Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Part 17: Bertahan

Gendis-1.jpg

"Akhirnya kita bertemu kembali, Manis," ujar seorang tentara yang sepertinya merupakan pimpinan dari pasukan yang tengah mengepung Gendis dan Tomi tersebut.

Gendis pun langsung mengenali suara tersebut tanpa perlu melihat wajahnya. Dia adalah Sersan Robert, tangan kanan Letnan Frans yang sempat menjamah tubuh indahnya kemarin. Perempuan tersebut pun langsung merasakan mulas di perutnya karena kehadiran pria itu.

"Mengapa kamu lari dariku kemarin? Kan kita jadi tidak bisa berbagi kenikmatan bersama, hahaa ..." ujar Sersan Robert yang langsung diikuti oleh tawa para anak buahnya. Mereka sepertinya tidak menyadari bahwa ada dua perempuan lagi yang turut lari bersama Tomi dan Gendis, dan tidak melanjutkan pengejaran.

Baik Gendis dan Tomi sama-sama berusaha berpikir dan mencari jalan keluar dari kondisi terdesak tersebut. Apabila mereka salah langkah, Gendis bisa saja menjadi perempuan pemuas birahi tentara Tukatu berkulit hitam tersebut, dan Tomi kehilangan nyawanya dengan sia-sia.

"Tahan yang lelaki," perintah Sersan Robert. "Biar yang perempuan menjadi urusanku. Aku ingin kembali meremas-remas pantatnya yang montok, lalu menikmati memeknya yang sempit."

Dua orang tentara pun langsung menarik kedua tangan Tomi, dan memaksanya untuk berdiri. Mereka kemudian berusaha menjauhkan pria tersebut dari Gendis, yang masih merasa nyeri di bagian kaki akibat terantuk batu dan terjatuh tidak lama sebelum itu.

Begitu Tomi sudah tidak berkutik di tangan anak buahnya, Sersan Robert langsung mendekati tubuh Gendis yang sintal. Ia kemudian berjongkok di hadapan perempuan tersebut yang masih berada dalam kondisi terduduk, lalu mengarahkan tangannya untuk mengelus-elus pipi lembut sang perempuan.

"Halus sekali kulit kamu, Manis. Di balik jilbab ini pasti ada tubuh yang sangat nikmat untuk digagahi, hahaa ..." ujar sang Sersan yang sepertinya sudah tidak tahan dengan kecantikan ibu muda tersebut.

"Cuhhh ..." Tiba-tiba Gendis melayangkan ludah yang mendarat tepat di wajah Sersan Robert. Hal ini pun membuat tentara tersebut naik pitam.

"Plaaaakkk ..." Sang sersan membalasnya dengan sebuah tamparan keras di pipi perempuan tersebut.

Gendis bisa merasakan perih yang teramat sangat di pipinya, dan berusaha meredakannya dengan cara mengelus-elus area di mana tangan sang Sersan mendarat. Tanpa sadar, air matanya pun menetes akibat rasa sakit yang ia alami, serta bayangan buruk tentang apa yang akan terjadi setelah ini pada dirinya dan Tomi.

"Memang dasar perempuan sundal kamu," ujar Sersan Robert sambil melempar tubuh Gendis hingga tergeletak tak jauh dari bibir jurang. "Ini adalah hukuman bagi perempuan yang tidak bisa diatur seperti kamu."

Sersan Robert mulai melepas sepatu boot yang ia kenakan. Setelah itu, ia pun menurunkan celana seragam, dan celana dalam di baliknya, hingga kemaluannya yang hitam dan berukuran besar itu terlihat jelas. Kemaluan yang belum disunat itu tampak sudah begitu tegang.

Tentara tersebut kemudian mendekati Gendis, dan mendekatkan kemaluan miliknya ke wajah cantik perempuan tersebut. Ia tampak tidak merasa malu meski adegan tersebut dilihat oleh seluruh anak buahnya. Sebagai pimpinan pasukan, ia seperti tengah mengajarkan sesuatu kepada mereka.

"Posisi yang tepat untuk perempuan bajingan seperti kamu adalah menjadi tempat penampungan spermaku. Cepat buka mulutmu sekarang," ujar Sersan Robert.

Gendis pun menggeleng, di tengah rasa takut yang ia alami. Penis tersebut memang berukuran lebih besar dari milik mantan suaminya atau bahkan Tomi. Namun penis itu mempunyai bau amis yang begitu menyengat, membuat perut perempuan cantik itu menjadi mual.

Sang Sersan tidak tinggal diam menghadapi penolakan tersebut. Ia kemudian menjepit hidung Gendis yang mancung hingga perempuan tersebut tidak bisa bernafas, dan terpaksa membuka mulut untuk menghirup udara segara. Kesempatan tersebut pun digunakan oleh Sersan Robert untuk memasukkan kemaluannya ke dalam mulut Gendis.

"Ahhh, hangatnyaaaa ... memang nikmat sekali ngentotin mulut perempuan kota yang cantik seperti kamu. Cepat hisap, dan jangan berani gigit. Apabila macam-macam, teman kamu itu akan kami tembak sampai mati," ujar Sersan Robert sambil melirik ke arah Tomi.

Tidak ada pilihan lain bagi Gendis, selain menuruti perintah Sersan Robert. Ia pun mulai menyentuhkan lidahnya ke batang penis sang Sersan yang telah bersarang di mulutnya, memberikan kenikmatan yang tiada tara kepada tentara Tukatu tersebut. Merasakan itu, Sersan Robert pun mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, seperti tengah menyetubuhi kepala Gendis.

Melihat adegan tersebut, Tomi tidak bisa menahan kesabarannya. Ia tidak sudi perempuan yang ia suka tersebut harus mengalami penyiksaan fisik dan batin, yang semua itu terjadi tepat di hadapannya. Ia pun mengumpulkan energi sebanyak mungkin untuk mencegah hal tersebut.

"Aaaaaaahhhhh ..."

Tiba-tiba Tomi berusaha melepaskan kedua tangannya yang ditahan oleh anak buah Sersan Robert, dan berhasil. Ia langsung menghambur ke arah pimpinan pasukan tersebut dan memukul wajahnya sekuat mungkin. Bagi sang Sersan, pukulan tersebut mungkin bukan sebuah hal yang mematikan, tetapi cukup untuk membuat penisnya terlepas dari mulut Gendis.

"Kurang ajar kalian ..."

Dengan tubuh bagian bawahnya yang masih telanjang, Sersan Robert langsung mengarahkan tinju ke arah dada Tomi. Pria muda tersebut tidak bisa menahannya dan langsung merasakan rasa sakit yang luar biasa. Namun karena adrenalin yang berasal entah dari mana, Tomi berhasil membalasnya dengan pukulan yang kembali mengenai hidung dari Sersan Robert.

Posisi Tomi kini membelakangi Gendis yang mulai mencoba berdiri di pinggir jurang. Ia masih terlalu lelah untuk segera berlari dari tempat itu. Para bawahan Sersan Robert sebenarnya sedang mencoba membidik Tomi dan Gendis demi membantu sang pimpinan, tapi posisi Sersan Robert justru menghalangi arah tembakan mereka.

Sersan Robert sepertinya sudah kehilangan kesabaran. Ia membalas dengan mengarahkan tinju uppercut ke arah dagu Tomi, yang membuat pria muda itu terpelanting ke belakang. Tubuh Tomi yang terlempar bahkan sampai mendorong Gendis ke belakang, membuat perempuan tersebut hilang keseimbangan.

"Tomiiii ... Toloooonngg, ahhhhhhhh ...."

Itu adalah teriakan terakhir yang bisa didengar oleh Tomi, karena tubuh Gendis langsung terjatuh ke jurang yang ada di belakangnya. Dalam kondisi pusing setelah dihajar oleh Sersan Robert, Tomi coba melihat ke dalam jurang yang di dasarnya ternyata terdapat sebuah sungai besar. Tanpa pikir panjang, pria muda tersebut pun langsung ikut terjun ke jurang tersebut demi mengejar Gendis.

Melihat kedua tawanannya terjatuh ke dalam jurang, Sersan Robert pun langsung mencoba mencari mereka. Karena posisi jurang yang cukup tinggi, ia sama sekali tidak bisa melihat tubuh kedua orang tersebut. Turun ke bawah untuk memeriksa kondisi mayat keduanya pun bukan pilihan yang baik.

"Laporkan pada Letnan Frans, bahwa dua sasaran telah tewas," ujarnya kepada para tentara yang lain, sambil kembali mengenakan celana dan sepatunya, lalu pergi dari tempat itu.

***​

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

Setelah rasa kaget yang mereka alami mulai hilang, Widi dan Rini mencoba melihat wajah para lelaki yang menangkap mereka. Keduanya pun bisa bernafas lega karena mereka ternyata mengenali pemilik wajah-wajah tersebut.

"Pak Doni, Pak Karjo ... Jadi kalian selamat?"

"Kalau tidak selamat, tentu kami tidak akan berada di sini sekarang, Wid," ujar Pak Doni sambil terkekeh.

Karena merasa kedua perempuan muda tersebut telah mulai tenang, Pak Doni dan Pak Karjo pun melepas dekapan mereka. Namun, keduanya tetap waspada dengan situasi di sekeliling mereka.

"Kita harus cepat sembunyi, atau kita akan tertangkap oleh para tentara Tukatu tersebut," ujar Pak Karjo.

Widi dan Rini pun langsung mengikuti langkah kedua rekan mereka tersebut menuju ke sebuah cekungan mirip gua yang berada di kaki sebuah lereng bukit. Para perempuan itu melihat dua tumpukan kayu dan dedaunan di tanah, yang sepertinya dibuat menyerupai tempat tidur.

"Jadi ... Pak Doni dan Pak Karjo semalam tidur di sini?" Tanya Widi.

"Begitulah. Untungnya sebelum menemukan gua ini, kami melewati sebuah sungai. Jadi bisa melepas dahaga dulu di sana."

"Memangnya di sini tidak dingin, Pak?" Kini giliran Rini yang bertanya.

"Ya begitulah ... Habis mau bagaimana lagi? Di luar pasti lebih dingin kan."

"Pak Doni dan Pak Karjo sempat mencari bahan makanan juga?"

"Paling sepanjang perjalanan saja kami makan buah atau dedaunan yang sepertinya bisa dimakan. Daripada lapar kan? Lebih baik makan semuanya untuk mengisi perut, hee."

Merasa aman, mereka berempat pun memutuskan untuk istirahat sementara di gua tersebut, sambil terus waspada apabila mendengar suara dari luar. Pak Doni akhirnya menceritakan bagaimana ia dan Pak Karjo bisa lari dari kepungan tentara bersenjata di sekolah, hingga akhirnya menemukan gua tempat mereka berada.

Setelah itu, giliran Widi dan Rini yang menceritakan bagaimana mobil van yang mereka gunakan untuk kabur kehabisan bensin, hingga mereka bersama dengan Tomi dan Gendis kemudian menemukan rumah pohon untuk menginap. Sayangnya, mereka berempat terpisah saat dikejar-kejar oleh tentara Tukatu yang tiba-tiba memeriksa daerah tersebut di pagi hari.

"Sebenarnya aku dan Pak Karjo sedang ingin mencari bahan makanan saja di sekitar sini, eh tiba-tiba kami mendengar suara teriakan kalian dan tentara Tukatu," ujar Pak Doni.

"Untungnya kalian justru berlari ke arah kami. Jadi kita bisa berkumpul kembali," lanjut Pak Karjo.

"Iya, Pak. Senang melihat rombongan kita masih bisa bertahan hingga sekarang," ujar Widi.

Namun Rini tampak bengong. "Kira-kira bagaimana ya nasib Bu Gendis dan Kak Tomi sekarang? Lalu kita juga belum bertemu dengan Pak Harso dan Bu Nabila, apa mereka juga masih hidup?"

Pak Doni pun menghela nafas. Sejak kemarin, ia pun memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada teman-temannya. Namun demi menjaga kewarasan pikiran, ia pun berusaha menghilangkan hal itu dari kepalanya, atas masukan dari Pak Karjo juga.

"Lebih baik kita tidak memikirkan orang lain, dan fokus pada diri kita sendiri dulu, Rini. Sekarang kita harus berjuang untuk bisa bertahan hidup, dan memikirkan bagaimana caranya kembali ke Indonesia. Sambil terus mendoakan yang terbaik bagi rekan-rekan kita yang lain," ujar Pak Doni.

Mereka berempat pun terdiam. Semuanya larut dalam kenangan masing-masing tentang orang-orang yang setiap hari mereka temui di kantor, dan kini tidak mereka ketahui di mana rimbanya. Mulai dari ketegasan Pak Harso, keanggunan Bu Nabila, keramahan Bu Gendis, dan kekonyolan Tomi. Dalam hati, mereka pun mendoakan keselamatan bagi rekan-rekan mereka tersebut.

"Lalu kita harus bagaimana sekarang, Pak Doni?"

"Nah, itu dia. Aku dan Pak Karjo itu sama sekali buta akan urusan mata angin ke mana kita harus pergi sekarang. Makanya kami fokus saja untuk bertahan hidup di sini, meski kami juga masih amatir soal itu. Kalian ada ide?"

Widi menggeleng. Namun Rini sepertinya mempunyai sebuah ide di kepalanya.

"Kakak ingat tidak waktu kita berdua berada di tempat camping, di puncak bukit Amanika? Yang saat itu Pak Doni dan Kak Tomi menghampiri kita?" Tanya perempuan muda tersebut.

"Iya, ingat kok. Memangnya kenapa dengan tempat itu, Rin?"

"Seingat aku, di atas sana kita bisa melihat ke seluruh penjuru mata angin kan. Di sana kita bisa melihat ke arah laut, ke arah daerah Tukatu, dan ..."

"... dan arah ke Indonesia. Benar juga, kamu cerdas Rini," ujar Widi menyambung kata-kata adiknya.

"Maksud kalian bagaimana sih?" Pak Doni masih bingung mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ia sendiri menyesal mengapa waktu berada di tempat camping kemarin malah fokus ke tubuh Rini yang indah, bukannya kondisi sekitar tempat tersebut.

"Maksud kami, kita bisa mencoba mendaki ke tempat yang lebih tinggi, dan berharap di sana tidak ada pohon sebanyak tempat kita berada sekarang. Dan di atas sana, kita bisa tahu arah yang benar untuk kembali ke Indonesia," ujar Widi menerangkan.

Pak Doni dan Pak Karjo pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. Mereka akhirnya mengerti ide yang baru diajukan kedua kakak beradik di hadapan mereka.

"Kalau begitu, kita harus pergi secepatnya," ujar Pak Doni. "Dengan kedatangan tentara Tukatu tadi, ada peluang besar mereka akan kembali menemukan kita apabila kita tetap berada di sini. Lagipula, kalian berdua pasti tidak akan tahan apabila harus bermalam di sini seperti saya dan Pak Karjo."

"Lagipula kita tidak ada bahan makanan yang cukup. Terlalu lama di sini, yang ada kita malah akan mati kelaparan," ujar Pak Karjo.

Widi dan Rini pun mengerti.

"Kalian tidak apa-apa kalau kita langsung jalan?" Tanya Pak Doni.

"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Saya kuat kok. Kamu kuat juga kan Rin?" Rini pun mengangguk untuk menanggapi pertanyaan sang kakak.

"Oke, ayo kita berangkat sekarang," ujar Pak Doni memimpin rombongan tersebut.

***​

Di dalam sebuah kamar di Resort Hostina, seorang pria tampak tengah bersandar di dinding kamar mandi, sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Ia tampak sedang meresapi kenikmatan yang tengah ia rasakan. Di hadapannya, seorang perempuan muda tampak tengah berlutut, sambil memainkan penis sang pria dengan lidahnya.

"Ahh, nikmat sekali Karina ... terus hisap begitu," ujar sang pria sambil mengusap-usap kepala perempuan tersebut.

Mereka berdua tampak sudah sama-sama tidak mengenakan sehelai pakaian pun di kamar mandi tersebut. Tubuh mereka sedikit lembab, seperti bekas habis mandi.

Sang perempuan tampak menurut akan apa yang diperintahkan sang pria. Ia pun kembali memasukkan penis pria tersebut ke dalam mulutnya, lalu menggerakkan kepalanya maju mundur di hadapan selangkangan sang pria. Tangannya pun dengan nakal memainkan buah pelir sang pria yang berbulu tipis.

"Hmmmppphh ... hmmmppphhh .... Sslluuurrph," terdengar kecipak batang penis sang pria yang berkali-kali bergesekan dengan air liur sang perempuan.

Hanya dalam waktu beberapa menit, sang pria pun seperti sudah tidak tahan. Ia pun mengangkat tubuh sang perempuan agar kembali berdiri, lalu memintanya untuk menempelkan tangannya ke dinding kamar mandi.

"Nungging donk, Sayang. Aku ingin lihat pantat kamu yang seksi itu lagi," ujar sang pria.

Sang perempuan hanya tersenyum sambil menuruti permintaan pria tersebut, yang tampak masih mengenakan cincin kawin di jari manisnya. Apalagi saat sang pria kemudian memeluk tubuhnya dari belakang, dan mulai meremas-remas payudaranya.

"Ahh, Pak Ramaaaa ... geli banget kalau diremes-remes begitu toket aku, nggghhhhhh."

Mendengar desahan sang perempuan, pria bernama Rama itu pun makin bersemangat. Ia kemudian mulai menggesekkan kembali penisnya ke vagina sang perempuan dari belakang. Demi menaikkan birahi perempuan berparas manis tersebut, sang pria pun menjulurkan lidah dan menempelkannya ke balik telinga sang perempuan, membuat pemiliknya kegelian.

"Ahhh, Pak Ramaaaaa ..." ujar sang perempuan dengan manja.

"Kamu sudah pengin aku entotin lagi ya Karina? Gak puas semalam sudah aku gagahi beberapa ronde?" Goda sang pria lewat bisikan tepat di depan telinga Karina.

Perempuan tersebut hanya mengangguk.

Karina-1.jpg

"Ngomong donk, aku kan gak dengar."

"Iya, aku mau Bapak masukin itunya lagi."

"Itunya apa? Kurang jelas ahh ..." ujar Rama sambil menarik kembali penisnya menjauh dari selangkangan Karina.

"Ahh, Bapak maaahhh ..."

"Habisnya kamu masih malu-malu. Ayo ngomong donk kamu mau dimasukin apa?"

"Karina mau Pak Rama masukin lagi kontol Bapak ke memek Karina ... ahhhhhhh" sang perempuan akhirnya menyerah. Ia pun menuruti permintaan sang pria karena memang dirinya juga sudah terlanjur terangsang hebat.

Pria beristri tersebut pun memasukkan kemaluannya ke dalam liang senggama Karina dengan libido yang menggelegak. Menyetubui perempuan seksi tersebut dari belakang membuat birahinya menggelegak. Sepanjang pernikahannya dengan Nabila, tak sekali pun perempuan berjilbab tersebut menyetujui permintaannya untuk bersenggama dengan posisi tersebut.

"Ahhh, terus Pak Rama ... ahhh, terus entotin aku ..." desahan Karina terus memenuhi kamar mandi yang berukuran tidak terlalu besar tersebut. Ruangan tersebut kini menjadi saksi persetubuhan liar mereka berdua.

Setelah menyetubuhi perempuan bertubuh indah itu selama beberapa menit, Rama pun tampak tidak mampu menahan birahinya. Usahanya untuk membuat Karina makin terangsang dengan meremas-remas payudaranya dari belakang, justru membuat syahwatnya turut naik.

"Ngghhh ... enak banget memek kamu Karina. Aku jadi gak tahaaaaannn ..."

"Aku pengin dipuasin seperti ini tiap hari Pak ... Mau kan? Ahhhhh."

"Mau banget sayang ..."

"Tapi istri Bapak nanti bagaimana? Ahhh ahhh ..."

"Kamu mau kan jadi istri aku, kalau Nabila tidak kembali?"

"Mau banget, Paaaaaakkkk .... Ahhh, masukin yang dalam kontolnya yang gede itu, Paaakk."

Obrolan yang terkesan romantis tersebut ironisnya terjadi di dalam kamar mandi, sembari kedua pelakunya melakukan perselingkuhan yang penuh birahi. Namun anehnya, diskusi di tengah-tengah persenggamaan keduanya tersebut justru membuat birahi Rama naik ke puncak yang tertinggi.

Membayangkan Karina menjadi budak seks yang mau melayaninya setiap hari benar-benar membuat Rama mabuk kepayang. Di sisi lain, Karina pun membayangkan bagaimana ia bisa merasakan kenikmatan dunia tanpa perlu sibuk bekerja lagi, karena segala kebutuhannya akan dipenuhi oleh pria yang tengah menyetubuhinya dari belakang tersebut.

Tak perlu waktu lama hingga Rama menancapkan penisnya sedalam mungkin ke dalam vagina Karina, yang diiringi dengan dongakan kepala sang perempuan ke arah atas. Keduanya pun merasakan akhir kesekian dari aktivitas syahwat yang tak henti mereka lakukan sejak semalam.
 
Akhirnyaaa...
Makasih updatenya Suhu @fathimah
Yah meskipun Nabila belum tampil, tapi gak apalah. Siapa tahu sengaja disimpan ama Suhu @fathimah buat adegan yg lebih menjanjikan hehehe :D
Save Gendis Hu. Syukurlah bisa lolos meski g tau nasibnya gmn. Gak rela klo Gendis ampe dikerjain para tentara Tukaku, yah meski ttp bikin ngaceng jg sih wkwkwk
Sialan Rama. Masa ngarepin Nabila gak balik :marah:
Sebagai balasan, semoga Nabila bisa mendapatkan kenikmatan yg epic dr Pak Harso di Tukaku :pandaketawa:
Semoga dilancarkan RL nya Suhu. Dan makin lancar jg updatenya
Monggo dilanjut
 
Bimabet
Part 18: Waspada

Hari telah beranjak siang, dan rombongan Pak Doni, Pak Karjo, Widi, dan Rini, belum juga menemukan tempat yang mereka tuju. Mereka terus berusaha menuju dataran yang lebih tinggi agar bisa menemukan arah yang tepat untuk kembali ke Indonesia. Namun pandangan mereka hingga saat ini masih tertutup bukit lain atau terhalang pepohonan yang rimbun di sana-sini.

Keempat rombongan tersebut yakin bahwa lama kelamaan mereka akan segera sampai di lokasi yang tepat. Akan tetapi, karena perjalanan yang cukup jauh, beberapa orang di antara mereka tampak mulai kelelahan.

"Kita istirahat dulu ya, aku capek banget neh," ujar Widi kepada rekan-rekannya.

Perempuan cantik tersebut pun langsung duduk di atas sebuah batu besar yang berada di dekat tempatnya berdiri. Nafasnya terlihat menderu, tanda bahwa ia telah mengeluarkan tenaga yang besar sepanjang perjalanan, dan kini harus terus menjaga asupan oksigen ke paru-paru agar ia tidak kehilangan kesadaran.

"Ayo lah, Kak. Kalau kebanyakan istirahat, nanti kita malah bertemu dengan pasukan tentara Tukatu itu lagi. Kakak mau?" Rini, sang adik, tampak tidak sabaran menghadapi keluhan sang kakak. Ia seperti trauma bertemu dengan para tentara yang biadab tersebut.

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

Dalam hati, Widi sebenarnya mengiyakan apa yang dikatakan oleh adiknya. Ia juga khawatir mereka berempat akan terkejar oleh para tentara Tukatu. Namun stamina dan daya tahan tubuhnya memang sudah sampai di batas tertinggi. Terlebih karena dia baru saja mengurasnya habis-habisan saat lari dari kejaran pasukan Tukatu tadi pagi.

"Sudah, Rini. Jangan terlalu memaksa begitu. Di saat seperti ini, kita harus kompak dan pengertian. Salah satunya adalah memahami stamina dan kondisi tubuh masing-masing dari kita," ujar Pak Doni. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa mengeluarkan kata-kata sebijak itu. Namun sesi merenung yang ia lakukan semalam saat bermalam dengan Pak Karjo tampak telah mengubah pikirannya.

Rini pun menyesal telah berkata kasar kepada kakaknya. "Oke, maaf. Tapi, aku sudah tidak tahan lagi, Pak. Aku ingin segera pergi dari tempat terkutuk ini," ujarnya dengan raut wajah yang begitu cemas.

Pak Karjo yang sepanjang perjalanan hanya diam, kini turut membuka suara. "Begini saja. Aku akan coba berkeliling untuk melihat-lihat daerah sekitar sini, sementara kalian istirahat di tempat ini."

"Ide yang bagus itu, Pak," ujar Pak Doni yang juga mulai merasa sedikit lelah setelah berjalan tanpa henti sejak pagi. Sedangkan Widi yang memang sudah tidak mempunyai stamina hanya mengangguk tanda setuju.

"Kalau begitu aku ikut Pak Karjo, boleh? Aku masih kuat jalan kok," ujar Rini. Ia seperti ingin menjadi bagian yang berguna dari rombongan tersebut.

"Kamu yakin? Gak mau istirahat saja di sini?" Pak Karjo merasa sangsi.

"Yakin kok Pak. Aku masih kuat."

"Baiklah, ayo kita jalan," ujar Pak Karjo memimpin Rini. Mereka pun meninggalkan Pak Doni dan Widi di tempat tersebut.

***​

Di belahan lain bukit Amanika, tampak sepasang lelaki dan perempuan sedang berjalan menyusuri sebuah sungai. Sang perempuan berjalan di depan sambil membawa sebuah botol air mineral, sedangkan di belakangnya sang lelaki tampak menggendong tas berisi perbekalan. Berbeda dengan rombongan Pak Doni, kedua orang tersebut tampak tahu arah yang harus mereka tuju.

"Kita sudah berjalan cukup jauh, Nabila. Kamu ingin istirahat dulu?" Tanya sang lelaki yang berada di belakang.

Sang perempuan di hadapannya pun menghentikan langkah. Ia mencoba mengukur stamina tubuhnya, dan sepertinya beristirahat sejenak merupakan pilihan yang baik untuk saat ini.

"Boleh, Pak Harso. Saya juga sudah lumayan capek."

Perempuan tersebut pun mencari tempat kering di sepanjang pinggir sungai tersebut untuk mereka berdua melepas lelah. Ia akhirnya menemukan sebuah lokasi yang cukup tertutup oleh pepohonan, sehingga tidak akan terlalu panas bila mereka berdua duduk di baliknya. Pohon tersebut pun bisa melindungi mereka dari pantuan tentara Tukatu.

Nabila-1.jpg

"Ini cemilan untuk makan siang, Nabila," ujar Pak Harso sambil memberikan sebungkus makanan ringan dan sebuah pisang, begitu mereka berdua telah duduk bersebelahan di tempat yang cukup tertutup tersebut.

"Terima kasih, Pak," ujar Nabila.

Sebelum menyantap makanan untuk mengisi perut, perempuan tersebut tampak melepas dahaga dengan meneguk air di botol yang ia bawa, sebelum kemudian memberikannya kepada Pak Harso. Keduanya pun tampak cukup santai sambil memandangi arus sungai yang tidak begitu deras, meski tetap waspada apabila ada pergerakan aneh di sekitar mereka.

"Kamu sudah baik-baik saja, Nabila?" Tanya Pak Harso kepada anak buahnya yang cantik tersebut.

Sang perempuan berjilbab tampak menghela nafas, sambil menatap hampa ke arah sungai. "Kalau dibilang baik-baik saja, jelas tidak Pak. Kejadian kemarin dan semalam sepertinya tidak akan lekas hilang dari kepala saya."

"Aku paham. Semoga waktu bisa membantu kamu melupakannya ya."

Nabila mengangguk. "Terima kasih ya Pak, sudah melindungi aku sampai saat ini," ujarnya sambil menatap wajah Pak Harso yang sebenarnya sudah mulai tertutupi keriput di sana sini.

Dalam hati, perempuan tersebut masih ingat betul bagaimana ia menikmati pelukan sang pria di atas ranjang semalam, meski kenangan tersebut kini mulai tertutupi dengan serangan tiba-tiba seorang tentara Tukatu bernama Paul itu.

Saat berada di ibu kota, Nabila memang sudah sering dipeluk dengan hangat oleh sang suami. Namun situasi mencekam di Amanika membuat pelukan Pak Harso semalam terasa jauh lebih hangat. Sang perempuan yang kini sedang merapikan jilbab yang ia kenakan tersebut sebenarnya bisa merasakan bagaimana kemaluan sang atasan membesar saat mereka berpelukan. Namun ia sengaja membiarkan hal itu. Pertama karena ia masih merasa takut akan kedatangan tentara Tukatu, dan kedua ia pun tidak bisa mungkir bahwa ia juga menikmati kondisi tersebut.

Diperhatikan seperti itu oleh Nabila, Pak Harso pun tersenyum menahan malu. "Yang penting kita berdua masih bisa bertahan hingga saat ini."

"Betul, Pak."

"Dan keberuntungan sepertinya sedang bersama dengan kita. Terbukti kamu tak sengaja menemukan coretan anak-anak tersebut."

Pak Harso membicarakan secarik kertas yang ditemukan oleh Nabila di salah satu rumah penduduk di Amanika yang telah ditinggalkan penghuninya. Sekilas, kertas tersebut hanya berisi coretan tak beraturan. Namun apabila diperhatikan lebih lanjut, itu adalah sebuah peta lingkungan sekitar.

"Mungkin ini adalah tugas sekolah salah satu anak yang sebelumnya tinggal di situ. Mereka mungkin diminta untuk membuat peta tersebut oleh guru mereka," pikir Nabila saat itu.

Untungnya, meski dibuat oleh anak-anak, peta tersebut bisa menunjukkan dengan jelas arah yang harus ditempuh dari daerah sekitar rumah penduduk tempat Nabila dan Pak Harso berada semalam, menuju ke daerah yang masih menjadi milik Indonesia. Menurut peta tersebut, mereka bisa kembali ke Indonesia bila menyusuri aliran sungai yang berada dekat dengan rumah tersebut. Sejak pagi, keduanya pun telah mengikuti peta tersebut untuk kembali berkumpul dengan pasangan resmi mereka masing-masing.

"Meski sudah mempunyai peta tersebut, kita harus tetap waspada Nabila. Karena tentara Tukatu bisa tiba-tiba datang dari mana saja," ujar Pak Harso.

Nabila pun mengangguk, sambil memasukkan pisang ke dalam mulutnya secara perlahan. Pak Harso melihat kejadian tersebut sambil meneguk ludah.

***​

Setelah Pak Karjo dan Rini pergi, Widi tampak mengelus-elus kakinya yang sebelah kanan. Perempuan muda tersebut pun tampak meringis, seperti menahan sakit.

"Kamu tidak apa-apa, Wid?" Tanya Pak Doni yang merasa khawatir.

"Hmm, sepertinya sedikit kram, Pak."

"Boleh aku bantu?"

"Bantu bagaimana, Pak?"

"Ya, aku bantu periksa. Terus aku coba pijat."

"Memangnya Bapak bisa?"

"Jangan salah, tengil-tengil begini aku juga suka main futsal, dan sering kena kram seperti itu."

Widi awalnya sempat ragu, tetapi ia akhirnya mengangguk, karena merasa tidak punya pilihan lain. Ia pun membiarkan Pak Doni saat pria tersebut mendekat dan langsung berlutut di hadapannya.

"Aku buka dulu ya sepatu dan kaos kakinya," ujar Pak Doni.

"Iya, Pak. Silakan."

Setelah sepatu dan kaos kaki Widi terlepas, Pak Doni pun mulai menekan-nekan kaki sang perempuan, berusaha mencari posisi di mana ia merasa sakit. Posisi batu tempat sang perempuan muda tersebut duduk memang cukup tinggi, membuat tungkai kakinya berada dalam posisi tergantung, dan memudahkan Pak Doni untuk memeriksa.

"Di bagian ini ya sakitnya?"

"Ahhh, iya betul Pak," ujar Widi sedikit meringis saat bagian tersebut ditekan oleh Pak Doni.

Perlahan pria tersebut pun mulai memijat kaki sang perempuan dengan lembut. Ia memang sudah terbiasa melakukan hal seperti itu kepada temannya di lapangan futsal. Namun, sebenarnya baru kali ini Pak Doni melakukan pijatan tersebut kepada seorang perempuan.

Dalam hati, Pak Doni begitu mengagumi bagian kaki Widi yang begitu mulus, meski sedikit tertutupi oleh debu setelah pelarian dari tentara Tukatu sejak kemarin. Apalagi kini Widi hanya mengenakan celana pendek ketat berbahan jeans yang hanya menutupi sampai pertengahan pahanya. Dari atas ke bawah, kaki sang perempuan tampak putih tanpa cela. Kaki tersebut pun cukup berisi, membuat bentuknya terlihat begitu indah. Hal tersebut pun membuat syahwat Pak Doni sedikit naik.

"Sudah enakan kakinya, Wid?" Tanya Pak Doni.

"Sudah, Pak. Lumayan."

Saat kakinya dipijat oleh Pak Doni, Widi pun seperti merasakan ada kehangatan yang menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Ia tidak bisa mungkir bahwa apa yang terjadi kepadanya kemarin di markas tentara Tukatu, meski begitu traumatis, tetapi juga membuat birahinya memuncak. Dan birahi tersebut belum sempat ia lampiaskan hingga saat ini. Karena itu, saat ada seorang laki-laki yang menyentuh tubuhnya, walaupun hanya pijatan yang sederhana, ia pun jadi seperti tersengat aliran listrik.

"Hmm ... " terdengar desahan singkat dari bibir Widi di sela-sela pijatan kaki tersebut.

Pak Doni mendongak, dan melihat Widi kini telah memejamkan mata, seperti sedang menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar dari dalam dirinya. Tangannya pun menggenggam erat batu tempatnya duduk saat itu, berusaha menopang tubuhnya yang indah.

Pria setengah baya tersebut pun tersenyum. Ia seperti merasa mendapat persetujuan untuk melakukan hal yang lebih intim dengan perempuan tersebut. Tanpa diminta, ia mulai menaikkan pijatannya dari ujung kaki menuju bagian betis perempuan tersebut yang mulus.

"Enak, Wid?"

"Hmm ... Ehemmm ... Enak banget, Pak," ujar Widi dengan suara desahan yang kian jelas.

Pak Doni pun semakin berani menaikkan pijatan tangannya ke arah dengkul sang perempuan, dan kemudian berlabuh di paha lembut rekan kerjanya tersebut. Bentuk tubuh Widi yang indah, lengkap dengan payudara besar yang menonjol dari balik kaos ketat yang ia kenakan, membuat birahi Pak Doni kian memuncak.

Selama ini, Pak Doni memang selalu digosipkan mempunyai hubungan rahasia dengan Bu Gendis di kantor, karena usia mereka memang sepantar. Pria tersebut tidak menampik bahwa Bu Gendis adalah sosok yang cantik, dengan tubuh yang montok. Banyak lelaki yang pasti tidak akan menolak apabila mendapat kesempatan untuk menjadi pasangan Bu Gendis.

Namun, Pak Doni sebenarnya mempunyai ketertarikan tersendiri kepada perempuan yang jauh lebih muda darinya. Mantan istrinya sendiri berusia cukup jauh dengan dirinya, meski tidak sejauh perbedaan usianya dengan Widi. Pria tersebut seperti mendapat kepuasan yang berbeda apabila berhasil menggauli perempuan muda, apalagi yang masih perawan.

Karena itu, Pak Doni sebenarnya sering melirik pegawai-pegawai yang berusia 20-an tahun di kantor, dan Widi adalah salah satu di antaranya. Namun seperti para pria lain di kantor perusahaan multifinance tempat mereka bekerja yang juga menyukai paras Widi, ia pun tidak berani mendekatinya karena perempuan tersebut sering membawa pacarnya ke kantor. Mereka pun tampak mesra, seperti pasangan yang sudah serius untuk melaju ke jenjang pernikahan.

Namun setelah mendengar cerita bahwa Widi saat ini tengah single, dan pengakuan bahwa ia sudah tidak perawan saat bermain game di hari sebelumnya, Pak Doni pun menjadi bernafsu untuk mendekati perempuan muda yang cantik itu. Rasa tersebut pun kembali hadir saat ia dan Pak Karjo kembali bertemu dengan Widi dan adiknya, meski sebelumnya sempat terpisah.

Karena itu, pijatan kaki yang awalnya biasa tersebut pun menjadi kesempatan emas bagi Pak Doni. Apalagi Widi pun tampak menikmati perlakuan tersebut.

Perlahan, Pak Doni pun semakin berani menggerakkan elusan tangannya semakin ke atas. Ia membelai pinggul Widi yang montok, dan terus naik hingga menempel di sepasang payudaranya yang menonjol.

"Nggghhhh ..." Widi kembali mendesah, meski tetap memejamkan mata. Perempuan tersebut seperti menikmati rangsangan Pak Doni, tetapi terlalu malu untuk menatap wajah sang pria. Pak Doni pun menjadi begitu gemas melihatnya.

Pria tersebut pun bangkit dan menatap wajah perempuan cantik di hadapannya. Ia coba melihat sekeliling, demi mengetahui apabila Pak Karjo dan Rini telah kembali. Namun, kedua orang tersebut tidak kunjung terlihat. Pak Doni pun merasa aman.

Dalam posisi berdiri, tangan kiri Pak Doni mulai bergerak untuk meremas payudara Widi dari balik kaos lengan pendek yang ia kenakan. Sementara itu, tangan kanannya tampak menyusuri leher sang perempuan yang terbuka, hingga ke bagian belakang telinganya dan membelai rambut hitamnya yang indah.

Diperlakukan seperti itu, Widi tetap diam dan memejamkan mata. Hanya ada sedikit gerakan di bagian mulut perempuan tersebut, yang kini mulai menggigit bibir bawahnya.

"Ahhhh ..." suara desahan perempuan tersebut pun terdengar makin kencang.

Pak Doni pun bertambah gemas. Ia pun berniat untuk memberi pelajaran kepada sang perempuan, dengan cara mengusap bibir Widi dengan jemari tangan kanannya. Awalnya ia coba menggerakkan jari dari kanan ke kiri, lalu ke arah sebaliknya. Kemudian ia pun mencoba mengusapnya ke atas, lalu ke bawah.

"Sslllpppp ..." Tanpa diduga, Widi coba mengeluarkan lidah dan mengusapkannya ke jemari Pak Doni. Ketika pria tersebut menarik tangannya, lidah Widi tampak makin panjang keluar, seperti mencari sumber kenikmatan yang baru saja ia rasakan.

Pak Doni pun tersenyum puas. Ia kemudian melangkah maju hingga tubuh mereka saling menempel, dan menempatkan tubuhnya sedemikian rupa hingga selangkangan sang perempuan sedikit membuka. Widi pun terlihat dalam posisi mengangkang, menjepit tubuh Pak Doni yang berada di hadapannya.

Puas mengusap bibir Widi dengan jarinya, Pak Doni seperti menginginkan sesuatu yang lebih. Ia pun mendekatkan kepalanya ke wajah sang perempuan, dan mulai menempelkan bibirnya.

"Hmmmppphh ..." terdengar suara lenguhan yang binal dari mulut Widi saat bibir mereka bersentuhan.

Awalnya memang hanya menempel, tetapi kemudian Pak Doni memberi tekanan yang lebih besar lewat ciuman tersebut, yang ternyata langsung disambut oleh Widi. Perempuan tersebut bahkan mulai membuka bibirnya, memberikan jalan pada lidah Pak Doni untuk bertemu dengan lidahnya.

"Hmmpphh ... Sluuurrrppphh ..."

Tangan kanan Pak Doni tampak menempel di bagian belakang kepala Widi dan menariknya agar bibir mereka bisa menempel kian erat. Sementara tangan kirinya masih terus meremas-remas payudara Widi, coba membangkitkan gairah perempuan cantik berkulit putih tersebut. Pak Doni pun merasakah birahi Widi semakin naik karena kaki sang perempuan mulai kencang menjepit tubuhnya, dan mulutnya pun semakin aktif membalas lumatan bibir sang pria.

"Hmmpphh ... Sluuurrrppphh ..."

Bunyi kecipak yang timbul dari percikan liur kedua insan tersebut makin terdengar jelas. Hal itu pun diiringi oleh dengusan nafas keduanya yang makin memburu. Syahwat keduanya tampak semakin membuncah. Pak Doni bahkan merasakan kemaluannya makin lama makin membesar, membuat selangkangannya sesak. Ia tak menyangka bisa merasakan manisnya bibir perempuan muda yang sedang terpejam di hadapannya tersebut.

"Hmmpphh ... Sluuurrrppphh ..."

Widi pun semakin aktif membalas rangsangan dari pria yang jauh lebih tua darinya tersebut. Tangannya yang selama ini bersandar di batu tempatnya duduk, kini telah berpindah ke pundak Pak Doni, seperti memeluk pria tersebut. Lidahnya pun semakin aktif menggoda sang pria yang suhu tubuhnya kian lama terasa makin hangat.

Namun tiba-tiba ... terdengar lengkingan suara yang mengagetkan keduanya.

"Kak Widi ... Pak Doni ... Ada kabar baik !! Kalian harus melihat apa yang kami temukan !!"

Pasangan pria dan perempuan yang sedang beradu birahi tersebut tidak perlu waktu lama untuk menelaah suara siapa yang baru mereka dengar. Apalagi, suara tersebut kemudian diiringi dengan bunyi jejak kaki yang kian lama semakin dekat. Pak Doni dan Widi pun langsung memisahkan diri satu sama lain.

Mata keduanya sempat saling bertatapan, sembari mereka membereskan pakaian mereka masing-masing. Keduanya berharap semoga kedua rekan mereka yang kian mendekat tidak menyadari apa yang baru saja terjadi di tempat tersebut.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd