Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Historian Time

Status
Please reply by conversation.
Duh. Ini kalo kelamaan updatenya bisa sepi ini tread. Padahal menurut ane menjanjikan ini cerita. Ayo suhu, jangan kelamaan dong.
:ampun:
 
Duh. Ini kalo kelamaan updatenya bisa sepi ini tread. Padahal menurut ane menjanjikan ini cerita. Ayo suhu, jangan kelamaan dong.
:ampun:

Wah maaf agan agan kalian sudah menunggu.. thread cerita ane kayaknya gak mungkin bisa update cept. Seminggu sekali mungkin. Jk tidak ada halangan ane update minggu ini. Terima kasih perhatiannya.
 
Wah maaf agan agan kalian sudah menunggu.. thread cerita ane kayaknya gak mungkin bisa update cept. Seminggu sekali mungkin. Jk tidak ada halangan ane update minggu ini. Terima kasih perhatiannya.

update dari satu chapter ke chapter berikutnya boleh lah dalam weekly basis, tp buat update pertama setelah intro/prolog sebaiknya jgn terlalu lama jedanya, biar bisa nyambung sama prolognya
sekedar saran aja nih gan :ampun: :ampun:
 
Ndeprok dimari ah..

From the first glance it looks interesting!
 


"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni. Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu. Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Dibiarkannya yang tak terucapkan. Diserap akar pohon bunga itu" (Sapardi Joko Damono)

Sebuah Perkenalan di bulan Juni​

Sabtu tengah hari, Depok, kota yang selalu gersang saat siang itu cakrawalanya menghitam. Sang surya terselimuti awan kelabu. Isyarat rintik air kan turun dari bentang langit raya. Entah kebetulan atau tidak, itu terjadi pada bulan Juni di sebuah perguruan tinggi tersohor di bumi Ibu Pertiwi, penyandang nama negeri, tempat bernaungnya sang sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono, sang penulis sajak “Hujan di bulan Juni”.

Kiranya, itu yang membuat pria muda berambut keriting ikal, bernama Tanto, sedang ‘khusyuk’ terduduk menyandarkan badan dengan mata terpejam di sebuah sofa hitam elok milik perpustakaan megah kampusnya. Ia rela melelahkan kedua bola matanya demi membaca buku tebal nan lawas ‘Di bawah Bendera Revolusi’ terbitan 1964. Juni, Karena bulan Juni kah? Bulan ‘Pancasila’ dicetuskan sekaligus bulan sang pencetusnya ‘Bung Karno’ dilahirkan? Atau dalam memperingati wafatnya Bung Karno? Sepertinya tidak. Tanto bukan seorang Soekarnois. Bukan pula mengkhususkan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno, sehingga serta-merta ia ingin membaca mahakarya Bapak Bangsa itu. Lantas?


Rak-rak Perpustakaan​

Bersandar sembari memejamkan mata, karena terlalu asyik bak anggota dewan yang tertidur karena bosan di kala sidang, Tanto tak sadar sedang diamati oleh lelaki kurus seusianya. Pria muda itu mengenakan kemeja ‘flannel’ kotak-kotak, lengan pendek, dengan kombinasi warna biru tua dan putih. Jenjang kakinya ia tutupi dengan celana panjang formal berwarna coklat pasir berbahan kain katun. Kebanyakan orang menyebutnya model celana ini adalah celana ‘chino’, tetapi adapula yang menyebutnya celana ‘khaki’. Sebuah celana yang awalnya diperuntukkan untuk kalangan militer. Alas kakinya sangat berbeda jauh dengan yang Tanto kenakan. Bila Tanto hanya bermodalkan sandal karet, pemuda ini memodalkan alas kakinya dengan sepatu boots berwarna coklat tua dengan simpul tali putih yang mengikat rapi.


Siapakah anak muda ini gerangan? Dia adalah Erik, kawan laki-laki satu-satunya di kelompok OSPEK Tanto yang didominasi para ‘srikandi’. Nama lengkapnya Erik Hermansyah, tidak punya kekerabatan apalagi hubungan saudara langsung maupun tidak langsung dengan penyanyi yang sekarang menjadi wakil rakyat, Anang Hermansyah. Dia hanya mahasiswa biasa dan prematur sama seperti Tanto. Tingginya 168cm, selisih 7 cm dengan Tanto yang memiliki tinggi 175 cm. Kulitnya sawo matang, masih sedikit putih Tanto. Rambutnya pendek,rapi, nan klimis, meski tak memakai minyak rambut. Sisiran rambutnya ke samping, mirip potongan rambut ustadz. Ia sedang berdiri memperhatikan Tanto di antara rak-rak yang beralas kayu dan berpancang besi yang tinggi menjulang, yang diipenuhi buku-buku dari rumpun ilmu sosial dan humaniora. Tampak seraya memperhatikan, Ia sedang memegang sebuah buku di tangan kanannya “Gie: Catatan Seorang Demonstran” yang tebalnya tidak setebal buku yang Tanto baca. Mulanya ia masih mencari sebuah buku lagi, namun terhenti sejenak setelah melihat sang kawan sedang berleha-leha di sofa empuk perpustakaan.

“Eh Tanto.., To..., Tanto.... ngapain lu di sini?” sapa Erik dengan suara agak parau sembari berjalan dengan langkah yang pelan tapi pasti.

Tanto merespon agak lambat sapaan sang kawan yang memanggil namanya. Mungkin pendingin ruangan membuatnya nyaris terbawa ke alam mimpi. Akan tetapi, pelan-pelan kedua kelopak mata Tanto membuka. Mulutnya pun menguap. Tanto yang bersandar sebelumnya mencoba mengambil posisi duduk normal kembali.

“Ehh.. elu Rik. Lagi ngapain lu di sini? OSPEK kan Senin...” tanya Tanto dengan kedua matanya yang masih mengantuk

“Lah lu sendiri di sini ngapain to? Udah tahu perpus tempat baca. Eh, elu malah duduk tiduran di sini” jawab Erik bertanya balik

“Yeee orang nanya, dia malah nanya balik... Gue tuh tadi gak tidur, cuma mejemin mata aja yang cape habis baca buku” gerutu Tanto menjawab pertanyaan erik

“Ohhh gituu, maaf deh to, gue kirain tadi lu tidur. Yaa.. habis dari jauh kelihatan lu nyender di sofa, udah gitu sambil nutup mata lagi. Kagak ada pula buku yang lu pegang.” balas Erik meminta maaf

“Gak semua orang nutup mata itu pasti tidur kali rik ckckck.. Eh iya, lu sendiri ngapain di sini? itu pertanyaan gue belum lu jawab” tanya Tanto kepada kawannya

“Pada kenyataannya semua orang kalo tidur nutup mata kan To?” tanya erik

“Iyee.. iyeee gue tidur deh kalo memang itu mau lu.. Yaudah sekarang jawab pertanyaan gue tadi” Tanto menggerutu

“haha... Ini to, gue lagi nyari buku. Yaa.. buat baca-baca aja sambil ngisi akhir pekan yang lowong gak ada kegiatan.” sahut Erik tersenyum

“Ohhh”

Tanto sedang bercakap-cakap sambil terduduk di sofa memandangi Erik yang berdiri tepat di dekatnya. Keduanya bersahabat. Meskipun begitu, Tanto berbeda jurusan dengan kawannya itu. Erik mengambil studi Ilmu Hubungan Internasional, jurusan yang banyak diminati kawula muda dan lulusan sekolah menengah yang bercita-cita menjadi seorang diplomat atau duta besar, dan kebanyakan mereka bermimpi dan berharap menjadi perwakilan di negeri-negeri makmur nan kaya ketimbang negeri miskin, berkecamuk perang. Selain itu, jika jurusan Sejarah yang Tanto tempuh berada di bawah lingkup Fakultas Sastra, studi yang Erik jalani berada di bawah payung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, fakultas yang kebanyakan berisi para manusia yang pandai berdiskusi, ahli komunikasi, calon politisi, dan praktisi politik penghias negeri.

“Itu buku apaan yang lu pegang rik?” tanya Tanto penasaran dengan buku yang dipegang Erik

“Ohh ini. Buku tentang Soe Hok Gie to.. “ jawab Erik singkat

Tanto tersenyum dengan senyumnya yang rapat dan tak kelihatan gigi. Jari telunjuk tangan kanannya menggaruk pipinya yang tak gatal. Matanya menatap buku itu seolah-olah ia mengetahui isi bukunya. Ia memilih senyum diam membisu.

“Lah lu malah senyum sendiri. Eh iya To, si Soe Hok Gie ini kan alumni kampus ini dan jurusan lu To, lu tahu kagak? Dia ini seorang aktivis mahasiswa pada era Orde Lama. Nah di buku ini juga ada tulisan-tulisan dia dulu loh To.. yang banyak dimuat di surat kabar waktu itu, tentang kritik-kritik dia terhadap pemerintahan Soekarno. Eh iya, ngomong-ngomiong si Gie ini anak gunung juga loh To , lu tahu gak? ” Erik menjelaskan dengan padat

“Anak gunung krakatau? Ahh udah-udah, cukup penjelasan lu. Kalo iya, emangnya penting untuk gue? Enggakkan? Gue juga bukan anak gunung, tapi anak ibu-bapak gue” balas Tanto

“Iya sihh to gue tahu. Tapi, gue kan cuma ngasih sekedar info ajaa, masa salah... Eh iya,ngomong-ngomong tugas kelompok kita gimana To? Udah kelar?” tanya Erik teringat hari senin saat dimulainya OSPEK

“Udah kelar dari Hongkong... yaa belumlah......” kesal Tanto

“Lah terus bagaimana? Udah tahu senin besok deadline. Lu kumpulin anak-anak gih, terus kita omongin bareng-bareng tentang tugas kelompok ini” Erik memberi usul kepada Tanto

“kenapa enggak lu aja rik? Lagipula lu kan yang udah ketemu langsung sama mereka” timpal Tanto agak kesal dengan usul yang erik berikan.

“Yaahh kan gue udah cape dapetin nomor hape mereka. Nah.. itu semua udah gue kasih tahu ke lu. Sekarang giliran elu lah yang hubungin mereka semua. Gue juga gak ada pulsa sama sekali To. Lagipula gue sekarang kan ngekos To, gak kayak lu pulang- balik ke Jakarta, bisa langsung minta jajan sama orang tua. Gak perlu hemat-hemat pula dengan uang, gak kayak gue musti hemat banget To, makan aja di warteg , itu gak bisa pakai ayam goreng, yaa paling telor sama orek. Nanti akhir bulan palingan juga makan mie instan.. ” belum Erik selesai bicara sudah disela oleh Tanto

“Heemm udah-udah rik.., mudah-mudahan lu jadi diplomat yeee rik, bukan jadi politisi. Ngomong mulu dari tadi” Tanto risau dengan Erik

“Amiinnn mudah-mudahan yaa To...” sahut Erik tak merasa bersalah

“Dihh..anjirr.. malah sempet-sempetnya lu ngaminin”

Kesal dengan Erik, Tanto berencana beranjak dari sofa tempat ia bersandar. Ia berdiri meluruskan kedua kakinya yang dari tadi tertekuk. Ia hirup udara lantai 2 perpustakaannya yang ia rasa makin dingin dan sejuk saja. Namun, ia sontak berdiri mematung. Karena Erik, mendadak pikirannya tertuju dan terbawa pada tugas kelompok OSPEK yang harus dikumpulkan Senin. Ia khawatir karena tugas OSPEK sungguh belum dikerjakan sama sekali, belum pula ada perencanaan penulisan. Alasan konkret apa yang harus kelompoknya sampaikan kepada kakak panitia OSPEK jika kelompoknya tak mengerjakan sama sekali. Apakah kakak panitia OSPEK akan mengasihani begitu saja? Sebetulnya, Tanto sudah menghubungi para srikandi kelompoknya melalui whatsapp, namun tak ada tanggapan. Itu mengapa ia begitu kesal dengan usul Erik.

Tanto masih bersama Erik di lantai 2 perpustakaan yang lampunya perlahan menyala terang satu per satu, sedangkan di luar sana, hujan deras turun membasahi pepohonan hijau yang berada di sekeliling bangunan besar tempat mukimnya tumpukan buku itu. Langit kian gelap. Manusia-manusia yang ada di lingkungan tempat para cendekia menimba ilmu mencari tempat berteduh, memayungi diri sendiri, memayungi satu sama lain. Tak begitu banyak, kebanyakan mereka hanya para penduduk sekitar yang menjadikan kampus Tanto sebagai tempat berekreasi pada akhir pekan dengan sanak keluarga di tengah sulitnya menemukan hijau dan rindangnya pepohonan di kota Depok.

“To, kok lu diem? Kepikiran kan sama yang gue omongin tadi?” tanya Erik sok tahu

o=O=o​

Ditemani derasnya hujan dan hembusan angin kencang yang menyelimuti kawasan kampus, seorang gadis muda berambut panjang, hitam nan lurus, penyuka dunia ekonomi dan bisnis, sedang duduk menyeduh kopi espresso hangat sembari membaca novel “The Invisible Heart” (sebuah novel ekonomi yang dibalut kisah cinta di dalamnya) di atas bangku berwarna merah, di sebuah gerai, kedai kopi ternama yang akrab dengan brand dan warna hijaunya. Kedai kopi itu terletak di lantai dasar perpustakaan yang memiliki 5 lantai. Suasana di sana tidak begitu ramai. Kebetulan itu hari Sabtu, kebetulan pula para mahasiswa juga sedang libur semester, kecuali mereka yang memang mempunyai janji atau sekedar bersantai. Gadis yang sedang sendirian itu bergaya dengan busananya yang feminim. Blus yang menutupi tubuhnya bermotif garis-garis hitam dan putih, memanjang hingga pinggangnya. Kian elegan, ia padukan dengan rok selutut berwarna krem dan sepasang flat shoes dengan warna coklat muda.


Dinar​

Dinar Khairunnisa namanya. Wanita yang ayu nan cantik jelita itu akrab disapa DInar oleh kawan-kawan semasa sekolah menengah. Akan tetapi, ia memperkenalkan dirinya sebagai Icha semenjak menjadi mahasiswa baru kepada orang-orang yang berkenalan dengannya. Dinar ialah mahasiswi baru yang berasal dari sekolah menengah negeri terbaik di Jakarta, mungkin salah satu terbaik di Indonesia juga. Nilai passing grade untuk masuk sekolah itu saja harus di atas rata-rata 9,4. dari empat mata pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional. Itu berarti semua nilai masing-masing mata pelajaran harus di atas 9. Tidak hanya itu, kebanyakan lulusannya diterima di beberapa kampus terbaik di negeri ini. Kawan-kawan Dinar misalnya, kebanyakan mereka diterima di jurusan pendidikan dokter di sebuah kampus kedokteran ternama di Salemba, Jakarta Pusat, yang berdekatan dengan Rumah Ssakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Berbeda dengan teman-temannya, meski di sekolahnya mengambil jurusan ilmu alam, Dinar malah mengambil studi ilmu ekonomi, jurusan yang dulu bernama Ekonomi Pembangunan pada masa Orde Baru, yang lulusannya menjadi ‘dedengkot’ perekonomian Indonesia, seperti Widjojo Nitisastro, Sri Mulyani Indrawati, Darmin Nasution, Agus Martowardojo, dan Bambang Brodjonegoro. Sungguh beruntung, Dinar diterima di jalur undangan (PMDK) sehingga ia bisa bebas memilih jurusan yang akan diinginkannya ketika kuliah nanti, tanpa harus bersusah payah mempelajari ilmu sosial lagi demi mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri yang terkenal susah itu. Namun, waktu sudah berlalu. Kini Dinar sudah menjadi mahasiswa baru, melepas seragam putih abu-abunya yang ia pakai selama tiga tahun utuh. Tak berganti pakaiannya, simbol memang wanita ini anak ekonomi sejati. Yang menelan mentah prinsip ekonomi demi kehematan menjalani hidup.

Dinar, perempuan muda itu sangat terobsesi menyelamatkan perekonomian negerinya yang masih carut marut, bertumpuk kaum papa dan pengangguran di sana sini. Rakyat di Timur dan perbatasan yang masih terbelakang. Masyarakat yang mencari sesuap nasi di negeri seberang. Pembangunan dan pemerataan antara timur dan barat yang timpang, yang kaya makin jaya, yang miskin makin sengsara. Anak-anak muda yang tertunduk lesu karena pekerjaan tak kunjung datang. Itu yang mungkin menjadi alasan kuat gadis ini mengambil ilmu ekonomi sebagai studinya. Ia berharap suatu saat nanti, ia menjadi seseorang yang mampu mengobati penyakit kemiskinan yang menggerogoti rakyat republik ini. Namun, apakah menyelesaikan itu semua harus masuk jurusan ilmu ekonomi?

Dinar sedang bingung, hatinya risau, menanti-nanti hari Senin ketika masa orientasi kehidupan kampusnya akan dimulai. Dia khawatir akan diplonco oleh seniornya. Apalagi, tugas kelompok OSPEK-nya menggantung tidak jelas. Padahal, dia sudah bertemu salah seorang kawan dari kelompoknya yang bernama Erik. Kawannya ini berjanji akan menghubunginya dalam waktu dekat. Hanya saja, bukan Erik yang mengubunginya. Tapi, orang lain yang tidak memperkenalkan dirinya yang mengaku salah satu teman kelompoknya. Melalui pesan yang tertulis di whatsapp, orang itu mengajak para anggota kelompok untuk berkumpul mendiskusikan tugas. Namun, dinar ragu untuk merespon balik seseorang yang ia tidak kenali. Lagipula, apa susahnya memperkenalkan diri dengan hanya menyebut nama? Sementara waktu kian terdesak. Senin besok, tugas OSPEK harus segera dikumpulkan. Ia tak mau almamater sekolahnya yang berlabel amat baik tercoreng begitu saja karena ulahnya. Mau tak mau Dinar yang ambisus itu harus merespon balik orang yang sudah mengajaknya berkumpul untuk membicarakan tentang tugas kelompok. Namun, dinar lebih memilih menghubungi Erik.

Dinar: “Erik, ini gue Icha. Tugas kelompok OSPEK gimana nih rik?”

Erik :“Iya cha. Gue juga lagi bingung nih sama tugas kelompok kita. Kita omongin aja yuk di kampus kebetulan gue sama satu kawan kelompok kita juga. Lu sendiri sekarang di mana? Gue lagi di kampus nih”

Dinar : “Eh kebetulan, gue juga lagi di kampus nih, lu di mananya?”

Erik : “Gue di perpus, lantai 2 cha... deket buku rumpun ilmu sosial”

Dinar : “Oke, gue ke sana ya rik...”

Mendapat pesan positif dari Erik melalui whatsapp, Dinar tak membuang-buang kesempatan. Ia segera meluncur ke lantai 2 perpustakaan. Kopi espressonya yang tidak begitu hangat lagi ia minum dua teguk. Novel yang tidak terlalu tebal itu ia genggam kuat. Terbangun ia dari bangku merah yang ia sudah duduki cukup lama semenjak hujan deras belum turun. Dua langkah kakinya menapak terburu-buru, berjalan keluar dari kedai kopi yang tersohor itu.

o=O=o


“Udah To, tenang aja deh.. Gue barusan dihubungin salah satu cewe cantik dari kelompok kita, namanya Icha. Lu masih nyimpen kan nomornya yang pernah gue kasih? Dia sekarang lagi menuju ke sini loh to” Ucap Erik menenangkan Tanto yang pusing memikirkan nasib tugas kelompok.

“Tenang bagaimana sih rik? Tugas kelompok sama sekali belum dibuat, elu nyuruh gue tenang?” risau Tanto mendengar jawaban Erik.

“Yaa tenanglah to,.. masa lu gak paham juga. Apalagi ada cewe cantik ke sini. Makin dingin dan adem aja nih ruangan lihat wajahnya. Eh iya, topik kita kan tentang ekonomi maritim nih... Kebetulan temen kita yang satu ini dari jurusan ilmu ekonomi. Pasti dia tahu banyak tentang topik ini. Jadinya kita gak perlu khawatir..” ucap erik dengan santainya

“Wajahnya AC kali bikin dingin dan sejuk. Eh.. yakin lu dia bisa bantu banyak kita?” tanya Tanto tidak percaya

“Yakinlah... percaya deh lu sama gue” sahut Erik dengan nada meyakinkan.

Sembari sama-sama berdiri tegak di lantai 2 perpustakaan, Kedua pria muda ini menanti kedatangan seorang kawan wanita yang usianya sama dengan mereka, sama pula statusnya sebagai mahasiswa baru. Mereka berharap tuah wanita muda yang juga kawan satu kelompok ini. Karena latarbelakang jurusannya, keduanya menunggu bantuan menyelesaikan tugas yang masih terbiarkan tak terurus.

Di sela menunggu, Erik bertanya kepada Tanto,

“To, boleh tahu gak elu tadi tersenyum lihat buku tentang Gie yang gue pegang kenapa?” tanya erik penasaran

“Ohh itu.***papa kok. Lu tertarik mau jadi aktivis yaa rik?” tanya Tanto kepada Erik

“Eh kok lu bisa tahu sih To, gue mau jadi aktivis?” jawab Erik tidak menyangka.

“Iya, itu kelihatan dari buku yang elu baca. Kebanyakan para calon aktivis muda seusia kita yang bau kencur tertarik membaca buku tentang Gie, pribadinya, dan tulisannya” terang Tanto menjelaskan

“Emang kenapa bisa begitu To?” tanya Erik

“Iya gak kenapa-kenapa, Gie itu kan aktivis mahasiswa pada akhir tahun 60-an. Mungkin menjadi inspirasi bagi sebagian kalangan” jawab Tanto singkat

“Hemm gitu, Ngomong-ngomong elu minat gak to jadi aktivisi kayak Gie, apalagi lu sama jurusannya sama si Gie?” tanya erik kepada Tanto

“Emmmmm gimana yaaa.....” Tanto bingung menjawabnya

Tanto menyukai idealisme Gie, lelaki Tionghoa yang amat kritis terhadap zamannya yang penuh dengan hiruk-pikuk politik yang berkecamuk di penghujung pemerintahan Soekarno. Gie bicara tentang fakta dan kebenaran saat massa terpecah belah menjadi faksi-faksi yang saling berebut pengaruh, seperti nasionalis, agama, dan komunis. Dia berdiri di tengah dengan idealismenya sebagai seorang mahasiswa. Tidak membela kepentingan manapun. Yang terpenting, sebuah kebenaran harus terungkap di balik tabir politik yang semakin tak jelas saja. Kepentingan bangsa dan negara harus dinomorsatukan di atas kepentingan golongan. Seperti ucapannya yang selalu diingat Tanto,

“Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah kepada kemunafikan”​

Namun, di balik itu semua. Ada yang Tanto sesali. Bagaimana jika Gie, pemuda tionghoa itu hidup pada zaman ini? Apakah dia akan menjadi pengkritik tulen? Zaman sekarang manusia muda tidak diperkenankan banyak menuntut. Mereka harus kreatif dan inovatif, memberi, membuat, dan membangun suatu solusi atas permasalahan yang melanda bangsanya. Jika sekedar mengkritik terus? Apa ada gunanya? Mungkin karena Gie berasal dari jurusan sejarah. Itu yang membuat dia tak bisa apa-apa. Andai dia berasal dari jurusan Teknik Mesin, mungkin Gie sudah menciptakan mobil nasional jauh-jauh hari sebelum muncul proyek Timor dan Esemka. Begitu pikir Tanto dalam benaknya sebagai mahasiswa baru.

“Eh iya To, lu bisa tahu tentang Gie darimana? Wah lu udah baca bukunya duluan yak?” tebak erik dengan sok tahunya

Belum Tanto menjawab, seorang gadis muda bertinggi 170 cm berjalan perlahan-lahan menghampiri Tanto dan Erik. Mata tanto terbelalak kaget melihat gadis muda sekaligus kawan satu kelompoknya itu, sedangkan Erik hanya tersenyum.

“Hehe.. si Tanto sampe bengong gitu ngelihat si icha yang cantik” tersenyum erik

“Dinar.... sosok Kartini muda dengan semangat emansipasi untuk membangun bangsanya, kini ia berada dihadapanku. Masihkah ia menyimpan mimpi-mimpi ambisiusnya? Menjadi Menteri di bidang perekonomian? Padahal, dalam olimpiade ekonomi nasional saja, ia nomor dua” batin Tanto memandang sosok Icha.


o=O=o​
 
Keren suhu... kaya akan kata-kata baru...
 
Bimabet
Keren nih cerita, diselipin semangat kebangsaan diantara cerita perlendiran. Kalau bisa dikasih ssnya suhu, Biar kaya2 orang berdasi disono.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd