Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
menarik ceritanya
 
Part 22: Strategi

Di bawah sinar bulan yang menerangi malam itu, Tomi tampak sedang duduk di atas tanah, tak jauh dari api unggun yang ia buat siang tadi. Pria muda itu tampak tengah memeluk seorang perempuan cantik yang duduk di sampingnya. Mereka sama-sama memandang ke arah api unggun yang hampir mati karena kehabisan kayu bakar.

Tomi menggenggam tangan sang perempuan dengan mesra. Ia kemudian menarik tangan tersebut hingga mendekat ke wajahnya, lalu mengecup punggung tangan yang halus tersebut. Sang perempuan pun hanya tersenyum mendapat perlakuan romantis seperti itu.

Mereka kini telah mengenakan kembali pakaian mereka. Sang perempuan bahkan telah mengenakan kembali jilbabnya, membuat wajahnya menjadi tambah manis di hadapan Tomi. Berbeda dengan saat mereka pertama kali menjejakkan kaki di kawasan timur Indonesia tersebut, keduanya kini sudah tak ragu untuk saling berdekatan dan memberikan perhatian satu sama lain, terutama setelah dua kali persetubuhan liar yang mereka lakukan.

Gendis-1.jpg

"Ibu Gendis nakal banget sih tadi, pake pura-pura nolak segala," ujar Tomi dengan nada manja.

"Tapi kamu suka kan? Buktinya keluar banyak banget tadi. Untung bisa aku bersihin sambil mandi di sungai, hee," jawab perempuan bernama Gendis yang tampak merasa nyaman merebahkan kepalanya di pangkuan Tomi.

"Siapa sih yang gak suka kalau dikasih ML sama ibu beranak satu yang vaginanya masih rapet kayak Ibu," ujar Tomi sambil tersenyum.

Keduanya pun sama-sama larut dalam kebahagiaan setelah merengkuh kesenangan duniawi yang beberapa jam sebelumnya.

"Setelah ini, apa yang harus kita lakukan, Tom? Bukannya aku menolak untuk tetap bersama dengan kamu, tapi lebih baik kan kalau kita bisa tetap kembali ke Indonesia," ujar Gendis.

"Menurutku, kita harus segera bergerak. Bahaya kalau kita tetap di sini terus, khawatir akan ditemukan oleh patroli tentara Tukatu apabila daerah ini masih dalam wilayah mereka," ujar Tomi. "Tapi ..."

"Tapi apa, Tom?"

"Apa Ibu masih kuat berjalan?"

"Memangnya kita mau melanjutkan perjalanan malam ini?"

"Mungkin lebih baik begitu, Bu Gendis. Karena di sini kan tidak ada tempat yang cukup hangat untuk kita bermalam. Membuat api unggun seperti tadi mungkin justru bisa membuat tempat persembunyian kita ini mudah ditemukan."

Dalam hati, Gendis mengamini kata-kata pria muda yang tengah berada dalam pelukannya tersebut. "Lalu menurutmu, kita harus ke arah mana?"

"Sepertinya lebih baik kita melanjutkan perjalanan ke arah pantai, lalu menyusuri pinggir pantai sampai mendapat kejelasan kita berada di wilayah mana. Apabila kita justru masuk ke wilayah Tukatu, kita tinggal berbalik arah saja untuk ke wilayah Indonesia. Begitu kan?" Usul Tomi.

Gendis pun menganggap itu ide yang cerdas. "Baiklah kalau begitu, kita jalan sekarang?"

"Yuk ..." ujar Tomi.

Mereka pun berjalan beriringan menyusuri sungai ke arah pantai. Kedua tangan mereka tampak saling menggenggam dengan rasa cinta yang membuncah di antara keduanya.

***​

"Kami mempunyai rencana. Dan semoga saja ini berhasil, sehingga kita semua bisa selamat," ujar Pak Karjo di hadapan Widi dan Rini.

Pria berusia lanjut tersebut memang baru saja memeriksa kondisi perbatasan tempat mereka akan menyeberang kembali ke Indonesia bersama Pak Doni, dan telah mempunyai beberapa ide yang bisa dilakukan. Dan kini, kedua pria tersebut tengah berusaha berembug dengan rekan perempuan mereka untuk menentukan cara mana yang akan mereka pilih.

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

"Rencana apa itu, Pak Karjo, Pak Doni. Cepet donk kasih tahu," ujar Widi yang semakin tidak sabar untuk segera pergi dari tempat terkutuk ini.

"Sebenarnya ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Pertama, kita menunggu di sini sampai pagi atau sampai para tentara itu pergi karena perubahan shift. Saat mereka lengah, kita langsung lari menerobos perbatasan ke Indonesia," jelas Pak Doni.

"Tapi kalau begitu, bukankah sangat berisiko ya karena hari sudah terang dan mereka bisa menembak kita dari jauh. Dan rasanya tidak mungkin kalau tentara Tukatu akan meninggalkan perbatasan begitu saja tanpa penjagaan," ujar Widi menanggapi. "Selain itu, aku pun tidak yakin kita bisa bertahan diam saja di sini sampai pagi."

"Itulah mengapa ada pilihan yang kedua."

"Apa itu pilihan yang kedua, Pak Doni?" Kini giliran Rini yang bertanya.

"Kita bisa mengalihkan perhatian mereka di malam ini, mumpung kondisi gelap dan mereka punya jangkauan pandang yang terbatas, lalu nanti Pak Karjo akan membunuh mereka satu per satu."

"Pak Karjo? Membunuh? Memangnya bisa?" Widi tampak terkejut akan kata-kata Pak Doni.

Ia tidak yakin bahwa office boy di kantornya tersebut bisa sampai membunuh orang, apalagi tentara Tukatu yang bertubuh fit dan terlatih secara militer. Di mata Widi, Pak Karjo justru merupakan sosok pria tua yang seharusnya dijaga oleh yang lebih muda seperti mereka.

"Wah, jangan salah, Wid. Kamu kira bagaimana kami semua para lelaki bisa lepas saat disekap oleh tentara Tukatu? Semua gara-gara Pak Karjo. Ternyata dia jago bela diri. Saya lihat sendiri dia menendang seorang tentara, lalu menggorok ..."

"Sudah ... Sudah ... Pak Doni. Sekarang bukan waktunya untuk berbicara hal tidak penting," ujar Pak Karjo memotong kata-kata rekan kerjanya yang sudah mulai berlebihan itu. "Intinya, sekarang kita mau memilih strategi yang mana?"

"Boleh tahu satu hal gak, Pak Doni? Memangnya tentara yang sekarang berjaga ada berapa orang? Dan apakah Pak Karjo mampu mengatasi mereka semua?" Tanya Rini.

Perempuan yang masih berstatus sebagai mahasiswi tersebut tampak merasakan emosi yang berbeda saat mendengar Pak Karjo harus bertanggung jawab menghadapi para tentara tersebut. Ia begitu khawatir akan terjadi sesuatu yang berbahaya kepada pria tua itu. Aneh memang, karena selama perjalanan ini tidak ada hubungan apa-apa antara Rini dengan pria yang usianya mungkin hampir sama dengan kakeknya tersebut.

"Kebetulan hanya ada dua tentara yang berjaga di sana, tapi keduanya bersenjata lengkap. Cukup berisiko apabila kita menyergap keduanya saat mereka sedang fokus berjaga, sementara cuma ada satu orang dari kita yang bisa mengatasi para tentara tersebut dalam duel satu lawan satu," ujar Pak Karjo.

"Mohon maaf ya, Pak Karjo. Bukannya saya tidak mau bantu, tapi kalau saya berkelahi dengan para tentara itu, cuma jadi bulan-bulanan saja saya," potong Pak Doni seperti merasa bersalah.

"Santai, Pak Doni. Justru lebih bagus jujur seperti itu, jadi kita bisa mencari strategi lain. Karena kita berempat harus selamat semua, kan. Tidak boleh ada yang tertinggal," lanjut Pak Karjo.

Ketiga rekannya yang lain pun mengangguk hampir berbarengan. Menyelamatkan diri sendiri memang sesuatu yang penting. Namun mengorbankan satu atau dua orang teman untuk bisa menyelamatkan diri sendiri itu adalah sesuatu yang menakutkan bagi keempat orang tersebut.

"Oke, pilihan kedua sepertinya lebih masuk akal. Setelah ini apa yang harus kita lakukan?" Tanya Widi.

"Kita harus buat pengalihan, seperti suara gemerisik atau apa pun yang bisa memancing perhatian mereka. Kemungkinan besar, salah satu dari tentara tersebut akan memeriksa pengalihan yang kita buat, sedangkan yang satu lagi akan tetap berjaga di perbatasan. Kalau mereka sudah terpisah seperti itu, akan mudah bagiku untuk melumpuhkan mereka berdua satu persatu," jelas Pak Karjo.

"Nah, masalahnya. Pengalihan seperti apa yang bisa kita buat?" Tanya Pak Doni.

Keempat orang yang terjebak di dalam hutan gelap tersebut kini sibuk memikirkan hal-hal yang mungkin menarik perhatian para tentara tersebut, tapi tidak boleh terlalu berlebihan karena bisa jadi kedua tentara itu justru langsung bersama-sama mendatangi mereka dengan senjata lengkap.

"Kalau kita goyang-goyang daun pohon begitu, tidak bisa ya?" tanya Rini.

"Sepertinya tidak akan terlalu mendapat perhatian mereka, Rin. Selain bunyinya tidak terlalu keras, mereka mungkin menganggap bunyi tersebut hanya berasal dari angin yang berhembus," tanggap Pak Doni.

Widi sebenarnya mempunyai sebuah ide yang menurutnya akan berhasil, tetapi ia ragu teman-temannya akan menerima idenya. Namun karena yang lain tidak kunjung mendapat rencana yang lebih baik darinya, perempuan cantik tersebut pun memberanikan diri untuk mengajukan apa yang ia pikirkan.

"Bagaimana kalau kita mengalihkan perhatian mereka dengan suara desahan perempuan?"

Ketiga rekannya yang lain pun langsung menatap ke arah Widi. Ide tersebut memang di luar kebiasaan. Namun bila dipikir lebih dalam, ide tersebut justru lebih efektif untuk dijalankan.

"Maksudnya bagaimana, Wid? Kamu mengeluarkan desahan secara sengaja untuk memancing perhatian mereka?" Tanya Pak Doni. Mendengar penuturan Widi tersebut, ia jadi kembali memikirkan apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya antara mereka berdua.

"Ya, aku bisa mengeluarkan desahan yang cukup kencang, sehingga memancing perhatian mereka. Kalau begitu, mungkin mereka hanya akan mengirim satu orang tentara saja kan, karena merasa hanya akan berhadapan dengan seorang perempuan?"

"Jadi kamu mau melakukannya?" Giliran Pak Karjo yang kali ini bertanya.

Widi mengangguk.

"Aku sepertinya bisa, tapi ..."

"Tapi apa?"

"Tapi aku perlu bantuan. Aku tidak biasa mengeluarkan desahan kalau tidak sedang terangsang."

"Lalu maksud kamu?"

"Boleh gak kalau aku ajak Pak Doni untuk bantu aku?"

"Ehh, aku?" Pak Doni benar-benar kaget mendengar usul Widi.

"Iya, dengan begitu Bapak bisa sekalian jaga aku dari tentara tersebut kalau mereka datang kan?"

Pak Doni jelas tidak menolak apabila diminta untuk merangsang Widi sampai perempuan tersebut mengeluarkan desahan. Namun dalam semua imajinasinya, saat ini bukanlah momen yang ia inginkan untuk untuk melakukan hal tersebut.

"Yaaaaaaa ... bisa sih. Tapi bagaimana menurutmu Pak Karjo?"

"Sepertinya itu bisa dicoba," ujar pria tua bertubuh kekar itu. "Begini saja. Widi dan Pak Doni bergerak ke arah sana dan bersembunyi di balik pohon. Sekitar lima menit dari sekarang, kalian lakukan apa saja yang penting Widi harus mengeluarkan desahan yang terdengar oleh para tentara tersebut. Aku akan bersembunyi di pertengahan jalur yang akan dilewati tentara itu, lalu menyergapnya diam-diam."

Semua anggota rombongan tersebut pun mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

"Lalu Rini bagaimana?" Tanya Widi.

"Kamu ikut aku saja, di belakang. Yang penting jangan sampai mengeluarkan suara yang berlebihan. Oke?" Ujar Pak Karjo.

"Baik, Pak," jawab Rini.

Tanpa menunggu lama, keempat orang tersebut langsung bergerak ke posisi mereka masing-masing. Strategi ini memang penuh risiko, tapi sepertinya ini adalah cara terbaik agar mereka bisa lekas kembali ke tanah air.

***​

Tak butuh waktu lama bagi Gendis dan Tomi untuk sampai di bibir pantai, yang merupakan ujung dari sungai yang hampir menenggelamkan mereka siang tadi. Dari tempat mereka berdiri sekarang, terlihat samudera lepas yang dihiasi gemerlap pantulan sinar bulan di air laut yang bergelombang. Tak terdengar apa pun di sana, selain deburan ombak yang bersentuhan dengan pasir halus di tepian.

"Romantis sekali tempat ini ya, Tom," ujar Gendis.

Pria muda di sebelahnya pun menganggukkan kepala.

Gendis-1.jpg

Mereka melihat ke sekeliling, berusaha mencari petunjuk ke mana mereka harus bergerak setelah ini. Malam yang kian gelap tentu memaksa mereka untuk segera menemukan tempat yang lebih hangat untuk beristirahat. Atau tempat apa pun, yang penting berada di wilayah Indonesia.

"Tom, kamu lihat itu nggak?" Tanya Gendis tiba-tiba sambil menunjuk ke sebuah arah.

Tomi mengikuti arah yang ditunjuk oleh Gendis dan memicingkan mata. Setelah berusaha cukup keras, ia pun berhasil menemukan sebuah bentuk yang mirip dengan perahu, sedang bergerak ke arah pantai.

"Sepertinya itu perahu, Bu. Dari bentuknya sih kemungkinan besar perahu nelayan," ujar Tomi.

"Apa tidak sebaiknya kita dekati perahu tersebut, siapa tahu dia bisa memberikan arah yang benar"

"Kita bisa coba, tapi harus tetap waspada. Jangan sampai dia adalah warga Tukatu dan justru melaporkan kita ke tentara mereka."

"Iya juga ya."

"Mungkin ada baiknya kita sembunyi-sembunyi dulu mendekati perahu tersebut. Bila hanya ada satu orang di sana, tak ada salahnya kalau kita ajak bicara. Apabila dia berniat jahat, kita berdua pasti bisa mengatasinya," ujar Tomi memutuskan. "Kalau jumlah mereka lebih dari itu, mungkin lebih baik kita tetap bersembunyi."

"Ide yang bagus, Tom," ujar Gendis sambil mencium bibir Tomi dengan hangat. Bayangan bisa kembali ke tanah air membuat keduanya tampak antusias.

Keduanya pun mengendap-ngendap di balik pohon-pohon kelapa yang berada sekitar beberapa puluh meter dari bibir pantai. Dengan langkah pelan, mereka coba mendekat ke arah perahu yang mereka lihat sebelumnya. Saat posisi mereka telah cukup dekat, bentuk perahu nelayan yang seperti sampan dengan motor penggerak berbahan bakar bensin itu pun kian jelas.

Terlihat ada seorang pria yang tidak mengenakan atasan sama sekali sedang memindahkan muatan dari perahu tersebut ke pantai. Tomi dan Gendis berusaha menunggu beberapa saat, tapi tidak kunjung ada orang lain yang muncul di sekitar situ. Mereka pun yakin bahwa kondisi tersebut cukup aman bagi mereka.

"Ayo kita hampiri dia, Bu," ujar Tomi.

Gendis pun mengangguk, sambil berjalan tepat di belakang tubuh pria muda itu. Tangannya pun seperti tidak bisa lepas dari pundak Tomi, sambil menyembunyikan tubuhnya dari pandangan pria yang berada di dekat perahu tersebut, yang memang berpostur mirip dengan tentara Tukatu.

"Permisi ... Halo ..." Ujar Tomi kepada sang pria saat jarak mereka telah kian dekat.

Sang pria yang sedang sibuk mengurus hasil tangkapannya tersebut pun sedikit kaget akan kehadiran Tomi dan Gendis. Hampir setiap hari dia berlabuh di tempat tersebut, tetapi ia tidak pernah bertemu dengan siapa pun, apalagi pasangan dengan tampilan orang kota seperti pasangan tersebut.

"Iya, halo. Ada apa ya?"

Tomi coba berhati-hati memilih kata, karena tidak mau bertingkah konyol di hadapan pria tersebut. "Hmm, saya mau tanya. Daerah ini, masuk wilayah Indonesia atau Tukatu ya?"

"Cuma mau tanya itu saja? Sejak saya lahir dan besar, ini adalah wilayah Indonesia. Tidak pernah jadi wilayah Tukatu."

Jawaban tersebut pun membuat mata Tomi dan Gendis berbinar-binar. Mereka pun langsung berteriak senang, yang begitu melengking hingga membuat sang nelayan bingung. Apalagi setelah itu keduanya saling berpelukan dengan penuh kebahagiaan.

Dalam hati, sang nelayan merasa bahwa dia baru saja kena prank, seperti yang biasa ia tonton di YouTube.

***

Widi dan Pak Doni kini telah sama-sama berada di balik sebuah pohon dengan kondisi berhadapan. Sang perempuan berdiri membelakangi batang pohon tersebut, dan sang pria tampak berada di hadapannya sambil melihat kondisi sekitar.

"Sepertinya sudah lima menit neh, Wid. Bisa kita mulai?"

"Hmm, bisa Pak," jawab Widi malu-malu.

Widi-1.jpg

Dengan perasaan canggung, Pak Doni pun mulai menyentuh pinggul Widi yang begitu seksi, dan mulai menggerakkan tangannya ke atas, menuju gunung kembar yang merupakan sasaran utamanya. Sebagai seorang pria, Pak Doni tentu langsung merasa terangsang saat Widi mengatakan bahwa dia ingin dibuat mendesah oleh pria tersebut. Namun kondisi hidup-mati yang ia alami sekarang bersama Widi, Rini, dan Pak Karjo, membuat ia sedikit galau tentang apa yang harus ia lakukan.

"Apakah aku harus mengikuti intuisi birahiku saja dan menganggap ini adalah kondisi biasa, dengan risiko kehilangan konsentrasi apabila tentara Tukatu itu datang? Atau aku harus sedikit menahan diri, meski sepertinya akan sangat sulit bila melihat tubuh Widi yang montok itu?" Pikir Pak Doni dalam hati.

Widi pun bisa merasakan kebimbangan yang dialami Pak Doni. Ia pun coba meredakan kegalauan tersebut dengan mengusap pipi sang pria. "Santai saja, Pak. Kita nikmati saja malam ini. Percaya bahwa Pak Karjo bisa melakukan yang terbaik untuk kita," ujarnya.

Sesaat kemudian, Widi mulai bergerak mengalungkan tangannya di leher Pak Doni, dan langsung mengecup bibir sang pria. Pak Doni pun membalas memeluk tubuh indah Widi yang sudah memenuhi ruang pikirannya di perjalanan hari ini. Ia pun tidak melepaskan kesempatan untuk membalas ciuman Widi dengan memainkan lidahnya di bibir sang dara.

"Hmmpphh ... Terus, Pak. Aku suka," ujar Widi dengan nada yang masih sedikit tertahan.

"Kamu seksi banget sih, Wid. Bikin kontol aku ngaceng terus sepanjang perjalanan," ujar Pak Doni berusaha menaikkan gairah sang perempuan agar rencana mereka bisa lekas berhasil. Ia pun mulai meremas-remas payudara perempuan tersebut yang begitu membusung di balik kaos lengan pendek yang ia kenakan.

"Nggghhh .... Ahhhhh ..." Widi mulai merasakan kenikmatan saat bagian sensitif tersebut dimainkan oleh tangan Pak Doni. Kenangan diperlakukan seperti itu oleh sang mantan pun membuat birahinya kian menanjak.

"Aku sudah lama ingin menyentuh toket ini sejak kamu bekerja di kantor, Wid. Pengin banget aku remas-remas ini pas kamu lagi melayani nasabah di meja depan," ujar Pak Doni sambil menjilati bagian belakang telinga Widi.

"Aaaaahhhh ... Ahhhhhhhhhhhh ..." Widi mulai melepaskan desahannya yang cukup kencang. Selain untuk mewujudkan rencana mereka untuk memancing tentara Tukatu, ia pun harus mengakui bahwa ia sudah begitu terangsang akan rabaan dan ucapan kotor dari Pak Doni.

Apalagi ketika Pak Doni mulai memasukkan tangannya ke balik kaos yang ia kenakan. Jemari kasar pria tersebut pun mulai bermain-main di sekitar puting payudara Widi, membuat perempuan tersebut makin dimabukkan oleh syahwat yang kian membuncah.

"Ahhhhh ... Aaannggghhhh .... Ahhhhhh ..."

Widi yang sudah tidak tahan pun langsung menurunkan celana panjang yang dikenakan Pak Doni, hingga penisnya yang sudah tegak mengacung keluar. Jemari lentiknya kini mulai bergerak maju mundur seperti sedang mengocok kemaluan berukuran sedang tersebut.

"Hmmppfff ..." Diperlakukan seperti itu, membuat Pak Doni merasa tak tahan untuk mengeluarkan desahan. Namun ia tahu, bahwa ia tidak boleh mengeluarkan suara sedikit pun, karena tentara Tukatu yang ingin mereka kelabui harus mendengar suara desahan Widi saja. "Kamu nakal banget sih, Wid. Dasar wanita binal kamu, ahh ... Nanti rencana kita bisa gagal."

Widi hanya tersenyum mendengar kata-kata tersebut. Namun rencananya cukup berhasil, karena dengan rangsangan yang ia berikan, remasan yang dilakukan Pak Doni terhadap payudaranya pun jadi semakin menyenangkan, membuat desahannya bisa semakin terdengar jelas.

"Ngggggghhhh .... Aaaaaahhhhhhhh .... Ahhhhhhhhh..."

Saat Widi dan Pak Doni sedang asyik menaikkan birahi mereka masing-masing, mereka tak sadar bahwa ada seorang tentara Tukatu yang sedang mendekati posisi mereka. Tentara tersebut begitu tertarik saat mendengar suara desahan perempuan yang berasal dari tempat itu. Ia memang telah mendapat informasi bahwa ada beberapa tawanan perempuan yang terlepas dari tangkapan timnya. Ia pun berpikir bahwa ini adalah malam keberuntungannya apabila dia berhasil menemukan salah satu perempuan buronan. Selain bisa mendapat nama baik di mata atasan, ia pun bisa meraih kenikmatan duniawi dulu sebelum menyerahkan perempuan tersebut.

Begitu fokusnya sang tentara terhadap suara desahan yang ia dengar, membuatnya tidak terlalu memperhatikan kondisi sekitarnya. Tanpa ia sadari, di belakangnya sudah ada seseorang yang mengendap-endap dengan pisau tajam terhunus di tangannya. Saat ia melangkah maju, tiba-tiba saja tubuh sang tentara disergap dari belakang dan sebilah pisau langsung membelah lehernya. Gabungan rasa kaget sekaligus sakit yang ia rasakan membuat tentara tersebut bahkan tidak sempat menembakkan senjatanya. Ia pun langsung meregang nyawa saat itu.

Satu sasaran telah tumbang, Pak Karjo pun langsung bergerak ke arah sasaran kedua.

Pos penjagaan yang dihuni oleh tentara Tukatu sebenarnya lebih mirip gubuk yang biasa kita lihat di pematang sawah. Kondisi finansial negara yang tidak terlalu baik, membuat Tukatu tidak bisa membuat pos penjagaan yang lebih baik dari itu. Seorang tentara yang berjaga di situ tampak berjaga dengan awas, mengingat seorang rekannya baru saja pergi meninggalkannya untuk memeriksa asal suara aneh yang mereka dengar.

Mata sang tentara pun akhirnya tertuju pada arah ke mana rekannya pergi. Ia merasa heran mengapa lama sekali ia pergi, membuat pos penjagaan ini sedikit rentan akan serangan. Dan kekhawatirannya pun bukan tanpa sebab, karena saat ia sedang memperhatikan kondisi sekitar pos tersebut, tiba-tiba tubuhnya disergap dari belakang. Berbeda dengan temannya, kali ini tentara tersebut berhasil menembakkan senjatanya beberapa kali, meski tidak ke arah yang seharusnya. Kepanikan yang melanda tentara itu pun dimanfaatkan oleh Pak Karjo untuk langsung mencekik lehernya hingga ia kehabisan nafas. Sang office boy pun berhasil menyelesaikan misi dengan baik.

Rini-1.jpg

Beberapa saat kemudian, Rini pun menghampiri Pak Karjo yang tengah berdiri di dekat pos perbatasan setelah perempuan tersebut merasa situasi telah aman. Begitu melihat senyum di wajah Pak Karjo, Rini langsung menghambur untuk memeluk tubuh pria tua tersebut.

"Akhirnya kita berhasil bebas, Pak," ujar perempuan muda itu dengan penuh kebahagiaan.

"Betul, Rin. Kita sudah bisa kembali ke Indonesia sekarang," jawab Pak Karjo.

Rini yang masih larut akan perasaan lega tersebut tiba-tiba meraih kepala sang pria tua yang sudah keriput tersebut, dan mengecup bibirnya dengan liar. Tak lama kemudian, perempuan tersebut sudah bisa merasakan ada sepasang tangan yang mulai bermain-main di bokongnya yang montok. "Nakal sekali Pak Karjo ini," pikir Rini dalam hati.

"Apakah kita harus memanggil Widi dan Pak Doni sekarang, Rin?" Tanya Pak Karjo.

"Tungu sebentar, Pak. Saya masih ingin menikmati kehangatan bibir Bapak," jawab Rini dengan Binal, yang disambut oleh naiknya semangat sang pria.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd