Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Makasih updatenya Suhu @fathimah
Uwwhh... Tomi ttp manggil Gendis dgn panggilan "Bu" itu sesuatu banget. Kesan sensual seorang junior yg berhasil menaklukan seniornya di kantor sangat berasa. Cm ngobrol gitu ajah udah bikin Nubie ngaceng wkwkwk
Eh... mrk beneran berhasil lolos k Indonesia y? Mudah2an bukan prank si nelayan nie
Tim Pak Karjo jg kayaknya bentar lg bakal meninggalkan wilayah Tukaku. Tp ya mohon Suhu @fathimah berkenan memberikan kesempatan kepada mrk utk mendapatkan kenangan indah yang nikmat dr pasangan masing2 dulu yaaa. :kangen: Terutama Rini yg sudah jatuh kagum ke Pak Karjo, biar dia bs tau dan merasakan dl klo Pak Karjo tidak cm piawai dalam membantai tentara Tukaku, tapi juga berpengalaman dan sangat piawai dalam "membantai" abis seorang gadis perawan :genit:
Nabila dan Pak Harso? Mudah2an jg segera lolos dan kembali ke Indonesia. Tp sebelumnya, sebagai pemenang vote sampai saat ini, mudah2an Suhu @fathimah juga memberikan kesempatan kepada Nabila untuk ber dirty talk kembali dgn atasan yg dikaguminya itu. Tentunya bs lebih lepas dan liar dr yg pertama. Dan kasih kesempatan ke Nabila utk memenuhi rahimnya agar bisa hamil dgn benih dr Pak Harso. Biar suaminya nyaho, klo laki2 lain ada yg sangat bersedia menyumbangkan benihnya ke istrinya :ngiler:
Yah sekedar harapan Nubie ajah Hu hehehe. Semoga dipenuhi Suhu wkwkwk :D
Monggo dilanjut
 
Terakhir diubah:
menarik ceritanya
 
Part 23: Pelukan

Terik matahari yang posisinya telah cukup tinggi seperti memancarkan kehangatan yang membasuh kelopak mata yang masih tertutup milik seorang pria tua. Rasa lelah yang ia rasakan akibat aktivitas yang begitu menguras energi di malam sebelumnya membuat pria tersebut tampak tidak ingin membuka mata. Meski nyata adanya, tapi dia merasa apa yang terjadi semalam bagaikan sebuah mimpi, dan ia tidak ingin terbangun darinya.

Tangannya coba meraba-raba ke samping, demi meraih tubuh perempuan yang telah memberinya kepuasan luar biasa. Namun, ia tidak menemukan siapa pun di sebelahnya. Itulah mengap sang pria akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tidurnya.

Dengan mata yang masih harus mengerjap karena sinar matahari yang sudah begitu terang, pria tersebut coba melihat kondisi di sekitar tempatnya berbaring. Tidak ada siapa pun di sana, dan hanya terdengar suara hewan-hewan hutan yang saling bersahutan. Pria itu tampak masih mengenakan selimut yang menjadi saksi persetubuhan hebat di malam sebelumnya, tanpa sehelai benang pun melapisi tubuhnya yang masih dalam keadaan telanjang.

Pria tersebut akhirnya berhasil menemukan seluruh pakaiannya yang tersebar di sekitar tempatnya berbaring tadi. Setelah mengenakan pakaian lengkap, ia kemudian coba berkeliling mencari perempuan yang telah memberikan kenikmatan birahi yang luar biasa kepadanya semalam.

Perempuan yang dicari ternyata sedang duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai. Ia juga tampak telah mengenakan seluruh pakaiannya, lengkap dengan jilbab yang memang selalu ia pakai. Meski tanpa riasan dan dandanan seperti yang ia gunakan saat setiap hari berangkat ke kantor, perempuan tersebut tetap tampak anggun. Ia terlihat seperti tengah memandang dengan tatapan kosong ke arah aliran sungai.

"Pagi, Nabila ..."

Perempuan tersebut tampak kaget, sebelum kemudian menoleh ke belakang. "Pagi, Pak Harso."

Nabila-1.jpg

Sang atasan pun memposisikan dirinya di samping Nabila, meski masih dalam kondisi berdiri. Ia pun turut memandang ke arah sungai, mengikuti arah pandangan sang perempuan. Ia berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen dan kesegaran alam yang masih alami di sana, agar tubuhnya bisa benar-benar fit melanjutkan perjalanan hari ini.

"Pak Harso, saya mau bicara ..." ujar Nabila.

Pria tua tersebut pun langsung memandang ke arah sang perempuan. Ia mulai melihat gelagat bahwa Nabila sedang gelisah akan sesuatu, meski ia belum bisa mengetahui apa sebabnya. "Iya, Nabila. Ada apa?"

"Hmm ... soal yang semalam."

Dada Pak Harso kembali berdegup kencang, ia penasaran mengapa Nabila ingin membahas itu sekarang. "Ada apa dengan kejadian semalam, Nabila?"

"Kalau kita berhasil selamat ke Indonesia, boleh gak kalau itu menjadi rahasia kita berdua saja? Dan itu adalah kali terakhir kita melakukannya?"

Hati Pak Harso tampak terhenyak mendengar kata-kata tersebut. Kalimat tersebut seperti membuatnya tersadar bahwa ia memang bukan siapa-siapa di mata sang bawahan. Mungkin Nabila hanya sedang membutuhkan kepuasan, dan kebetulan ada Pak Harso di sampingnya saat itu. Meski sudah bisa diperkirakan, Pak Harso tetap merasa hatinya seperti tertancap panah-panah tajam yang membuatnya hancur berkeping-keping saat mendengar pernyataan Nabila tersebut.

Apabila bisa, pria tua itu tentu ingin berkata tidak. Ia ingin sekali menunjukkan kepada Nabila bahwa ia benar-benar menyayanginya, ingin terus memeluk tubuh indahnya, memberi kenikmatan yang indah untuknya. Namun Pak Harso tidak bisa melakukan itu.

"Ii ... Iya, Nabila. Te ... Tenang saja. Itu akan menjadi rahasia kita," ujar Pak Harso terbata-bata.

"Dan kita tidak akan pernah melakukannya lagi?"

"Tidak akan."

"Terima kasih, Pak," ujar Nabila sambil tersenyum. Senyuman indah yang kini justru makin membuat perih perasaan pria tua di hadapannya. "Jadi, kapan kita akan melanjutkan perjalanan, Pak?"

"Sebentar lagi. Kamu siap-siap saja dulu, aku masih ingin menikmati udara di pinggir sungai sebentar."

"Baik, Pak. Aku tunggu di sana ya," ujar Nabila yang sudah bangkit dan langsung berjalan kembali ke tempat mereka menginap semalam. Tempat yang menjadi saksi tumpahnya keringat mereka saat bersama-sama menjemput puncak birahi.

Begitu Nabila telah pergi, Pak Harso tampak merutuki nasib buruknya. Ia berusaha memikirkan mana yang lebih membuat sakit, antara tidak bisa menikmati tubuh Nabila sama sekali, atau sudah pernah merasakan tapi tidak boleh lagi menikmati tubuh molek perempuan cantik tersebut. Kini ia tahu bahwa pilihan kedua merupakan opsi yang paling buruk.

Ia menjadi bertanya-tanya apakah ada yang salah dari kejadian semalam? Apakah permainannya kurang membuat puas? Apakah dia terlalu memaksakan birahi hingga membuat Nabila tidak nyaman? Atau membuat perempuan tersebut kesakitan? Pak Harso kini mempertanyakan seluruh hal tersebut.

Pria yang sudah tidak muda lagi itu memandang ke arah aliran sungai yang terus mengalir tanpa henti, tidak peduli adanya batu dan penghalang yang menghalangi jalan mereka. Apakah ia harus melakukan hal yang sama kepada Nabila?

"Tidak ... Aku tidak bisa melakukan hal yang buruk kepada Nabila. Aku ... Aku mencintainya," ujar Pak Harso dalam hati.

Sebuah cinta yang kini ia tahu bahwa perasaan tersebut tidaklah berbalas. Kini ia tahu bahwa perasaan itu hanya bersifat sepihak, dan harus ia pendam mulai saat ini hingga selama-lamanya. Perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan kepada orang lain, dan mungkin harus ia bawa seumur hidup sampai akhir hayat. Dan celakanya, perasaan itu berlabuh di hati perempuan muda yang harus ia lihat setiap hari di kantor. Pak Harso mulai merasa bahwa ia tidak sanggup melakukannya apabila mereka kembali ke ibu kota nanti.

"Kamu harus sadar diri Harso. Siapa kamu dan siapa Nabila, kamu harus menyadari itu ..." ujar Pak Harso pada dirinya sendiri.

Meski berusaha untuk tetap kuat, Pak Harso tidak bisa mencegah matanya menjadi lembab karena lonjakan emosi yang ia rasakan saat ini. Tapi ia berusaha keras menekannya, demi perempuan yang tubuh indahnya baru saja ia puaskan semalam.

Ia pun kini membulatkan tekad, bahwa apapun yang terjadi, ia akan tetap mencintai perempuan tersebut. Meski tidak ada orang yang tahu, dan meski Nabila sendiri tidak akan pernah membalas perasaanya, ia tidak peduli. Dan mungkin ini akan menjadi pengorbanan terakhirnya untuk sang pujaan hati yang tidak akan bisa ia miliki. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membawanya kembali ke tanah air, meski ia harus kehilangan cinta dan nyawa untuk melakukannya.

***​

Pak Harso dan Nabila kembali menyusuri pinggir sungai seperti yang mereka lakukan di hari sebelumnya. Namun kali ini, keduanya tampak lebih banyak diam, larut dalam perasaan mereka masing-masing. Hanya tekad untuk selamat kembali ke tanah air saja yang membuat mereka tetap berjuang bersama.

"Tunggu sebentar, Nabila," ujar Pak Harso tiba-tiba.

"Ada apa, Pak?"

"Aku dengar sesuatu."

Nabila pun mempertajam pendengarannya, hingga ia berhasil menemukan suara yang dimaksud oleh Pak Harso.

"Sepertinya ada suara keramaian di atas sana, Pak," ujar Nabila.

"Kita coba ke sana ya," ucap Pak Harso.

Mereka berdua pun mendaki sebuah jalan menanjak yang berundak, sedikit menjauh dari pinggir sungai. Semakin mereka naik ke dataran yang lebih tinggi, suara tersebut makin jelas terdengar. Dari nada suaranya, Pak Harso memperkirakan bahwa itu adalah suara gerombolan anak kecil.

Pak Harso dan Nabila pun sampai di puncak bukit dan menemukan sebuah tanah lapang dan bangunan yang mirip dengan sekolah. Di depan sekolah tersebut tampak banyak anak berlarian, dengan beberapa guru mencoba mengatur mereka agar berbaris dengan rapi. Dari usianya, sekolah tersebut tampaknya berada di tingkat sekolah dasar.

"Itu, sekolah Indonesia kan?" Ujar Nabila.

"Dari mana kamu yakin, Nabila?"

"Pakaian seragamnya putih merah, bukankah itu seragam SD anak Indonesia?"

"Kamu yakin kalau seragam SD di Tukatu tidak putih merah juga?"

"Iya juga ya. Lalu bagaimana kita memastikan bahwa mereka itu SD Indonesia atau SD Tukatu?" Tanya Nabila tidak sabar.

"Tunggu sebentar, aku sedang berpikir."

Namun Pak Harso dan Nabila tidak perlu waktu lama untuk menemukan jawabannya. Karena sesaat kemudian terdengar nyanyian lantang dari para siswa tersebut.

"Bangun pemudi pemuda ... Indonesia. Singsingkan lengan bajumu ... untuk negara."

Pak Harso dan Nabila pun saling berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka pun memeluk tubuh satu sama lain dengan perasaan lega.

Di tengah pelukan tersebut, berbagai pikiran berkecamuk di kepala Pak Harso. "Apabila ini adalah pelukan terakhir yang aku terima dari Nabila, aku akan ikhlas. Biarlah cinta ini aku pendam dalam hatiku sendiri saja," pikirnya dalam diam.

***​

Rombongan Pak Harso dan anak buahnya sudah menghilang selama beberapa hari. Dan semakin hari itu bertambah, semakin gundah pula perasaan Bu Suyati sebagai seorang istri. Tak terhitung lagi berapa kali ia hampir menangis memikirkan nasib sang suami yang tidak jelas rimbanya tersebut.

Namun di sisi lain, setiap kali ia tampak bersedih, seorang pria berkulit gelap akan selalu mencegahnya larut akan perasaan tersebut. Ia akan melakukan berbagai cara, mulai dari memeluk tubuhnya, mencium bibirnya, meremas payudaranya, hingga membuat perempuan yang sudah tidak muda lagi itu mereguk kebahagiaan birahi yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Awalnya, Bu Suyati memang enggan untuk melakukannya, mengingat status mereka berdua yang masih mempunyai pasangan. Meski saat ini kondisinya tidak diketahui, aku tetap saja berstatus sebagai istri Pak Harso, pikir perempuan tersebut. Namun agresifitas sang pria membuat perempuan itu tidak berkutik. Apalagi pria itu mempunyai stamina dan bentuk kemaluan yang jauh berbeda dengan milik sang suami, dan Bu Suyati tidak bisa bohong bahwa ia juga menikmatinya.

Seperti sore itu, di saat Pria tersebut baru pulang dari kantornya setelah bekerja seharian, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah dan istri sahnya. Ia justru datang ke resort Hostina dan mengetuk pintu kamar Bu Suyati. Begitu pintu dibuka, pria yang masih mengenakan pakaian dinas tersebut pun langsung masuk dan merengkuh tubuh indah perempuan yang seharusnya tidak boleh ia sentuh tersebut.

Tanpa menunggu lama, pria tersebut langsung melepaskan kemeja dan kaos dalamnya, seperti ingin mempertontonkan dadanya yang bidang di hadapan Bu Suyati. Setelah itu, ia pun mendorong tubuh perempuan cantik itu ke atas ranjang, dan langsung menindihnya.

"Hmmmpp, beberapa jam saja tidak menikmati tubuhmu ini, aku langsung tidak bisa berkonsentrasi, Bu Suyati," ujar pria tersebut sambil mengecup pipi dan bibir sang perempuan. Tangannya pun mulai aktif masuk ke balik atasan yang dikenakan Bu Suyati, dan meremas-remas payudaranya dari balik bra.

"Nggghhh ... stop Pak Jeremy. Aku tidak bisa melakukan ini lagi, ahhhhh ..." ujar Bu Suyati tanpa memberikan penolakan yang berarti. Ia sendiri tidak bisa menutupi betapa kagumnya ia pada bentuk tubuh pria asal Indonesia timur tersebut.

"Buah dadamu yang indah ini seperti memancingku untuk terus mengulumnya. Rasa dan aromanya pun jauh lebih membuatku bergairah dibanding istriku sendiri ..." Pak Jeremy mulai menarik pakaian Bu Suyati ke atas hingga ia bisa mengecup perut sang perempuan, sebelum naik ke arah payudara montok yang menggantung di atasnya.

Saat keduanya baru saja mulai memacu syahwat yang sama-sama telah mereka pendam sejak semalam, tiba-tiba smartphone Bu Suyati berbunyi. "Kriiiiiinnnggg ..."

"Duh, siapa sih itu ganggu saja orang mau senang," Pak Jeremy mengeluh.

"Tunggu sebentar ya, Pak. Siapa tahu penting," ujar Bu Suyati sambil menggeser tubuhnya menjauh dari Pak Jeremy, dan mengangkat panggilan telpon yang masuk.

Perempuan tersebut tidak sempat berkata apa-apa, karena orang yang ada di ujung sambungan telpon tersebut terus saja menjelaskan maksudnya menelpon Bu Suyati. Tak lama kemudian, tangisan pun pecah dari mata sang perempuan, yang membuat ia langsung tertuduk di lantai hotel yang telah menjadi tempatnya menginap sejak datang ke daerah sekitar bukit Amanika tersebut.

***​

Malam harinya, Bu Suyati bersama Rama dan Karina telah sampai di kantor Koramil, tempat mereka melapor tentang hilangnya rekan-rekan mereka setelah berkemah di bukit Amanika. Begitu turun dari mobil, mereka melihat Kapten Budiman telah menunggu mereka di depan kantor tersebut, dengan wajah yang sumringah.

Karina-1.jpg

"Selamat malam Bapak dan Ibu sekalian, mohon maaf mengganggu waktunya malam-malam begini. Namun saya rasa kalian perlu tahu perkembangan terbaru yang kami temui terkait keluarga dan rekan kalian yang hilang di bukit Amanika," ujar sang pimpinan tentara tersebut.

"Bagaimana kondisi mereka, Pak? Di mana mereka sekarang?" Bu Suyati tampak sudah tidak sabar ingin bertemu kembali dengan sang suami tercinta.

"Itu dia, mereka baru sampai," ujar sang Kapten sambil menunjuk ke arah jalan masuk menuju gedung kantornya.

Terlihat sebuah mobil van berwarna hijau gelap baru saja memasuki area kantor Koramil, dan berhenti tepat di depan mereka. Dari dalamnya, turun satu persatu para wisatawan yang sempat hilang di bukit Amanika, mulai dari Pak Harso, Nabila, hingga kakak beradik Widi dan Rini. Mereka tampak sudah membersihkan diri, meski tampak tidak mengenakan pakaian yang biasa mereka kenakan.

Melihat kembalinya sang suami tercinta, Bu Suyati langsung menghambur ke arahnya. Perempuan tersebut kemudian memeluk tubuh Pak Harso dan menyandarkan kepala di dadanya sambil menangis bahagia dengan suara yang kencang.

Sementara Rama dan Karina yang sebelumnya bergenggaman tangan, kini secara otomatis langsung melepas gandengan tersebut. Sang pria langsung menghampiri istrinya yang cantik, dan memeluknya erat, seperti memberi jaminan keamanan bahwa tidak ada lagi hal buruk yang akan menimpa mereka.

Karina pun langsung menghampiri keenam orang lain, yaitu Gendis, Tomi, Pak Doni, Pak Karjo, Widi, serta Rini. Ia memeluk mereka satu per satu, demi meminta maaf atas kesalahannya yang menyebabkan mereka semua berada dalam bahaya.

Gendis-1.jpg

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

"Hmm, Raymond dan Johan?" Perempuan tersebut akhirnya baru sadar bahwa dua orang anak buahnya tidak termasuk dari rombongan yang kembali dengan selamat dari bukit Amanika.

"Mohon maaf, Mbak Karina. Mereka berdua meninggal setelah ditembak oleh tentara Tukatu, saat akan menyelamatkan kami," ujar Pak Doni yang disambut dengan isak tangis Karina. Perempuan tersebut tampak berduka setelah kehilangan dua orang yang sudah sering membantu dia menjalankan bisnis tour dan travel selama ini.

"Yang sabar ya, Mbak Karina," ujar Pak Doni sambil menarik tubuh perempuan tersebut ke pelukannya. Pria tersebut tidak menyadari tatapan tajam dari Widi saat mereka berdua berpelukan.

Hal lain yang tidak disadari oleh mereka semua, adalah bagaimana Pak Harso dan Nabila saling mencuri pandang di tengah momen temu kangen tersebut.

(Bersambung)
 
Part 24: Kembali

Di depan sebuah rumah dua tingkat yang berada di kawasan pinggiran ibu kota, sepasang pria dan perempuan telah siap untuk berangkat dengan mobil Innova berwarna hitam. Sang pria tampak memeriksa barang-barangnya khawatir ada yang ketinggalan, sebelum bersiap mengganti persneling dan mulai melajukan kendaraan.

"Sudah dicek semua, nggak ada yang ketinggalan?" Tanya pria tersebut kepada perempuan cantik di sampingnya.

Hari itu, sang perempuan mengenakan blus lengan panjang berwarna coklat muda, dengan rok panjang yang berwarna senada. Di kepalanya melingkar kain jilbab berwarna putih yang cocok sekali dengan warna kulitnya yang cerah.

"Mas Rama, sebelum kejadian kemarin aku tiap hari mempersiapkan barang bawaan sendiri apabila mau berangkat kerja, dan tidak pernah ada yang ketinggalan," jawab perempuan tersebut.

"Iya deh, iya. Aku cuma khawatir karena ini baru dua minggu setelah kejadian yang kita alami kemarin di Amanika. Kamu yakin sudah bisa masuk kantor dan berangkat kerja seperti biasa, Nabila?" Tanya pria yang merupakan suaminya tersebut.

Nabila pun tersenyum. "Nggak apa-apa kok, sayang. Dua minggu adalah waktu yang lama, dan aku juga sudah bosan tinggal di rumah terus. Teman-teman yang lain juga sudah akan masuk hari ini," jawabnya.

Nabila-1.jpg

"Oke, oke ... Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu bilang aku ya," ujar Rama.

"Siaapp ..."

Pria tersebut pun langsung menekan pedal gas agar mereka berdua bisa segera sampai di kantor Nabila yang berjarak sekitar 45 menit dari rumah. Karena ini hari Senin, mereka pun berangkat sedikit lebih awal agar tidak terjebak kemacetan.

Sepanjang perjalanan, Nabila terus memandang ke luar jendela, mengamati orang dan benda di pinggir jalan yang terus bergerak ke belakang seiring mobil tersebut bergerak maju. Seperti hari-hari lain selama dua minggu terakhir, pikirannya terus saja kembali ke pengalaman buruknya terjebak di bukit Amanika dan harus lari dari kejaran tentara Tukatu.

Sesuai dengan arahan dari Kapten Budiman, seluruh rombongan tidak ada yang boleh membicarakan kejadian tersebut kepada orang lain, termasuk ke aparat atau media massa di ibu kota. Menurut sang pimpinan tentara tersebut, tersebarnya cerita tentang mereka bisa membuat masalah yang lebih besar di hubungan antar kedua negara. Selain itu, media massa pun akan langsung menguliti latar belakang serta cerita hidup mereka, yang berpotensi membuat gangguan terhadap privasi hidup seluruh anggota rombongan. Nabila pun setuju bahwa ia tidak menginginkan hal tersebut.

Sebagai kamuflase, Kapten Budiman menyarankan untuk menganggap musibah yang mereka alami sebagai kecelakaan biasa. Mobil van yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang, sehingga mereka tidak bisa kembali bekerja dan kuliah untuk sementara waktu. Untungnya, hampir seluruh anggota rombongan merupakan karyawan di sebuah kantor yang sama, jadi seharusnya tidak ada masalah dengan hal itu.

Pihak Koramil pun telah membantu Karina untuk mendapatkan santunan bagi keluarga Raymond dan Johan, sehingga mereka bisa memahami kepergian dua pria yang sudah sering menolong Karina tersebut. Dengan kecelakaan "bohongan" tersebut, hingga saat ini tidak ada yang tahu sama sekali kejadian yang sebenarnya, selain dari orang-orang yang terlibat.

Namun tentu saja, bagi orang yang merasakan langsung pengalaman tersebut seperti Nabila, hal itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Rasa takut akan kehilangan nyawa dan kehormatan, serta rasa khawatir tidak akan bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang ia sayang, semua itu seperti tidak bisa pergi dari kepalanya. Dan tentu saja, yang paling berkesan adalah hubungannya dengan sang pimpinan di malam hari sebelum mereka berhasil kembali ke Indonesia dengan selamat.

"Hari ini adalah pertama kalinya aku bertemu kembali dengan Pak Harso. Apa yang harus aku katakan ya?" Gumam Nabila dalam hati.

Selama dua minggu menjalani libur tidak masuk ke kantor, Nabila memang sempat berhubungan seksual dengan suaminya, Rama. Namun, bila bisa berkata jujur, perempuan tersebut merasa ada yang kurang dari persenggamaan tersebut, meski ia tidak tahu apa. Salah satunya mungkin adalah pengalaman buruknya saat hampir disetubuhi oleh Letnan Frans dan tentara Tukatu yang lain. Dan tentu saja, hubungan terlarang dengan Pak Harso pun merupakan salah satu yang mengganggu aktivitas birahinya dengan sang suami.

"Mengapa kehidupanku harus berubah drastis seperti ini?"

***​

Saat Nabila dan Rama berangkat dari rumah menuju kantor, Pak Harso pun baru saja berpamitan dengan sang istri untuk melakukan aktivitas yang sama. Ini adalah hari pertamanya kembali ke kantor setelah dua minggu terpaksa beristirahat.

Mengetahui orang tuanya mengalami kecelakaan, anak Pak Harso pun langsung datang untuk menemani keduanya. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama untuk liburan, meski hanya di dalam kota karena Pak Harso dan Bu Suyati masih merasa trauma bepergian jauh. Sang anak berharap kedua orang tuanya bisa melupakan kejadian tidak menyenangkan yang mereka alami beberapa hari sebelumnya.

Kini, liburan tersebut telah usai, dan hidup harus berjalan kembali. Karena itu, Pak Harso pun harus kembali menyetir mobil sendiri untuk pergi ke kantor. Untungnya, kejadian di Amanika tidak membuatnya trauma untuk menyetir mobil.

Pria tersebut justru lebih bermasalah dengan siapa yang harus ia hadapi begitu sampai di kantor. Ya, ia khawatir akan interaksi pertamanya dengan sang Manajer Pemasaran setelah dua minggu tidak saling bertukar kabar.

"Apakah ia akan berpaling setiap kali aku ingin menatap wajahnya? Akankah ia menghindari aku? Atau jangan-jangan ia justru sudah bersiap untuk mengajukan pengunduran diri karena tidak ingin bertemu denganku lagi?"

Semua pemikiran buruk itu telah berseliweran di kepala Pak Harso sejak kepulangannya dari Amanika hingga sekarang. Dan entah mengapa, liburan bersama anak dan istrinya pun seperti tidak mampu menghapus pemikiran-pemikiran aneh itu. Pikirannya terus saja tertuju pada perempuan yang telah menjadi istri dari Rama tersebut.

"Apa pun yang terjadi, terjadilah ..." pikir Pak Harso sambil menghembuskan nafas panjang dan mulai menyalakan mesin mobilnya untuk berangkat.

***​

Jarum jam dinding telah mengarah ke angka sembilan, dan para karyawan di sebuah cabang perusahaan multifinance tampak sudah berdiri melingkar di area yang cukup luas di tengah ruangan kantor. Setelah absen selama hampir tiga minggu, pertemuan rutin di pagi hari tersebut pun kembali diadakan. Banyak dari mereka yang benar-benar menunggu momen ini, karena kabar tentang kecelakaan yang terjadi saat acara outing perusahaan memang telah menyebar ke seluruh karyawan.

"Selamat pagi, rekan-rekan semua," tiba-tiba Pak Harso maju sedikit ke depan untuk memulai pengarahan.

Ia sempat melirik ke sebelah kiri, yang biasanya diisi oleh para karyawan dari divisi pemasaran. Sang Manajer Pemasaran yang hari ini tampil cantik dengan blus lengan panjang dan jilbab putihnya tersebut tampak berdiri paling depan. Pak Harso bernafas lega karena itu berarti Nabila tidak menghindarinya secara terlalu frontal.

"Seperti yang kalian tahu, beberapa dari kita telah mengalami momen yang kurang baik beberapa minggu lalu di acara outing kantor. Untuk para korban, saya ucapkan mohon maaf atas kejadian tidak mengenakkan tersebut, dan semoga tidak menjadi trauma berkelanjutan di kemudian hari. Apabila bayangan tentang peristiwa tersebut masih tidak bisa hilang, silakan langsung menghadap saya karena perusahaan ini siap menanggung biaya perawatan fisik dan mental karyawannya," ujar Pak Harso.

Dalam hati, banyak karyawan yang merasa kagum pada kepemimpinan Pak Harso yang benar-benar memikirkan nasib anak buahnya. Padahal, ia juga merupakan salah satu dari korban kejadian tersebut. Namun, ia seperti tidak ingin menyebutkan itu sama sekali, dan tetap tampil sebagai sosok pimpinan yang bertanggung jawab pada kesehatan bawahannya.

"Bagi teman-teman yang tidak mengalami kejadian kurang mengenakkan tersebut, saya minta maaf karena pekerjaan kalian menjadi bertambah dengan tidak hadirnya beberapa dari kita. Namun tenang saja, karena setiap pekerjaan tambahan tentu akan ada kompensasi yang sesuai. Selain itu, saya juga mohon kepada kalian untuk memperhatikan para korban, terutama apabila kalian satu divisi dengan mereka, agar kita semua tetap merasa sebagai satu keluarga utuh dari cabang perusahaan multifinance ini."

Terlihat beberapa karyawan tampak mengelus pundak atau menggenggam tangan para korban, mulai dari Nabila di tengah-tengah divisi pemasaran, Pak Doni dan Tomi di divisi back office, Widi di divisi front office, dan Pak Karjo yang berkumpul bersama para office boy dan supir perusahaan. Gendis tidak terlihat hari ini karena dia izin minta tambahan libur satu hari lagi demi menyiapkan acara ulang tahun bagi sang anak.

"Baiklah, mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Mari kita sambut hari ini dengan semangat. Selamat bekerja," ujar Pak Harso yang langsung diiringi oleh tepuk tangan seluruh karyawan.

Sebelum seluruh karyawan membubarkan diri, Pak Harso sempat menemukan Nabila tengah memandang ke arahnya. Saat menyadari bahwa Pak Harso juga membalas pandangan tersebut, sang perempuan justru berpaling dan beranjak menuju ruang kerjanya.

***​

Delapan jam telah berselang sejak Pak Harso memberikan pengarahan di pagi hari. Widi kini telah bersiap untuk pulang, karena jam kerjanya memang sudah selesai. Dalam hati, ia merasa waktu bergerak begitu cepat, sehingga tak sadar bahwa kini sudah waktunya ia kembali ke rumah.

"Berbeda sekali dengan waktu di bukit Amanika kemarin, di mana waktu terasa berjalan lamaaaaaaaaaa sekali," ujarnya dalam hati.

Widi-1.jpg

Selama dua minggu libur kerja setelah kejadian tersebut, Widi praktis tidak berkomunikasi sama sekali dengan rekan kerjanya. Orang tuanya memaksa Widi dan Rini untuk selalu berada di rumah, khawatir keduanya akan mendapat musibah lain apabila pergi keluar. Untungnya, pasangan kakak beradik tersebut tidak menunjukkan gejala-gejala aneh selepas kejadian traumatis di perbatasan Tukatu beberapa minggu lalu.

Widi yang memang terkenal suka sekali jalan-jalan, tentu merasa seperti dikurung dalam penjara selama dua minggu terakhir. Namun, ia tetap berusaha menghormati kedua orang tuanya yang khawatir akan keselamatan dirinya dan sang adik. Karena itu, ia pun menurut untuk tidak pergi kemana-mana selama rentang waktu tersebut.

Kini, masa pemulihan tersebut telah selesai, dan mungkin sudah waktunya bagi Widi untuk pergi ke tempat lain. Namun, perempuan muda tersebut sempat bimbang apakah ia harus melakukannya sekarang, atau nanti saja bila dirinya sudah lebih siap untuk mendatangi tempat baru.

"Hai, Wid. Mau pulang?" Ujar seorang pria yang tampak menghampiri meja kerja sang pegawai front office.

Widi pun menoleh ke arah asal suara, dan menemukan sosok Pak Doni di sana. Pikirannya pun kembali ke bukit Amanika, saat mereka berdua saling merangsang tubuh satu sama lain, sebelum mendengar suara Pak Karjo dan Rini mendekati mereka untuk mengabarkan berita gembira tentang tumbangnya kedua tentara Tukatu di perbatasan.

Saat mendengar suara Rini yang memanggil-manggil, payudara Widi sebenarnya sedang diremas-remas oleh tangan kanan sang pria, dengan jemari yang mulai bermain-main di bagian puting. Tangan kiri Pak Doni pun telah masuk ke balik celana pendek yang dikenakan sang perempuan, dan mengelus-elus kemaluan Widi yang mulai lembab. Mereka pun tengah berciuman dengan liar, membuat desahan yang seharusnya terus dikeluarkan Widi menjadi sedikit tertahan.

Ini memang bukan kali pertama Widi diperlakukan seperti itu. Namun pengalaman bersama pria yang lebih tua seperti Pak Doni, merupakan sesuatu yang baru baginya. Biasanya, Widi memang telah beberapa kali melakukan pemanasan seksual dan bahkan sampai bersetubuh dengan para mantan pacar, yang usianya sebaya dengan dia. Bersama Pak Doni, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti ada unsur kedewasaan dengan pola rangsangan yang lebih teratur, stabil, dan membuat nyaman.

"Wid, kok bengong saja?" Tanpa disadari Widi, ia belum sempat menjawab salam dari rekan kerjanya tersebut.

"Eh, iya. Maaf Pak Doni, sedikit nge-blank tadi karena kecapekan," ujar Widi sambil sedikit membenahi rambutnya yang berantakan. "Iya neh, sudah mau pulang. Bapak juga?"

"Iya," ujar Pak Doni sambil menatap wajah cantik Widi yang meski sedang kelelahan karena seharian bekerja, tetap tampak berkilau. "Hmm, kamu mau aku antar pulang?"

Widi sadar bahwa sebelumnya Pak Doni sama sekali tidak pernah menawarkan hal tersebut kepadanya, atau kepada karyawan lain di kantor tersebut. Saat jam pulang, pria tersebut akan langsung mengambil mobil di tempat parkir dan pergi entah ke mana. Hal tersebut berlangsung baik sebelum maupun sesudah dia bercerai dengan mantan istrinya.

Itulah mengapa Widi langsung menyadari bahwa ini adalah tawaran spesial, yang mungkin baru terlintas di benak Pak Doni setelah mereka kembali dari bukit Amanika.

Widi pun mengangguk. "Boleh, Pak."

***​

Saat Widi tengah bersiap pulang dari kantornya, Rini sang adik pun baru saja menyelesaikan urusannya di kampus. Tidak hadir beberapa minggu membuatnya ketinggalan beberapa hal terkait penyusunan skripsinya yang sudah mencapai tahap akhir. Setelah semuanya beres, ia pun tampak duduk bercengkerama dengan teman-teman kuliahnya di kantin kampus.

Menuruti arahan Kapten Budiman, Rini pun tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi di bukit Amanika kepada para temannya. Ia hanya mengatakan bahwa dirinya dan sang kakak sempat terlibat kecelakaan mobil, yang membuat ia harus istirahat total di rumah. Para temannya pun tampak percaya saja dengan cerita yang ia karang.

Rini-1.jpg

Rini melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia pun berpamitan kepada para temannya yang masih asyik mengobrol. "Guys, gue pulang duluan ya. Sampai ketemu besok."

"Mau ke mana sih, Rin? Masih sore lho ini. Nongkrong di sini dulu lah," ujar temannya berusaha mencegah Rini pergi.

"Besok aja ya, masih ada urusan dulu di rumah," jawab Rini sambil melenggang pergi meninggalkan kantin menuju parkiran motor. Tubuhnya yang indah tampak meliuk-liuk gemulai, membuat para pria yang melihatnya berjalan pasti akan langsung melirik.

Rini tidak berbohong saat dia mengatakan akan ada urusan malam ini. Namun yang sebenarnya, urusan yang ia sebut tidak berlangsung di rumahnya, melainkan di tempat lain yang baru kali ini ia datangi.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd