku tak bisa berkata – kata. Setelah kemarin Aku mendapatinya telanjang dan Aku meminta maaf. Kini, Ia ingin Aku menyentuhnya. Aku tak berkutik.

“Gak juga sih Tante.”

“Sebentar.” Ibunya Zima pun segera bangkit dan berjalan menuju kamar.

Samar – samar Ku dengar Ibunya Zima seperti sedang berbicara dengan seseorang melalui handphone. Kalimat percakapan terakhirnya meyakinkanku jika Ibunya Zima meminta Zima untuk melakukan sesuatu sebelum pulang. Alamat panjang durasinya Aku di sini.

Dag! Jantungku berdebar. Ku lihat Ibunya Zima sudah berganti pakaian yang tadinya daster panjang tertutup, sekarang berganti dengan daster tipis dengan tali bahu yang tipis. Lekukan tubuhnya terlihat jelas dibandingkan tadi. Di tangannya terlihat Ia menggenggam botol. Yang membuatku menelan ludah adalah terpampang jelas dua tonjolan di dadanya, belahannya pun terlihat. Daster tipisnya membuatku yakin, Ibunya Zima tak memakai bra. Jantungku semakin tak karuan. Aku menjadi salah tingkah. Tatapan mataku tak tentu arah. Aku dibuat gugup oleh Ibunya Zima.

“Sini.” Ibunya Zima memanggilku untuk duduk di sebelahnya di sofa panjang. Ia kemudian duduk membelakangiku. Sekilas Aku pun memandangi bagian belakang tubuhnya. Aku juga sepertinya yakin jika Ibunya Zima tak memakai celana dalam. Daster ini begitu tipis tapi tak tembus pandang. Tapi juga bisa mudah terlihat jika ada pakaian tambahan di dalamnya. Ini terlihat mulus. Aku pun gugup mendatanginya. Pelan dan pelan Aku duduk menghadap punggungnya.

“Ini, pakai zaitun. Pundak Tante butuh dipijat sedikit. Maaf ya, Tante ganti baju. Soalnya biar kerasa pas Kamu mijit.”

Aku pun meminta izin untuk memijat pundaknya. Saat Aku menyentuhnya, kulitnya terasa lembut. Ibunya Zima pasti sangat merawat tubuhnya. Sembari memijat Aku ingin berbicara tapi tak bisa. Aku hanya memijat.

“Ehmm….mmmh…egghh..”

Hanya suara itu yang terus terdengar. Hal ini membuatku pusing. Bagaimana jika Zima datang. Suara yang dikeluarkannya itu yang membuatku gelisah. Entah kenapa, Aku seperti terangsang. Pelan tapi pasti, Joniku berontak. Aku ngaceng. Aku ngaceng oleh Ibunya Zima. Beberapa kali Aku mencoba melirik apa yang ada di bagian depan tubuhnya, tapi terhalang oleh punggungnya.

“Ini, tangan Tante juga butuh dipijat.” pintanya.

Aku bingung. Bagaimana memijat tangannya dari belakang, kecuali memintanya merubah posisinya tapi Aku takut.

“Agak susah Tante.” timpaku.

“Oh iya, ya (Ibunya Zima perlahan merebahkan tubuhnya di badanku). Maaf ya, Tante bersandar ya ke badan Kamu, biar gampang.”

Oh My, jantungku tambah berdegup kencang. Wajahnya kini bersentuhan dengan wajahku. Napasnya begitu terasa di hidungku.

“Ooo…ke…Tante.” Shit. Saat Aku memijat tangannya, jelas Ku lihat belahan payudaranya. Tonjolan putingnya pun terlihat jelas. Ibunya Zima benar – benar tak memakai bra. Ingin sekali Ku remas. Ku ingin memijat payudaranya. Uh…

“Jika Kamu punya pacar, Kamu bakalan seperti ini.”

“Eh, hmm…ah.” hanya itu yang bisa Ku balas.

“Iya, pelukan terus kayak Kita ini.”

“Oh, maaf Tante.”

“Gak usah minta maaf. Kamu kan lagi mijitin Tante. Jadi klo Kamu pacaran…”

Aku tak bisa berkonsenrasi. Hal yang Ku lihat hanya dua gundukan tersembunyi yang terus mengunci tatapanku. Tak sadar, pijitanku perlahan menurun tekanannya dan seperti sedang mengelus – ngelus saja. Tiba – tiba Ibunya Zima menggeser kepalanya menghadapku.

“Kamu diem aja.” tatapnya heran. “Kamu ngeliatin dada Tante ya?”

“Eh? Ah..ah…”Aku terpojok. Aku gugup. Aku tertangkap. Aku deg degan. Aku ketakutan. Aku...

“Sini…” Ibunya Zima perlahan menarik tanganku dan mengarahkannya untuk menggenggam kedua payudaranya. “Bagian ini belum dipijat. Pelan – pelan ya.” bisiknya dengan sedikit rayuan.

Alamak! Gila! Tatapanku tadi berubah menjadi kenyataan. Kedua telapak tanganku kini benar – benar menggenggam kedua payudaranya. Ini pertama kalinya Aku menyentuh dan meremas payudara wanita. Lembut, kenyal dan membuatku gelisah tak karuan. Pelan - pelan tapi pasti Ku remas payudaranya. Begitu lembut rasanya. Seperti kantung yang berisi air tapi lebih kenyal. Aku ngaceng. Aku ngaceng tak karuan.

Aku memijatnya perlahan. Tapi tanganku gemes ingin meremasnya kuat. Jemariku gemeteran tapi nikmat. Ku lirik mata Ibunya Zima terpejam. Nafasnya menjadi sedikit berat. Bibirnya mengatup dalam sambil sesekali menggigit bibirnya. Ia menikmatinya dan Aku pun menikmatinya dengan tegang. Inginku mencium bibirnya tapi takut. Pelan - pelan Ku coba dekati bibirnya. Pelan seperti tak bergerak karena sangat pelan. Aku bisa...sedikit lagi...

Brmm…!

Suara! Suara mobil datang. Itu Zima! Mataku kemudian terbelalak. Aku harus menyudahi kegiatan ini. Zima sudah kembali.

Perlahan, Ibunya Zima melepas remasanku dan bangkit dari sofa. Ia merapikan botol dan pakaiannya.

“Kamu masuk sana ke kamar Zima.” tukasnya.

Aku hanya diam mematung melihat Ibunya Zima pergi ke kamarnya. Sebelum masuk, Ibunya Zima berkata, “Jangan bilang Zima ya?” ia memintaku sambil tersenyum.
hadeeuhhhh,,, polos amaat sii
 
Chapter 4 : Hantu Zifa

Kejadian tempo lalu membuatku tak tidur tenang. Pertama kalinya Aku menyentuh wanita. Menyentuh langsung di payudaranya. Payudara yang pernah Ku sentuh hanya Ibuku waktu masih menyusu dulu. Tapi, ini beda. Aku benar – benar terangsang. Aku ngaceng kuat. Aku tak tahu apakah Ibunya Zima merasakan saat Joniku ngaceng.

Dio…Dio…”

Seseorang samar memanggilku. Kepalaku terasa berat. Ku lihat seseorang memanggilku. Ah, payudara. Aku melihat payudara. Payudara memanggilku. Oh, Ibunya Zima membangunkanku. Plak!

“Oh, Ibu... kenapa Bu?” ternyata Ibuku yang membangunkanku. Ibu mengeplak dahiku.

“Makan dulu Nak. Kamu, dibangunin Tia gak bangun – bangun.”

“Oh, iya.” Aku pun bangkit dan bergabung bersama dengan keluarga untuk makan malam.

Saat inginku duduk, Ku lihat Tia menatapku geram.

“Apa sih Lo? Orang Gw lagi tidur.”

“Au Ah!” balas Tia.

“Eh, mau makan malah ribut.” sergah Ibu.

Oh tidak. Ibu memakai daster dengan tali tipis. Ku kernyitkan dahiku menatapnya. Ternyata Ibu memakai bra. Uh, untung saja. Jika tidak, pusing kepalaku. Aku pun makan. Ku lihat Tia masih saja menatapku tajam sembari memasukan makanannya ke mulutmya.

***
“Zim, kapan nih nonton LOTR?” sapaku pada Zima yang sedang makan di kantin.

“Oh, liburan aj. Minggu depan kan Kamis libur tuh. Nah, Jum’at kan kejepit, pasti libur. Enak tuh.”

“Nginep? Boleh Zim?” tanyaku.

“Boleh. Sekalian ntar bantuin Gw ngerjain tugas.”

Kami pun melanjutkan obrolan hingga bel masuk kembali berbunyi.

***
Aku sudah berada di depan pintu rumah Zima. Hari Kamis ini Aku mengunjungi Zima. Aku juga membawa beberapa pakaian untuk ganti. Aku memencet bel. Aku gugup sekali. Sejak kejadian itu, pola tidurku tak tentu. Rasa saat menyentuh tubuh wanita pertama kali membuatku takut tapi Aku juga menginginkannya kembali. Keberanian yang pengecut ini menjadi sebuiah rasa penasaran. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan Ku katakan jika berhadapan dengan Ibunya Zima. Aku takut tapi juga ingin memintanya kembali. Ok, Aku akan bersikap biasa saja.

“Masuk bro.”

Aku pun duduk di ruang tamu. Kami mengobrol – ngobrol di sini. Zima menawarkanku untuk makan, tapi Aku tolak karena Aku masih kenyang. Sebelum menonton film, Kami mengerjakan tugas. Tugasnya lumayan banyak. Harusnya di tahap akhir ini Kami sudah tidak perlu lagi mengerjakan tugas. Kami harusnya berkonsentrasi untuk persiapan ke perguruan tinggi. Terlebih tinggal beberapa bulan lagi Kami lulus.

Sepanjang waktu Kami mengerjakan tugas. Sepertinya Ibunya Zima tidak ada. Sedari tadi rumah tampak sepi.

“Nyokap Lo gak ada kayaknya?” tanyaku.

“Iya, Nyokap Gw ke Kota B. Tante Gw lagi sakit dirawat. Semalem dijemput sama Om Gw.” jawabnya.

“Wah, berarti Lo harusnya juga ikut dong?” tanyaku sungkan.

“Oh, ya gaklah. Orang cuma sakit kecapean kerja. Nyokap Gw aja yang cuma pengen ke sana, udah lama juga gak ke sana. Biasanya yang ke sana Gw doang sama sepupu.”

“Oh..” Wah, untungnya Aku tak segera bertemu dengan Ibunya Zima. Entah apa tatapannya padaku jika bertemu dengannya. “Balik malem?” kembali Ku tanya.

“Jum’at malem kemungkinan.”

“Oh.” Sabtu Aku pulang. Apa Aku pulang Jum’at saja ya biar tidak bertemu. Tapi Aku penasaran. Tapi ada Zima di sini. Seandainya hanya Aku dan Ibunya di sini, yang kemarin pasti lebih bahaya.

Selesai mengerjakan tugas, Kami pun menonton film yang sudah lama ditunggu. Kami menonton berjam – jam. Aku pun tak bosan. Zima benar – benar mempersiapkan cemilan. Banyak sekali. Kadang Kami membahas banyak hal di film. Sesekali Aku bertanya pada diriku apakah Zima tahu. Bagaimana jika Ia tahu.

Setelah dua set film, Kami berhenti sejenak. Sepertinya Kami akan melanjutkan esok. Waktu sudah cukup malam. Aku pun tidur di bawah.

“Lo ngapain?” tanyanya.

“Ya tidurlah.”

“Oh ya, lupa Gw. Lo tidur di sana. Di kamar depan.”

“Kamar siapa??” tanyaku heran. Jangan – jangan kamar Ibunya.

“Itu, kamar bekas Kakak Gw.” jelasnya.

What ? Kamar Kakak Lo?!” protesku.

“Napa? Takut Lo?? Biasa aja. Gw kadang juga tidur di sono. Nyokap juga kadang ketiduran di sana. Di sana sekarang buat naro barang, tapi bersih kok. Gw gak mau lo tidur di sini. Tidur tuh di tempat tidur. Gak enak Gw Lo tidur di bawah. Ayo.” Ajaknya.

Aku merebahkan diri di atas kasur. Kasurnya besar. Sejenak Aku cek, tak ada foto Kakaknya. Ah, semoga Aku bisa tidur nyenyak. Tapi, bagaimana jika hantunya di sampingku?

***
Esoknya, sepanjang hari yang Kami lakukan hanya menonton film dan mengerjakan sisa tugas. Waktu ternyata sudah menunjukkan jam lima. Kami pun keluar untuk membeli makan malam.

“Zifa. Nama Kakak Lo Zifa?” tanyaku.

“Loh, kok tahu Lo? Dia ngomong apa aja?”

“Sialan Lo, kampret!” dia pun tertawa. “Nyokap gak Lo jemput?”

“Gak, ntar dianterin Om Gw.” Jawabnya.

Setelah membeli makan Kami pun kembali. Saat berada di seberang jalan komplek, Ku lihat di depan rumah ternyata Ibunya Zima sudah pulang. Ibunya membawa banyak barang. Kami segera menghampirinya.

“Loh, Mah. Cepet nyampenya?” tanya Zima sembari membantu Ibunya.

“Halo Tante.” sapaku.

“Eh, Dio. Ini bantuin Tante masukin barang.” pintanya.

“Iya, Tante.” Aku pun menjinjing kardus ke dalam. Zima sudah masuk. Aku pun masuk bersama Ibunya Zima. Tiba – tiba Ibunya menepuk halus pundakku.

“Lebar ya bahu Kamu Dio. Tegap lagi.” Ibunya mengelus pundakku. Aku diam seribu bahasa. Pasti sesuatu akan terjadi nih. Aku ngaceng dielusnya.

Kami lalu membuka – buka barang – barang yang dibawa Ibunya Zima di ruang tamu. Ibunya sebenarnya hanya ingin berbelanja. Adiknya yang sakit hanya sebagai alasan agar Ibunya bisa belanja banyak. Aku pun diberikan banyak barang. Tapi di dalam kantong yang diberikan padaku terdapat minyak zaitun. Ku pikir ini milik Ibunya Zima. Saat Aku melihat Ibunya, ia mengedipkan matanya. Oh, Tuhan, apa yang akan terjadi. Aku masih belum berpengalaman. Ini bukan seperti yang Ku bayangankan. Ini pertama kalinya Aku dengan wanita. Tapi, bukan wanita seumurku, Ia lebih dewasa. Ibunya temanku.

Setelah membereskan semuanya. Aku dan Zima kembali menonton film. Beberapa jam berlalu Aku pun sepertinya mengantuk berat. Ku lihat Zima sudah terlelap. Aku memanggilnya untuk pamit tidur, tapi Zima sangat lelap. Aku pun kembali ke kamar. Aku pun merebahkan badan dan tidur.

Dio…diooo…”

Sayup – sayup Ku dengar ada yang memanggil. Perlahan Ku lihat siapa yang memanggilku. Aku sedikit takut, jangan – jangan Zifa Kakaknya Zima yang datang. Ternyata yang membangunkanku adalah Ibunya Zima!

Yang lebih kaget, Ia hanya memakai pakaian yang tipis dan dasternya hanya sepaha. Aku bisa melihat pahanya dengan jelas.

“Oh! Tante, maaf Tante. Tante ngapain di sini?” Aku pun kaget gelagapan. Ibunya mendatangiku di saat masih ada Zima di kamarnya.

“Ini, Tante baru pulang agak pegal. Kamu bisa gak bantuin pijitin Tante?” rayunya.


“Tapi, ada Zima. Jangan Tante, takut Saya. Lagian ini sudah malem banget Tante..."

“Tenang, Zima klo tidur itu susah bangun. Apalagi capek. Tante juga udah kunci kamar Tante dan kamar ini. Jadi Zima gak akan bangun. Tante gak bisa tidur klo belum rileks. Mau ya? Bentar aja.”

Aku menelan ludah beberapa kali melihat Ibunya Zima di hadapanku. Aku pun mulai memijatnya. Badannya menghadap ke depan dan Aku memijatnya dari belakang. Oh tidak, Ibunya memakai parfum. Ia wangi. Aku pun ngaceng berat. Oh tidak. Aku lupa. Aku hanya memakai celana pendek tak memakai celana dalam. Ini pasti kena pantatnya. Tidak.

Ibunya kemudian menyandarkan tubuhnya ke badanku. Oh Tuhan, pipi Kami lekat bersentuhan. Tangannya mengarahkanku untuk menyentuh dadanya.

“Tangannya belum Tante..”

“Gak usah, yang ini (sambil memegang tanganku yang telah memegang payudaranya) lebih butuh…ouh…aaah…sshh…uuh….terus…….Dio… trruuss…..yang kuat…ough….mmmmhhm..”

Oh Tuhan, kali ini kembali terjadi. Aku terangsang dibuatnya. Nafasku memburu cepat. Aku nafsu meremasnya. Erangan suaranya membuatku bernafsu. Aku tak peduli Zima mendengar atau tidak. Aku terus meremasnya. Aku sedikit memelintir putingnya.

“Ough…ssshhh…iya…iya…..hmmm..” hidungnya menghadap pipiku. Napasnya benar – benar membuatku bernafsu. Kemudian Ibunya mengarahkan tangan kiriku untuk menyentuh pahanya. Oh my, pahanya mulus. Aku seperti diminta memijat bagian pahanya. Perlahan dengan sedikit gemetar, Aku memijat pahanya.

“Aaah….aah….sini..kurang dalem…”

Deg! Telapak tanganku menyentuh vaginanya. Oh Tuhan, tanganku menyentuhnya. Tanganku gemetar tapi juga nafsu. Ibunya Zima tak memakai celana dalam. Bulunya halus dan sedikit. Pelan tapi pasti jemariku mencari belahan vaginanya. Oh tidak, vaginanya basah. Aku semakin bernafsu. Ku elus – elus bagian bibir vaginanya. Ibunya seperti mengajariku untuk sedikit memutar pijatan pada vaginanya. Gila, Aku ngaceng parah. Tanpa sadar Aku menggerakan batang penisku yang sudah ngaceng parah begesekan dengan dengan pantatnya. Tiba – tiba Ibunya Zima bebalik menghadapku. Aku terkejut. Matanya sayu memandangku. Ia kemudian mendorong badanku untuk rebahan dengan perlahan. Ibunya mencium pipiku.

“Tangan Kamu pasti capek.”

Aku bingung maksudnya apa. Ibunya merebahkan dirinya di sampingku. Lalu perlahan, Ia menurunkan dasternya. Oh Tuhan, Aku sekarang melihat payudaranya dengan jelas. Bentuknya bulat tapi tidak terlalu besar. Putingnya cukup menonjol dan sangat menantang. Jarinya lalu menyentuh bibirku.

“Pakai ini pijatnya (Ia meminta bibirku untuk memijat payudaranya).”

Oh tidak, ini pertama kalinya Aku menyentuh payudara wanita dengan mulutku. Begitu terangsangnya diriku. Aku menyedot payudaranya perlahan. Tangan Ibunya Zima pun mengelus – ngelus rambutku.

“Ooughh… ssshhh…. iya sayang …. begitu caranya… terus…. pelan – pelan ….sedot perlahan… aughh….sshhhh”

Aku seperti dulu yang menyusu pada Ibu, tapi ini lebih tegang dan merangsang. "Mmmhh...."

Mataku kemudian terbelalak. Ibunya Zima telah menggenggam batang penisku. Batang penis yang sedari tadi tegak sempurna. Seperti ingin lepas. Menyadari kulumanku berhenti, Ia membujuk, “Hei…lanjutin…”

“Hmm…(Aku pun melanjutkan lumatanku pada putting payudaranya).”

Genggaman tangan Ibunya Zima benar - benar hangat. Jari telunjuknya menelusuri kepala penisku. Sesekali tangannya mengelus kantung bijiku. Ugh...nikmatnya.

“Uhh… punya Kamu keras sekali Dio. Tegak menjulang lurus. Uuh….(perlahan tanganya mengocok batang penisku)

Napasku semakin memburu dengan kocokan Ibunya Zima. Aku pun tak tinggal diam. Ku cari vaginanya. Ku elus – elus vaginanya yang telah basah. Semakin lama kocokannya semakin kuat. Aku semakin tak kuat. Napas Kami saling beradu cepat.

"Oh...terus Dio...mmhh...terruss...."

Aku semakin liar melumat payudara Ibunya Zima. Aku berusaha menandingi rangsangan tangannya penisku. Aku seperti ingin keluar. Aku tak tahan. Aku benar - benar tak kuat. “Oh…oh…oughhh…..AAHHHHHH!”

Aku muncrat. Muncrat sekuat – kuatnya. Aku seperti kejang tak karuan. Tangan Ibunya Zima masih terus mengurut – ngurut batang penisku. Pelan napasku mereda. Aku menatap atap kamar dengan penuh ketidakpercayaan. Aku baru saja dikocok oleh Ibunya Zima. Aku pun menatap Ibunya Zima. Ia terlihat senyum. Jemari tangannya yang berlumuran spermaku diarahkan ke bibirnya. Ia sedikit menjilatnya.

“Manis.”

Belum aku berkata, Ibunya Zima bangkit. “Muncrat kemana – mana. Kamu bersihin ya. Sepreinya Kamu taruh di dalam mesin cuci, nanti Tante yang nyuci.”

Ibunya Zima pun kembali ke kamarnya. Aku segera bangkit dan membersihkan sisa – sisa cairan sperma. Duh, penisku masih berkedut – kedut. Cairan sperma masih keluar berjatuhan. Spermaku banyak ternyata.

***
Paginya, Aku, Zima , dan Ibunya sarapan pagi. Makanan kali ini adalah oleh – oleh dari Ibunya Zima. Setelah ini Aku harus pulang. Aku sudah janji mengantarkan Ibu ke rumah Tanteku.

“Lo, tidur di depan pintu ya?” tanya Zima tiba – tiba.

“Kagak, tidur di kasur Gw.” Aku pun menatap Ibunya Zima. Ibunya menatapku curiga.

“Oh, mungkin lem yang kemarin Gw taro bocor kali kegenjet pintu. Gw pikir iler Lo.” jelasnya.

Ohok…ohhok (Aku tersedak mendengar perkataannya. Itu sperma kok bisa lolos. Sial. Untung Zima gak nyadar. Nanti Aku cek).”

Setelah makan, Aku pun segera mengecek ke kamar. Spermanya sudah tidak ada. Mungkin Zima yang membersihkan, tapi bisa ketahuan jika itu sperma. Tapi Dia tidak tahu.

Aku pun kemudian pamit pulang. Zima keluar rumah untuk menyalakan dan menurunkan mobil. Saat akan keluar Aku pun berpamitan dengan Ibunya Zima.

“Tante yang ngebersihin. Kamunya sih keluar banyak banget. Udah dibilang.” jelas Ibunya.

“Makasih Tante.” pamitku tersipu malu.

Aku pun mencium tangannya. “Sini, Tante cium dulu pipinya.” Ia pun mencium pipiku lembut. “Makasih ya, udah nemenin Zima…..Makasih udah nemenin Tante juga..cup!”
dioooo,,, come onnn,,,,,
 
Chapter 5 : Ke Kota B “Yeah!”

Sudah beberapa hari setelah kejadian yang Ku alami. Aku menjadi semakin penasaran dengan wanita. Ku lihat beberapa temanku di dalam kelas, beberapa diantaranya membuatku pusing, tapi wanita dewasa sangat berpengalaman. Entah kenapa, wanita paruh baya membuatku pusing tak karuan. Entahlah, di usiaku saat ini harusnya Aku bersama dengan seseorang yang sebaya denganku.

Semua anak – anak sekarang sedang bersiap menuju pilihan lanjutan setelah tamat. Banyak dari mereka yang setiap hari pulang sore, termasuk Zima. Aku lebih memilih usaha sendiri. Setidaknya Aku ingin membuktikan bahwa Aku juga bisa secara mandiri seperti yang Bapak nasehati. Kegiatan hobi Kami hanya bisa dilakukan di akhir pekan.

Hal yang Ku lakukan di rumah hanya membaca dan latihan dari buku – buku yang sudah dibelikan oleh Ibu. Ibu menasehatiku untuk lebih giat belajar dan sering – sering bertanya ke teman jika mengalami kesulitan. Kadang Ibu menemaniku belajar. Walaupun Ibu tidak paham apa yang Ku pelajari, Ibu hanya menemani saja sembari menjahit beberapa pakaianku yang bolong.

“Kamu ini belajar sendiri aja. Temennya kapan – kapan belajar bareng di sini atau Kamu yang keluar belajar sama temen.” tukas Ibu yang dari tadi masih menjahit.

“Iya Bu. Cuma klo belajar enakan sendiri. Klo ramean berisik. Kemarin juga sempet belajar bareng sama temen.” jelasku.

Ibuku bangkit dari tempat tidur dan menaruh pakaianku di dalam lemari. Ia pun menghampiriku dari belakang. Aku yang sejak tadi belajar di meja belajar merasa nyaman saja ditemani Ibu. Ibu tidak banyak bertanya, hanya menemani. Ibu pun mengelus – elus rambutku.

“Kamu ini sudah besar Nak. Cari pasangan gih, biar kalian bisa saling menyemangati.”

“Iya Bu, nanti Aku cari. Lagian Ibu juga cukup.” Aku masih membaca – baca buku.

Cup! Ibuku mencium pipiku lembut dan berlalu pergi.

Ah, bosan Aku. Setiap hari seperti ini. Sambil memandangi atap kamarku, Aku tak pernah lupa kejadian beberapa hari lalu. Gila. Akhirnya Aku melakukannya. Penisku dikocok oleh Ibunya Zima. Selama ini yang mengocok penisku adalah tanganku sendiri. Oh, sungguh enak rasanya. Aku ingat bagaimana Aku mengejang keenakan dibuatnya. Lembut dan merinding di sepanjang penisku. Aku ingin melakukannya lagi. Tapi Aku takut setiap berbicara dengan Zima. Dia baik padaku tapi Aku berbuat begini dengan Ibunya. Tapi apa daya jika penis ini sudah tegang. Aku benar – benar luluh di tangan Ibunya.

***​

Tidak banyak yang dilakukan hari – hari ini di kelas. Setiap individu sibuk dengan kegiatan masing – masing. Dari kejauhan Ku lihat Zima masih asyik dengan pekerjaannya. Zim…Zim…klo Lo tahu apa yang terjadi beberapa waktu lalu, pasti Lo udah benci banget sama Gw. Kok bisa ya Zim Lo punya nyokap seksi begitu. Dari luar sih gak kelihatan, tapi klo udah liat dalemnya…ughh…ngaceng Gw sama nyokap Lo Zim. Dasar anak baik, gak pernah ngeh klo punya nyokap kayak begitu. Kapan Gw bisa lagi kayak gitu. Takut Gw klo ketahuan sama Lo Zim. Ah, sekarang Gw klo liat cewek bawaannya ngaceng mulu. Gara – gara nyokap Lo nih Zim, liat cewek gak jauh dari toket sama pantat.

Bel pun berdentang di sepanjang kelas. Semua anak berhamburan keluar untuk pulang. Aku pun melangkah gontai di sepanjang koridor. Besok libur. Liburan yang membosankan. Liburan yang Ku lalui hanya membaca buku sambil ditemani Ibu. Ah, inginnya diriku kembali ke rumah Zima, tapi Aku takut. Padahal jika Aku mau Aku bisa saja bilang ke Zima. Aku kepingin. Aku kangen dikocok. Oh …

Setelah beberapa lama, Aku pulang ke rumah. sepanjang jalan tak henti – hentinya Aku membayangkan kejadian itu.

Aku pun masuk ke rumah. Tak ada orang di dalam. Aku haus. Aku membuka kulkas dan meneguk segelas jus. Samar terdengar Ibu seperti tertawa dengan Ayah dari dalam kamar. Ah, mereka sedang asyik mengobrol. Aku pun kembali ke atas ke kamar ku.

Sesaat Ku rebahkan badan, handpone Ku berdering. Ku lihat Zima yang menelonku. Wah! Kesempatan nih! Aku akan kembali ke rumah Zima….

“Halo Zim, kenapa Zim?” tanyaku.

“Dio, buku Gw yang Lo pinjem, Senin bawa ya. Buat Gw pake pas les ntar.” Jelasnya.

“Oh, iya ntar Gw bawa.”

“Lo di mana sekarang?” tanya Zima.

“Di rumah, baru aja nyampe. Kenapa emang?”

“Oh, ini nyokap Gw lupa. Kemarin ada yang ketinggalan oleh – oleh buat Lo. Sabtu mau Lo ke sini? Cuma Gw gak ada, Gw ke B. tapi nyokap ada. atau Gw ke rumah Lo ya?” tawarnya padaku.

“Gak usah lah Zim. Besok Senin aja, lagian juga Lo gak tahu rumah Gw. Repot – repot banget Lo Zim.”

“Oh, iya juga sih. Bentar, Gw tanya nyokap dulu.”

Sejenak suara Zima sedang berbicara dengan Ibunya.

“Ya udah. Ntar Senin Gw bawa. Ok.” Tutup Zima.

“Ok.”

Sabtu. Zima pergi. Ini kesempatan! Kenapa harus Senin. Ah! Segera Ku kembali menelpon Zima.

“Halo Zim! Sabtu deh boleh Gw ambil. Gak enak Gw Lo bawa ntar Senin. Sekalian Gw mo ke bengkel.”

“Oh, ya udah. Ntar dateng aja, ditunggu sama nyokap di rumah besok. Jangan berubah lagi.” Pintanya.

“Ok!”

Ah, tidak! Aku benar – benar kangen sama Ibunya Zima. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku menginginkannya kembali. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok.

***
Ku pelankan kecepatan kendaraanku memasuki komplek. Ah, akhirnya hari ini tiba juga. Sabtu. Ini hari Sabtu. Hari yang akan membuat rasa penasaranku semakin terasa. Aku seperti ingin menikmati perjalanan motor ini hingga menuju depan rumah Zima. Rumah di mana temanku tak ada. Hanya ada Ibunya dan diriku. Aku tak tahu dalam berapa lama Aku dapat bertahan.

Aku telah berada di depan rumah. perlahan Ku menuju depan pintu. Ku tekan bel pintu. Aku gugup. Aku juga tak tahu mengapa Aku gugup. Aku dan Ibunya Zima telah saling menyentuh satu sama lain. Aku kepingin. Aku benar – benar ingin melakukannya. Ini adalah pertama kalinya.

“Oh, Dio! Masuk!”

Ibunya Zima menyambutku dengan seperti biasa. Ia hanya memakai daster terusan panjang. Tapi saat ini Ia begitu harum. Wangi, seperti wangi yang menggugah seorang laki – laki ingin memeluknya dari belakang.

Ia meminta duduk di meja makan. Ku lihat ada kotak makanan. Ya, seperti biasa, Ibunya Zima akan memintaku mencicipi makanan di meja makan.

“Nih, cobain deh Dio. Ini Tante tadi pesen. Temen Tante buka usaha. Jadi Tante pengen coba. Cobain deh.” ia pun mengambil setengah potong donat di dalam kotak, begitu pun diriku.

“Mmmh, enak Tante..” Aku pun menikmatinya.

“Ya kan…kapan – kapan Tante juga mau usaha juga. Tapi kayaknya warung makan aja.”

Sambil makan, di kepalaku selalu terbayang kejadian tempo lalu. Aku beberapa kali melirik bagian tubuh Ibunya Zima. Tubuh yang pernah Ku sentuh. Aku memperhatikan bagian payudaranya yang tertutup oleh daster tipisnya. Payudara yang pernah Ku lumat dengan bibirku. Aku terus terang ingin kembali merasakannya. Tak mungkin tak terjadi hari ini. Tak ada siapa – siapa. Hanya Aku dan Ibunya Zima. Kini Ia berada di depanku dengan wangi parfum yang begitu mengguggah nafsuku.

“Mmhh…tentang malam lalu…”

Deg! Aku kaget, Ia mengungkitnya. Aku hanya diam melihatnya.

“Loh, ngeliatinnya gitu. Senyum dong…”Ibunya menghiburku.

“Eh, iya Tante.” Aku pun membalas senyumnya dengan malu.

“Mmmh…Kamu terusin aja makannya. Nanti klo udah ke ruang tamu ya.” pintanya dan pergi berlalu.

Aku gugup. Donat yang berada di mulutku Ku makan pelan – pelan. Sengaja Aku mengulur waktu. Aku membayangkan tentang apa yang akan terjadi. Apakah ini akan segera terjadi?

“Tuh liat. Aneh – aneh ya orang sekarang. Ada orang begitu bukannya di tolong malah ditonton.”

“Oh.” Aku pun datang menghampiri dan menimpali Ibunya Zima yang sedang menonton televisi. Aku duduk di sofa sampingnya.

Aku hanya menemani Ibunya Zima. Aku diam saja duduk di dekatnya. Lama Kami memperhatikan televisi. Aku pun berusaha memulai obrolan. Entah kenapa Aku masih canggung.

“Eh, tadi mau ngomong apa Tante?” tanyaku pelan.

Ia kemudian menolehkan kepalanya menatapku. Ia menatapku dalam. Ia kemudian tersenyum.

“Kamu dari tadi kok canggung gitu sih?” ledek Ibunya Zima.

“Oh…ah uhm..” Aku kagok.

Belum Aku menjawab, Ibunya menengadahkan kedua tangannya ke hadapanku. Ia seperti memintaku mendatanginnya. Jantungku benar – benar berdetak kencang seperti yang Ku rasakan tempo lalu. Seperti tanpa sadar kaki dan tanganku mengalahkan kesadaranku. Aku bergerak perlahan. Ibunya adalah ibu seorang anak. Aku menghampirinya bak seorang anak laki – laki yang ingin memeluk Ibu sendiri. Ibunya membuka tangannya lebar dan sedikit membuka kakinya. Aku perlahan memeluknya. Aku memeluknya dalam keadaan bersimpuh di atas lantai. Lututku gemetar menyentuh lantai. Tanganku gemetaran melingkar di pinggang Ibunya Zima. Pelan Aku menatap matanya. Mata yang beberapa kali selalu menggodaku kini lekat dalam pandanganku. Aku hanya berjarak sehembus nafas di depan wajahnya.

“Maaf Tante…” hanya kata itu yang terucap dari bibirku.

Telapak tangannya menyentuh wajahku. Perlahan, ibu jarinya mengelus pelan pipiku. Ia menatapku lekat.

“Hei, kemarin itu Tante yang kepingin. Selama ini hanya sekali dalam setahun. Pernah dua kali dalam setahun Ayahnya Zima pulang. Saat – saat waktu semakin berlalu dan Tante yang terus menua. Tante ingin biasa saja, melupakan keinginan batin Tante. Apalagi Zima sudah besar. Hingga saat Tante sudah menjadi terbiasa, Kamu hadir. Kamu datang dan Tante menggoda Kamu. Maafin Tante ya…Kamu masih muda. Gak seharusnya Kamu begini.”

Penjelasannya akan banyak kejadian ini membuka mataku bahwa seorang wanita selalu ingin disentuh dan diperhatikan. Aku menjadi merasa bersalah apalagi Ibunya sedang berusaha melupakan keinginan seksualnya, hingga Aku datang.

“Tante…tapi…Sa…ya juga ingin…” berani sekali Aku mengatakannya. Tapi ini sudah di depan mata. Aku sangat sangat kepingin.

Ibunya Zima hanya tersenyum. Perlahan wajahku ditariknya mendekat ke wajahnya. Aku tahu Ia ingin menciumku. Aku pun juga menyambutnya. Pelan bibirku menyentuh bibir Ibunya Zima. Bibirnya tipis. Tipis dibalut dengan lipstik merah muda yang wangi. Aku tak tahu bagimana berciuman yang benar. Beberapa kali bibir Ibunya Zima membimbingku untuk tak terus sekedar saling menempel. Sesekali ia menarik pelan bibir bawahku. Aku semakin bernafsu dan gemetaran. Kakiku lemas.

“Mmhmmm…..ccpcp…mmmh…..aah….mmmh.” Lenguhan Kami pun seperti berirama.

Ia mendorong jauh tubuhku. Aku menatapnya bingung. Ia kemudian mengelus dadaku. Ia menarik kaosku ke atas. Ia membuka kaosku. Ia menatap dadaku yang bidang. Telapak tangannya menjamah setiap bagian bidang dadaku. Ibunya Zima menatapku. Perlahan Ibunya Zima membuka tali dasternya. Ia turunkan dasternya. Kini kedua payudara dengan putingnya yang menantang terpampang jelas di depan kedua mataku. Pemandangan yang membuat tenggorokanku serak dan terus menelan ludah. Ibunya Zima lalu membimbing kepalaku untuk mendekat dan melumat kedua payudaranya. Aku pun datang menghampiri payudaranya. Ku sambut putingnya dengan lidahku. Ku kenyot pelan payudaranya.

“Mmmh…Ahhh..ahh…sshhhh…ohhh……shhhh…mmmmh….ohhh…shhhh.”

Pelukanku semakin erat. Tangan kanan ku bergerak dengan sendirinya untuk menggenggam payudara sebelah kiri Ibunya Zima yang masih bebas dari jamahan. Pelan Ku remas – remas sembari sedikit memelintir putingnya.

“Ough! Ssshh…Ahhhh…ugh…terus Dio…mmmh…..” Hanya lenguhan nafsu yang keluar dari bibir Ibunya Zima tanpa kata – kata.

Ku lirik matanya hanya terpejam. Nafasku semakin menjadi – jadi. Zima maaf, Ibumu kini Ku kuasai. Aku ingin melakukannya.

Kulumanku semakin menjadi – jadi. Aku pun bergantian mencumbu payudara kanannya. Payudara kirinya kini yang Ku remas – remas.

“Ough….Ughh…Mmmmhh…Shhhhh…ohh…”

Tiba – tiba tangannya meraba – raba bagian selangkanganku. Sejenak Aku pun kaget. Tapi Aku biarkan. Ia pernah mengocok penisku. tak berapa lama Aku merasa celanaku melonggar. Ibunya benar – benar pintar membuka celanaku hanya dengan satu tangan. Tangannya seperti memberi kode untuk segeraku membuka celana. Aku pun menurunkan celanaku seutuhnya. Ku buang celana dan celana dalamku ke samping. Sekarang Aku benar – benar telanjang. Aku lihat batang penisku benar – benar tegang. Kepalaku pusing dibuat tingkah oleh Ibunya Zima. Inikah pertama kalinya Aku akan melakukannya?

Kepala penisku lalu disentuh lembut oleh tangan Ibunya Zima. Setiap inci batang penisku dijelajahi oleh jari – jarinya. Aku menjadi semakin tegang. Aku seperti ingin segera bersetubuh dengan Ibunya Zima. Bersetubuh layaknya yang Ku lihat di dalam film – film porno yang sering Ku lihat. Tegak menjulang seperti ingin menusuk – nusuk.

Ku lihat Ibunya membuka lebar kedua pahanya. Daster tipisnya tersingkap dengan jelas. Kini Aku bisa melihat dengan jelas sebuah tujuan dari penisku yang sedari tadi dibuat pusing olehnya. Vaginanya terlihat dengan jelas. Aku dengan jelas melihat vagina Ibunya Zima. Vagina yang dulu melahirkan temanku Zima. Warnanya putih merekah dengan bulu – bulu tipis di atas bibir vaginanya. Ku perhatikan vaginanya seperti bergerak – gerak sedikit.

Tangan Ibunya Zima kemudian menarik pelan batang penisku. Ia membimbingku untuk memasuki lubang vaginanya. Aku pun juga membantunya mendorong penisku masuk ke dalam vagina Ibunya Zima. Aku dapat merasakan vaginanya terasa licin. Ada perasaan aneh bagiku menyentuh vagina seorang wanita. Ini pertama kalinya Aku berhubungan seks. Ibunya Zima benar – benar akan merenggut keperjakaanku. Keinginanku untuk melapasnya dengan seorang wanita cantik yang sebaya terbayar dengan seorang wanita paruh baya. Wanita paruh baya Ibu temanku.

Pelan Aku mulai memasuki vaginanya. Rasanya basah dan hangat. Sangat nikmat. Ugh…aku merasa sangat nikmat.

“Haaa……” Ku lihat Ibunya Zima membuka mulutnya seperti kaget. Ia lalu memandangku dengan tatapan sayu.

Kedua tangannya memegang pinggulku. Ibunya Zima membimbingku. Ia memintaku untuk mendorong dan menarik batang penisku di dalam vaginanya. Ugh….rasanya nikmat luar biasa. Seluruh batang penisku benar – benar terangsang. Ada rasa geli nikmat hangat yang belum pernah kurasakan. Aku benar – benar berhubungan seks dengan Ibunya Zima. Vagina Ibunya Zima sangat nikmat.

“Ough…terrruussss….Diii…oo…Uh….mmmmm…shhhh…terus…oughh……”

Ucapannya benar – benar membuatku bernafsu. Aku pun seperti cengan cepat mendorong mundur batang penisku di dalam vagina Ibunya Zima. Oh Tuhan, ternyata nikmat sekali berhubungan seks itu. Perasaan nafsu yang selama ini hanya bisa Ku bayangkan benar – benar enak dan nikmat. Batang penisku semakin tegang padahal sudah tegang. Ini tegang maksimal sudah seperti kayu.

Keringatku mulai bercucuran. Ku lihat tubuh Ibunya Zima juga mulai berkeringat padahal ruang tamu ini ada AC-nya. Cahaya pantulan sinar dari kaca membuat payudara Ibunya Zima semakin terlihat indah di mataku. Segera Ku kembali melumat kedua payudaranya.

“Ough!...Shhh…pelan….sayang…pelan…uh…shhh…ya….terus…terus dorong…mmh…..”

Lumatanku benar – benar tak malu – malu lagi. Aku benar – benar melumatnya dengan lidahku. Aku kenyot. Aku jilat. Aku sedot. Aku pelintir putingnya dengan lidahnya.

“Auhhh…shhhh…..mmmh….”

Aku pun seperti otomatisnya mencumbui bagian atas payudara Ibunya Zima. Aku cumbu lehernya. Suara lenguhan nafasnya semakin Aku keras menghantam – hantam vagina Ibunya Zima. Aku lumat bibir tipisnya.

“Mmmhh…mmmmh….”

Lidahku menjulur masuk ke dalam mulutnya. Aku benar – benar nafsu. Lidahnya menyambut lidahku. Bibirku digigit – gigit olehnya. Sesekali lidahku disedot – sedot. Ugh…

Aku merasakan batang penisku dijepit kuat oleh vagina Ibunya Zima, hangat dan nikmat. Ia kemudian melepas ciumanku. Aku merasa Ibunya kesulitan bernapas.

“Ahh…haa…ha…ha…..ugh…terus..Dio….mmh….dorong yang kuat…mmmh…ugh…”

Aku menjadi semakin menjadi - jadi menggenjot vagina Ibunya Zima. Mulutku yang tak bertuan harus menghampiri sesuatu. Aku kembali menyedot – nyedot payudara Ibunya Zima. Nafas Kami semakin berat dan terasa. Ugh…Aku seperti ingin keluar. Aku merasakan vaginanya semakin kuat menjepit – jepit penisku yang dari tadi keluar masuk.

“Uh…hhh…shhhh…ugh….”Aku menggebu.

“Ugh..Dio. Terus Dio…Kamu mau keluar…terus Dio…keluarin. Dorong terus yang kuat.”

“Ugh…mmh…ugh…erghh….erghhh.” Aku mau keluar. Akuuuu maun keluar. Keluar….kellluarrr….“AAAAHHHHHHH………!!!!!”

Ah, Aku keluar. Aku bisa merasakan aliran spermaku muncrat deras di dalam. Spermaku sangat banyak keluar di dalam vagina Ibunya Zima. Ku lihat Ibunya masih terengah – engah dengan mata terpejam. Kepalanya direbahkan di sofa. Aku lihat batang penisku masih berkedut – kedut keluar sperma di dalam vaginanya.

Aku merasa seperti plong. Kepalaku yang tadinya pusing benar – benar terasa ringan. Aku capek tapi segar di kepala. Aku seperti terbebaskan dari rasa penat. Rasa puas yang benar – benar tak tergambarkan. Seperti sehabis berolah raga tapi sangat nikmat. Aku benar – benar telah berhubungan seks.

Nafasku perlahan mereda. Ku cabut pelan penisku dari vagina Ibunya Zima. Ku lihat Ibunya Zima masih terpejam. Menyadari penis Ku cabut, Ia membuka matanya. Menatapku sayu sembari masih terengah – engah. Aku tak bisa berkata apa – apa. Aku duduk bersimpuh di lantai menghadap Ibunya Zima yang kakinya masih mengangkang. Bibir vaginanya terlihat juga berkedut – kedut. Spermaku pelan keluar sebagian. Spermaku jatuh menyusuri bibir vagina bawahnya hingga menyentuh sofa. Oh, sungguh nikmat melihatnya.

Ibunya Zima lalu perlahan mengatupkan kedua kakinya. Tubuhnya bangkit duduk di hadapanku yang juga masih terengah – engah. Tangannya menyentuh wajahku dan tersenyum. Ibunya mencium bibirku pelan dan dalam. Ia kemudian bangkit dan menuju kamar mandi.

Aku hanya memandanginya. Aku masih tak percaya. Seks barusan itu adalah pengalaman pertama kalinya. Aku kemudian bangkit dan segera kembali berpakaian. Walaupun badanku dipenuhi keringat Aku tetap berpakaian. Ku lihat sebagian spermaku yang jatuh di sofa segera Ku bersihkan dengan tisu.

Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka dan Ibunya Zima datang.

“Loh, Kamu udah pakaian?” tanyanya.

“Eh, Iya Tante…”

“Oh, Tante pikir Kamu mau nginep di sini.”

“Oh….Uh…mmm….itu..Saya bawa motor. Saya gak bilang klo mau nginep.”

Duh! Harusnya Aku bilang mau. Tapi apa boleh buat. Motor masih mau dipakai dan gak boleh dibuat nginap sama Bapak. Seandainya tahu bakal begini, Aku harus lebih cerdas lagi.

Aku seperti kurang ajar saja. Setelah berhubungan seks Aku lalu pamit. Tapi Aku juga tak bisa menginap. Karena Aku bingung, Aku terpaksa bilang pamit. Maafkan Aku Tante, lain kali Aku akan naik angkot dan menginap nanti.

Aku pun pamit dan diantar Ibunya Zima ke depan pintu. Aku pun mencium tangan Ibunya Zima.

“Hei, Kamu lupa ya?” tanya Ibunya Zima yang masih mengenakan daster tadi, keringatnya masih membasahi tubuhnya sedikit.

“Oh, uhm…”

“Ini, Kamu kan ke sini mau ambil oleh – oleh yang ketinggalan kemarin.” jelasnya.

“Oh! Iya! Maaf Tante, Saya kok lupa ya..hehe.” malu Aku menjawabnya.

“Iya, gapapa. Tante juga sempet lupa. Kita sama – sama kepengen sih.” senyumnya membuatku tak ingin pulang. Oh Tuhan Aku menginginkannya lagi.

Aku pun mencium tangannya.

“Sini, cium dulu.” Ibunya Zima mencium bibirku lembut sembari mengelus pipiku. Memberi salam pisah dan rindu bersamaan, mengantarkanku menjauhi rumahnya untuk pulang.
cakeppp baby boy!
 
Chapter 7 : Tahan!

“Terus….terus….Dio…ter….ssshhhahh”

Hah, benar – benar luar biasa. Aku benar – benar merasakan bagaimana nikmatnya berhubungan seks. Seluruh tubuhku gemetar saat – saat hal itu terjadi. Aku tak mengira bisa sangat merinding dibuatnya. Benar – benar berpengalamannya seorang wanita dalam melakukan hubungan seks. Ibunya Zima memberiku banyak hal. Ibunya tak mengatakan apa pun, hanya lenguhan dan banyak irama membuat kontolku terus bergejolak ingin menyodok – nyodok. Aku tak keberatan keperjakaanku hilang di pelukan seorang wanita paruh baya. Wanita itu tak banyak kata tapi kenikmatan yang diberikannya luar biasa. Mungkin akan sangat canggung jika harus sama – sama kehilangan kesucian di antara sesama sebaya, yang ada hanya kikuk dan bingung. Penisku pasti akan menghinaku dengan kata – kata kasar karena Aku masih amatir. Tapi di tangan Ibunnya Zima, penisku luluh.

Padahal kemarin tinggal sedikit lagi. Guru les sialan, bisa – bisanya Dia tak masuk. Padahal hanya beberapa menit lagi Aku keluar. Aku sedang nikmat – nikmatnya menyodok – nyodok vagina Ibunya Zima dan meremas – remas payudaranya, semuanya buyar. Ah, geram!

Plak!

“Aduh! Apaan sih?!”

Tia tiba – tiba mengeplak kepalaku dengan penggaris. Tia membuyarkan lamunanku.

“Itu, pensilnya jangan diremes – remes! Bisa patah tau!” protesnya.

Aku hanya memandanginya dengan merengut.

“Ini! Udah belom?” tanyanya.

“Hah?” Aku bertanya balik heran.

“Iiih, Ini (sambil menunjuk nomor yang dimaskud dengan jari tengahnya)!”

Plak!

“Aduh! Iiih…kok dikeplak sih, Mas?”

“Sengaja Lo ya?! Ngehina Gw Lo!” protesku. Dia menghinaku dengan cara licik. Sial, awas saja nanti.

“Lagian, dari tadi disautin nggak nyaut, malah bengong.”

“Iya, sekarang nomor berapa yang belom?” tanyaku.

“Ini, gimana cara ngitungnya. Tinggal ini doang. Bingung caranya. Tadi udah coba dibuat persamaannya tapi gak dapet…”

Ku lihat pertanyaan yang dimaksud. Ya, pertanyaan itu belum Ku jawab memang. Lagian adikku ini pintar sebenarnya, untuk apa juga Dia bertanya padaku yang biasa saja. Yah, memang sih pertanyaannya biasa saja.

“Friend fries…”

“Iya Mas, jadi berapa yang harus dibayar? Kalo diubah jadi 𝑥 nanti persamaannya berubah, tapi saus tomatnya jadi naik, gak sampe buat dapetin keuntungan maksimumnya..”

“Udah Ah! Lo tanya sama temen Lo aja di WA. Gw capek mau tidur dulu. Susah ini (Sial, kenapa Gw harus ngurusin kentang adek Gw. Kentang Gw aja gak keurus!).”

“Ih! Gitu amat sih.”

Tia pun membereskan buku – bukunya. Aku pun beralasan tak dapat membantu untuk nomor terakhir. Aku hanya sedang tidak mood.

Plak!

Ia membereskan bukunya dan berpamitan keluar kamar sambil menamparkan bukunya ke mukaku. Sial, awas nanti Tia. Kau akan Ku cabik – cabik nanti.

“Weee….” ledeknya dengan menjulurkan lidahnya.

Bruk!

Tubuh Ku jatuhkan di hamparan kasur empuk. Hah, benar – benar tanggung. Dari tadi Aku dibuat termenung dengan kejadian yang tak tuntas.

“Sabar ya Jon, Kau belum beruntung. Nanti Kita cari cara lagi untuk mempertemukanmu dengan singgasanamu nanti (Ku remas – remas si Joni, penisku).”

***
“Ssshhaah…..ugh….ssshhh… terrus….teruss…sayanggaaaaaagh…..”

“Hmm….hmmm….gini Tante? Sshh…gini? Hmmm…hmmm?” tanyaku sambil menghentak – hentakan penisku dari belakang. Rasanya sungguh nikmat dan sempit.

“Gimana kalo gini hah?” Aku pun meremas – remas payudaranya dari belakang.

“Ough! Sssh…Dio….terus….Tante suka…remas terus…. yang kenceng nyodoknya.. …ugh…. sshhhh…ahh…”

Bek bek bek….plk plk…plok plok plok

“Ugh! Shhh…enak Tante…”

Plok plok plok

Penisku Ku maju mundurkan dengan cepat. Rasa mengentot dari belakang ini begitu nikmat. Apalagi Kami melakukannya di bawah guyuran air shower hangat. Ugh, nikmatnya tiada tara. Air hangat dan cairan vagina Ibunya Zima bersatu dengan hangatnya menyelimuti seluruh batang penisku yang dari tadi menyodok – nyodok vaginanya dari belakang.

Aku sangat menyukai payudara wanita. Mereka adalah saudara kembar yang pas dan berjodoh dengan kedua telapak tanganku. Kadang mereka begitu genitnya hingga Ku harus memelintirnya. Aku benar – benar terangsang meremas payudara Ibunya Zima dari belakang.

Aku begitu mengagumi kulit puith halus Ibunya Zima. Bahkan air pun tak mampu melunturkan kulitnya yang bercahaya. Ibunya Zima benar – benar merawat dirinya. Luar biasa.

“Ugh…”

Aku memeluk Ibunya Zima dari belakang dengan masih meremas kedua payudaranya.

“Ahh…ssh….enak Dio sayang?” tanyanya dengan melenguh kenikmatan.

“Hmmm? Enak banget Tante…

“Haha…lagi sayang…Tante nikmat banget disodok dari belakang.”

“Ugh!” Ku sodok kembali vagina Ibunya Zima. Dadaku dan punggungnya Ibunya Zima berhimpitan nikmat. Ku dekatkan pipiku ke pipinya. Ku rasakan setiap nafas dan air hangat yang mengalir. Ku turunkan tangan kiriku untuk menjelajahi perut dan menurun menyentuh vaginanya.

“Ough!” Ibunya Zima melenguh kencang saat disentuh vaginanya.

Ku goyang – goyangkan jemariku di bagian klitnya. Ugh, nikmat dan merangsang. Tangan kiri Ibunya Zima pun bergabung di belakang punggung tangan kiriku. Ia menuntun setiap putaran jemariku di vaginanya. Oh, sungguh nikmat.

“Terus sayang…terussshhh…”

“Hmm? Enak Tante? Hmm? Ugh…enak Tante. Ugh…enakkk…”

“Hmm? Enak Dio Sayang?” lenguh Ibunya Zima.

“Ugh….ugh…shhh…ahhh. Ughh….(Aku merasakan seluruh batang penisku menjadi terangsang parah. Aku akan keluar)….Ugh….uuuughhh… hmmmmmm….”

“Keluarin sayang…keluarin….”

“Ugh….sshhh..ugh….mmmmmm…AHHHHHHH!!!!!”

Aku keluar. Nikmat sekali rasanya. Penisku berkedut – kedut sembari mengeluarkan sperma. Rasanya…

Dok Dok Dok!

Terdengar suara seseorang menggedor pintu kamar mandi. Aku menjadi panik. Aku menjadi takut. Seseorang memanggilku dari luar.

“Dio….dio…”

“Ibu?!!”

Brak!

Aku kaget. Aku syok. Aku bingung. Rasanya aneh, tapi rasanya seperti nyata. Aku melamun memandangi langi – langit kamarku. Aku bengong. Aku terdiam. Aku tak tahu ingin mengatakan apa.

Aku bermimpi.

Ah, mimpi yang sungguh nikmat. Aneh juga, rasanya seperti benar – benar terjadi. Bisa juga ya mimpi seks. Rasanya mirip. Tapi akan segera hilang sesaat setelah bangun. Untung saja keluar tadi. Ku pikir Ibu benar – benar tahu Aku berhubungan seks dengan Ibunya Zima hingga menggedor kamar mandi. Aneh juga tadi. Gila, ahh.

Dok dok!

Suara pintu diketuk. Ternyata benar! Suara itu ada! Ibu yang membangunkanku!

“Ya, Bu…” Aku pun menyambut ketukan kamar oleh Ibu dari dalam.

“Katanya mau berangkat pagi – pagi. Dari tadi digedor gak bangun – bangun Kamu Nak.”

“Iya, sebentar.” Jawabku yang masih kliyengan.

“Segera mandi. Ibu sudah siapin sarapan di meja.”

“Iya, Bu.”

Aku pun bangkit dari tempat tidur untuk segera mandi. Hari ini Kami diminta datang pagi – pagi karena akan diadakan Try Out di sekolah.

Deg!

Apa ini?

“Aku mimpi basah!”

Ku lihat celanaku basah oleh sperma. Iuh! Baunya! Sperma ini yang sejak kemarin meronta – ronta ingin segera keluar. Akhirnya mereka keluar dibantu dengan mimpi. Kurang ajar! Mereka tak mengajakku menikmati kenikmatan secara nyata di dunia nyata. Mereka keluar tanpa izin.

Segera Ku buka pakaianku dan membawanya bersamaku ke kamar mandi. Ku taruh pakaian kotorku di bak dekat mesin cuci. Aku akan segera mencucinya setelah mandi nanti.

Setelah beberapa lama, Aku pun segera berpakaian untuk siap – siap menuju sekolah. Hari ini adalah Try Out. Aku butuh pikiran segar. Untung juga Aku mimpi basah, jadi Aku pun tak lagi pusing. Malah setelah mandi, Aku merasakan kesegaran kembali. Saat akan menuju meja makan, Aku lupa jika pakaian bekas spermaku belum Ku cuci dengan air. Aku pun menyiapkan ember berisi air dan sedikit detergen. Saat akan memasukkan pakaian, Ku lihat pakaian kotorku tak ada!

Apa Ibu tahu ya?

“Buuu, baju yang di ember biru Ibu ambil?” Aku menanyakannya dari atas.

“Iya, sekalian Ibu rendem Nak.”

Sial! Semoga Ibu tak tahu jika Aku mimpi basah. Spermanya cukup kental membekas di balik celana. Siapa pun yang melihat pasti yakin jika celana basah itu bukan karena terkena air. Lengketnya terlihat jelas walaupun dari balik celana. Tapi Aku yakin sudah melipat celanaku sehingga tak terlihat.

“….manis?”

“Hah?!” (manis?!)

“Iya, Kamu mau dibuatin teh manis?” tanya Ibu.

“Oh, Iya iya.”

Gila, Ku pikir Ibu juga tahu rasa spermaku yang dikatakan Ibunya Zima manis. Ah, macam – macam saja pikiranku. Sejak mengenal seks, pikiranku jadi mesum begini. Ah, Jon Jon.

Aku pun turun menuju meja makan.

***
Selama Try Out yang dilangsungkan oleh sekolah, Aku benar – benar fokus. Aku tak banyak berkegiatan di luar dari kegiatan yang mendukung akan Try Out di sekolah. Aku memang tak les, tapi Aku yakin dengan usahaku, Aku mampu lolos. Try Out ini sebagai tolak ukur bagiku berbandingan dengan anak – anak yang mengikuti les di luar sana.

Aku juga jarang mengobrol dengan banyak teman, terutama Zima. Kejadian kemarin hampir saja membuatku akan dipecat jadi teman. Jika Aku ketahuan mencuri DVD-nya sih tidak masalah, tapi yang Ku curi adalah Ibunya. Tapi Ibunya terlalu seksi untuk tak dinikmati, apalagi secara eksklusif Aku dapat berhubungan seks dengan Ibunya Zima.

Setelah beberapa hari dari Try Out, Aku masih saja tak berani menegur Zima. Ini Aneh. Hanya Aku teman sekolahnya yang mengunjungi Zima, tapi Aku juga yang sekarang jarang mengaaknya gobrol, kecuali membahas tentang film – film yang sedang beredar di bioskop. Aku masih takut dengan Zima kalau – kalau Dia mengetahui suatu saat nanti Aku pernah dan sering berhubungan seks dengan Ibunya, yah, saat ini satu setengah kali. Satu kali saat pertama. Kedua, setengah, karena tanggung. Yah, apa boleh buat, sekali tercebur Aku begitu menikmatinya.

Entahlah, Aku masih ingin sekali yang meneruskan yang kemarin. Memang Aku sudah keluar, tapi itu melalui mimpi. Aku ingin merasakan kembali bagaimana spermaku keluar dan menjalar di dalam vagina Ibunya Zima. Aku tak ingin merasakan kenikmatan semu, harus nyata dan real.

Selama beberapa waktu dalam obrolan Aku dengan teman – teman, Aku berusaha mencari tahu tentang kesibukan les Zima melalui teman – temannya yang satu tempat les dengannya. Aku tak ingin menanyakan secara langsung walaupun di sela – sela obrolanku dengan Zima. Hal itu hanya akan menambah risikoku jika suatu saat nanti ketahuan olehnya. Yah, tiga hari awal sering pulang sore karena les, tapi Selasa adalah hari di mana Zima sering pulang sore sekali. Yang jelas hari ini sudah lewat. Ahh…Aku bingung.


***
Aku benar – benar nekat!

Aku kembali mengunjungi rumah Zima. Aku tahu Zima sedang les. Aku tahu setidaknya Zima pulang sore. Aku tahu hari ini Zima akan pulang jam berapa kira – kira. Aku tahu Aku akan apa hari ini. Aku laki – laki. Badanku tegap. Aku harus berani. Aku ingin kembali merasakan nikmatnya berhubungan seks. Aku harus menuntaskan yang kemarin. Aku tak ingin kembali menggantung.

Aku sampai. Kini Aku telah berada di depan rumah Zima. aku pun dengan gemetar nekatnya memencet bel rumah Zima. Aku berharap Ibunya Zima keluar menyambutku.

Tidak! Bagaimana jika Ibunya Zima tak ada. Bodoh! Ngapain juga Aku datang?

Ckrek

Oh Tuhan, seseorang membuka pintu. Aku deg degan. Aku tak tahu kenapa Aku benar – benar tegang begini. Gila, bocah cilik nekat!

Terlihat Ibunya Zima yang membuka pintu. Ibunya menyambutku dengan setengah tubuhnya. Terlihat Ibunya seperti bangun dari tidur. Sial, Aku datang di waktu yang salah. Harusnya Aku tak datang.

Seperti biasa Ibunya Zima memakai dress panjang tipis dengan tali bahu tipis. Oh, kulitnya putih halus. Aku ingin kembali menikmatinya. Ibunya Zima memandangku dalam. Aku gugup. Tatapanku padanya tak fokus. Aku seperti malu tapi tegang bersamaan. Aku benar – benar nekat. Aku tak tahu apakah Ibunya mengerti jika Aku menginginkannya kembali.

“Eh, Eh, Zima ada Tante?” tanyaku gugup.

Ibunya menatapku sesaat, “Zima lagi les. Pulangnya nanti sore.”

“Oh…” Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Kalimat Ibunya seperti menjadi penutup kedatanganku.

Ibunya kemudian terlihat menoleh ke dalam rumah lalu kembali menatapku. “Kamu mau nunggu?”

Tak ada kata terucap. Lidahku kelu. Sialnya, kakiku perlahan bergerak mengatak iya pada Ibunya Zima. melihat hal ini, Ibunya Zima membuka pintu dan mengizinkanku masuk ke dalam rumah. Aku pun masukd dengan gugup dan sedikit berkeringat. Entah apa yang tersirat di benak Ibunya Zima mengetahui Aku datang mengunjungi Zima tanpa Zima.

Aku masuk ke dalam. Ku ikuti Ibunya Zima dari belakang menuju ke arah ruang TV di belakang. Saat akan memasuki kamar Ibunya Zima, Ibunya Zima menoleh sedikit kepadaku. Ibunya Zima lalu masuk ke kamar. Aku melihat bagaimana Ibunya Zima berjalan. Ibunya Zima berjalan dengan penuh kesederhaan dan berkelas.

Ibunya masuk ke kamar. Sedangkan Aku berjalan melewati kamar tanpa menoleh ke kamar dan duduk di ruang TV. Aku duduk. Aku duduk. Ya, Aku hanya duduk diam di ruang TV. Suasananya sangat hening dan tenang. Aku juga bingung. Jika Aku hanya duduk di sini menunggu Zima jelas bukan rencanaku. Jika Aku ingin main, Zima pasti tahu. Jelas Aku ingin Zima tak mengetahui kedatanganku.
Sudah lima belas menit, suasana masih hening tak ada suara, baik itu dariku maupun dari Ibunya Zima. Duh, bagaimana caranya?

Setelah detak jantungku sedikit mereda dan keringatku mulai kering oleh dinginnya AC, Aku mulai tenang. Tak mungkin juga Aku memanggil Ibunya Zima. Aku tahu kamarnya tak ditutup tadi.

Aku pun bangkit. Ku letakkan tasku di bawah. Perlahan Ku langkahkan kakiku menuju depan pintu kamar Ibunya Zima yang tak ditutup. Pelan dan pelan. Hingga mataku menatap ke dalam kamar. Saat Aku diam mematung di depan kamar, Ibunya Zima sedang tiduran menyamping, kemudian menolehkan kepalanya melihatku. Ibunya Zima lama menatapku, lalu kepalanya kembali ditidurkan.

Aku benar – benar gugup.

Dengan nekat Aku langkahkan kakiku mendekati Ibunya Zima di tepi ranjang. Aku diam.

Ibunya Zima lalu kembali menoleh padaku.

Aku sudah nekat. Aku tak peduli jika Ibunya Zima marah mendapatiku lancang masuk ke kamar tanpa izin. Tapi Aku ingin. Aku juga seakan tak ingin mempercayai Ibunya Zima akan memarahiku. Kami pernah berhubungan seks.

Ibunya Zima menatapku dalam dan memutar tubuhnya menghadapku. Ibunya Zima lalu tersenyum.

Tangannya menarik tanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun lalu merendahkan tubuhku dan berpangku pada lututku menghadap tatapan Ibunya Zima. Dengan telapak tangannya, Ibunya Zima mengusap lembut pipi kiriku.

“Yang kemarin ya?” tanyanya serak.

Tangannya seperti menarik pipiku untuk mendekati wajahnya. Wajahku datang mendekati wajah Ibunya Zima.

“Kamu kangen?” tanya Ibunya Zima lembut.

Aku hanya diam dan sedikit tersenyum. Hari ini Aku yakin akan kembali terjadi.

“Mccchhhmm….”

Ibunya Zima mencium bibirku lembut dan dalam. Aku pun menyambutnya dengan ciuman yang lekat dan sangat kangen. Lama Kami berciuman, Aku menjadi sangat bernafsu mencium Ibunya Zima. Aku benar – benar kangen dengan Ibunya Zima. Wanita inilah yang mengenaliku dengan arti nikmatnya seks. Ia begitu lembut dalam menuntunku. Hal yang selama ini terkenang dalam imajinasiku menjadi nyata di pelukannya.

Aku mencium tengkuknya dengan penuh nafsu.

“Ahh….sshhh…ahh….mmmh.” lenguh Ibunya Zima.

Semua bagian tubuhnya yang terlihat Ku ciumi. Tangan Ibunya Zima hanya meraba – raba bagian punggungku dan mengelus – elus rambutku.

“Uh…shhh….mmmh….susssah….Sussah Dio…”

Aku tahu Ibunya Zima ingin membuka pakaianku. Tiba – tiba Ia mendorong kepalaku yang masih asyik menciumi tubuhnya. Ibunya Zima lalu pelan membuka kancing – kancing pakaianku. Aku sudah benar – benar tak tahan. Aku kemudian berdiri dan mencopot semua pakaianku. Selama Aku mencopot pakaian, Ibunya memperhatikanku dengan senyum seperti meledekku. Ia tahu kemarin Aku yang paling rugi. Sekarang Ia tahu Aku ingin berhubungan seks dengannya. Semua Ku copot hanya meninggalkan celana dalam. Ibunya Zima menatapku dengan tanda tanya. Bola matanya memintaku untuk juga mencopot semuanya. Oh Tuhan, Ibunya begitu nakalnya di pikiranku. Aku pun tersipu malu diminta untuk bertelanjang di depannya.

Penisku begitu tegang menjulang. Sangat keras. Uh!

Aku merangkak mendekati Ibunya Zima hingga berada di atasnya. Aku mencium tubuhnya. Aku penasaran, Aku pun mencium payudaranya. Ku singkap daster atasnya hingga seluruh payudaranya terbuka. Aku begitu mengaggumi kedua payudara ini. Aku pun melumatnya dan menghisap – hisapnya.

“Ough….ssshhh…..” lenguh Ibunya Zima.

Ibunya Zima benar – benar membuatku gila. Begitu seksinya Dia. Ibunya hanya melenguh dengan kelakuan seorang remaja yang baru mengenal seks. Sesekali Ibunya Zima tertawa dengan kelakuanku. Aku tak peduli, yang jelas Aku menginginkannya kembali.

Penisku sudah benar – benar tegang. Aku ingin segera memasukannya ke dalam vagina Ibunya Zima. Pelan dan pasti Aku pun membuka paha Ibunya Zima. Aku pun bangkit menghadap Ibunya Zima yang terlentang.

Aku tak menyangka, Ibunya Zima benar – benar tak memakai pakaian dalam, hanya daster tipis. Terlihat jelas vagina Ibunya Zima di mataku. Pikiranku semakin tak karuan. Aku pun mengarahkan penisku untuk memasuki vaginanya. Saat berada di depan vaginanya…

“Pelan…” pinta Ibunya Zima.

Aku pun memathui perkataannya untuk memasukinya perlahan. Ah, gila sudah sangat ingin, Aku diminta memasukinya pelan. Penisku pun Ku dorong masuk ke dalam vagina Ibunya Zima.

“Haaaa….” Lenguhnya dengan mulut terbuka.

Oh Tuhan, Aku benar – benar kembali merasakannya. Dinding penisku terasa geli, nikmat, dan terangsang. Gila. Rasanya begitu nagih. Aku pun memaju mundurkan penisku di dalam vagina Ibunya Zima.

“Mmmhh….mmmh….” lenguhku berat merasakan nikmatnya berhubungan seks.

“Sshhhh…terus Dio….dorong terussshhh….. mmmhhh….”

Aku mendorong kuat keluar masuk penisku di dalam. Urat – urat leherku benar – benar tegang dengan penuh nafsu. Joni, Kau beruntung. Kau kembali ke singgasanamu. Nikmati semuanya Joni.

Aku menggenjotnya hingga tubuhku merebah menindih tubuh Ibunya Zima. Nafas Kami saling bersahutan. Nafas yang sama – sama penuh nafsu dan nikmat.

Ibunya Zima kemudian mendorong putar tubuhku. Aku kaget. Ibunya Zima lalu berbalik. Aku yang terlentang dan Ibunnya Zima yang berada di atasku. Ibunya lalu mencium bibirku. Aku pun membalasnya penuh nafsu. Kemudian, bibirnya menelusuri tengkuk leherku, menelusuri dada bidangku, hingga kemudian bibirnya terhenti di atas kepala penisku.

Oh Tuhan, Aku akan kembali merasakan rasanya dikulum. Dikulum oleh bibir mungilnya.

“Aahhhhh…..” Aku melenguh dengan nikmat bagaimana mulut dan lidah Ibunya Zima mengulum penisku. Mulutnya dimaju mundurkan. Gila, nikmat sekali. Rasanya kali ini lebih dahsyat, lebih merangsang, lebih geli.

“Ough…..”

Aku benar – benar dibuat nikmat oleh kuluman Ibunya Zima. Entah, Aku merasa seperti lebih nikmat dikulum dengan mulutnya daripada vaginanya. Tapi Aku tak ingin menolak keduanya. Keduanya membuatku nikmat. Gila, lama Ibunya Zima mengulum penisku, Aku seperti sudah di ujung jalan. Aku akan keluar. Aku benar – benar tak tahan. Ough! Aku….Aku…akan…

“Mmccc…ah!”

Tiba – tiba Ibunya Zima menghentikan kulumannya dan segera menekan kepala penisku dengan sedikit tekanan. Ibu jarinya menekan bagian tengah lubang penisku.

“Hhaaa.....ahh!” Aku seperti dibuat kaget dan bingung. Aku yang tadinya seperti akan keluar sekarang menjadi tertahan akibat sentuhan Ibu jarinya di kepala penisku. Aku tak jadi keluar.

“Tahan ya….”

Dengan senyumnya yang khas, Ibunya Zima memintaku menahan Aku untuk keluar. Bagaimana Ia tahu Aku akan keluar?

Ibunya Zima lalu duduk di atas panggulku. Ia membuka pahanya dan akan memasukkan vaginanya ke penisku dari atas. Pelan dan pelan penisku hilang ditelan vagina Ibunya Zima. Ough!

“Sshhh….mmmmmmh…..Dio…ugh…..dorong….”

Aku mendorong kuat masuk ke vaginanya. Ibunya Zima menggoyang – goyangkan pinggulnya. Uh, penisku begitu nikmat. Seluruh dinding penisku seperti diremas – remas. Sangat nikmat dan begitu merangsang. Gila! Rasanya lebih nikmat dari yang kemarin.

“Sssh…terussss….Dioooh….Diosssssshhhh”

Suara lenguhan Ibunya Zima benar – benar membuatku semakin kuat menyodok – nyodok vaginanya. Aku benar – benar tak kuat. Aku akan keluar. Aku akan keluar. Aku kellluuuuarrrrrr!

“AAAAHHHHHHHH!”

Aku akhirnya keluar. Spermaku mengalir ke dalam Ibunya Zima. Aku merasakan banyak yang keluar. Aku dapat merasakannya. Gila rasanya sangat nikmat. Nikmat dengan penuh keringat yang selalu berusaha dikeringkan oleh dinginnya AC kamar.

Nafasku benar – benar berat tapi lega. Ibunya Zima jatuh merebah di atas tubuhku. Nafasnya pun sama seperti nafasku yang terengah – engah.

Kepalaku plong dan terasa ringan.

***
Sudah setengah empat. Aku tak mengira seks bisa melupakan jalannya waktu. Setengah jam lagi adalah kepulangan Zima. Ada perasaan lega tapi juga bahaya. Seks benar – benar membutakan pikiranku. Jika saja lewat, kejadiannya pasti seperti kemarin. Jika itu terjadi, Zima pasti sudah curiga.

“Kamu gak nunggu Zima?”

Ibunya bertanya saat Aku sudah berpakaian lengkap dan duduk di dekatnya. Ibunya Zima juga sudah berpakaian lengkap walaupun hanya daster.

Tangannya Ibunya Zima pun menyentuh pipiku.

“Maaf ya yang kemarin. Gak tuntas. Kamu pasti kebayang – bayang ya?”

Pertanyaannya membuatku tak berkutik jika kedatangan nekatku hanya untuk kembali menuntaskan seks yang kemarin. Aku benar – benar kurang ajar. Aku seharusnya berterima kasih kepada Ibunya Zima. Aku tak tahu balas budi. Wanita inilah yang mengajariku segalanya. Sekarang Aku seperti manusia yang penuh nafsu.

“Mm..maa…maf Tantee….Saya benar – benar minta maaf. Saya….”

“Sssst. Gapapa, Tante tahu Kamu masih muda. Tante juga yang membuat Kamu mengenal semua ini.”

“Iya, Tante. Saya benar – benar minta maaf. Saya seperti ketagihan. Saya tidak tahu. Saya tidak akan datang lagi untuk hal ini. Saya minta maaf karena nekat.” Jelasku maaf.

Ibunya Zima menatapku senyum. “Hei, it’s okay.”

Ibunya Zima pun memintaku untuk segera pulang. Ibunya Zima khawatir jika Aku tetap di sini akan membuat Zima curiga.

Dengan perasaan bersalah, Aku pun pamit untuk pulang. Aku seperti begitu kurang ajarnya datang hanya untuk berhubungan seks. Dalam benak, Aku bertekad untuk tak lagi berbuat hal ini lagi. Aku akan hanya berteman dengan Zima tanpa mencari kesempatan berhubungan seks dengan Ibunya. Aku ingin menjadi teman yang baik bagi Zima. Aku tak ingin merusak dan selalu mengambil celah.

“Hey, lain kali Kamu beritahu Tante ya jika ingin datang.” Imbuhnya sembari memberikan secarik kertas di tanganku.

Tak ada apapun yang tertera kecuali sebuah nomor, nomor handphone.
penampknnya atuhh
 
Chapter 9 : Terkunci

Buuk!!

Aku jatuh tersungkur di sudut ruang tamu. Pakaianku acak – acakan. Aku berantakan. Aku babak belur. Darah menyeruak dalam tiap kulit tipis bibir dan alisku. Aku tak dapat berkata dalam suara. Hanya tatapan benci dari dua pria di depanku yang mengeroyokku saat ini. Hatiku hanya dihibur oleh tatapan seorang wanita paruh baya yang baru saja Ku setubuhi di depan pintu. Telingaku buta dan pandanganku tuli, tak menyadari saat mereka datang.

“Haaahhh….” (Pikiranku kacau)

Ku hirup dalam – dalam udara yang melewati depan hidungku. Ku masukkan hingga paru – paruku benar – benar merasakannya. Pikiranku kacau dan gelisah. Aku hanya tak dapat bergerak. Aku kaku. Tapi, pikiranku benar – benar tak dapat diam. Aku tak mengerti, bagaimana waktu sesingkat ini bisa menjadi kesempatan bagiku. Seandainya Ibunya Zima tak keluar kamar, Aku akan dalam keadaan biasa saja. Senyumannya benar – benar menantangku dari jauh. Gila juga Ibunya Zima.

Pikiranku kacau. Aku tak kuat jika apa yang Ku bayangkan benar – benar terjadi. Aku akan malu dan hancur lebur jika kedua pria itu mengetahui apa yang Ku lakukan pada wanita yang disayanginya. Aku bisa sangat hancur. Semua hal buruk dapat terjadi jika Aku nekat. Aku tak mau mereka mendapati sebagian kelakuanku selama ini. Hah…

Tenang dan tenang. Ku coba untuk membuang semua imajinasi buruk dalam kepala. Tapi kakiku tetap tak tenang. Apa yang harus Ku lakukan? Ini tak mungkin bisa. Tapi senyum itu tetap menantangku. Aku tak tahu. Haruskah Aku?

Perlahan, setiap gesekan antara otot sepanjang kakiku begitu terasa saat Aku bangkit dari sofa. Pijakan telapak kakiku begitu terasa dalam setiap langkahnya. Aku benar – benar nekat. Aku terus menantang logikaku. Aku terus mencoba bertanya pada setiap peluang yang akan Ku dapat jika ini berhasil. Gagal atau tidak.

“Hmmmm….”

Aku bernafas pelan dan dalam sambil menelan ludah. Aku sudah berada di depan pintu kamar Ibunya Zima. Aku tahu saat ini hanya ada Kita berdua, tapi ini berbeda situasinya. Ada Zima dan Ayahnya. Ini akan menjelaskan ulang tentang bagimana Aku bisa nekat sebagai remaja laki – laki. Laki – laki yang penuh nafsu memburu mangsanya walau kesempatan itu sempit. Mencabik atau tercabik.

Genggaman tanganku semakin kuat. Aku seperti tak sabar tapi Aku juga tak mau melangkah jauh. Ini tidak mungkin, tapi apa senyuman itu tadi. Tadi itu hanya godaan, tapi naluriku berkata Aku harus menggapainya. Tapi bagaimana jika tidak sesuai dengan apa yang Ku inginkan. Bisa – bisa Ibunya Zima marah dan tak menduga Aku akan benar – benar sangat nekat. Aku takut jika kemudian Ibunya Zima tak mengizinkanku lagi untuk bersetubuh dengannya. Apalagi suaminya telah pulang, tentu kenikmatan hari ini berasal dari suaminya saat ini, bukan dengan diriku.

Tapi bagimana jika memang Ibunya Zima menginginkannya. Ia sengaja tersenyum padaku untuk cepat menghampirinya. Kami kan jarang bertemu, dan Aku tahu Kami sama – sama menikmatinya. Bersetubuh adalah hal yang sangat nikmat dan sayang jika adrenalin itu dilewatkan begitu saja.

Lima menit. Lima menit telah berlalu sejak Ku lirik jam dinding di ruang tamu. Detak detik jarum jam itu benar – benar mengganggu pikiranku. Suaranya menantang kenekatanku apakah Aku akan bergerak atau tidak. Suaranya semakin nyaring di telingaku. Sial.

“Hufhhh…”

Crkrk

Terkunci!

Sial!
Pintunya terkunci. Aku sudah benar – benar memutarnya pelan dalam genggamanku. Aku yakin pintunya terkunci. Agh!

Aggghhhhhh!!!!

Sudah Ku bilang, Ibunya Zima hanya tersenyum menggodaku. Ia benar – benar tak bermaksud menantangku. Aku saja yang nekat dan sangat bernafsu ingin merasakan kenikmatan kembali. Bodoh. Aku memang bodoh. Aku remaja yang hanya tahu tentang nafsu dan sex semata. Murah sekali harga diriku digoda seperti itu. Hanya dengan senyuman, penisku mudah untuk luluh di setiap tatapan wanita.

“Hahhh…..”

Aku pun menghela napas panjang dan penuh dengan kelegaan. Aku mengajak pikiranku untuk meredam banyak nafsu yang sedari tadi penuh untuk keluar dari dada. Pelan dan pelan.

Aku pun berjalan ke ruang tamu di dekat kamar. Ku tuangkan air dalam wadah dan Ku nikmati setiap kucuran air yang masuk ke dalam gelas. Aku haus. Haus hanya karena menahan nafsu tadi. Ku tatap jam dinding. Sudah berlalu enam menit sejak Aku mematung di depan pintu yang dengan percaya dirinya percaya bahwa kesempatan itu memang ada. Ternyata hanya imajinasi dan kebodohanku saja. Haaah….

***
Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”

“Oh, gak ini Gw ngeringin rambut.” Jelasku pada Zima yang tiba – tiba membuka pintu kamarnya.

“Oh, ayo! Makan Kita.” Ajaknya.

“Oh, ok!”

Aku pun menyusul Zima untuk bergabung bersama dengan kedua orang tuanya di meja makan. Perlahan Ku lihat Ayahnya Zima menatapku dengan senyum hangatnya. Ibunya Zima pun sedang menguangkan nasi ke atas piring – piring yang ada di meja makan. Mereka telah kembali.

“Ahh, ayo. Kita makan Dio! Well, ini pertama kalinya setelah beberapa bulan Saya tak makan bersama keluarga. Sekalinya ada kesempatan itu, sudah ada tamu di sini. Temannya Zima. ayo, ayo mari nikmati.” Ajak Ayahnya Zima.

Aku duduk berseberangan dengan Ayahnya Zima. ibunya Zima duduk dekat dengan suaminya. Dan Aku pun juga duduk dekat dengan Ibunya Zima. tapi posisi ini membuatku sedikit canggung karena pasti akan terus ditatap oleh Ayahnya Zima. aku benar – benar tak bisa tenang seperti biasa. Entah mengapa Aku merasa gugup dan sedikit takut. Bayang – bayang tentang banyak kenikmatan saat – saat Aku bersetubuh dengan istrinya begitu terasa dan berada di atas kepalaku. Setiap perkataannya membuatku gugup. Apa ini yang dinamakan selingkuh? Perasaan takur ketahuan tapi juga menikmatinya ini tak pernah Ku rasakan di tempat lain. Gila, kali ini Aku baru menyadarinya arti kata tersebut.

“Maaf, tadi harus keluar sebentar untuk emngambil berkas di safe box. Jadi makan siang jadi tertunda sebentar. Tapi, Papa bawa tambahan sedikit. Wah…”

“Iya, Pap. Ini juga sudah banyak Mama masak. Udah dibilang gak usah beli. Ini juga jadi banyak.” Jelas Zima yang sedikit memprotes karena makanan sudah banyak, jadi tak perlu menambah makanan lagi.

Ada banyak sekali yang tersaji di atas meja. Makanannya pun seperti tak bertema, penuh semua. Padahal hanya ada empat orang di sini. Tapi, sangat menggoda untuk dinikmati. Terus terang Aku merasa capek dan lapar setelah tadi. Ingin rasanya menikmati semua yang di atas meja. Jarang – jarang Aku bisa makan enak. Wah, benar – benar perayaan keluarga yang hangat. Melihat Ayah Zima yang lahap, Aku pun juga ikutan merasa senang.

“Ayo, Dio…ini dagingnya, ambil, makan…dinikmatin ya.” Ibunya Zima pun kemudian memberikanku daging yang memang sudah Ku incar. Tahu saja Ia jika Aku benar – benar lapar.

“Ayo Dio, Kamu pasti laper kan…” ajak Ibunya Zima lagi.

“Iya, come on. Kapan lagi Kita makan enak. Biasanya kan sayur, telur, sayur, sayur, daging, sayur, sayur, sayurrrrr…” ledek Zima pada Ibunya.

“Eh, sayur kan sehat. Ckck...mentang – mentang ada Papa ya…” protes Ibunya Zima.

Yah, memang benar sih. Selama Aku bermain di sini, makan yang ada selalu disuguhi dengan banyak sayur. Bahkan kadang lauknya satu jenis, tapi sayurnya bisa tiga jenis. Belum kalau ada lalapan. Ibunya Zima ini memang suka sayur dan juga buah. Di kulkasnya saja banyak sekali buah. Hidupnya lebih sehat. Lebih sehat dari kebiasaanku. Apalagi kulitnya yang putih bersinar. Aku yakin selain olahraga, kebiasaannya ini yang membuatnya terus terlihat menarik. Bahkan untuk Aku yang seorang remaja saja dapat sangat tertarik olehnya dan tentunya secara seksual benar – benar dibuat nikmat.

“Oh ya? Wah, Mama ayolah. Lihat Zima, jadi kurus begini. Papa aja kaget lihat Zima kurus begini.” Ayahnya Zima pun juga ikut meledek.

“Iih, Papa! Apa sih? Ikut – ikut aja. Sayur kan sehat Pa.”

“Lihat Papa! Badan Papa sehat!” ayahnya Zima meledek sambil menunjukkan gerakan lengan dan dada ke arah Ibunya Zima.

“Ya, iyalah Pa. Di sana kan makannya daging terus. Udaranya juga lebih dingin. Jadi ya makannya daging. Daging, daging, daaaginggg…”

“Darpada sayur, sayur, sayurrrrrrr” ledek Zima kembali.

“Ehh, ini kalian…” protes Ibunya Zima sambil menaruh banyak sayur ke piring Zima.

“Iih, Mama!” protes Zima.

“Hehe.”

Wah, cara mereka berkomunikasi benar – benar hangat dan akrab. Aku iri melihatnya. Aku juga ikut merasa senang, terlebih Zima dan Ibunya. Kehadiran Ayahnya benar – benar membuat suasana makan siang ini begitu hidup. Keluarganya benar – benar harmonis. Wah, kalau Aku jadi Zima, Aku akan ikut tinggal di Jerman. Pasti rasanya berbeda jika Zima hanya berdua di sini. Jika di sana mereka pasti lebih bahagia. Tapi jika itu terjadi dari dulu, mungkin Aku tak pernah mengalami berbagai kenikmatan yang namanya berhubungan seks dengan seorang wanita.

“Ingat loh Pa, kesehatan nomor satu. Makannya tolong dijaga.” Jelas Ibunya Zima.

“Well, yah. Papa sejak awal tetap mengontrol diri. Perusahaan juga rutin menanyakan kondisi kesehatan di sana.” Jelas Ayahnya Zima.

Aku pun membayangkan tentang diriku di masa depan. Kira – kira apa Aku bisa memiliki kehidupan yang seperti keluarga Zima punya. Ayahnya bekerja di luar negeri. Tentu saja penghasilanya sangat besar, apalagi dapat tinggal di kawasan elit di kota ini. Anaknya, Zima, pun juga cerdas. Terlihat dari pembawaanya di sekolah kalau Ia anak orang kaya, bersih, rapi, dan tak macam – macam. Ibunya? Sederhana, berkelas, cantik, dan tentunya luar biasa. Di balik keanggunannya, tersimpan suatu hal yang liar.

Aku pun berusaha masuk dan juga ingin terlihat mencair dalam suasana obrolan makan siang ini. Sesekali Aku meinimpali setiap candaan yang terlontar dari setiap individu di ruang makan ini. Aku juga jadi tahu jika Ayahnya Zima memang sangat betah bekerja dan berharap Zima mengikuti jejaknya suatu saat nanti. Jika perlu Zima dan Ibunya juga ikut pindah saat Zima bisa bekerja di luar negeri, termasuk di Jerman. Kehidupan yag sudah stabil di sana dan tentunya lebih teratur membuat Ayahnya Zima ingin merasakannya bersama keluarga setiap saat. Yah, yang Ku tahu, Ayahnya selalu berusaha membujuk, tapi Ibunya Zima ingin Zima tetap di Indonesia.

Kami pun sudah selesai makan. Wah, makanan kali ini benar – benar enak dan membuatku cukup kenyang. Aku pun membereskan sisa – sisa makanan.

Srrrt…

Aku kaget. Tiba – tiba punggung kakiku disentuh. Punggung kakiku disentuh oleh telapak kaki. Dan itu telapak kaki Ibunya Zima. Aku kaget dan bingung bereaksi. Aku seperti berpura – pura menahan rasa kaget ini.

Punggung kakiku basah. Ada cairan yang Ibunya Zima berikan padaku melalui telapak kakinya.

“Ayo Dio, habiskan. Jangan ada sisa. Kalau ada sisa bersihkan…”

Perkataannya tentu bukan untuk mengejekku karena Aku sudah habis makan. Ku lirik ke bawah ke arah punggung kakiku. Lengket. Ini sperma? Kok bisa? Aduuuh….

“Ayo Dio, ke kamar Gw.” Zima pun mengajakku ke kamar.

“Eh? Oo…Gw ke kamar mandi dulu bentar.”

Benar!

Ini sperma! Gila, kok bisa? Duuuh, untung aja tadi Ibunya Zima yang tahu. Coba kalau Zima atau Ayahnya, habis Aku. Gila. Aku tiba – tiba jadi panik saat membersihkan sperma di kakiku. Untung saja tak ketahuan. Oh Tuhan, terima kasih. Terima kasih Tante.

Aku pun pergi ke kamar dan bergabung dengan Zima yang sepertinya sedang memilih – milih DVD yang akan ditonton di kamar. Ia pun memberikanku kaleng minuman ringan sebagai teman menonton.

“Sori ya, tadi lama nunggu ya Lo?”

“Ah, kagak. Kagak lama, orang Lo pergi gak ada setengah jam kok.”

“Gw pikir Lo lagi nonton selama Gw sama bokap pergi. Tahunya Lo diri di bawah AC. Kurang dingin ya?” tanyanya.

“Dingin kok. Daripada Gw gak ngapa – ngapain (Bohong!)

***​

Sebelumnya….

Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”

“Oh, gak ini Gw ngeringin rambut.” Jelasku pada Zima yang tiba – tiba membuka pintu kamarnya.

“Oh, ayo! Makan Kita.” Ajaknya.

“Oh, ok!”

Hampir saja!

Aku pun memasukan penisku yang masih sedikit tegang dan masih ada sisa cairan vagina Ibunya Zima. Sial, saking kagetnya, Aku jadi kesulitan menutup resleting celanaku. Untung saja Aku berbalik badan dan pas berada di bawah AC kamar. Jadi Aku yakin Zima tak mencurigaiku. Ah, gila. Aku benar – benar nekat. Sedetik saja Aku telat, Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi denganku. Ini benar – benar pengalaman yang nekat yang Aku lakukan. Haaah…

Dua puluh menit yang lalu….

Crkrk

Terkunci!

Sial!
Pintunya terkunci. Aku sudah benar – benar memutarnya pelan dalam genggamanku. Aku yakin pintunya terkunci. Agh!

Aggghhhhhh!!!!

Sudah Ku bilang, Ibunya Zima hanya tersenyum menggodaku. Ia benar – benar tak bermaksud menantangku.

Aku pun menghela napas panjang dan penuh dengan kelegaan.

Sudah berlalu enam menit sejak Aku mematung di depan pintu yang dengan percaya dirinya percaya bahwa kesempatan itu memang ada. Ternyata hanya imajinasi dan kebodohanku saja. Haaah….

Crkrk

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Aku pun membalikan tubuhku menghadap ke arah suara berasal. Ku dapati dalam tatapanku, Ibunya Zima berada di depan pintu. Ibunya Zima hanya memakai kimono sutra yang tipis. Kulitnya begitu bercahaya. Rambut basahnya mengkilau mengindahkan pandangaku. Ibunya baru saja mandi. Hal yang membuatku menelan ludah adalah kimononya tak ditutup. Ibunya membiarkan tali kimononya terlepas. Tubuh depan telanjangnya begitu terlihat jelas di lensa mataku. Bagian dadanya yang indah dan rambut tipis vaginanya begitu menggoda mata lelakiku. Beberapa kali Aku hanya tertegun menelan ludah. Aku seperti memperkosa dan menikmati tubuh Ibunya Zima dalam tatapanku. Tatapan yang sedari tadi mulai tenang, kini kembali menggelora untuk bangkit. Bulu kudukku merinding dan menjalar di setiap inci tubuhku. Jantungku kembali berdetak kencang. Detaknya berusaha mendahului dua kali detak jarum jam yang dari tadi mengganggu pikiranku. Kini terjawab. Ibunya ada di depanku saat ini. Ibunya telanjang di depanku. Senyumannya tadi bukan godaan, tapi tantangan. Ia memintaku kembali untuk melakukannya kembali.

Perlahan Aku mendekati Ibunya Zima. Aku datang dan Aku menatap matanya layaknya seorang laki – laki. Aku seperti kurang ajar menatap Ibunya Zima. Tapi Ibunya Zima yang menantangku. Ibunya Zima pun hanya menatapku. Ia menatap untuk memintaku kembali menyetubuhinya.

Tangan kiriku bergerak ke dalam sela kimono Ibunya Zima. Aku pun memeluknya. Ku tatap lekat mata Ibunya Zima. Dalam dan penuh nafsu. Aku pun dengan kurang ajarnya berani mencium bibir mungil Ibunya Zima.

“Cchhh….mmmmh…..ccmmmmhh….cccmmmaahhhhhhhh.”

Ciuman Kami penuh nafsu. Aku begitu menikmatinya. Penisku pun menjadi tegang.

Aku pun menciumi tengkuk lehernya. Baunya wangi. Wangi oleh sabun yang belum pernah Ku rasakan. Begitu menggoda dan membuat bernafsu.


Duuk!

Tanpa sadar Kami pun saling bercumbu hingga menabrak meja makan. Kami pun terdiam. Dengan spontan Aku pun mengangkat tubuh Ibunya Zima duduk ke atas meja makan. Ku pandangi tubuh indah Ibunya Zima, dan benar – benar membuat mulutku tak dapat diam. Aku pun dengan penuh nafsunya, melumat puting payudaranya. Rasanya begitu nikmat dan kangen. Ku gigit kecil bagian tepi putingnya. Ku sedot – sedot dan Ku jilat penuh aerolanya.

“Oughhh…..sshhhh…Diiioooo…..uhhhhh…shhhhh.”

“Hmmmm..”Aku pun tak dapat berkata. Lenguhannya membuatku terus bernafsu.

Kepalaku ditekan – tekan oleh Ibunya Zima. “Masukin…massshhhhaaa….mmmh…masukkkkinnn…Ddiiooo…..sssshhhh…masukkkkiinn…..”

Aku mendengar ucapannya. Aku nafsu. Nafsu ini begitu berbeda, benar – benar menggelora. Aku menurunkan tubuhnya dan membalikannya. Ku dorong punggung Ibunya Zima hingga Ibunya Zima menunduk membelakangiku. Ku singkap kimononya dan Ku buka reseletingku. Aku ingin memasukan penisku dari belakang. Aku sudah tak tahan ingin menyodok pantat Ibunya Zima.

“Ooough!”

Lenguhannya mengawali penisku masuk ke dalam vaginanya dari belakang. Pelan dan pelan ku genjot batang penisku. Masuk, keluar, masuk, dan keluar, begitu seterunya. Cairan vaginanya membasahi seluruh batang penisku. Penisku begitu dirangsangnya oleh jepitan dinding vaginanya. Basah dan nikmat. “Ughh! Sshhhhh!
Oohhh!”

“Terruss Dio….Shhhhhss…Uhhh…teruss…..terus…..”

“Hmmmm….mmmhhhh”

“Oh Tante!....Oh…..Shhhh…enak Tante….ohhh…(Aku seperti mengeden menahan sesuatu, Aku akan keluar)

Gila, dalam posisi ini Aku benar – benar tak kuat dibuatnya. Hentakan penisku yang menabrak – nabrak pantatnya membuat rangsangan pada penisku begitu nikat dan tak tahan. Aku benar – benar dibuat nikmat. Aku akan keluar.

Brmmm!

Terdengar suara mobil yang datang! Itu mereka! Mereka sudah pulang!

“Ohhh…Dio…sshh…keluarin…..keluarin…ayo sayyangggg….dikkkit….lagi….”

Aku pun mempercepat genjotan penisku. Nafasku semakin berat. Aku akan keluar. Aku benar – benar akan keluar. Aku keluar. Aku keluar. Aku….

“AAAHHHHHhh!”

Di saat spermaku menjalar keluar. Ibunya Zima pun langsung mencabut vaginanya dari penisku. Aku pun sedikit kaget dan Aku pun juga mulai tersadar. Mereka sudah pulang dan Aku harus melakukan sesuatu.

Ibunya menutup kembali tubuhnya dengan kimononya. Ibunya meraih tissue di meja makan dan menutup vaginanya. Ia pun mengelap cairan sperma yang menetes di lantai. Ibunya Zima juga menutup kepala penisku dengan tissue dan menyuruku pergi ke kamar Zima.

Crkek

Mereka sudah masuk. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar Zima. Aku merapikan diriku dan bajuku sedikit acak – acakan. Rambutku sedikit basah karena bersinggungan dengan rambut Ibunya Zima. Tapi Aku masih berkeringat.

Lalu Aku meraih remot AC dan menurunkan suhu agar lebih dingin. Aku berdiri di bawahnya dan berharap bisa kering. Ku tarik resletingku dan susah. Sial! Ini kenapa susah ditutup. Ugh!

Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”
flash back ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd