Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
harus ninggalin jejak nih buat cerita keren ini biar ga ketinggalan updatenya
 
Part 14: Takut

Saat hari hampir menyentuh pembukaan malam, Pak Harso dan Nabila akhirnya sampai di sebuah tanah lapang. Sekitar 300 meter dari tempat mereka berada, terlihat beberapa rumah yang saling berdekatan satu sama lain.

"Lihat, Pak. Ada rumah di sana. Ayo kita ke sana untuk meminta pertolongan," ujar Nabila, yang sudah langsung berlari ke sana.

Namun Pak Harso langsung menangkap tubuh Nabila dari belakang, menahannya agar tidak melanjutkan langkahnya. Gerakan tiba-tiba itu membuat selangkangannya menyentuh bokong Nabila yang selama ini menjadi perhatiannya, meski hanya sesaat. Terasa sedikit getaran yang melanda tubuh pria tua tersebut, meski ia tahu bahwa hal itu tidak boleh sampai diketahui Nabila.

Nabila-1.jpg

"Ada apa, Pak. Kok aku ditahan begini," ujar Nabila sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan Pak Harso. Pria tua itu pun langsung mengendurkan pelukannya.

"Kita harus hati-hati, Nabila. Tadi Letnan Frans mengatakan bahwa tidak ada lagi warga Indonesia di bukit Amanika ini. Jadi, kalaupun ada orang di rumah tersebut, kita harus curiga bahwa mereka adalah warga atau tentara Tukatu," jelas Pak Harso.

Dalam hati, Nabila menyetujui pendapat itu. Ia pun merasa menyesal telah gegabah langsung lari ke sana.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?"

"Begini saja, kita coba ke salah satu rumah di sana, lalu memeriksa apakah ada orang di dalamnya atau tidak. Apabila kosong, baru kita masuk. Bagaimana?"

Nabila pun mengangguk.

"Oke, kalau begitu. Kamu ikuti saya dari belakang ya," ujar Pak Harso memberi perintah.

Pria tua tersebut pun langsung berjalan menuju salah satu dari rumah yang terlihat oleh mereka berdua, dan Nabila terus mengikutinya dari belakang. Saat telah berjarak sekitar 20 meter dari rumah tersebut, Pak Harso pun memperlambat langkahnya, sambil menatap dengan awas ke arah rumah berdinding beton yang tengah ia dekati. Dalam hati, ia sebenarnya masih bingung apa yang harus ia lakukan apabila muncul seseorang dari dalam rumah tersebut.

Untungnya, tidak ada indikasi bahwa rumah tersebut masih berpenghuni. Hal yang sama pun terlihat dari sekitar lima rumah lain yang berada di daerah tersebut. Setelah merasa benar-benar yakin, Pak Harso pun langsung memberi isyarat pada perempuan cantik di belakangnya, bahwa situasi telah aman.

"Aman, Nabila. Ayo kita masuk," ujarnya dengan suara pelan.

Mereka pun memeriksa pintu sebuah rumah yang ternyata tidak dikunci, lalu masuk ke dalamnya. Keduanya sempat melihat ke arah jalan, memperhatikan apakah langkah mereka diikuti oleh orang lain atau tidak. Namun, situasi sepertinya benar-benar aman.

Rumah tersebut tampak begitu sederhana. Dindingnya terbuat dari bata merah yang tidak dilapisi lagi dengan semen, sedangkan bagian plafon hanya ditutupi oleh kayu triplek yang dicat putih. Tidak banyak perabot di dalamnya, karena mungkin sudah banyak dibawa oleh pemiliknya saat meninggalkan rumah tersebut. Untungnya, lantai rumah tersebut telah dialasi dengan keramik.

"Pak Harso, lihat," ujar Nabila tiba-tiba.

Perempuan muda tersebut ternyata baru saja memeriksa beberapa laci di bagian belakang rumah, yang biasa digunakan sebagai dapur. Di sana, ia menemukan beberapa bahan makanan yang tersisa, meski jumlahnya tidak seberapa. Hanya ada mie instan, beberapa butir telur, serta sayur dan buah. Mereka berdua pun tersenyum.

"Alhamdulillah, kita bisa mengisi perut malam ini," ujar Pak Harso.

"Betul, Pak. Apabila bahan makanan ini habis, kita bisa coba memeriksa rumah-rumah lain di sekitar sini, siapa tahu di sana juga ada bahan makanan. Semoga saja itu semua cukup untuk kita bertahan, sampai ada yang menyelamatkan kita."

"Brilian sekali ide kamu, Nabila. Ya, semoga saja ada jalan bagi kita untuk selamat dari sini," jawab Pak Harso, meski sebenarnya ia sendiri tidak begitu yakin dengan kata-kata tersebut.

Pria tersebut kemudian memeriksa keran air di atas wastafel, yang ternyata masih berfungsi. Dengan begitu, persediaan minum dan fasilitas toilet pasti tersedia untuk mereka. Ia kemudian memeriksa kompor minyak yang ada di ruangan belakang tersebut, dan ternyata masih ada minyak tanah tertampung di sana. Sekotak korek api kayu pun tergeletak di sampingnya.

"Bapak sudah lapar?" Tanya Nabila.

Pak Harso pun mengangguk.

"Kalau begitu, saya buat makanan dulu ya."

"Boleh, tapi hati-hati dan jangan sampai membuat cahaya atau suara terlalu keras. Kita tidak tahu apakah para tentara Tukatu akan memeriksa sampai ke sini atau tidak."

"Baik, Pak."

Pak Harso kemudian menunggu di ruang tamu, sambil duduk di atas sofa. Pandangannya terus tertuju ke arah luar rumah, berjaga-jaga apabila tiba-tiba rumah tempatnya berada saat ini disambangi oleh para tentara beringas tersebut. Daerah tersebut tampak gelap, karena tidak ada lampu jalan yang menyala sama sekali. Atau mungkin mereka seharusnya menyala, tetapi pemerintah Indonesia telah memutus jalur listrik ke tempat tersebut setelah penyerahan wilayah kepada negara Tukatu.

Dalam hati, Pak Harso masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, dan mengapa ini semua menimpa dirinya dan anak buahnya. Liburan yang seharusnya menjadi pengalaman bahagia ini berubah menjadi nestapa. Ia bahkan tidak tahu siapa lagi anak buahnya yang masih hidup selain Nabila.

"Semoga saja mereka semua aman di luar sana," pikirnya dalam hati.

Ia pun memikirkan istrinya, Suyati, yang pasti merasa khawatir ditinggal sendirian di Resort. Ia berharap istrinya tersebut bisa bekerja sama dengan suami Nabila dan Karina, untuk mencari cara menyelamatkan mereka. Semoga saja mereka tidak menyerah, meski nantinya ia tidak kembali dalam jangka waktu yang lama.

Selama berkarier, Pak Harso memang selalu fokus kepada pekerjaannya di kantor, dan jarang mempunyai waktu bersama dengan istri dan keluarganya. Itulah alasan sebenarnya mengapa ia mengajak sang istri untuk berwisata ke tempat ini, agar mereka bisa menghabiskan waktu berdua dalam waktu yang panjang. Namun ia tidak menduga bahwa perjalanan kali ini justru malah memisahkan mereka berdua.

"Ini makanannya, Pak. Saya buatkan mie instan," suara Nabila yang lembut tiba-tiba terdengar dari arah belakang.

Pak Harso pun berbalik menatap ke arah bawahannya tersebut, yang sudah ikut duduk di atas sofa ruang tamu.

"Terima kasih ya, Nabila," ujarnya.

Dalam hati, Pak Harso mengagumi paras Nabila yang masih terlihat manis di kondisi yang sangat tidak sempurna seperti sekarang. Ditambah lagi dengan bentuk tubuhnya yang berisi meski masih tertutup oleh jilbab. Suaminya tentu sangat bahagia bisa menikmati tubuh indah itu setiap hari.

Karena sudah sama-sama lapar, mereka berdua langsung menyantap makanan di hadapan mereka dengan lahap. Mereka menikmatinya seakan itu adalah makanan terakhir yang bisa mereka santap. Hanya dalam waktu beberapa menit, makanan tersebut pun langsung tandas.

Setelah itu, mereka berdua tampak bersantai di ruang tamu, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Nabila memikirkan suaminya yang berada di resort, sedangkan Pak Harso masih pusing menimbang-nimbang apa yang akan mereka berdua lakukan esok hari, agar bisa selamat. Lama kelamaan, mereka sadar bahwa tubuh mereka sudah terasa sedikit gatal dan tidak nyaman.

"Kamu mau mandi, Nabila?" Tanya Pak Harso.

"Hmm, mau sih. Tapi apa ada handuk yang bisa digunakan, Pak?"

"Tadi aku memeriksa kamar tidur di sana, masih ada beberapa pakaian di lemari. Kamu coba cari saja apa ada handuk juga. Bila tidak ada, pakai salah satu pakaian tersebut sebagai handuk. Di kamar mandi juga masih ada sabun batangan, meski tinggal tersisa sedikit."

"Oke deh, Pak. Saya mandi dulu ya," ujar perempuan berjilbab tersebut, sambil beranjak dari ruang tamu.

***​

Hari sudah cukup malam, saat Pak Harso dan Nabila telah selesai makan dan membersihkan diri. Mereka pun mulai merasa mengantuk, meski jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Perjalanan menembus hutan yang berat sepertinya membuat mereka merasa lelah lebih cepat dibanding saat bekerja sepanjang hari di ibu kota.

"Kamu sudah mengantuk, Nabila?"

Perempuan tersebut tidak menjawab. Namun dari sorot matanya yang sayu, Pak Harso seperti sudah tahu jawabannya.

"Kamu tidur saja di kamar tidur itu," ujar Pak Harso sambil menunjuk ke kamar di mana tadi ia menemukan lemari dengan pakaian di dalamnya. "Saya nanti tidur di ruang tamu ini, sambil berjaga."

Nabila awalnya enggan, tetapi ia akhirnya setuju bahwa itu adalah pilihan terbaik bagi keduanya.

"Oke, Pak. Saya tidur duluan di kamar ya. Kalau ada apa-apa, panggil saja," ujar Nabila.

Saat tengah berjalan menuju kamar, Pak Harso terus memperhatikan langkah demi langkah yang dibuat perempuan cantik itu. Tubuhnya yang gemulai benar-benar membuat birahinya naik. Apalagi ia kemudian menyadari fakta bahwa mereka hanya berdua saja di rumah tersebut. Ia pun bisa merasakan kemaluannya perlahan membesar dari balik celana dalamnya.

"Duhh, mikir apa sih kamu Harsoooo," ujarnya dalam hati, sambil berusaha menghilangkan pikiran nakal tersebut dari kepalanya.

Pria tua itu pun mengisi waktu dengan memandang ke arah jalan di depan rumah tempat mereka berdua berada, dari balik jendela yang ukurannya tidak terlalu besar. Matanya sudah cukup mengantuk, tetapi instingnya meminta dia untuk tetap bertahan. Dan benar saja, sekitar 30 menit kemudian, terdengar deru kendaraan yang makin lama makin kencang. Pak Harso pun meningkatkan kewaspadaan.

Ia mulai panik saat cahaya dari lampu sebuah mobil tampak mendekati lingkungan rumah tersebut. Di bawah keremangan malam, ia bisa melihat bahwa cahaya tersebut berasal dari sebuah jeep tanpa atap. Di belakang mobil tersebut, terlihat rombongan beberapa sepeda motor yang mengikutinya. Meski tidak begitu jelas, Pak Harso seperti melihat siluet senjata laras panjang tergantung di setiap tubuh pengendara sepeda motor tersebut.

Ia pun langsung lari menuju kamar dan menemukan Nabila sedang tertidur di atas ranjang. Semoga saja perempuan tersebut belum terlalu pulas, pikir Pak Harso.

"Nabila, bangun ... Cepat bangun, tentara tersebut datang," ujar Pak Harso sambil menggoyang-goyang tubuh perempuan tersebut.

"Hmm, apa Pak? Apa yang Bapak bilang tadi?" Nabila berusaha membuka mata setelah tubuhnya diguncang oleh Pakh Harso. Namun, ia masih berusaha untuk menemukan kembali kesadarannya dan memahami kata-kata pria tersebut.

"Tentara Tukatu datang untuk memeriksa tempat ini, kita harus bersembunyi," ujar pria tua itu.

Nabila pun menjadi panik. "Apa yang harus kita lakukan, Pak? Kita harus sembunyi di mana?"

Pak Harso pun berusaha berpikir cepat, sambil melihat ke sekeliling kamar tersebut. "Begini saja, kamu bersembunyi di kolong tempat tidur, aku di dalam lemari."

Nabila tidak punya waktu untuk menelaah apakah itu merupakan pilihan yang baik atau tidak, dan hanya menurut saja. Ia pun langsung merapikan tempat tidur tempatnya berbaring sebelumnya, agar tidak terlihat bahwa ada orang yang pernah tidur di situ. Kemudian, ia pun masuk ke bagian bawah tempat tidur tersebut.

Sementara Pak Harso langsung bergerak ke dalam lemari yang memang tidak banyak memiliki sekat pemisah antar laci, sehingga cukup untuk tubuhnya yang besar. Ia kemudian menutup lemari tersebut rapat-rapat.

Meski terpisah, keduanya sama-sama berusaha menahan napas dan suara, agar tidak terdengar oleh tentara Tukatu yang mendekat. Apalagi tak lama kemudian mereka mendengar suara pintu rumah tempat mereka berada didobrak dari luar.

"Brraaaaaaakkkk ..."

Nabila tampak menutup mulut dengan kedua tangan, agar tidak ada suara yang keluar. Sedangkan Pak Harso tampak bersiap untuk keluar dari lemari tersebut dan menembak pistol yang saat ini ia genggam.

"Itu tentu bukan pilihan bijak, mengingat sepertinya ada sekitar 10 orang tentara Tukatu yang sedang memeriksa daerah ini. Satu saja suara tembakan terdengar, seluruh tentara tersebut pasti akan menyerbu ke kamar ini," pikir Pak Harso dalam hati. "Namun, apabila hal itu dibutuhkan, aku harus tetap melakukannya. Urusan nanti, kita pikirkan belakangan."

Untungnya, sepertinya hanya ada satu orang tentara yang memeriksa rumah tersebut. Namun langkah sepatu boot yang ia kenakan makin lama semakin mendekat.

"Tookk ..."

"Tookk ..."

"Tookk ..."

Pak Harso bisa merasakan pemilik langkah tersebut kini telah memasuki kamar tempat dirinya dan Nabila bersembunyi. Dari celah kecil di pintu lemari, ia bisa melihat sosok tentara tersebut. Sepertinya, ia merupakan salah satu tentara yang ikut menawan mereka siang tadi.

Tentara tersebut tampak memandang ke sekeliling ruangan, memeriksa apakah ada orang lain yang pernah masuk ke sana setelah rumah tersebut ditinggal penghuninya. Ia kemudian berjalan mendekati tempat tidur yang tadi digunakan oleh Nabila untuk tidur, lalu mengusap-usap bagian atasnya.

Pak Harso benar-benar merasa takut tentara tersebut akan menyadari sesuatu, atau bahkan menemukan Nabila yang tengah bersembunyi di bagian bawah tempat tidur tersebut. Ia pun langsung menggenggam pistol yang ia bawa erat-erat, dan bersiap membuka pintu lemari apabila hal tersebut terjadi.

Untungnya, tentara tersebut kemudian kembali berdiri tegak. Setelah kembali melihat seantero kamar, ia kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan tersebut.

"Rumah ini bersih, Komandan," teriak tentara tersebut yang terdengar sampai ke luar rumah.

Pak Harso pun merasa lega. Meski begitu, ia masih belum berani keluar dari tempat persembunyiannya. Ia baru bisa bernapas lega ketika terdengar suara iring-iringan mobil dan motor para tentara tersebut bergerak menjauhi rumah.

"Ahh, untung saja," ujar Pak Harso setelah membuka pintu lemari tempatnya bersembunyi.

Pria tersebut kemudian berjongkok untuk melihat ke tempat persembunyian Nabila. Perempuan tersebut tampak tengah berbaring memejamkan mata dengan erat, demi menahan rasa takut. Tangannya bersedekap di atas payudaranya yang berukuran besar. Pak Harso benar-benar merasa kasihan dengan kondisi perempuan cantik yang merupakan bawahannya tersebut.

"Nabila ..." ujar Pak Harso sambil menyentuh lengan sang perempuan dengan hati-hati.

"Ahhh, hentikan. Jangan mendekat ..." ujar Nabila setengah berteriak.

"Tenang, Nabila ... Tenang. Ini saya, Pak Harso."

Setelah melihat wajah atasannya tersebut dengan jelas, Nabila baru merasa tenang. Ia pun keluar dari tempat persembunyiannya dan duduk di lantai tepat di hadapan Pak Harso.

"Maafkan saya, Pak Harso. Saya kira tadi ..."

"Sudah, kamu tenang saja. Mereka sekarang sudah pergi, kita aman di sini."

Meski begitu, Nabila tetap tampak tertekan. Ia seperti tidak bisa menghilangkan rasa takut yang melandanya barusan. Tak lama kemudian, terlihat beberapa tetes air mata mengalir melewati pipinya yang halus.

Tak tahan dengan kondisi perempuan tersebut, Pak Harso pun coba mengelus pipi indah itu dengan tangannya. Ia awalnya khawatir Nabila akan menolak, tetapi terempuan tersebut tampak membiarkan saja apa yang dilakukan sang atasan. Ia seperti sedang sibuk untuk menahan tangisan yang sewaktu-waktu bisa pecah begitu saja.

Kondisi mencekam selama berjam-jam di bukit Amanika sepertinya telah membuat mental perempuan tersebut hancur. Nabila tampak tidak punya tenaga lagi untuk bertahan hidup, dan berusaha keluar dengan selamat dari tempat itu.

"Kamu harus tegar, Nabila. Kita pasti bisa mengatasi ini semua," ujar Pak Harso menguatkan.

Pria tersebut kemudian menarik tubuh Nabila, dan memeluknya dengan lembut. Ia usapkan tangannya di punggung perempuan tersebut, sedangkan kepala Nabila terlihat menyandar di pundak Pak Harso.

Tubuh mereka berdua saling menempel satu sama lain, membuat kehangatan menjalar di antara keduanya. Sensasi aneh itu pun seperti mengenyahkan dinginnya malam yang cukup menusuk, serta rasa tegang yang baru saja melanda mereka. Nabila tampak sudah mulai tenang, dan bisa menahan kesedihan di hatinya setelah mendapat pelukan yang hangat tersebut. Ia tidak peduli yang memeluknya saat ini adalah pria tua yang sebenarnya lebih cocok menjadi ayahnya tersebut.

"Kamu sudah tenang, Nabila?" Tanya Pak Harso sambil melepas pelukannya.

Perempuan tersebut pun mengangguk.

"Ayo, saya bantu kamu untuk naik lagi ke tempat tidur. Para tentara itu sudah pergi, jadi kamu bisa kembali istirahat," ujar Pak Harso.

Setelah Nabila bisa kembali merebahkan tubuh di atas ranjang, Pak Harso pun langsung berdiri dan bergerak ke arah ruang tamu.

"Bapak mau ke mana?" Tanya Nabila.

Dalam hati, perempuan tersebut merasa ada yang hilang saat pria berperut buncit itu melepas pelukannya. Rasa dingin yang berasal dari udara malam seperti mengembalikan perasaan takut yang sebelumnya ia derita.

"Saya mau berjaga di luar, siapa tahu para tentara itu kembali."

"Hmm ..."

"Kenapa, Nabila?"

"Apa boleh kalau Bapak berjaganya di sini saja, sambil menemani aku?"

Pak Harso tampak bingung apa yang harus ia lakukan. Namun rasa kasihannya kepada Nabila, membuatnya menuruti permintaan perempuan cantik tersebut. Ia pun berjalan kembali ke arah ranjang, lalu merebahkan diri di samping perempuan tersebut.

Tanpa ia duga, Nabila langsung bergerak ke arahnya, dan memeluk tubuhnya. Perempuan tersebut bahkan menyandarkan kepalanya ke dada Pak Harso, seperti menemukan kenyamanan di sana. Pak Harso pun hanya bisa diam merasakan lembut dan empuknya tubuh Nabila, termasuk payudara perempuan tersebut yang menonjol dan menempel di bagian perutnya.

Dengan penuh kasih, pria itu kemudian mengelus-elus kepala sang perempuan yang masih berbalut jilbab indah.

(Bersambung)
 
Terima kasih updatenya suhu @fathimah

Akhirnya... Nabila telah tiba horeee...
Mmmm... Pak Harso dan Nabila. Berdua aja di dalam rumah. Sudah mandi. Seger. Di atas tempat tidur. Berpelukan. Hangat. Lembut. Empuk :ngiler:
Aaarrgghhh... :aduh:

Mantap Suhu. Luar biasa. 2.6 K sampe gak berasa bacanya. Saking bikin keasyikan karyanya. Dan juga sukses bikin Nubie kentang, penasaran dan gak sabaran nunggu updatenya hahahaaa...
lanjut atuh laahhh :semangat:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd