Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Ayo pak Karjo, buktikan persilatan Indonesia lebih ampuh wadidaw ketimbang angkatan bersenjatanya Tukatu
:pedang:
 
Nubi sebenarnya gak suka minta apalagi maksa cepet-cepet update. Tapi sampe jelas selama pelarian di Amanika ini Nabila "menyerahkan dirinya" sama pihak mana dan sama siapa, terpaksa nubi akan gabung kelompok yang suka minta-minta ama subes @fathimah buru2 cepetan update wkwkwkwk
 
Part 11: Dilema

Matahari sudah mulai turun dari posisi puncaknya, saat Karina, Rama, dan Bu Suyati sampai di kantor Koramil yang lokasinya paling dekat dengan Resort Hostina. Koramil tersebut memang menaungi daerah di sekitar resort, termasuk wilayah Bukit Amanika. Begitu turun dari mobil, Karina langsung menemui petugas yang berjaga di pintu depan.

Karina-1.jpg

"Saya ingin bertemu dengan Kapten Budiman. Tolong bilang ada urusan penting," ujar perempuan berwajah manis tersebut.

"Baik, Bu. Kalau boleh tahu dengan Ibu siapa?" Tanya petugas tersebut.

"Bilang saja Bu Karina."

Petugas tersebut pun langsung meninggalkan pos jaga dan masuk ke dalam kantor. Meski berada di daerah pedesaan, tetapi bangunan kantor Koramil tersebut tampak bersih dan terawat. Mungkin dana yang dimiliki tentara negara untuk merawat bangunan-bangunan di daerah memang cukup besar. Tak lama kemudian, petugas jaga yang ditemui Karina tadi kembali keluar.

"Kapten Budiman bilang saat ini beliau tidak bisa diganggu. Jadi, kalau ada keperluan, mungkin bisa datang lagi bes ..."

Belum selesai petugas tersebut bicara, Karina sudah langsung menerobos masuk ke dalam, dan langsung diikuti oleh Bu Suyati. Mereka meninggalkan Rama yang harus sibuk menahan petugas jaga tersebut agar tidak bertindak macam-macam. Ia tahu senjata yang dipegang sang petugas bisa saja mengancam keselamatan mereka semua.

Begitu masuk, Karina langsung berbelok ke arah kanan dan membuka pintu ruangan yang berada di sebelah kanannya. Ia seperti sudah hapal betul isi dari kantor Koramil tersebut, dan ini bukanlah kali pertama ia datang ke sana. Di dalam ruangan, ada seorang tentara berpangkat Kapten yang sedang duduk di balik meja kerjanya.

"Ujang ... Apa-apaan ini?" Ujar Kapten tersebut sambil memanggil anak buahnya.

"Iya, Kapten," petugas jaga yang tadi menemui ketiga orang tersebut langsung memasuki ruangan dan memberikan hormat. Ternyata, tentara berpangkat rendah itu bernama Ujang.

"Saya kan sudah bilang tidak bisa diganggu. Mengapa malah kamu suruh masuk semuanya?" Tanya sang Kapten sambil menatap wajah Karina dengan sorotan mata yang tajam.

"Maaf, Kapten. Saya sudah larang, tapi mereka malah memaksa masuk," ujar Ujang. Ia begitu takut akan mendapat hukuman dari sang pimpinan karena masalah itu.

"Ya sudah, kembali ke tempat."

"Siap, Kapten."

"Silakan duduk, Bu Karina," ujar sang Kapten dengan nada suara yang dipaksakan. Ia tampak tidak senang dengan kehadiran tamu tak diundang tersebut yang seperti mengganggu waktu istirahatnya. "Saya sedang tidak bisa diganggu. Jadi kalau ada yang mau disampaikan, langsung saja tidak perlu basa-basi."

"Saya juga tidak mau mengganggu waktu Kapten Budiman," ujar Karina tanpa basa-basi. "Saya ke sini karena ada masalah yang sangat penting."

"Masalah apa kalau saya boleh tahu?"

"Tentang Bukit Amanika," raut wajah Kapten Budiman tampak berubah mendengar nama daerah tersebut.

Ia seperti tidak menyangka bahwa Karina akan membicarakan tentang masalah yang sudah membuat kepalanya hampir pecah sejak seminggu terakhir.

"Ada apa dengan Bukit Amanika?" Sang Kapten masih berusaha menampilkan kesan tenang di hadapan tamu-tamunya.

"Apa benar sekarang Bukit Amanika sudah menjadi wilayah Tukatu?"

"Ya, benar. Kalian pasti sudah nonton beritanya di televisi. Sekarang Bukit Amanika sudah resmi menjadi wilayah Tukatu."

"Tapi ..."

"Tapi apa Bu Karina?"

"Itu dia alasan saya datang ke sini. Jadi ..." Karina sempat ragu untuk memberikan penjelasan. Namun ketika ia menoleh ke arah Rama dan Bu Suyati, kedua orang tersebut langsung menganggukkan kepala. "Jadi, dua hari lalu saya memberangkatkan wisatawan untuk camping di Bukit Amanika. Dan sampai sekarang mereka belum pulang ke Resort Hostina."

Mata Kapten Budiman langsung membelalak. "Apa Ibu bilang? Ada warga Indonesia yang pergi ke Bukit Amanika dan sampai sekarang belum pulang?"

"Ii ... Iya Kapten, betul."

"Mengapa Ibu tidak bilang pada saya kalau mau memberangkatkan mereka? apalagi Bukit Amanika. Bukankah begitu perjanjian kita sebelumnya?"

"Iya Kapten, maafkan saya yang lupa menyampaikan kepada Kapten," ujar Karina sambil menundukkan kepala. Perempuan yang tadinya terlihat begitu tegas itu, langsung layu wajahnya. Ia seperti sadar betul bahwa semua yang terjadi ini adalah tanggung jawab dia.

"Berapa jumlah mereka?"

"Total ada 10 orang, 8 orang wisatawan dan 2 penduduk lokal," jawab Karina. Angka tersebut sepertinya membuat kepala sang Kapten menjadi lebih pening dari biasanya.

"Dan dua orang ini?"

"Saya Rama, Pak Kapten. Istri saya yang bernama Nabila merupakan salah satu peserta rombongan. Sedangkan yang ini Bu Suyati, suaminya yang bernama Pak Harso juga ikut dalam rombongan tersebut ke Bukit Amanika," ujar Rama menjelaskan.

"Saya mohon selamatkan suami saya dan rekan-rekannya, Kapten. Saya tidak tahu lagi bagaimana saya harus melanjutkan hidup apabila terjadi sesuatu pada suami saya," ujar Bu Suyati yang mulai menangis.

Kapten Budiman langsung berdiri dari kursinya, dan berjalan mondar mandir di sekitar mejanya. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang sangat pelik. Ia tampak tidak terburu-buru, meski saat bertemu tadi ia mengatakan sedang tidak bisa diganggu.

"Bagaimana, Kapten Budiman? Bisa kan membantu kami untuk mencari tahu di mana lokasi teman-teman kami itu sekarang?" Tanya Karina.

Kapten Budiman pun menghentikan langkahnya, dan menatap ke arah Karina. "Boleh saya jelaskan sesuatu dulu?"

"Silakan, Kapten."

"Jadi, proses pemberian wilayah bukit Amanika kepada Tukatu sebenarnya berlangsung dalam waktu yang sangat cepat. Tidak sampai seminggu lalu saya mendapat kabar tersebut, tetapi diminta merahasiakannya dari media atau siapa pun. Orang yang mengetahui hal ini hanya saya, pimpinan kepolisian setempat, dan pimpinan daerah," ujar Kapten Budiman sambil menyalakan sebatang rokok. Ceritan ini sepertinya akan cukup panjang.

"Lalu bagaimana, Kapten? Apa alasan di balik pemberian wilayah tersebut?" Tanya Rama yang penasaran. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar cerita hubungan antar negara yang seperti kisah di dalam film.

"Saya juga tidak diberi tahu alasannya. Atasan saya hanya mengatakan ini perintah langsung dari presiden. Dan untuk itu, saya harus segera mengevakuasi aset negara dan para penduduk yang masih berada di Bukit Amanika."

"Dan sepertinya kebetulan para wisatawan saya naik ke sana di tengah proses tersebut?"

"Sepertinya begitu," jawab Kapten Budiman.

"Kalau begitu, kita tinggal bilang saja kan pada pemerintah Tukatu untuk mencari mereka dan menyerahkannya kembali ke Indonesia?" Tanya Bu Suyati.

"Tidak semudah itu, Bu," ujar Kapten Budiman.

"Lho, kenapa?"

"Karena di laporan akhir, saya menyebutkan bahwa tidak ada sama sekali penduduk Indonesia yang masih tersisa di sana. Apabila ternyata terbukti sebaliknya, karier dan keselamatan pribadi saya dan keluarga bisa terancam," ujar sang Kapten. "Dan selain itu, kita juga tidak bisa seenaknya meminta Tukatu begitu saja menyerahkan warga Indonesia kembali ke sini. Mereka akan menanyakan banyak pertanyaan mengapa warga Indonesia tersebut bisa berada di sana, apalagi dengan adanya konflik bersenjata antara kedua negara akhir-akhir ini."

"Tapi tidak akan ada apa-apa yang terjadi dengan mereka kan, Kapten?" Tanya Rama yang mulai khawatir mendengar cerita sang Kapten.

"Kita tidak bisa yakin akan hal itu, karena bisa saja pihak Tukatu menjadikan mereka tawanan, untuk ditukar dengan hal lain yang bisa diberikan pemerintah Indonesia. Dan harga untuk melakukan itu pasti tidak akan murah."

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Kapten? Kami bingung harus pergi ke mana lagi untuk menemukan suami dan teman-teman kami," ujar Bu Suyati sambil sesenggukan menahan tangis.

"Iya, Kapten. Paling tidak berikan kami solusi yang bisa kami lakukan," lanjut Karina.

"Begini saja, pertama saya minta kalian tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, seperti keluarga dan teman-teman yang lain, apalagi ke media. Cukup simpan dulu kesedihan kalian dalam waktu dekat ini," jawab Kapten Budiman. "Di sisi lain, saya akan mencoba semampu saya, lewat pendekatan formal maupun informal, untuk menemukan rekan-rekan kalian dan mengembalikannya ke Indonesia."

Hal itu tentu bukanlah jawaban yang diharapkan oleh Karina, Rama, dan Bu Suyati. Namun mereka seperti tidak ada pilihan lain untuk menemukan rekan-rekan mereka. Di perjalanan menuju Koramil ini, mereka sempat melewati jalan menuju Bukit Amanika yang kini telah dijaga oleh tentara Tukatu. Menyerbu langsung masuk ke sana tanpa senjata apa pun sepertinya bukan pilihan yang bijak bagi mereka bertiga.

Karina kemudian bangkit dari kursinya, dan mengajukan tangan ke arah Kapten Budiman untuk bersalaman. "Baik, Pak. Saya tunggu kabar baiknya."

Kapten Budiman hanya tersenyum saat melihat para tamunya tersebut bergerak keluar.

***​

Saat para tamu di Koramil tengah membicarakan Bukit Amanika, sebuah mobil van tampak melintasi jalanan menanjak ke atas bukit dengan kecepatan tinggi. Sang pengemudi bahkan tidak pernah memacu kendaraan di ibu kota, tetapi adrenalin yang muncul karena khawatir tertangkap tentara Tukatu, membuatnya seperti seseorang yang berbeda.

"Pelan-pelan, Tomi. Tidak ada gunanya kalau kita nanti kecelakaan," ujar Widi sambil beberapa kali menoleh ke arah belakang mobil, dan memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

"Kamu tenang saja, Wid. Pegangan yang erat," ujar Tomi sambil terus melintasi jalan yang sebenarnya tidak begitu rata tersebut. Beberapa kali tubuh penumpang di belakangnya harus terlempar ke atas karena jalan yang berlubang.

Widi-1.jpg

Namun tiba-tiba, mobil tersebut seperti kehilangan tenaga. Tomi pun tidak tahu apa yang terjadi, ia pun langsung membelokkan mobil ke arah pepohonan si pinggir jalan, agar tidak mudah ditemukan apabila para tentara yang mengejar mereka melewati jalan utama. Beberapa ratus meter kemudian, mobil pun berhenti, tidak bisa dikendarai lagi.

"Sialan, bensinnya habis," umpat Tomi. Laki-laki tersebut langsung memukul-mukul setir mobil dengan perasaan kesal.

"Lalu bagaimana selanjutnya nasib kita, Kak Tomi?" Tanya Rini yang masih ketakutan setelah dipaksa menghisap kemaluan tentara Tukatu yang berbau menyengat tadi.

"Kita harus segera meninggalkan mobil dan mencari tempat persembunyian yang aman di dalam hutan. Semoga saja para tentara itu tidak bisa menemukan kita."

Mereka semua pun langsung turun dari mobil. Namun sebelum bergerak terlalu jauh, Rini teringat sesuatu. "Tunggu sebentar, Kak Tomi."

Ia bergerak kembali ke mobil dan mengambil sesuatu dari bagiab bawah jok belakang, lalu menunjukkannya kepada yang lain. Ia ternyata mengambil tempat minum besar berukuran 1.5 liter, yang berisi air.

"Ahh, benar juga. Kita bisa kesulitan makan dan minum karena malam sebentar lagi datang. Ayo ambil snack dan air minum yang tersisa di mobil," ujar Tomi.

Rini-1.jpg

Ketiga perempuan yang bersamanya pun menurut. Perbekalan utama mereka memang telah disita oleh para tentara Tukatu. Namun untungnya para tentara itu tidak sampai repot-repot mengambil makanan yang tercecer di dalam mobil, seperti snack yang dimakan Tomi sepanjang perjalanan dan belum habis, sehingga ia menaruhnya begitu saja di tempat menaruh barang yang ada di bagian belakang jok.

"Tapi ingat, kita harus benar-benar hemat menggunakannya. Karena kita tidak tahu sampai kapan kita harus bertahan di sini," ujar Gendis. Tomi pun mengiyakan.

Gendis-1.jpg

Setelah melihat tidak ada lagi makanan atau minuman yang bisa mereka bawa, keempat orang tersebut pun bergerak dengan cepat meninggalkan mobil, dan berjalan mengikuti Tomi. Pria yang berada di posisi paling depan tersebut sebenarnya juga tidak tahu mereka harus ke mana. Ia hanya tahu bahwa mereka tentu tidak akan aman apabila hanya diam di sekitar mobil, yang pasti bisa cepat ditemukan oleh para tentara yang mengejar mereka.

***​

Setelah, Karina, Rama, dan Bu Suyati pergi dari kantor Koramil, Kapten Budiman pun langsung membereskan berkas-berkas yang ada di atas mejanya. Ia sudah benar-benar penat dengan kesibukan hari ini, dan berniat untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidur pulas.

Namun tak lama kemudian salah seorang bawahannya datang dan mengetuk pintu ruangannya.

"Sore, Kapten. Saya mau memberikan berkas untuk rencana pengadaan kendaraan," ujar sang tentara tersebut dari balik pintu.

"Masuk saja Letnan Ahmad," ujar Kapten Budiman.

Tanpa basa-basi, Letnan Ahmad pun langsung memberikan sebuah berkas kepada sang Kapten. "Ini berkasnya, Kapten."

"Oke, besok saja saya baca, ya. Hari ini saya sudah benar-benar lelah."

"Hmm, apakah karena kehadiran tamu-tamu yang tadi?"

"Salah satunya. Kamu tahu tidak apa yang mereka katakan?"

"Siap, tidak tahu, Kapten."

"Mereka bilang kalau mereka memberangkatkan wisatawan ke Bukit Amanika tepat sebelum daerah tersebut diserahkan ke Tukatu."

"Memangnya mereka tidak izin dulu kepada kita, Kapten. Kalau begitu kan bisa kita cegah," ujar Letnan Ahmad.

"Itu dia masalahnya, mereka berangkat saja tanpa minta izin dulu. Si sundal Karina itu sepertinya mau menghemat biaya dan tidak mau memberikan kita persenan lagi," ujar Kapten Budiman kesal.

"Tapi Mbak Karina goyangannya mantap kan Kapten? Hee," ujar Letnan Ahmad menggoda.

"Bisa saja kamu, kan kamu juga sudah pernah ngerasain, hee. Tampang cantik tapi hati pelacur ya kayak gitu modelnya."

"Lalu mereka minta tolong apa pada kita, Kapten?"

"Mereka minta kita membantu mereka menemukan dan mengembalikan para wisatawan itu."

"Dan Kapten mengiyakan?"

"Aku bilang bahwa hal ini harus dirahasiakan dari siapa pun. Karena kamu tahu sendiri, bagaimana nasib kita apabila hal ini tercium oleh komandan Kodim dan media, bisa habis kita dicecar mereka. Dan karier kita pasti tamat, Ahmad ... Tamat," ujar Kapten Ahmad.

"Duh, hal itu tidak boleh terjadi, Kapten. Saya masih punya anak istri yang harus dikasih makan."

"Istri yang di Jawa atau istri yang di sini?" Goda Kapten Budiman.

"Dua-duanya donk, Kapten. Hee."

"Ya makanya, jangan sampai mereka semua tahu, cukup jadi rahasia kita saja."

"Tapi bagaimana kita meyakinkan Mbak Karina dan yang lain untuk tetap tutup mulut?"

"Saya tadi bilang bahwa saya akan menggunakan cara formal dan informal untuk membantu mereka, asalkan mereka diam."

"Lho, jadi kita akan membantu mereka?"

"Tentu tidak donk, Ahmad. Kita tidak perlu melakukan apa-apa, hahaa," ujar Kapten Budiman sambil terkekeh.

"Ah, aku mengerti sekarang. Kapten Budiman memang hebat."

"Ngomong-ngomong, apa kamu dapat komunikasi dari Letnan Frans? Wilayah bukit Amanika sekarang dipegang dia kan?"

Letnan Ahmad menggeleng.

"Ah, mungkin para wisatawan tersebut sudah habis menjadi makanan babi, atau jadi gundik anak buah Letnan Frans, hahaa. Sudah tidak ada harapan sepertinya."

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd