Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

CHAPTER 7 - A
Why... Why... Why?


“Ayah... bunda mau mandi dulu, tadi lupa kalo ternyata belum isya” Astaga, iya. Aku juga lupa jika aku belum menunaikan 4 rakaat malamku seperti biasanya. Kalo sudah begini, kalo sudah melakukan persenggamaan bersama istri, haruslah wajib untuk mandi bersih lagi.

“Iya. Bunda duluan aja, kalo barengan takutnya ayah tak mampu menahan diri, pada akhirnya kita malah akan lanjut bergumul di kamar mandi.”

“Idihhh, paling juga ayah nanti yang maen nyosor”

Aku melempar senyum padanya, ketika ia, beranjak dari ranjang dengan membiarkan tubuh telanjangnya yang juga tadi telah ku nikmati, menjadi santapan sepasang mata ini.

Andini hanya membalas dengan bibir manyun, setelahnya ia pun melangkah menuju ke kamar mandi buat mandi besar. Sedangkan aku, kembali memikirkan apa yang terjadi sejak tadi.

Pertanyaan demi pertanyaan dalam benak ini, seakan membuat kepalaku nyut-nyut rasanya. Bagaimana tidak, seumur pernikahanku dengan Andini, baru kali ini aku malah memikirkan perempuan lain yang bukan Andini, yang tengah ku senggamai dengan begitu nikmat, bahkan dengan imagi yang begitu menyesatkan.

Satu lagi....

Bahkan baru pertamakalinya ini, aku malah ejakulasi dengan cepat hanya karena imagi yang menari-nari di pikiran. Imagi tentang sesosok perempuan muda, yang juga penampilannya biasa-biasa saja, bukan tampilan yang seksual, bukan ekspresi dan sikap yang menggoda, bahkan tidak sedang telanjang juga seperti Andini, tapi, nikmatnya benar-benar tak bertepi sama sekali.

Serta, di saat ejakulasi mendera, aku mendapatkan kenikmatan pada kasta tertinggi nikmatnya persetubuhan. Katakanlah aku lebay dalam mengungkapkan, namun nyatanya hal itulah yang terjadi. Ahhhh... kenapa malah setelah memikirkan itu, pikiran ini malah semakin jauh, jauh melambung ke angkasa yang tak berujung, pikiran mengenai, baru berimagi saja nikmatnya tak terkira. Bagaimana jika hal itu terjadi dalam kehidupan nyata. Aku berhasil menyetubuhi gadis itu?

Astagfirullahhhhh..... aku segera beristigfar dalam hati, di sertai usapan wajahku. Berusaha agar aku menepis pemikiran tak beradabku barusan, yang menginginkan kenikmatan yang berada pada kasta yang paling-paling tertinggi bisa ku rasakan di kehidupan nyata, bersamanya. Bersama Tiara.....

“Yah, udah.... ayah gak mandi?”

Seruan lembut dari Andini, akhirnya membuatku tersadar dari lamunan yang panjang barusan. Sampai-sampai aku tak sadar jika Andini telah selesai mandi, padahal aku sangat paham tabiat dia kalo sedang mandi, apalagi mandi bersih seperti ini, pasti membutuhkan waktu yang tak cepat.

“Iya... ayah mandi dulu, kalo bunda mau sholat duluan, silahkan.”

“Oke sayang...”



Aku tak yakin, jika kalian ingin membaca adegan dikamar mandi ini, bukan?

Tapi, yang ingin ku ceritakan, dari dalam kamar mandi ini – ketika baru saja ku selesaikan menyabunkan tubuh, tiba-tiba samar aku mendengar suara guntur menggelegar di luar sana, harap maklum, kamar pribadiku memang ku desain sedemikian rupa agar mampu meredam suara masuk maupun keluar. Apalagi posisiku berada di kamar mandi, alhasil suara guntur di luar sana hanya samar saja terdengar, begitupun setelahnya, air bah yang terjatuh dari langit membasahi ibu kota yang fana ini, masih samar terdengar.

Semakin lama, semakin keras saja suara hujan di luar sana.

Aku sih gak perlu memikirkan apa-apa tentang hujan di luar sana, toh, istriku telah berada di rumah. Para penghuni kosan juga, masing-masing punya kehidupannya sendiri di luar sana. Yang penting mereka tetap mengikuti aturan yang telah di buat Andini, jika batas waktu pulang, hanya sampai jam 10 malam saja. Jika lewat, maka Andini akan mengunci pintu utama. Dan mereka semua memang tidak di izinkan memegang kunci rumah utama, hanya kunci kamar masing-masing.

Syukurnya, mereka bertiga amat sangat mengikuti aturan tersebut. Mona seorang mahasiswi yang sebentar lagi akan menyelesaikan masa perkuliahannya, meski tak memiliki kendaraan roda empat, tapi kekasihnya yang kerap kali antar jemput, memilikinya. Sedangkan Wina, dia cukup dewasa untuk menyikapi aturan yang berlaku. Apalagi dia memilik mobil yang sejenis dengan mobil yang ku belikan buat Andini, hanya mobil Honda Brio kecil, tapi wanita itu – dan juga berumur yang sama dengan Andini, sebagai pegawai kantoran tentulah dia tak perlu di khawatirkan juga akan pulang terlambat atau tidak.

Tapi.....



Tiara..................?

Oh tidak...

Bukankah dia sedang bersama temannya, meski mobilnya sedang berada di bengkel? Dan aku yakin, gadis itu berteman pasti yang juga memiliki kendaraan empat roda. Tapi mengapa aku tiba-tiba mengkhwatirkan dia?

Ah, sepertinya ini hanyalah efek dari perasaan yang menyiksa yang mulai mengangsur meredup di dalam sana seiring dengan guyuran air membasahi tubuhku, melenyapkan sisa busa sabun yang tadi menyelimuti.

Memang aku tak perlu mengkhwatirkan gadis itu seberlebihan ini. Aku segera melanjutkan proses ritual mandi bersihku ini, biar aku bisa beristirahat cepat, buat melenyapkan perasaan menyiksa ini.

...

...

...

Sengaja aku sholat dalam kamar saja, karena jika di mushollah samping, pasti suara bising air hujan yang deras itu akan mengganggu.

Begitu selesai membaca doa, aku menoleh ke atas ranjang. Andini sudah bergulang-guling yang sepertinya sedikit lagi, ia akan sampai di alam mimpi, alias tertidur nyenyak.

“Oh iya yah” dia memanggil ketika aku beranjak dan membereskan perlengkapan sholat, menaruhnya di lemari kecil.

“Ya sayang?”

“Bunda mintol boleh. Hehe, sepertinya bunda lupa periksa seluruh rumah deh. Habisnya ayah tadi terlalu ganas, bikin bunda jadi Pewe dan udah males bergerak lagi. Masih ngilu di bawah sana” kata Andini, dan di akhiri tangannya yang memegang di bagian pangkal paha.

“Oh ya udah” aku membalas.

Sebentar saja aku melempar senyum padanya, maka aku menjalankan keinginan Andini untuk sekedar ngecek-ngecekin rumah seperti yang biasa ia lakukan. Baik itu pintu, jendela maupun memeriksa keseluruhan rumah, jangan sampai ada hal-hal yang terlupa yang justru akan mengakibatkan masalah nantinya.

Di mulai dari lantai satu. Berjalan menuju pintu samping, kemudian ke bagian dapur memeriksa apakah ada colokan listrik yang masih menempel dan sedang tidak di gunakan, atau mungkin kompor yang masih kondisi nyala, meski ini amat sangat tidak pernah terjadi. Tapi memeriksanya saja tak mengapa menurutku. Rupanya semuanya aman.

Beres di bagian samping dan belakang rumah. Aku berjalan menuju ke ruang tamu. Yah, aku tahu jika pintu depan belum di kunci, karena waktu memang masih belum jam 10 malam.

Rupanya Wina baru saja tiba.

“Assalamualaikum, Pak.” Sambil mengucapkan salam, dia mengangguk hormat padaku.

“Wa’alaikumsalam, Win”

“Pak. Wina ke kamar dulu. Hehe,”

“Silahkan...” wanita yang bekerja di bank itu pun melangkah masuk ke dalam sambil menenteng sepatunya. Ia masih berseragam kerja, hmm, kalo bukan sehabis lembur mungkin saja dia habis keluar nongkrong bersama teman.

Begitu pintu rumah ku buka. Ku lihat sendal dan sepatu yang tak asing di sana. Itu milik Mona. Mahasiswi itu juga sudah pulang.

Itu artinya, tersisa satu orang lagi penghuni kosanku yang belum tiba. Itu juga yang tiba-tiba kembali menghadirkan pemikiran cemas di dalam sana.

Tiara....

Kenapa kamu belum pulang, dek?


Aku membatin. Semakin melangkah keluar, semakin keras bunyi hujan dan gemuruh guntur saling sahut menyahut, semakin besar kecemasan mendera.

Dari teras rumah, ku pandang keluar sana. Seakan mencari apakah aku bisa melihat sesosok yang kini, sedang menciptakan kecemasan dalam diriku ini, atau mungkin, untuk sebuah keyakinan agar aku bisa mengambil tindakan?

Lalu, tindakan apa yang harus ku ambil saat ini?

Tanpa sadar, aku melangkah mundur buat sekedar menghindar. Karena bersamaan rembesan air hujan mulai menembus sampai ke teras rumah. Tak ingin terlalu terpaku di sini, aku berjalan masuk ke dalam, segera mengunci pintu rumah dan berharap, ketika memeriksa kondisi di lantai dua, aku bisa merasakan kelegaan ketika, dia, Tiara sudah berada di dalam kamarnya.



Namun nyatanya....

Itu tak terjadi. Aku menggeleng, seperti menjawab pertanyaanku sendiri di saat ku tatap ke arah kamar di pojok sana, yang di huni sosok periang nan menggemaskan itu. Yang sampai sekarang, masih membuatku cemas, membuatku sekhawatir ini padanya. Kamarnya masih gelap, lampu belum menyala. Berbeda dengan kondisi dua kamar lainnya, meski tak menerang, tapi temeram karena para penghuninya mungkin telah memadamkan lampu utama, menyalakan lampu tidur.

Benarkah engkau baik-baik saja di luar, dek?

Benarkah Tiara sedang bersama temannya? Apakah temannya seorang pria? Lalu, mengapa jika seorang pria? Mengapa, begitu mengingat hal itu, perasaanku kembali menyiksa di dalam sana?

Arghhhhhh....

Perasaan ini. Keinginan ini semakin lama, semakin sulit buat ku bendung. Keinginan untuk sekedar mengetahui, melihatnya, baik-baik saja ketika kota yang kami huni ini sedang di guyur hujan yang teramat deras.

Sungguh....

Aku tak sanggup bertahan lagi. Aku tak sanggup hanya diam, tanpa melakukan sesuatu saat ini. Maka karena itulah, aku segera berjalan cepat menuruni anak tangga satu persatu, menuju ke kamar pribadiku. Begitu pintu kamar ku buka, ku lihat Andini sudah terpejam, memeluk guling, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal nan lembut itu.

Ku dekati Andini, sedikit menyentuhnya.

Matanya membuka. “Sudah yah?” rupanya dia belum benar-benar tertidur.

Aku menganguk. “Sudah.... tapi” Andini sedikit bergeliat, memposisikan dirinya agar bisa melihatku dengan baik.

“Kenapa yah?”

“Ayah lupa, sepertinya ayah belum mengunci pintu bagian belakang toko” maaf istriku, entah mengapa, suamimu bisa mengatakan kebohongan ini. Padahal jelas-jelas, ingatan pada otakku ini, aku tak akan pernah sama sekali melupakan kebiasaanku itu.

“Ha? Astagaaa... ayah, kenapa tumben bisa kelupaan?”

“Mungkin karena ayah tadi lagi pengen.” Ku jawab sekedarnya, tapi dalam sana, jantung dan paru-paruku bekerja secara cepat. Muncul rasa yang berasalah pada Andini, tapi rasa bersalah itu seakan memudar, tersamar, oleh kecemasan yang begitu teramat jelas menguasai.

“Idih. Ya udah sana yah, hati-hati nyetirnya. Apalagi hujannya keras banget.”

“Iya sayang”

“Oh iya, anak-anak udah pada pulang?” tanya Andini, anak-anak yang di maksud tentulah ketiga penghuni kosan.

“Wina dan Mona baru saja pulang. Tapi Tiara....” Andini menyela.

“Astagaaaa.... iya, harusnya tadi ayah maksa dia untuk pulang bareng ayah, ini malah di tinggalin”

“Ayah tidak meninggalkannya sendiri, dia yang ingin ketemu kawannya” balasku.

“Yah boleh mintol, ambilin HP bunda di meja sana” kata istriku, sambil menunjuk ke arah ponselnya yang berada di atas meja nakas. Aku membantunya mengambil.

Setelah itu, setelah ponselnya telah ia genggam, Andini segera menghubungi seseorang. Meski ingin menebak, tapi jawaban sudah ku dapatkan di jenak berikutnya. “Ihhh Tia, kenapa sih pake matiin HP segala...?”



Degh!



Aku membeku, mendengar gerutu istriku.

“Nelfon siapa bun?” aku hanya sekedar memastikan. Meski sambil berbicara, nafas ini sengaja ku tahan.

“Tiara yah. Duhhh nih anak. Awas kamu, kalo ketemu kakak bakal kakak omelin deh.”

“Tidak perlu terlalu secemas itu padanya, bun” ku usap kepala istriku, buat meredakan rasa cemasnya terhadap Tiara. “Tiara sudah besar. Dia bukan anak kecil lagi.”

Padahal....

Mungkin, justru akulah yang butuh usapan itu, buat meredakan kecemasan yang juga mungkin saja, kadarnya jauh lebih besar dari yang Andini rasakan.

“Bunda sayang sama dia...”

Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Ya udah bun. Ayah udah mau jalan ya,”

Andini mengangguk, dan tak lupa menyalim tanganku.

“Hati-hati.”

Ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta nomor ponsel Tiara, tapi, bibir ini membeku. Sulit, amat sangat sulit buat ku gerakkan lagi. Maka dari itu, pergi sesegera mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku.



BERSAMBUNG CHAPTER 7 - B
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd