Part 17: Bertahan
"Akhirnya kita bertemu kembali, Manis," ujar seorang tentara yang sepertinya merupakan pimpinan dari pasukan yang tengah mengepung Gendis dan Tomi tersebut.
Gendis pun langsung mengenali suara tersebut tanpa perlu melihat wajahnya. Dia adalah Sersan Robert, tangan kanan Letnan Frans yang sempat menjamah tubuh indahnya kemarin. Perempuan tersebut pun langsung merasakan mulas di perutnya karena kehadiran pria itu.
"Mengapa kamu lari dariku kemarin? Kan kita jadi tidak bisa berbagi kenikmatan bersama, hahaa ..." ujar Sersan Robert yang langsung diikuti oleh tawa para anak buahnya. Mereka sepertinya tidak menyadari bahwa ada dua perempuan lagi yang turut lari bersama Tomi dan Gendis, dan tidak melanjutkan pengejaran.
Baik Gendis dan Tomi sama-sama berusaha berpikir dan mencari jalan keluar dari kondisi terdesak tersebut. Apabila mereka salah langkah, Gendis bisa saja menjadi perempuan pemuas birahi tentara Tukatu berkulit hitam tersebut, dan Tomi kehilangan nyawanya dengan sia-sia.
"Tahan yang lelaki," perintah Sersan Robert. "Biar yang perempuan menjadi urusanku. Aku ingin kembali meremas-remas pantatnya yang montok, lalu menikmati memeknya yang sempit."
Dua orang tentara pun langsung menarik kedua tangan Tomi, dan memaksanya untuk berdiri. Mereka kemudian berusaha menjauhkan pria tersebut dari Gendis, yang masih merasa nyeri di bagian kaki akibat terantuk batu dan terjatuh tidak lama sebelum itu.
Begitu Tomi sudah tidak berkutik di tangan anak buahnya, Sersan Robert langsung mendekati tubuh Gendis yang sintal. Ia kemudian berjongkok di hadapan perempuan tersebut yang masih berada dalam kondisi terduduk, lalu mengarahkan tangannya untuk mengelus-elus pipi lembut sang perempuan.
"Halus sekali kulit kamu, Manis. Di balik jilbab ini pasti ada tubuh yang sangat nikmat untuk digagahi, hahaa ..." ujar sang Sersan yang sepertinya sudah tidak tahan dengan kecantikan ibu muda tersebut.
"Cuhhh ..." Tiba-tiba Gendis melayangkan ludah yang mendarat tepat di wajah Sersan Robert. Hal ini pun membuat tentara tersebut naik pitam.
"Plaaaakkk ..." Sang sersan membalasnya dengan sebuah tamparan keras di pipi perempuan tersebut.
Gendis bisa merasakan perih yang teramat sangat di pipinya, dan berusaha meredakannya dengan cara mengelus-elus area di mana tangan sang Sersan mendarat. Tanpa sadar, air matanya pun menetes akibat rasa sakit yang ia alami, serta bayangan buruk tentang apa yang akan terjadi setelah ini pada dirinya dan Tomi.
"Memang dasar perempuan sundal kamu," ujar Sersan Robert sambil melempar tubuh Gendis hingga tergeletak tak jauh dari bibir jurang. "Ini adalah hukuman bagi perempuan yang tidak bisa diatur seperti kamu."
Sersan Robert mulai melepas sepatu boot yang ia kenakan. Setelah itu, ia pun menurunkan celana seragam, dan celana dalam di baliknya, hingga kemaluannya yang hitam dan berukuran besar itu terlihat jelas. Kemaluan yang belum disunat itu tampak sudah begitu tegang.
Tentara tersebut kemudian mendekati Gendis, dan mendekatkan kemaluan miliknya ke wajah cantik perempuan tersebut. Ia tampak tidak merasa malu meski adegan tersebut dilihat oleh seluruh anak buahnya. Sebagai pimpinan pasukan, ia seperti tengah mengajarkan sesuatu kepada mereka.
"Posisi yang tepat untuk perempuan bajingan seperti kamu adalah menjadi tempat penampungan spermaku. Cepat buka mulutmu sekarang," ujar Sersan Robert.
Gendis pun menggeleng, di tengah rasa takut yang ia alami. Penis tersebut memang berukuran lebih besar dari milik mantan suaminya atau bahkan Tomi. Namun penis itu mempunyai bau amis yang begitu menyengat, membuat perut perempuan cantik itu menjadi mual.
Sang Sersan tidak tinggal diam menghadapi penolakan tersebut. Ia kemudian menjepit hidung Gendis yang mancung hingga perempuan tersebut tidak bisa bernafas, dan terpaksa membuka mulut untuk menghirup udara segara. Kesempatan tersebut pun digunakan oleh Sersan Robert untuk memasukkan kemaluannya ke dalam mulut Gendis.
"Ahhh, hangatnyaaaa ... memang nikmat sekali ngentotin mulut perempuan kota yang cantik seperti kamu. Cepat hisap, dan jangan berani gigit. Apabila macam-macam, teman kamu itu akan kami tembak sampai mati," ujar Sersan Robert sambil melirik ke arah Tomi.
Tidak ada pilihan lain bagi Gendis, selain menuruti perintah Sersan Robert. Ia pun mulai menyentuhkan lidahnya ke batang penis sang Sersan yang telah bersarang di mulutnya, memberikan kenikmatan yang tiada tara kepada tentara Tukatu tersebut. Merasakan itu, Sersan Robert pun mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, seperti tengah menyetubuhi kepala Gendis.
Melihat adegan tersebut, Tomi tidak bisa menahan kesabarannya. Ia tidak sudi perempuan yang ia suka tersebut harus mengalami penyiksaan fisik dan batin, yang semua itu terjadi tepat di hadapannya. Ia pun mengumpulkan energi sebanyak mungkin untuk mencegah hal tersebut.
"Aaaaaaahhhhh ..."
Tiba-tiba Tomi berusaha melepaskan kedua tangannya yang ditahan oleh anak buah Sersan Robert, dan berhasil. Ia langsung menghambur ke arah pimpinan pasukan tersebut dan memukul wajahnya sekuat mungkin. Bagi sang Sersan, pukulan tersebut mungkin bukan sebuah hal yang mematikan, tetapi cukup untuk membuat penisnya terlepas dari mulut Gendis.
"Kurang ajar kalian ..."
Dengan tubuh bagian bawahnya yang masih telanjang, Sersan Robert langsung mengarahkan tinju ke arah dada Tomi. Pria muda tersebut tidak bisa menahannya dan langsung merasakan rasa sakit yang luar biasa. Namun karena adrenalin yang berasal entah dari mana, Tomi berhasil membalasnya dengan pukulan yang kembali mengenai hidung dari Sersan Robert.
Posisi Tomi kini membelakangi Gendis yang mulai mencoba berdiri di pinggir jurang. Ia masih terlalu lelah untuk segera berlari dari tempat itu. Para bawahan Sersan Robert sebenarnya sedang mencoba membidik Tomi dan Gendis demi membantu sang pimpinan, tapi posisi Sersan Robert justru menghalangi arah tembakan mereka.
Sersan Robert sepertinya sudah kehilangan kesabaran. Ia membalas dengan mengarahkan tinju uppercut ke arah dagu Tomi, yang membuat pria muda itu terpelanting ke belakang. Tubuh Tomi yang terlempar bahkan sampai mendorong Gendis ke belakang, membuat perempuan tersebut hilang keseimbangan.
"Tomiiii ... Toloooonngg, ahhhhhhhh ...."
Itu adalah teriakan terakhir yang bisa didengar oleh Tomi, karena tubuh Gendis langsung terjatuh ke jurang yang ada di belakangnya. Dalam kondisi pusing setelah dihajar oleh Sersan Robert, Tomi coba melihat ke dalam jurang yang di dasarnya ternyata terdapat sebuah sungai besar. Tanpa pikir panjang, pria muda tersebut pun langsung ikut terjun ke jurang tersebut demi mengejar Gendis.
Melihat kedua tawanannya terjatuh ke dalam jurang, Sersan Robert pun langsung mencoba mencari mereka. Karena posisi jurang yang cukup tinggi, ia sama sekali tidak bisa melihat tubuh kedua orang tersebut. Turun ke bawah untuk memeriksa kondisi mayat keduanya pun bukan pilihan yang baik.
"Laporkan pada Letnan Frans, bahwa dua sasaran telah tewas," ujarnya kepada para tentara yang lain, sambil kembali mengenakan celana dan sepatunya, lalu pergi dari tempat itu.
***
Setelah rasa kaget yang mereka alami mulai hilang, Widi dan Rini mencoba melihat wajah para lelaki yang menangkap mereka. Keduanya pun bisa bernafas lega karena mereka ternyata mengenali pemilik wajah-wajah tersebut.
"Pak Doni, Pak Karjo ... Jadi kalian selamat?"
"Kalau tidak selamat, tentu kami tidak akan berada di sini sekarang, Wid," ujar Pak Doni sambil terkekeh.
Karena merasa kedua perempuan muda tersebut telah mulai tenang, Pak Doni dan Pak Karjo pun melepas dekapan mereka. Namun, keduanya tetap waspada dengan situasi di sekeliling mereka.
"Kita harus cepat sembunyi, atau kita akan tertangkap oleh para tentara Tukatu tersebut," ujar Pak Karjo.
Widi dan Rini pun langsung mengikuti langkah kedua rekan mereka tersebut menuju ke sebuah cekungan mirip gua yang berada di kaki sebuah lereng bukit. Para perempuan itu melihat dua tumpukan kayu dan dedaunan di tanah, yang sepertinya dibuat menyerupai tempat tidur.
"Jadi ... Pak Doni dan Pak Karjo semalam tidur di sini?" Tanya Widi.
"Begitulah. Untungnya sebelum menemukan gua ini, kami melewati sebuah sungai. Jadi bisa melepas dahaga dulu di sana."
"Memangnya di sini tidak dingin, Pak?" Kini giliran Rini yang bertanya.
"Ya begitulah ... Habis mau bagaimana lagi? Di luar pasti lebih dingin kan."
"Pak Doni dan Pak Karjo sempat mencari bahan makanan juga?"
"Paling sepanjang perjalanan saja kami makan buah atau dedaunan yang sepertinya bisa dimakan. Daripada lapar kan? Lebih baik makan semuanya untuk mengisi perut, hee."
Merasa aman, mereka berempat pun memutuskan untuk istirahat sementara di gua tersebut, sambil terus waspada apabila mendengar suara dari luar. Pak Doni akhirnya menceritakan bagaimana ia dan Pak Karjo bisa lari dari kepungan tentara bersenjata di sekolah, hingga akhirnya menemukan gua tempat mereka berada.
Setelah itu, giliran Widi dan Rini yang menceritakan bagaimana mobil van yang mereka gunakan untuk kabur kehabisan bensin, hingga mereka bersama dengan Tomi dan Gendis kemudian menemukan rumah pohon untuk menginap. Sayangnya, mereka berempat terpisah saat dikejar-kejar oleh tentara Tukatu yang tiba-tiba memeriksa daerah tersebut di pagi hari.
"Sebenarnya aku dan Pak Karjo sedang ingin mencari bahan makanan saja di sekitar sini, eh tiba-tiba kami mendengar suara teriakan kalian dan tentara Tukatu," ujar Pak Doni.
"Untungnya kalian justru berlari ke arah kami. Jadi kita bisa berkumpul kembali," lanjut Pak Karjo.
"Iya, Pak. Senang melihat rombongan kita masih bisa bertahan hingga sekarang," ujar Widi.
Namun Rini tampak bengong. "Kira-kira bagaimana ya nasib Bu Gendis dan Kak Tomi sekarang? Lalu kita juga belum bertemu dengan Pak Harso dan Bu Nabila, apa mereka juga masih hidup?"
Pak Doni pun menghela nafas. Sejak kemarin, ia pun memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada teman-temannya. Namun demi menjaga kewarasan pikiran, ia pun berusaha menghilangkan hal itu dari kepalanya, atas masukan dari Pak Karjo juga.
"Lebih baik kita tidak memikirkan orang lain, dan fokus pada diri kita sendiri dulu, Rini. Sekarang kita harus berjuang untuk bisa bertahan hidup, dan memikirkan bagaimana caranya kembali ke Indonesia. Sambil terus mendoakan yang terbaik bagi rekan-rekan kita yang lain," ujar Pak Doni.
Mereka berempat pun terdiam. Semuanya larut dalam kenangan masing-masing tentang orang-orang yang setiap hari mereka temui di kantor, dan kini tidak mereka ketahui di mana rimbanya. Mulai dari ketegasan Pak Harso, keanggunan Bu Nabila, keramahan Bu Gendis, dan kekonyolan Tomi. Dalam hati, mereka pun mendoakan keselamatan bagi rekan-rekan mereka tersebut.
"Lalu kita harus bagaimana sekarang, Pak Doni?"
"Nah, itu dia. Aku dan Pak Karjo itu sama sekali buta akan urusan mata angin ke mana kita harus pergi sekarang. Makanya kami fokus saja untuk bertahan hidup di sini, meski kami juga masih amatir soal itu. Kalian ada ide?"
Widi menggeleng. Namun Rini sepertinya mempunyai sebuah ide di kepalanya.
"Kakak ingat tidak waktu kita berdua berada di tempat camping, di puncak bukit Amanika? Yang saat itu Pak Doni dan Kak Tomi menghampiri kita?" Tanya perempuan muda tersebut.
"Iya, ingat kok. Memangnya kenapa dengan tempat itu, Rin?"
"Seingat aku, di atas sana kita bisa melihat ke seluruh penjuru mata angin kan. Di sana kita bisa melihat ke arah laut, ke arah daerah Tukatu, dan ..."
"... dan arah ke Indonesia. Benar juga, kamu cerdas Rini," ujar Widi menyambung kata-kata adiknya.
"Maksud kalian bagaimana sih?" Pak Doni masih bingung mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ia sendiri menyesal mengapa waktu berada di tempat camping kemarin malah fokus ke tubuh Rini yang indah, bukannya kondisi sekitar tempat tersebut.
"Maksud kami, kita bisa mencoba mendaki ke tempat yang lebih tinggi, dan berharap di sana tidak ada pohon sebanyak tempat kita berada sekarang. Dan di atas sana, kita bisa tahu arah yang benar untuk kembali ke Indonesia," ujar Widi menerangkan.
Pak Doni dan Pak Karjo pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. Mereka akhirnya mengerti ide yang baru diajukan kedua kakak beradik di hadapan mereka.
"Kalau begitu, kita harus pergi secepatnya," ujar Pak Doni. "Dengan kedatangan tentara Tukatu tadi, ada peluang besar mereka akan kembali menemukan kita apabila kita tetap berada di sini. Lagipula, kalian berdua pasti tidak akan tahan apabila harus bermalam di sini seperti saya dan Pak Karjo."
"Lagipula kita tidak ada bahan makanan yang cukup. Terlalu lama di sini, yang ada kita malah akan mati kelaparan," ujar Pak Karjo.
Widi dan Rini pun mengerti.
"Kalian tidak apa-apa kalau kita langsung jalan?" Tanya Pak Doni.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Saya kuat kok. Kamu kuat juga kan Rin?" Rini pun mengangguk untuk menanggapi pertanyaan sang kakak.
"Oke, ayo kita berangkat sekarang," ujar Pak Doni memimpin rombongan tersebut.
***
Di dalam sebuah kamar di Resort Hostina, seorang pria tampak tengah bersandar di dinding kamar mandi, sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Ia tampak sedang meresapi kenikmatan yang tengah ia rasakan. Di hadapannya, seorang perempuan muda tampak tengah berlutut, sambil memainkan penis sang pria dengan lidahnya.
"Ahh, nikmat sekali Karina ... terus hisap begitu," ujar sang pria sambil mengusap-usap kepala perempuan tersebut.
Mereka berdua tampak sudah sama-sama tidak mengenakan sehelai pakaian pun di kamar mandi tersebut. Tubuh mereka sedikit lembab, seperti bekas habis mandi.
Sang perempuan tampak menurut akan apa yang diperintahkan sang pria. Ia pun kembali memasukkan penis pria tersebut ke dalam mulutnya, lalu menggerakkan kepalanya maju mundur di hadapan selangkangan sang pria. Tangannya pun dengan nakal memainkan buah pelir sang pria yang berbulu tipis.
"Hmmmppphh ... hmmmppphhh .... Sslluuurrph," terdengar kecipak batang penis sang pria yang berkali-kali bergesekan dengan air liur sang perempuan.
Hanya dalam waktu beberapa menit, sang pria pun seperti sudah tidak tahan. Ia pun mengangkat tubuh sang perempuan agar kembali berdiri, lalu memintanya untuk menempelkan tangannya ke dinding kamar mandi.
"Nungging donk, Sayang. Aku ingin lihat pantat kamu yang seksi itu lagi," ujar sang pria.
Sang perempuan hanya tersenyum sambil menuruti permintaan pria tersebut, yang tampak masih mengenakan cincin kawin di jari manisnya. Apalagi saat sang pria kemudian memeluk tubuhnya dari belakang, dan mulai meremas-remas payudaranya.
"Ahh, Pak Ramaaaa ... geli banget kalau diremes-remes begitu toket aku, nggghhhhhh."
Mendengar desahan sang perempuan, pria bernama Rama itu pun makin bersemangat. Ia kemudian mulai menggesekkan kembali penisnya ke vagina sang perempuan dari belakang. Demi menaikkan birahi perempuan berparas manis tersebut, sang pria pun menjulurkan lidah dan menempelkannya ke balik telinga sang perempuan, membuat pemiliknya kegelian.
"Ahhh, Pak Ramaaaaa ..." ujar sang perempuan dengan manja.
"Kamu sudah pengin aku entotin lagi ya Karina? Gak puas semalam sudah aku gagahi beberapa ronde?" Goda sang pria lewat bisikan tepat di depan telinga Karina.
Perempuan tersebut hanya mengangguk.
"Ngomong donk, aku kan gak dengar."
"Iya, aku mau Bapak masukin itunya lagi."
"Itunya apa? Kurang jelas ahh ..." ujar Rama sambil menarik kembali penisnya menjauh dari selangkangan Karina.
"Ahh, Bapak maaahhh ..."
"Habisnya kamu masih malu-malu. Ayo ngomong donk kamu mau dimasukin apa?"
"Karina mau Pak Rama masukin lagi kontol Bapak ke memek Karina ... ahhhhhhh" sang perempuan akhirnya menyerah. Ia pun menuruti permintaan sang pria karena memang dirinya juga sudah terlanjur terangsang hebat.
Pria beristri tersebut pun memasukkan kemaluannya ke dalam liang senggama Karina dengan libido yang menggelegak. Menyetubui perempuan seksi tersebut dari belakang membuat birahinya menggelegak. Sepanjang pernikahannya dengan Nabila, tak sekali pun perempuan berjilbab tersebut menyetujui permintaannya untuk bersenggama dengan posisi tersebut.
"Ahhh, terus Pak Rama ... ahhh, terus entotin aku ..." desahan Karina terus memenuhi kamar mandi yang berukuran tidak terlalu besar tersebut. Ruangan tersebut kini menjadi saksi persetubuhan liar mereka berdua.
Setelah menyetubuhi perempuan bertubuh indah itu selama beberapa menit, Rama pun tampak tidak mampu menahan birahinya. Usahanya untuk membuat Karina makin terangsang dengan meremas-remas payudaranya dari belakang, justru membuat syahwatnya turut naik.
"Ngghhh ... enak banget memek kamu Karina. Aku jadi gak tahaaaaannn ..."
"Aku pengin dipuasin seperti ini tiap hari Pak ... Mau kan? Ahhhhh."
"Mau banget sayang ..."
"Tapi istri Bapak nanti bagaimana? Ahhh ahhh ..."
"Kamu mau kan jadi istri aku, kalau Nabila tidak kembali?"
"Mau banget, Paaaaaakkkk .... Ahhh, masukin yang dalam kontolnya yang gede itu, Paaakk."
Obrolan yang terkesan romantis tersebut ironisnya terjadi di dalam kamar mandi, sembari kedua pelakunya melakukan perselingkuhan yang penuh birahi. Namun anehnya, diskusi di tengah-tengah persenggamaan keduanya tersebut justru membuat birahi Rama naik ke puncak yang tertinggi.
Membayangkan Karina menjadi budak seks yang mau melayaninya setiap hari benar-benar membuat Rama mabuk kepayang. Di sisi lain, Karina pun membayangkan bagaimana ia bisa merasakan kenikmatan dunia tanpa perlu sibuk bekerja lagi, karena segala kebutuhannya akan dipenuhi oleh pria yang tengah menyetubuhinya dari belakang tersebut.
Tak perlu waktu lama hingga Rama menancapkan penisnya sedalam mungkin ke dalam vagina Karina, yang diiringi dengan dongakan kepala sang perempuan ke arah atas. Keduanya pun merasakan akhir kesekian dari aktivitas syahwat yang tak henti mereka lakukan sejak semalam.