Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Part 15: Kesepian

"Tookk ... Tookk ..."

Terdengar bunyi ketukan di sebuah kamar yang berada di Resort Hostina. Perempuan paruh baya yang berada di dalamnya pun langsung membuka pintu. Di baliknya, ia menemukan seorang pria yang berusia tak jauh berbeda dengannya, berkulit gelap di balik kemeja berwarna putih, tengah berdiri di hadapannya.

Perempuan tersebut tersenyum, seperti telah menunggu kedatangan sang pria. Ia pun mempersilakan pria tersebut untuk masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu.

"Naik apa tadi ke sini Pak Jeremy?"

"Naik mobil dinas. Bu Suyati sudah makan belum? Kalau belum, saya mau ajak makan dulu di restoran favorit saya."

"Sudah kok, Pak. Terima kasih."

Ini adalah kali kedua Bu Suyati bertemu dengan pria yang sedikit lebih tinggi dari dirinya tersebut. Dan mau tidak mau, ia kembali mengingat saat pertama kali bertemu dengannya.

***​

Perjalanan dari ibu kota sampai ke kota tujuan yang berada di daerah timur Indonesia membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Namun, baru 30 menit pesawat bertolak dari bandara, Pak Harso langsung memejamkan mata dan tertidur di kursinya yang berada tepat di samping jendela. Pria tua itu meninggalkan istrinya yang masih merasa kurang nyaman berada di dalam pesawat karena rasa takut untuk terbang. Bu Suyati tampak gelisah, tetapi tidak berani untuk mengganggu suaminya yang telah pulas.

"Baru pertama kali terbang ya, Bu?"

Tiba-tiba ia mendengar suara penumpang yang duduk tepat di sebelahnya. Kursi pesawat yang berjejer tiga membuat Bu Suyati harus duduk di antara suaminya dan seorang pria yang baru saja menyapanya tersebut.

"Hmm, sudah beberapa kali sih, Pak. Tapi saya memang dasarnya takut terbang, jadi selalu merasa gelisah kalau naik pesawat. Apabila ada cara lain untuk bisa sampai ke tujuan tanpa harus terbang, saya pasti sudah memilih cara tersebut. Bapak sendiri sudah sering terbang ya?"

Pria tersebut memang tampak begitu santai di kursinya.

"Sudah tidak terhitung lagi, Bu. Pekerjaan saya menuntut untuk sering bolak-balik ke ibu kota, maklum tugas negara, hee. Ngomong-ngomong, ibu setelah mendarat nanti tujuan ke mana?"

"Duh, mana ya. Kalau tidak salah nama tempatnya Resort Hostina."

"Wah, itu sih dekat dengan rumah dan kantor saya. Ibu sendirian saja?"

"Tidak, ini sama suami saya," ujar Bu Suyati sambil menunjuk Pak Harso yang tengah tertidur di sebelahnya. "Dan ada rekan-rekan suami saya juga di bangku belakang. Kami sedang outing kantor."

"Oh, begitu. Enak ya kalau ramai-ramai begini. Semoga Ibu nanti bisa menikmati keindahan alam di sana. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja."

"Oh iya, kita belum kenalan. Nama saya Suyati."

"Saya Jeremy."

"Kalau boleh tahu, Pak Jeremy ini bekerja sebagai apa di sana?"

"Saya salah satu hakim di pengadilan negeri di sana. Kebetulan saya juga putra daerah di sana, sehingga setelah berputar-putar dinas di kota lain, menjelang pensiun akhirnya saya ditempatkan kembali di kota asal."

"Oh, memang risiko pegawai negeri seperti itu ya, Pak."

"Betul sekali. Ibu sendiri sudah punya anak?"

"Sudah. Saya punya anak satu, sekarang sedang kuliah di Amerika. Kalau Bapak?"

"Sama, saya juga punya anak satu, sekarang kuliah di ibu kota. Makanya kalau saya tugas ke sana, sekalian menjenguk dia."

"Istri Bapak gak diajak kalau dinas?"

"Dia malas kalau diajak perjalanan jauh, lebih suka di rumah saja."

"Owh ..."

Tanpa sadar, perbincangan tersebut berhasil membuat Bu Suyati lupa akan kekhawatirannya terbang dengan pesawat. Awalnya ia memang merasa khawatir dan berusaha menjaga jarak karena sosok pria tersebut yang berkulit hitam khas orang timur, dan posturnya yang besar. Berbagai mitos yang banyak dibicarakan orang di luar sana jelas membuatnya takut.

Namun cara bicara Pak Jeremy yang lembut ternyata membuat perempuan tersebut merasa nyaman, sampai menghabiskan waktu lama untuk mengobrol tentang berbagai hal, mulai dari pengalaman Pak Jeremy berkunjung ke berbagai kota, hingga gosip aneh di lingkungan rumah Bu Suyati. Mereka pun tak sadar bahwa pesawat akan mendarat tak lama lagi.

"Oh iya, Bu. Boleh saya minta nomor telepon Ibu? Siapa tahu nanti Ibu butuh bantuan saya saat di Hostina."

"Boleh, Pak. Ini nomor telepon saya," ujar Bu Suyati sambil menyebutkan deretan angka yang sudah ia hafal di luar kepala. Sebaliknya, Pak Jeremy pun menyebutkan nomor telepon yang langsung disimpan oleh perempuan paruh baya tersebut di smartphone miliknya.

"Hooaaahhmm ... sudah sampai mana neh kita?"

Tiba-tiba Pak Harso terbangun dari tidurnya. Hal tersebut membuat Bu Suyati dan Pak Jeremy terkejut, dan langsung menghentikan perbincangan mereka. Keduanya pun sama sekali tidak menyapa satu sama lain hingga pesawat mendarat, karena Bu Suyati langsung sibuk dengan suaminya dan rombongan yang lain.

Hanya sekali Pak Jeremy tampak memberikan isyarat telepon dengan tangannya, seperti meminta Bu Suyati untuk menghubunginya lain waktu. Perempuan tersebut pun mengangguk tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Itulah mengapa begitu Bu Suyati sampai di kamar setelah menghadap Kapten Budiman di kantor Koramil, ia pun jadi teringat pertemuan dengan Pak Jeremy. Perempuan tersebut pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepadanya.

Karina memang mewanti-wanti untuk tidak menceritakan masalah ini kepada siapa pun. Namun menurut Bu Suyati, sepertinya Pak Jeremy adalah sosok yang bisa dipercaya. Meski pria itu nantinya tidak bisa membantu, siapa tahu dia mampu menenangkan suasana hatinya yang gundah karena kesepian ditinggal sang suami.

"Pak, ini saya Suyati yang kemarin ketemu di pesawat dari ibu kota. Semoga Bapak masih ingat. Apa Bapak sedang sibuk?"

Tanpa diduga, Pak Jeremy langsung membalas pesan tersebut.

"Tidak kok, Bu Suyati. Saya tidak sibuk, dan tentu saya masih ingat perempuan secantik Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Iya, Pak. Saya ingin bertemu dan bicara sesuatu. Boleh?"

"Boleh saja. Mau malam ini juga?"

"Kalau Bapak tidak keberatan, bisa malam ini bertemu?"

"Bisa kok. Kita ketemu di luar? Atau di kamar Ibu saja di Resort Hostina?"

Sebelum menjawab pesan tersebut, Bu Suyati tampak berpikir sejenak.

"Di kamar saya saja boleh, Pak."

***​

Setelah mereka berada di dalam kamar, Bu Suyati akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada rombongan yang terbang bersama dengannya ke Hostina. Mulai dari keengganan ia untuk ikut camping di Bukit Amanika karena merasa lelah, berita di televisi yang membuatnya kaget, hingga pertemuan dengan Kapten Budiman di kantor Koramil.

"Begitu ceritanya, Pak."

"Jadi yang tersisa di Resort ini hanya Ibu, suami dari salah seorang bawahan suami Ibu, dan perempuan yang menjadi pemandu tur?"

"Betul sekali, Pak. Itulah mengapa kami bertiga kemudian mencari pertolongan ke sana ke mari, demi menyelamatkan pasangan dan teman-teman kami."

"Baik, Bu. Saya paham sekarang. Namun mohon maaf, sepertinya saya tidak bisa membantu apa-apa, karena saya pun tidak punya pengaruh untuk mengubah keputusan Kapten Budiman atau para aparat lain di sini. Saya bahkan baru tahu tentang keputusan itu saat saya kembali ke sini," ujar Pak Jeremy.

"Iya, Pak. Tidak apa-apa," ujar Bu Suyati sambil menatap ke arah jendela kamar yang langsung menghadap ke pantai. "Saya hanya merasa butuh teman untuk cerita saja, semoga Bapak tidak keberatan."

Perempuan tersebut tampak sedih memikirkan nasib suaminya, sekaligus kesal karena ia tidak bisa melakukan apa-apa. Apalagi di tempat yang asing ini ia merasa benar-benar sendirian. Apabila tidak ada lelaki di hadapannya tersebut, ia tidak tahu lagi harus mengobrol dengan siapa.

"Ibu tentu boleh cerita apa pun kepada saya," ujar Pak Jeremy yang tengah duduk di sofa yang sama dengan Bu Suyati. "Dan saya akan setia mendengarkan."

"Menurut Bapak, apa suami saya masih hidup?"

"Tidak ada yang bisa memastikan hal tersebut, Bu. Apalagi suami Ibu dan rombongannya sudah hilang kontak selama beberapa hari. Kita hanya bisa berdoa demi keselamatan mereka," ujar Pak Jeremy.

"Terima kasih Pak, sudah menemani saya malam ini. Kalau Bapak mau pulang, sila ..."

"Ssstt, ssstt, sstt ..." Pria berusia sekitar 50an tahun itu memotong kata-kata Bu Suyati sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Sudah jangan dipikirkan Bu Suyati. Yang penting sekarang Ibu harus merasa tenang dulu."

"Tapi Bapak kan harus pulang, istri Bapak pasti sedang menunggu."

"Ibu tidak usah pikirkan masalah itu. Saya akan menemani Ibu sampai Ibu merasa tenang."

Bu Suyati sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Awalnya ia setuju untuk bertemu di kamar karena berpikir Pak Jeremy pasti akan segera pulang setelah mendengarkan ceritanya. Ia teringat pria tersebut pernah mengatakan bahwa rumahnya tidak jauh dari Resort Hostina ini, sehingga ia tentu tidak mempunyai alasan untuk menginap di tempat lain, kan?

"Maksud Bapak?"

Pak Jeremy tidak menjawab, dan malah mendekatkan posisi duduknya dengan Bu Suyati. Ia kemudian menyentuh tangan perempuan yang meski sudah tidak muda lagi, tetapi tetap mempunyai bentuk tubuh yang gemulai tersebut. Pria tersebut kemudian menggenggam tangan Bu Suyati dengan lembut.

"Saya akan menemani Ibu di sini, sampai Ibu merasa benar-benar nyaman, dan tidak mempunyai pikiran buruk lagi tentang suami Ibu dan rekan-rekannya. Bukankah itu tugas saya sebagai salah satu aparat di daerah ini."

"Tapi, bukankah nanti istri Bapak akan mencari?"

"Tidak usah memikirkan dia. Yang terpenting sekarang adalah saya akan melakukan apa pun agar Ibu bisa merasa tenang."

Pria berkulit gelap itu kemudian menarik tangan Bu Suyati, lalu mengecup punggungnya. Perempuan tersebut tampak membiarkan saja tangannya dikecup oleh Pak Jeremy. Ia malah merasa tersanjung karena diperlakukan seperti seorang putri raja.

Merasa mendapat izin, Pak Jeremy malah melakukan hal yang lebih intim. Tanpa disangka oleh Bu Suyati, pria tersebut tiba-tiba langsung mendaratkan kecupan tepat di bibirnya. Perempuan paruh baya itu langsung merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Seperti ada sengatan listrik yang merasuk ke tubuhnya begitu bibir mereka berdua bersentuhan.

Awalnya Bu Suyati memang merasa kaget, sehingga ia tidak bisa menghindar. Namun tak lama kemudian Pak Jeremy justru mulai mengelus-elus lengannya yang masih terbalut kemeja lengan panjang berwarna putih. Elusan tersebut terasa sangat lembut, seperti seorang suami kepada istrinya.

Bu Suyati mulai kalut, tak tahu bagaimana ia harus menanggapi perlakuan tersebut. Sebagai seorang perempuan, ia bisa merasakan gairah Pak Jeremy yang telah naik, dari nafasnya yang kian menderu.

"Hentikan, Pak ... Kita sama-sama sudah mempunyai pasangan," ujar Bu Suyati lirih. Dalam kondisi tersebut, ia masih berusaha mengelak dari godaan birahi yang dilancarkan pria bertubuh besar di hadapannya.

"Tapi suami Ibu sedang tidak ada, Kan? Dan saya juga tahu bahwa Ibu saat ini sedang merasa kesepian, karena itu Ibu menghubungi saya. Betul, kan?"

Dalam hati, Bu Suyati mengamini kata-kata tersebut. Ia memang sudah lama tidak mendapatkan kemesraan di atas ranjang dari sang suami. Apalagi setelah anak mereka tumbuh besar, intensitas hubungan intim mereka dalam setahun mungkin bisa dihitung dengan jari. Itu pun harus menunggu Pak Harso benar-benar bebas dari pekerjaannya yang begitu menyita waktu.

Kini, di hadapannya ada seorang lelaki yang baru ia kenal beberapa hari lalu, tetapi sudah langsung menghujaninya dengan kata-kata mesra, dan memberikan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Meski begitu, ada satu hal lagi yang mengganjal di hati perempuan tersebut.

"Tapi bagaimana dengan istri Bapak?" Sekilas Bu Suyati memandang cincin kawin yang melekat di jari manis sang pria.

Pak Jeremy tidak menjawab, dan malah kembali mengecup bibir Bu Suyati. Tangannya pun mulai menggerayangi tubuh perempuan paruh baya tersebut dengan remasan-remasan nakal. Awalnya remasan tersebut hanya mengarah ke lengan sang perempuan, tetapi kemudian bergeser ke payudara Bu Suyati yang sebenarnya sudah tidak begitu kencang.

"Ahhh, Pak Jeremy ... Cukup, Pak. Ahhh ..."

"Saya selalu suka dengan perempuan berjilbab. Kalian terlihat sangat anggun di mata saya," bisik Pak Jeremy, yang membuat Bu Suyati terdiam. "Dulu saya punya mantan kekasih yang selalu mengenakan jilbab seperti Ibu, tetapi akhirnya kami harus berpisah karena perbedaan agama."

Tiba-tiba, Bu Suyati merasakan tubuhnya diangkat ke atas, dan kemudian direbahkan di atas ranjang yang empuk. Ranjang tersebut masih menjadi tempatnya beristirahat dengan sang suami. Namun kini ranjang itu justru menjadi saksi tubuhnya yang seksi kini tengah ditindih oleh seorang hakim berkulit hitam.

"Tidak, Pak. Saya tidak mau, Pak ... Tolong hentikan," ujar Bu Suyati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha mendorong tubuh Pak Jeremy agar menjauh dari dirinya.

Namun pria tersebut seperti sudah tidak bisa lagi menahan nafsunya. Ia justru menarik celana panjang kain yang dikenakan Bu Suyati ke bawah, hingga selangkangannya yang masih tertutup celana dalam berwarna krem terlihat jelas. Pak Jeremy kemudian mengarahkan jarinya dan mengusap liang senggama yang masih tertutup tersebut dengan lembut.

"Ooowwwwwgghh ..."

Tubuh Bu Suyati langsung gemetar saat vaginanya diusap oleh pria beristri yang tengah bersama dengannya di atas ranjang tersebut. Tanpa sadar, bokongnya justru bergerak ke atas seperti ingin mengejar kenikmatan yang baru saja ia rasakan.

"Akui saja kalau Ibu juga menginginkan ini. Dengan senang hati, saya akan memberikannya spesial untuk Ibu," ujar Pak Jeremy sambil memberikan senyuman nakal.

"Ehhhhhmmmmmm ..."

Bu Suyati tampak merintih saat Pak Jeremy memasukkan jari tengahnya ke lipatan vagina, membuat celana dalam tipis yang dikenakan sang perempuan ikut masuk ke dalam. Jari tersebut pun mengenai organ mungil berbentuk kacang milik Bu Suyati yang sangat sensitif. Setiap disentuh, tubuh perempuan tersebut langsung menggelinjang.

Melihat Bu Suyati sudah mulai menikmati permainannya, Pak Jeremy langsung melepas kancing kemeja lengan panjang yang dikenakan sang perempuan satu per satu. Ia pun melepas kaitan bra yang dikenakan perempuan berusia 50an tahun itu. Hanya jilbab yang membalut kepalanya saja yang dibiarkan oleh Pak Jeremy.

Tanpa basa-basi, pria berkulit gelap tersebut langsung menunduk dan mulai mencium gundukan payudara Bu Suyati, hingga lidahnya membasahi puting sang perempuan yang tengah mencuat.

"Oooowwwhhhh .... Eeeennnggghhh ..."

Bu Suyati melenguh dengan binal saat lidah Pak Jeremy yang hangat berlabuh di putingnya. Apalagi sang pria kemudian melanjutkan dengan isapan dan sedotan lembut, seperti seorang anak yang tengah menetek kepada ibunya. Kulit Bu Suyati yang putih pun terlihat sangat kontras dengan kulit Pak Jeremy yang gelap.

"Sejak melihat Ibu di pesawat, saya sudah yakin kalau Ibu adalah perempuan yang haus kepuasan. Kontol saya sampai berdiri saat tahu perempuan yang duduk di samping saya mempunyai tubuh seseksi Ibu. Dan kini, saya bisa menikmati keindahan tubuh tersebut secara langsung," bisik Pak Jeremy di telinga Bu Suyati.

"Tapi ini salah, Pak. Saya masih mempunyai suami, dan Bapak juga mempunyai istri."

"Istri saya bukan perempuan kota yang mempunyai kulit seputih dan semulus Ibu. Harumnya pun tidak seperti aroma tubuh Ibu," ujar pria tersebut sambil mengendus-endus ketiak Bu Suyati, membuat perempuan tersebut kegelian. "Saya selalu penasaran bagaimana rasanya ngentotin perempuan bersuami dari kota seperti kamu, Bu Suyati, ahhh."

"Eeeenngggghh .... Emmmmmpphhh ...."

Bu Suyati berusaha menahan libidonya yang sudah mulai naik dengan cara menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan, seperti ingin menghilangkan rasa nikmat yang mulai jauh merambat di sekujur tubuhnya, tetapi terus gagal. Kata-kata kotor Pak Jeremy bukannya membuat jijik, tapi malah membuatnya merasa tersanjung.

"Sepanjang penerbangan kemarin, mata saya selalu berlabuh di payudara Ibu yang indah ini. Cara Ibu bicara membuat saya begitu bergairah ingin mengulum bibir Ibu yang ranum. Ngghhh ... Saya selalu menginginkan pasangan yang berparas anggun seperti kamu, Bu Suyati."

Godaan itu membuat Bu Suyati makin bergairah. Ia pun mulai meraih kancing kemeja yang dikenakan Pak Jeremy, dan mulai melepasnya dengan terburu-buru. Tak butuh waktu lama hingga ia bisa melihat dada sang pria yang cukup kekar, dengan bulu tipis di tengahnya.

"Ssssshhhhhh .... Aaahhhh ...."

Bu Suyati kembali mendesis ketika lidah Pak Jeremy berlabuh di puting payudaranya. Perempuan tersebut kemudian menarik-narik rambut Pak Jeremy yang ikal, lalu membenamkan kepala sang pria di buah dadanya yang membusung, seperti meminta hisapan yang lebih kuat.

Pria tersebut tampak mulai tidak tahan, dan mulai menurunkan celana panjang yang ia kenakan, serta celana dalam di baliknya. Tubuhnya kini sudah polos tanpa busana, hingga Bu Suyati bisa melihat dengan jelas sebatang kemaluan yang telah mengeras, yang ukurannya jauh lebih besar dari yang dimiliki suaminya. Namun hal yang paling membuat perempuan itu kaget adalah ujung penis tersebut yang ternyata belum terbelah, dengan kulup yang belum tersingkap.

"Oohh ..." Tanpa sadar, Bu Suyati mengeluarkan lenguhan pelan.

Pak Jeremy tampak tersenyum mendengarnya. Ia malah semakin percaya diri untuk memamerkan penisnya tepat di hadapan sang perempuan yang masih belum bisa menghilangkan kekagumannya tersebut.

"Ibu suka yang ukurannya besar seperti ini?"

"Nghhh ... punya Bapak ... Belum disunat?"

"Ya, Ibu belum pernah coba yah?"

Bu Suyati pun mengangguk.

Mendengar itu, Pak Jeremy langsung menindih tubuh sang perempuan dan kembali mengecup bibirnya yang manis. Penisnya yang sudah mengacung pun mulai digesek-gesekkan ke bibir vagina Bu Suyati yang gemuk.

Sambil terus mengulum bibir Bu Suyati, Pak Jeremy mulai meremas-remas payudaranya yang terbuka. Beberapa kali ia coba menggoda perempuan tersebut dengan mengangkat pinggulnya, sehingga penisnya tak lagi bersentuhan dengan kemaluan sang perempuan. Namun secara otomatis, Bu Suyati malah mengangkat pinggulnya, seperti ingin terus disentuh di bagian paling sensitif di tubuhnya tersebut. Pak Jeremy pun tersenyum melihat hal tersebut.

"Pahanya dibuka sedikit, Bu ..."

Bu Suyati menurut, dan Pak Jeremy langsung mendorong kemaluannya menembus vagina sang perempuan yang terasa begitu sempit karena jarang sekali dimasuki oleh penis suaminya. Seketika, pria tersebut merasakan penisnya seperti dipijat-pijat oleh dinding kemaluan sang perempuan.

"Owwwwhhhh .... Pak Jeremyyyy ... Besar banget penisnya, ahhhhh ..."

Tubuh Bu Suyati tampak gemetar, saat bagian paling sensitif dari tubuhnya tersebut dimasuki dengan liar oleh batang besar milik sang pria. Pinggulnya bahkan mulai naik turun menyambut gerakan memompa yang dilakukan Pak Jeremy. Tubuh Bu Suyati mulai meliuk-liuk, seperti mencari posisi yang pas agar ia bisa merasakan kenikmatan maksimal.

"Sempit banget vagina Ibu, ahhhh ... Saya suka bangeeett ..."

Pak Jeremy kembali mengecup bibir Bu Suyati, sambil mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya ke rongga mulut sang perempuan. Pria itu langsung mengecapi lidah sang perempuan, dan menyedot ludahnya dengan rakus. Tangannya pun semakin aktif membelai dan mengusap puting payudara perempuan berkulit putih itu.

Posisi Bu Suyati yang masih mengenakan jilbab ternyata membuatnya bisa merasakan persetubuhan itu dengan lebih bergairah. Apalagi dirinya adalah seseorang yang menganut agama berbeda, serta mempunyai penis yang belum disunat.

"Paaaakkk ..... Aaahhhssss ... Nggghhhhhh ..."

Bu Suyati tampak terengah-engah, dengan gerakan pinggul yang naik turun makin cepat, seiring dengan irama genjotan Pak Jeremy.

"Bantu saya menuntaskan birahi saya, Bu Suyati ... Ahhh, memek Ibu jauh lebih enak dari pada istri saya ... Terus jepit kontol saya Bu ..."

"Oowwwhhhh ... Pak Jeremy, ohhh ...."

"Besar mana punya saya dengan suami Ibu yang tukang tidur itu?"

"Ahhhh ... Besar punya Pak Jeremy, nggghhhh ..."

Mendengar kata-kata itu, birahi Pak Jeremy semakin mendekati puncak. Ia kini bisa dengan bebas menyentuh dan meremas bulatan pantat Bu Suyati yang montok. Payudara perempuan tersebut yang selama ini tersembunyi di balik jilbab, pun bisa ia nikmati sepuas hati.

Bu Suyati memang bukanlah perempuan pertama selain istrinya yang ia setubuhi. Setiap ke ibu kota, sang hakim berusia 50an tahun itu hampir selalu bermain cinta dengan perempuan lain. Namun, kebanyakan dari mereka adalah pelacur, dengan vagina yang sudah kendur. Mereka jelas jauh berbeda dengan Bu Suyati, yang meski sudah berumur dan beranak satu, tetap mempunyai vagina yang sempit.

"Tubuhmu benar-benar indah, Bu Suyatiiiii ... Ahhhh."

Bu Suyati tidak bisa menyangkal bahwa ia juga menikmati sodokan demi sodokan yang dilancarkan Pak Jeremy. Penisnya yang besar kini telah menembus relung yang terdalam di liang senggamanya, bahkan menyentuh ujung rahimnya. Ia tidak pernah membayangkan akan digagahi oleh seorang hakim berkulit hitam yang sebenarnya sudah mempunyai istri sah tersebut. Apakah ini rasanya menjadi seorang pelakor, pikir perempuan tersebut dalam hati.

"Ini dosa paaaaak, ahhh ..."

"Tapi ini dosa yang enak, Buuuu .... "

Bu Suyati terus melenguh saat vaginanya disodok-sodok oleh penis Pak Jeremy. Ia bisa merasakan langsung tekstur batang kemaluan tersebut yang besar dan keras. Ujungnya yang tidak disunat pun memberikan sensasi yang berbeda saat menyentuh ujung kemaluannya.

Tangan Pak Jeremy kian kuat mencengkeram payudara Bu Suyati yang membusung. Ia pun menghentak selangkangan sang perempuan dengan gerakan yang makin cepat.

"Pwhhhh Paaaakk ... Saya gak kuaaaaatt ..." Rintih Bu Suyati. "Saya keluaaaaaarrrrr ..."

"Saya juga keluar Buuuu, ahhhhh ...."

Mereka berdua pun sama-sama merasakan badai orgasme yang datang dalam waktu yang hampir bersamaan. Tubuh mereka yang masih tanpa busana tampak mulai basah oleh peluh yang mengalir, seiring dengan menurunnya stamina mereka setelah bergumul dalam waktu yang cukup lama. Pasangan pria dan perempuan yang sebenarnya sudah mempunyai suami dan istri yang sah itu masih terus berpelukan sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan, yang seperti tidak ingin berhenti keluar dari tubuh mereka berdua.

(Bersambung)
 
Makasih updatenya sist @fathimah ...

Luar biasa SSI-nya Pak Jeremy ya...? Bisa skidipap dengan bu Suyati... 👍

Kalo saya amati tentang letak daerah dan karakter orang lokalnya yg ada di cerita ini... Lebih cocok di daerah timur, nusa xxxxxxxx walaupun di cerita bukan nama aslinya.

Lanjutkan, lah... 🤭
 
Makasih updatenya sist @fathimah ...

Luar biasa SSI-nya Pak Jeremy ya...? Bisa skidipap dengan bu Suyati... 👍

Kalo saya amati tentang letak daerah dan karakter orang lokalnya yg ada di cerita ini... Lebih cocok di daerah timur, nusa xxxxxxxx walaupun di cerita bukan nama aslinya.

Lanjutkan, lah... 🤭

Males pakai nama asli, nanti dibilang SARA lah, menyinggung lah, blablabla
Padahal bukan di situ inti ceritanya ...
 
Terima kasih update nya Suhu @fathimah
Akhirnya Bu Suyati mentas juga. Dan penggambaran adegan ssnya, diluar dugaan, dilakukan dengan lelaki baru kenal. Hohoho... HOT bingits :klove:
Baiklah. Entah habis ini giliran Widi dan Rini??? Lawan siapakah??? Mari sama2 kita nantikan pemirsah...
Tapi... izinkan dari update kali ini dan sebelumnya, Nubie ingin buat analisis bagaimana kalau terjadi hal-hal yang diinginkan di sebuah rumah di Amanika sana antara Pak Harso dan Nabila :alamak:
1. Pak Harso: sudah lama tidak bermesraan. Dalam satu tahun, katanya bisa dihitung dengan jari. Bisa kebayangkan. Udah penuh tuh hahahaa... Pas liat bokong Nabila ajah ngeces :hua:
2. Nabila: Kurang puas dalam bermesraan terakhir dengan suami. Tetapi cukup "panas" saat bermesraan. Sempat ada "serrr" saat bareng Pak Karjo. Cantik, seksi, dengan rambut panjang dibalik jilbabnya.
3. Suami Nabila dan Bu Suyati sama2 sudah "mentas" dengan orang lain euy
Sehingga tak adil rasanya kalau pertandingan Pak Harso vs Nabila tidak terselenggara :kpenuh:, dan pastinya akan menjadi pertandingan yang paling dinantikan, karena secara teori pasti lebih hot dibandingkan saat Nabila vs suami, Suami Nabila vs Karina, dan Bu Suyati vs Pak Jeremy :khappy:

Hahahaaa.... Nubie becanda saja Suhu :Peace:
Waktu dan panggung tentu saja milik Suhu @fathimah sepenuhnya.
Suka banget dengan cara Suhu berkarya. Nubie nantikan update lanjutan Suhu. Superrrr.... :jempol:
Monggo dilanjut.
 
Lebih seru nabila di eksekusi sama tentara,, jd pak Harso cuma dpt nonton live nya aja heheh
 
Luar biasa tulisannya.. lembut / berbahasa bagus namun tetap "khas dewasa" & gak terlalu pendek di bagian eksenya

Terima kasih, Om

Terima kasih update nya Suhu @fathimah
Akhirnya Bu Suyati mentas juga. Dan penggambaran adegan ssnya, diluar dugaan, dilakukan dengan lelaki baru kenal. Hohoho... HOT bingits :klove:
Baiklah. Entah habis ini giliran Widi dan Rini??? Lawan siapakah??? Mari sama2 kita nantikan pemirsah...
Tapi... izinkan dari update kali ini dan sebelumnya, Nubie ingin buat analisis bagaimana kalau terjadi hal-hal yang diinginkan di sebuah rumah di Amanika sana antara Pak Harso dan Nabila :alamak:
1. Pak Harso: sudah lama tidak bermesraan. Dalam satu tahun, katanya bisa dihitung dengan jari. Bisa kebayangkan. Udah penuh tuh hahahaa... Pas liat bokong Nabila ajah ngeces :hua:
2. Nabila: Kurang puas dalam bermesraan terakhir dengan suami. Tetapi cukup "panas" saat bermesraan. Sempat ada "serrr" saat bareng Pak Karjo. Cantik, seksi, dengan rambut panjang dibalik jilbabnya.
3. Suami Nabila dan Bu Suyati sama2 sudah "mentas" dengan orang lain euy
Sehingga tak adil rasanya kalau pertandingan Pak Harso vs Nabila tidak terselenggara :kpenuh:, dan pastinya akan menjadi pertandingan yang paling dinantikan, karena secara teori pasti lebih hot dibandingkan saat Nabila vs suami, Suami Nabila vs Karina, dan Bu Suyati vs Pak Jeremy :khappy:

Hahahaaa.... Nubie becanda saja Suhu :Peace:
Waktu dan panggung tentu saja milik Suhu @fathimah sepenuhnya.
Suka banget dengan cara Suhu berkarya. Nubie nantikan update lanjutan Suhu. Superrrr.... :jempol:
Monggo dilanjut.

Di part berikutnya, beberapa analisis di atas akan menemukan jawabannya, hee
 
Bimabet
Part 16: Lari

Pak Harso terus mengelus-elus tubuh Nabila yang masih tertutup pakaian lengkap demi membuatnya tenang. Perempuan cantik itu masih berada di pelukannya, dan sepertinya sudah kembali tertidur pulas. Matanya terpejam dengan rapat, seperti bayi yang sedang tidur di gendongan ibunya. Kunjungan mendadak para tentara Tukatu tadi ternyata benar-benar menguras stamina mental dan fisik perempuan tersebut.

Namun, memeluk perempuan dengan tubuh seksi seperti Nabila tentu membuat Pak Harso sebagai seorang lelaki merasa tidak nyaman. Payudara Nabila yang membusung dan bau tubuhnya yang khas meski telah tertutupi keringat setelah melewati hutan seharian, praktis membuat birahi sang atasan menggelegak. Ia pun tidak bisa menahan kemaluannya yang bertambah besar, meski masih tersembunyi di balik celana.

Nabila-1.jpg

Saat merasa yakin bahwa Nabila sudah tidur pulas, Pak Harso berusaha melepaskan pelukan perempuan tersebut, lalu bergegas menuju kamar mandi. Ia kemudian langsung menuntaskan hajatnya untuk buang air kecil hingga tuntas, berharap kemaluannya bisa segera mengecil setelah cairan di kantung kemihnya habis tak tersisa. Ia khawatir Nabila nantinya akan salah paham apabila perempuan tersebut melihat kemaluannya yang membesar di balik celana.

Namun, saat Pak Harso baru selesai menyiram bekas air seni miliknya di dalam kloset, ia mendengar suara sepeda motor yang tengah mendekat ke rumah tersebut. Suara itu makin lama makin jelas. Berbeda dengan gemuruh suara yang begitu nyaring saat rombongan tentara Tukatu memeriksa rumah tersebut, kali ini sepertinya hanya ada satu sepeda motor saja yang mendekat. Meski begitu, perasaan Pak Harso tetap berubah menjadi tegang.

Ia mencoba bersembunyi di balik dinding dapur, dan menunggu apa yang akan terjadi setelah ini. Pria tersebut kemudian mengeluarkan pistol milik Letnan Frans yang ia curi, lalu menggenggamnya dengan tangan. Namun dalam hati, ia masih tidak yakin apakah bisa menggunakan pistol tersebut atau tidak bila suatu saat dibutuhkan. Ia sedikit menyesal tidak mencoba untuk menggunakan senjata tersebut sebelumnya.

"Toookkkk ..."

"Toookkkk ..."

"Toookkkk ..."

Bunyi langkah kaki yang dibungkus sepatu boot khas tentara tersebut kembali terdengar. Pemilik langkah tersebut tampaknya telah menembus pintu rumah yang memang tidak terkunci, dan langsung menuju kamar tempat Pak Harso dan Nabila sebelumnya berbaring. Pak Harso berusaha menahan nafas di tempat persembunyiannya, agar tidak terdengar oleh tentara yang baru datang tersebut.

"Hmm, sudah kuduga kamu bersembunyi di rumah ini," ujar sang tentara yang kini telah berada di depan pintu kamar, dan langsung berhadapan dengan Nabila yang masih tertidur pulas di atas ranjang. "Seharusnya kamu menghilangkan dulu bau tubuhmu yang harum itu, agar tidak tercium oleh siapa pun, hahaa. Saya tentu tidak tahu perempuan mana yang bersembunyi di sini, tapi siapa pun tidak masalah karena memek kalian semua pasti enak untuk disodok."

Tentara tersebut kemudian mulai berjalan mendekati tempat tidur tempat Nabila berada.

"Sebenarnya sejak awal saya sudah mengincar tubuhmu yang montok itu. Namun, sayang kamu keburu diambil oleh Letnan Frans, dan saya harus puas dengan temanmu yang lebih muda. Sebelum kemudian para bajingan itu datang," tentara itu masih terus berbicara sendiri.

Pak Harso kini bisa melihat dengan jelas bahwa tentara tersebut adalah salah satu orang yang ikut menawan dirinya dan teman-temannya, dan sempat memeriksa rumah tersebut beberapa saat lalu. Sepertinya ia sengaja berbohong kepada teman-temannya bahwa rumah tersebut aman, hanya untuk kembali dan menikmati tubuh Nabila sendirian. Licik sekali tentara tersebut, pikir Pak Harso.

Sang tentara terus mendekati ranjang dengan langkah yang begitu pelan, agar Nabila tidak terbangun. Saat sudah begitu dekat dengan pinggir tempat tidur, ia langsung naik ke atasnya dengan cepat, dan langsung menindih tubuh perempuan tersebut. Nabila yang kaget langsung berusaha berontak dan berteriak. Namun, usahanya gagal karena kekuatan sang tentara yang jauh melebihi dirinya. Mulutnya pun langsung ditutup dengan tangan oleh tentara tersebut.

"Kamu teriak sekencang-kencangnya juga tidak akan ada yang bisa mendengar, Manis. Lebih baik kamu nikmati saja kontol milikku, Paul, yang pasti akan membuatmu ketagihan."

"Hmmppp ... Hmmmppphhh ..." Nabila terus berusaha melepaskan diri dari tindihan tentara tersebut, meski usaha itu seperti sia-sia.

"Kalau sudah ketagihan, maka kamu bisa menjadi gundik milikku, dan tinggal selamanya di Tukatu. Dengan begitu, kamu akan mendapat kepuasan dariku setiap hari, siang dan malam, hahaa ... Kapan lagi aku bisa dapat perempuan kota yang seksi seperti kamu sebagai pemuas nafsuku?"

Membayangkan hal itu benar-benar terjadi, Nabila pun panik dan berusaha untuk terus berontak, tetapi tetap gagal. Hingga tiba-tiba, terdengar sebuah suara dari arah pintu kamar tersebut.

"Hentikan semaunya, atau saya tembak!"

Mendengar teriakan tersebut, sang tentara yang baru akan meremas payudara Nabila dari balik jilbab, langsung menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat Pak Harso yang sedang berdiri tegak sambil mengacungkan pistol ke arah tentara tersebut.

"Owh, jadi kamu masih punya teman ya," ujar sang tentara sambil berdiri dengan perlahan, dan mengangkat kedua tangannya. Sekilas ia melirik senjata laras panjang yang tergeletak di dekat tempat Pak Harso berdiri, yang sepertinya terlalu jauh untuk dia raih.

"Angkat tangan," perintah Pak Harso, yang langsung dituruti oleh tentara bernama Paul tersebut.

Nabila tampak menyilangkan tangan di depan dadanya, seiring dengan kembalinya ingatan saat tubuhnya dijamah oleh Letnan Frans. Perempuan tersebut sepertinya benar-benar merasa ketakutan dan trauma akan apa yang terjadi selama 24 jam terakhir.

"Jangan gegabah Pak Tua. Bagaimana kalau kita buat perjanjian saja. Saya akan membiarkan Bapak tetap hidup dan lari dari sini, asalkan Bapak membiarkan perempuan cantik berjilbab ini tetap bersama saya. Tawaran yang menarik, bukan?"

Pak Harso hanya diam. Ia melirik ke arah Nabila yang terus meringkuk di atas ranjang.

"Saya tahu Bapak pasti tidak pernah menggunakan senjata sebelumnya, karena itu jangan main-main. Apabila ada kesalahan sedikit saja, Bapak justru akan menembak teman perempuan Bapak ini, atau bahkan menembak diri Bapak sendiri, hee," ujar sang tentara berusaha bernegoisasi.

Dalam hati, Pak Harso memang merasa tidak yakin apakah ia mampu menembak tentara tersebut atau tidak. Bagaimana kalau dia ternyata tengah mengenakan rompi anti peluru sehingga tidak mempan ditembak di bagian dada? Bagaimana kalau tembakannya malah meleset dan mengenai Nabila? Namun apabila ia tidak segera menembak, hal buruk apa lagi yang akan terjadi pada dirinya dan Nabila? Pikiran-pikiran jelek itu pun mulai berkecamuk di kepalanya.

Mengetahui pria di hadapannya tengah bimbang, sang tentara tiba-tiba bergerak maju dan mengarahkan tangannya untuk merebut pistol yang dipegang Pak Harso. Atasan Nabila tersebut coba bereaksi dengan mempertahankan bidikan pistol ke tubuh tentara tersebut. Dan tiba-tiba ...

"Daaaarrr ... Daaaaarrrr ..."

Dua letusan tembakan berbunyi, yang langsung diikuti dengan jatuhnya tubuh Pak Harso dan tentara tersebut ke lantai. Melihat adegan tersebut, Nabila merasa ketakutan. Ia tidak yakin akan apa yang baru saja terjadi, karena kedua pria tersebut tampak sama-sama tidak bergerak.

"Pak Harso ... Apa bapak baik-baik saja?"

Selama beberapa detik, tidak ada suara apa pun yang terdengar dari kedua pria yang masih saling bertindihan di atas lantai tersebut. Jantung Nabila berdetak cepat. Ia tidak bisa membayangkan apabila tentara tersebut masih hidup dan Pak Harso justru mati tertembak. Akan seperti apa hidupnya nanti?

"Saya, ahh ... Saya baik-baik saja, Nabila," tiba-tiba terdengar suara terbata-bata yang berasal dari mulut Pak Harso. Nabila akhirnya bisa bernafas lega.

"Untung saja Bapak selamat," ujar Nabila yang langsung menghambur dari tempat tidur dan memeluk tubuh Pak Harso yang baru saja berdiri. Tubuhnya yang seksi pun menempel erat dengan tubuh pria yang sehari-hari merupakan atasannya di kantor tersebut. Pak Harso pun membalas pelukan tersebut dengan lembut, sambil mengecup kepala Nabila yang masih tertutup jilbab. "Tentara tersebut sudah mati, Pak?"

"Sepertinya sudah. Saya berhasil menembak tepat di kepalanya sebelum ia berhasil menyerang."

"Bapak akhirnya berani untuk menembakkan senjata itu?"

"Tidak ada pilihan lain kan?" Ujar Pak Harso sambil tersenyum. Ia saat ini bisa sedikit bernafas lega, meski sebenarnya masih merasa gemetar apabila ingat situasi yang sangat krusial tadi.

Pria tua itu kemudian membimbing Nabila untuk kembali ke atas tempat tidur, hingga mereka berdua duduk di sisinya.

"Akhirnya kita bisa kembali selamat ya, Pak."

"Iya, Nabila. Namun dengan matinya tentara tersebut, situasi kita sebenarnya justru menjadi lebih buruk."

"Apa maksud Bapak?"

"Rekan-rekan dia yang lain pasti curiga kalau ada salah satu tentara yang hilang. Dan apabila mereka mencari tentara tersebut kembali ke sini, dan menemukan dia sudah meninggal, maka tamat riwayat kita berdua."

Nabila pun memahami kata-kata Pak Harso tersebut. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak?"

"Tidak ada pilihan lain, kita harus pergi dari sini."

"Tapi ke mana, Pak?"

"Saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti, kita tidak akan aman kalau bertahan di sini."

Nabila hanya terdiam. Dalam hati ia menyetujui hal itu. Namun bertahan hidup di hutan tentu bukan merupakan hal yang mudah.

"Baik, tapi sebelum itu kita mungkin bisa membawa bahan-bahan makanan dari rumah ini, dan rumah-rumah lain di sekitar sini, sebagai perbekalan untuk kita selama perjalanan," ujar Nabila.

"Cerdas kamu, Nabila. Ya, kita harus melakukan itu agar bisa bertahan hidup di hutan."

"Kita berangkat sekarang?"

Pak Harso pun melihat ke arah luar rumah melewati jendela. "Sepertinya kita masih aman untuk saat ini, kita bisa pergi saat matahari sudah muncul."

"Baik, Pak."

***​

Beberapa jam kemudian, Nabila dan Pak Harso telah selesai mempersiapkan diri. Mereka telah menggeledah rumah-rumah lain yang berada dekat tempat mereka menginap semalam, dan memasukkan bahan makanan yang bisa mereka bawa. Untuk menampung semuanya, Pak Harso menggunakan sebuah tas punggung yang ia temukan di salah satu rumah.

Pria tua tersebut memutuskan untuk meninggalkan senjata laras panjang milik tentara yang ia bunuh semalam, tetapi tetap membawa pistol milik Letnan Frans. Ia kini sudah mulai percaya diri untuk menggunakannya, dan tidak sabar untuk melakukannya lagi saat ia dan Nabila dalam kondisi terdesak, mengingat peluru di dalam pistol tersebut pasti tidak tersisa banyak.

"Kamu sudah siap, Nabila?"

"Sudah, Pak," peremuan berjilbab tersebut tampak begitu cantik karena baru saja mandi dan membersihkan diri, meski dengan perlengkapan yang seadanya.

Untuk memudahkan perjalanan, mereka berdua memutuskan bahwa semua bahan makanan akan dibawa oleh Pak Harso, sedangkan Nabila hanya membawa sebotol air minum agar ia tetap bisa berjalan dengan cepat.

"Oke, ayo kita berangkat."

Namun sebelum mereka meninggalkan rumah itu, perhatian Nabila teralihkan oleh sebuah kertas yang dipenuhi coretan-coretan anak kecil, yang tergeletak di salah satu meja. Wajahnya tampak sumringah saat melihat kertas tersebut.

"Tunggu sebentar, Pak."

"Kenapa, Nabila? Ada yang ketinggalan?"

"Bukan, coba Bapak lihat kertas ini. Apa ini persis seperti apa yang aku kira?"

Pak Harso terkejut melihat isi kertas tersebut. Dalam hati, ia tidak bisa berhenti bersyukur akan kemujuran mereka berdua. Ia pun mengangguk sambil tersenyum.

"Betul, Nabila. Itu adalah tiket untuk kita berdua agar bisa kembali ke Indonesia."

***​

Di saat yang hampir bersamaan, di sebuah rumah pohon yang berada di tengah hutan, Tomi tampak tengah membangunkan ketiga perempuan yang masih tertidur di dalamnya. "Bu Gendis, Widi, Rini, ayo bangun."

Widi menjadi yang pertama membuka mata. "Memangnya jam berapa sekarang, Tom?"

"Mana aku tahu, Wid. Yang pasti matahari sudah lumayan tinggi."

Widi-1.jpg

Rini kemudian mengikuti kakaknya membuka mata, dan langsung melihat ke arah jendela rumah pohon tempat mereka berempat berada. Ia pun bisa merasakan hangatnya sinar matahari yang menembus melewati dedaunan tebal di hutan tersebut.

Rini-1.jpg

Bu Gendis pun turut bangun, setelah mendengar suara teman-temannya yang mulai ramai. Sekilas ia memandang penuh arti ke arah Tomi, yang langsung disambut oleh pria muda tersebut. Keduanya pun kembali mengingat apa yang terjadi semalam saat Widi dan Rini telah tidur pulas. Perempuan tersebut bahkan masih bisa merasakan perih yang sedikit menggelitiknya di bagian selangkangan, setelah persetubuhannya dengan Tomi.

Gendis-1.jpg

"Ssrrrrkkk ... Ssrrrkkk ..."

"Suara apa itu?" Ujar Widi tiba-tiba, sambil menajamkan pendengarannya. Ketiga rekannya yang lain pun ikut melakukan hal yang sama.

"Gawat ..." Tomi tiba-tiba menyadari sesuatu, dan langsung bergerak menuju bagian depan rumah pohon tersebut. Tiga perempuan yang bersamanya pun langsung mengikuti langkah pria muda itu.

"Ada apa Tom?" Tanya Gendis.

Wajah Tomi langsung pucat saat ia sampai di pintu rumah yang terbuat dari bahan kayu tersebut, dan melihat situasi di kejauhan.

"Itu tentara Tukatu," desis Tomi sambil menunjuk ke arah kanan. "Kita harus pergi sekarang. Kalian bertiga cepat lari duluan, aku akan mengikuti dari belakang."

Mereka berempat pun langsung bergegas menuruni tangga rumah kayu tersebut dan lari menjauhi tentara Tukatu yang kian mendekati tempat mereka berada. Jarak mereka memang masih cukup jauh, tetapi jumlah mereka yang hampir selusin jauh lebih banyak dari rombongan Tomi yang hanya empat orang. Para tentara tersebut pun langsung bisa memantau gerakan mereka.

"Itu mereka, kejaaaaaarrrrr ..." ujar seorang tentara yang memimpin pasukan tersebut.

Akhirnya, terjadi aksi saling mengejar yang sebenarnya tidak imbang antara Tomi dan rekan-rekannya yang hampir tidak pernah olahraga, dengan para tentara Tukatu yang setiap hari selalu melakukan latihan fisik. Widi dan Rini yang lebih muda memang punya stamina yang lebih tinggi, dan bisa lari lebih cepat. Namun Gendis yang sudah dimakan usia, tampak kesulitan untuk menghindari kejaran para tentara tersebut.

"Duggg ..."

Tiba-tiba kaki Gendis mengenai sebuah batu dan membuatnya terjatuh. Menyadari hal tersebut, Tomi pun menghentikan langkahnya untuk membantu ibu muda tersebut. Namun, dalam sekejap mereka berdua justru terjebak kepungan para tentara Tukatu yang tiba-tiba langsung mengelilingi mereka. Satu-satunya jalan keluar yang tersisa berada di belakang mereka berdua, tetapi jalan tersebut justru mengarah ke jurang.

Gendis tampak ketakutan, dan Tomi langsung memeluk tubuh perempuan tersebut untuk memberinya ketenangan. Mereka berdua tidak tahu apa yang akan dilakukan para tentara beringas tersebut setelah kejadian kemarin.

Sementara itu, Widi dan Rini tampak tidak mengindahkan apa yang terjadi di belakang mereka dan terus berlari. Mereka bahkan sama sekali tidak menoleh ke belakang untuk memeriksa apakah ada tentara Tukatu yang mengikuti langkah mereka. Kedua kakak beradik itu hanya fokus untuk terus berlari ke depan.

Namun tak lama kemudian, tubuh mereka berdua tiba-tiba ditangkap oleh dua orang lelaki. Mereka berusaha berontak, tetapi tidak cukup tenaga untuk melepaskan diri.

"Tenang Widi, Rini. Ini kami ... Jangan berisik kalian. Kalau tidak, para tentara itu nanti akan menangkap kita semua."

Kedua perempuan tersebut pun kaget bagaimana kedua pria tersebut bisa mengetahui nama mereka.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd