Part 23: Pelukan
Terik matahari yang posisinya telah cukup tinggi seperti memancarkan kehangatan yang membasuh kelopak mata yang masih tertutup milik seorang pria tua. Rasa lelah yang ia rasakan akibat aktivitas yang begitu menguras energi di malam sebelumnya membuat pria tersebut tampak tidak ingin membuka mata. Meski nyata adanya, tapi dia merasa apa yang terjadi semalam bagaikan sebuah mimpi, dan ia tidak ingin terbangun darinya.
Tangannya coba meraba-raba ke samping, demi meraih tubuh perempuan yang telah memberinya kepuasan luar biasa. Namun, ia tidak menemukan siapa pun di sebelahnya. Itulah mengap sang pria akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tidurnya.
Dengan mata yang masih harus mengerjap karena sinar matahari yang sudah begitu terang, pria tersebut coba melihat kondisi di sekitar tempatnya berbaring. Tidak ada siapa pun di sana, dan hanya terdengar suara hewan-hewan hutan yang saling bersahutan. Pria itu tampak masih mengenakan selimut yang menjadi saksi persetubuhan hebat di malam sebelumnya, tanpa sehelai benang pun melapisi tubuhnya yang masih dalam keadaan telanjang.
Pria tersebut akhirnya berhasil menemukan seluruh pakaiannya yang tersebar di sekitar tempatnya berbaring tadi. Setelah mengenakan pakaian lengkap, ia kemudian coba berkeliling mencari perempuan yang telah memberikan kenikmatan birahi yang luar biasa kepadanya semalam.
Perempuan yang dicari ternyata sedang duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai. Ia juga tampak telah mengenakan seluruh pakaiannya, lengkap dengan jilbab yang memang selalu ia pakai. Meski tanpa riasan dan dandanan seperti yang ia gunakan saat setiap hari berangkat ke kantor, perempuan tersebut tetap tampak anggun. Ia terlihat seperti tengah memandang dengan tatapan kosong ke arah aliran sungai.
"Pagi, Nabila ..."
Perempuan tersebut tampak kaget, sebelum kemudian menoleh ke belakang. "Pagi, Pak Harso."
Sang atasan pun memposisikan dirinya di samping Nabila, meski masih dalam kondisi berdiri. Ia pun turut memandang ke arah sungai, mengikuti arah pandangan sang perempuan. Ia berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen dan kesegaran alam yang masih alami di sana, agar tubuhnya bisa benar-benar fit melanjutkan perjalanan hari ini.
"Pak Harso, saya mau bicara ..." ujar Nabila.
Pria tua tersebut pun langsung memandang ke arah sang perempuan. Ia mulai melihat gelagat bahwa Nabila sedang gelisah akan sesuatu, meski ia belum bisa mengetahui apa sebabnya. "Iya, Nabila. Ada apa?"
"Hmm ... soal yang semalam."
Dada Pak Harso kembali berdegup kencang, ia penasaran mengapa Nabila ingin membahas itu sekarang. "Ada apa dengan kejadian semalam, Nabila?"
"Kalau kita berhasil selamat ke Indonesia, boleh gak kalau itu menjadi rahasia kita berdua saja? Dan itu adalah kali terakhir kita melakukannya?"
Hati Pak Harso tampak terhenyak mendengar kata-kata tersebut. Kalimat tersebut seperti membuatnya tersadar bahwa ia memang bukan siapa-siapa di mata sang bawahan. Mungkin Nabila hanya sedang membutuhkan kepuasan, dan kebetulan ada Pak Harso di sampingnya saat itu. Meski sudah bisa diperkirakan, Pak Harso tetap merasa hatinya seperti tertancap panah-panah tajam yang membuatnya hancur berkeping-keping saat mendengar pernyataan Nabila tersebut.
Apabila bisa, pria tua itu tentu ingin berkata tidak. Ia ingin sekali menunjukkan kepada Nabila bahwa ia benar-benar menyayanginya, ingin terus memeluk tubuh indahnya, memberi kenikmatan yang indah untuknya. Namun Pak Harso tidak bisa melakukan itu.
"Ii ... Iya, Nabila. Te ... Tenang saja. Itu akan menjadi rahasia kita," ujar Pak Harso terbata-bata.
"Dan kita tidak akan pernah melakukannya lagi?"
"Tidak akan."
"Terima kasih, Pak," ujar Nabila sambil tersenyum. Senyuman indah yang kini justru makin membuat perih perasaan pria tua di hadapannya. "Jadi, kapan kita akan melanjutkan perjalanan, Pak?"
"Sebentar lagi. Kamu siap-siap saja dulu, aku masih ingin menikmati udara di pinggir sungai sebentar."
"Baik, Pak. Aku tunggu di sana ya," ujar Nabila yang sudah bangkit dan langsung berjalan kembali ke tempat mereka menginap semalam. Tempat yang menjadi saksi tumpahnya keringat mereka saat bersama-sama menjemput puncak birahi.
Begitu Nabila telah pergi, Pak Harso tampak merutuki nasib buruknya. Ia berusaha memikirkan mana yang lebih membuat sakit, antara tidak bisa menikmati tubuh Nabila sama sekali, atau sudah pernah merasakan tapi tidak boleh lagi menikmati tubuh molek perempuan cantik tersebut. Kini ia tahu bahwa pilihan kedua merupakan opsi yang paling buruk.
Ia menjadi bertanya-tanya apakah ada yang salah dari kejadian semalam? Apakah permainannya kurang membuat puas? Apakah dia terlalu memaksakan birahi hingga membuat Nabila tidak nyaman? Atau membuat perempuan tersebut kesakitan? Pak Harso kini mempertanyakan seluruh hal tersebut.
Pria yang sudah tidak muda lagi itu memandang ke arah aliran sungai yang terus mengalir tanpa henti, tidak peduli adanya batu dan penghalang yang menghalangi jalan mereka. Apakah ia harus melakukan hal yang sama kepada Nabila?
"Tidak ... Aku tidak bisa melakukan hal yang buruk kepada Nabila. Aku ... Aku mencintainya," ujar Pak Harso dalam hati.
Sebuah cinta yang kini ia tahu bahwa perasaan tersebut tidaklah berbalas. Kini ia tahu bahwa perasaan itu hanya bersifat sepihak, dan harus ia pendam mulai saat ini hingga selama-lamanya. Perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan kepada orang lain, dan mungkin harus ia bawa seumur hidup sampai akhir hayat. Dan celakanya, perasaan itu berlabuh di hati perempuan muda yang harus ia lihat setiap hari di kantor. Pak Harso mulai merasa bahwa ia tidak sanggup melakukannya apabila mereka kembali ke ibu kota nanti.
"Kamu harus sadar diri Harso. Siapa kamu dan siapa Nabila, kamu harus menyadari itu ..." ujar Pak Harso pada dirinya sendiri.
Meski berusaha untuk tetap kuat, Pak Harso tidak bisa mencegah matanya menjadi lembab karena lonjakan emosi yang ia rasakan saat ini. Tapi ia berusaha keras menekannya, demi perempuan yang tubuh indahnya baru saja ia puaskan semalam.
Ia pun kini membulatkan tekad, bahwa apapun yang terjadi, ia akan tetap mencintai perempuan tersebut. Meski tidak ada orang yang tahu, dan meski Nabila sendiri tidak akan pernah membalas perasaanya, ia tidak peduli. Dan mungkin ini akan menjadi pengorbanan terakhirnya untuk sang pujaan hati yang tidak akan bisa ia miliki. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membawanya kembali ke tanah air, meski ia harus kehilangan cinta dan nyawa untuk melakukannya.
***
Pak Harso dan Nabila kembali menyusuri pinggir sungai seperti yang mereka lakukan di hari sebelumnya. Namun kali ini, keduanya tampak lebih banyak diam, larut dalam perasaan mereka masing-masing. Hanya tekad untuk selamat kembali ke tanah air saja yang membuat mereka tetap berjuang bersama.
"Tunggu sebentar, Nabila," ujar Pak Harso tiba-tiba.
"Ada apa, Pak?"
"Aku dengar sesuatu."
Nabila pun mempertajam pendengarannya, hingga ia berhasil menemukan suara yang dimaksud oleh Pak Harso.
"Sepertinya ada suara keramaian di atas sana, Pak," ujar Nabila.
"Kita coba ke sana ya," ucap Pak Harso.
Mereka berdua pun mendaki sebuah jalan menanjak yang berundak, sedikit menjauh dari pinggir sungai. Semakin mereka naik ke dataran yang lebih tinggi, suara tersebut makin jelas terdengar. Dari nada suaranya, Pak Harso memperkirakan bahwa itu adalah suara gerombolan anak kecil.
Pak Harso dan Nabila pun sampai di puncak bukit dan menemukan sebuah tanah lapang dan bangunan yang mirip dengan sekolah. Di depan sekolah tersebut tampak banyak anak berlarian, dengan beberapa guru mencoba mengatur mereka agar berbaris dengan rapi. Dari usianya, sekolah tersebut tampaknya berada di tingkat sekolah dasar.
"Itu, sekolah Indonesia kan?" Ujar Nabila.
"Dari mana kamu yakin, Nabila?"
"Pakaian seragamnya putih merah, bukankah itu seragam SD anak Indonesia?"
"Kamu yakin kalau seragam SD di Tukatu tidak putih merah juga?"
"Iya juga ya. Lalu bagaimana kita memastikan bahwa mereka itu SD Indonesia atau SD Tukatu?" Tanya Nabila tidak sabar.
"Tunggu sebentar, aku sedang berpikir."
Namun Pak Harso dan Nabila tidak perlu waktu lama untuk menemukan jawabannya. Karena sesaat kemudian terdengar nyanyian lantang dari para siswa tersebut.
"Bangun pemudi pemuda ... Indonesia. Singsingkan lengan bajumu ... untuk negara."
Pak Harso dan Nabila pun saling berpandangan dengan raut wajah bahagia. Mereka pun memeluk tubuh satu sama lain dengan perasaan lega.
Di tengah pelukan tersebut, berbagai pikiran berkecamuk di kepala Pak Harso. "Apabila ini adalah pelukan terakhir yang aku terima dari Nabila, aku akan ikhlas. Biarlah cinta ini aku pendam dalam hatiku sendiri saja," pikirnya dalam diam.
***
Rombongan Pak Harso dan anak buahnya sudah menghilang selama beberapa hari. Dan semakin hari itu bertambah, semakin gundah pula perasaan Bu Suyati sebagai seorang istri. Tak terhitung lagi berapa kali ia hampir menangis memikirkan nasib sang suami yang tidak jelas rimbanya tersebut.
Namun di sisi lain, setiap kali ia tampak bersedih, seorang pria berkulit gelap akan selalu mencegahnya larut akan perasaan tersebut. Ia akan melakukan berbagai cara, mulai dari memeluk tubuhnya, mencium bibirnya, meremas payudaranya, hingga membuat perempuan yang sudah tidak muda lagi itu mereguk kebahagiaan birahi yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Awalnya, Bu Suyati memang enggan untuk melakukannya, mengingat status mereka berdua yang masih mempunyai pasangan. Meski saat ini kondisinya tidak diketahui, aku tetap saja berstatus sebagai istri Pak Harso, pikir perempuan tersebut. Namun agresifitas sang pria membuat perempuan itu tidak berkutik. Apalagi pria itu mempunyai stamina dan bentuk kemaluan yang jauh berbeda dengan milik sang suami, dan Bu Suyati tidak bisa bohong bahwa ia juga menikmatinya.
Seperti sore itu, di saat Pria tersebut baru pulang dari kantornya setelah bekerja seharian, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah dan istri sahnya. Ia justru datang ke resort Hostina dan mengetuk pintu kamar Bu Suyati. Begitu pintu dibuka, pria yang masih mengenakan pakaian dinas tersebut pun langsung masuk dan merengkuh tubuh indah perempuan yang seharusnya tidak boleh ia sentuh tersebut.
Tanpa menunggu lama, pria tersebut langsung melepaskan kemeja dan kaos dalamnya, seperti ingin mempertontonkan dadanya yang bidang di hadapan Bu Suyati. Setelah itu, ia pun mendorong tubuh perempuan cantik itu ke atas ranjang, dan langsung menindihnya.
"Hmmmpp, beberapa jam saja tidak menikmati tubuhmu ini, aku langsung tidak bisa berkonsentrasi, Bu Suyati," ujar pria tersebut sambil mengecup pipi dan bibir sang perempuan. Tangannya pun mulai aktif masuk ke balik atasan yang dikenakan Bu Suyati, dan meremas-remas payudaranya dari balik bra.
"Nggghhh ... stop Pak Jeremy. Aku tidak bisa melakukan ini lagi, ahhhhh ..." ujar Bu Suyati tanpa memberikan penolakan yang berarti. Ia sendiri tidak bisa menutupi betapa kagumnya ia pada bentuk tubuh pria asal Indonesia timur tersebut.
"Buah dadamu yang indah ini seperti memancingku untuk terus mengulumnya. Rasa dan aromanya pun jauh lebih membuatku bergairah dibanding istriku sendiri ..." Pak Jeremy mulai menarik pakaian Bu Suyati ke atas hingga ia bisa mengecup perut sang perempuan, sebelum naik ke arah payudara montok yang menggantung di atasnya.
Saat keduanya baru saja mulai memacu syahwat yang sama-sama telah mereka pendam sejak semalam, tiba-tiba smartphone Bu Suyati berbunyi. "Kriiiiiinnnggg ..."
"Duh, siapa sih itu ganggu saja orang mau senang," Pak Jeremy mengeluh.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Siapa tahu penting," ujar Bu Suyati sambil menggeser tubuhnya menjauh dari Pak Jeremy, dan mengangkat panggilan telpon yang masuk.
Perempuan tersebut tidak sempat berkata apa-apa, karena orang yang ada di ujung sambungan telpon tersebut terus saja menjelaskan maksudnya menelpon Bu Suyati. Tak lama kemudian, tangisan pun pecah dari mata sang perempuan, yang membuat ia langsung tertuduk di lantai hotel yang telah menjadi tempatnya menginap sejak datang ke daerah sekitar bukit Amanika tersebut.
***
Malam harinya, Bu Suyati bersama Rama dan Karina telah sampai di kantor Koramil, tempat mereka melapor tentang hilangnya rekan-rekan mereka setelah berkemah di bukit Amanika. Begitu turun dari mobil, mereka melihat Kapten Budiman telah menunggu mereka di depan kantor tersebut, dengan wajah yang sumringah.
"Selamat malam Bapak dan Ibu sekalian, mohon maaf mengganggu waktunya malam-malam begini. Namun saya rasa kalian perlu tahu perkembangan terbaru yang kami temui terkait keluarga dan rekan kalian yang hilang di bukit Amanika," ujar sang pimpinan tentara tersebut.
"Bagaimana kondisi mereka, Pak? Di mana mereka sekarang?" Bu Suyati tampak sudah tidak sabar ingin bertemu kembali dengan sang suami tercinta.
"Itu dia, mereka baru sampai," ujar sang Kapten sambil menunjuk ke arah jalan masuk menuju gedung kantornya.
Terlihat sebuah mobil van berwarna hijau gelap baru saja memasuki area kantor Koramil, dan berhenti tepat di depan mereka. Dari dalamnya, turun satu persatu para wisatawan yang sempat hilang di bukit Amanika, mulai dari Pak Harso, Nabila, hingga kakak beradik Widi dan Rini. Mereka tampak sudah membersihkan diri, meski tampak tidak mengenakan pakaian yang biasa mereka kenakan.
Melihat kembalinya sang suami tercinta, Bu Suyati langsung menghambur ke arahnya. Perempuan tersebut kemudian memeluk tubuh Pak Harso dan menyandarkan kepala di dadanya sambil menangis bahagia dengan suara yang kencang.
Sementara Rama dan Karina yang sebelumnya bergenggaman tangan, kini secara otomatis langsung melepas gandengan tersebut. Sang pria langsung menghampiri istrinya yang cantik, dan memeluknya erat, seperti memberi jaminan keamanan bahwa tidak ada lagi hal buruk yang akan menimpa mereka.
Karina pun langsung menghampiri keenam orang lain, yaitu Gendis, Tomi, Pak Doni, Pak Karjo, Widi, serta Rini. Ia memeluk mereka satu per satu, demi meminta maaf atas kesalahannya yang menyebabkan mereka semua berada dalam bahaya.
"Hmm, Raymond dan Johan?" Perempuan tersebut akhirnya baru sadar bahwa dua orang anak buahnya tidak termasuk dari rombongan yang kembali dengan selamat dari bukit Amanika.
"Mohon maaf, Mbak Karina. Mereka berdua meninggal setelah ditembak oleh tentara Tukatu, saat akan menyelamatkan kami," ujar Pak Doni yang disambut dengan isak tangis Karina. Perempuan tersebut tampak berduka setelah kehilangan dua orang yang sudah sering membantu dia menjalankan bisnis tour dan travel selama ini.
"Yang sabar ya, Mbak Karina," ujar Pak Doni sambil menarik tubuh perempuan tersebut ke pelukannya. Pria tersebut tidak menyadari tatapan tajam dari Widi saat mereka berdua berpelukan.
Hal lain yang tidak disadari oleh mereka semua, adalah bagaimana Pak Harso dan Nabila saling mencuri pandang di tengah momen temu kangen tersebut.
(Bersambung)