Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Buat jaga² kalo ada apa² di Amanika..
Hayuk bu Nabila, latihan silat sama pak Karjo..
:semangat::semangat:
 
Part 8: Tertangkap

Bukit Amanika menjadi saksi makin eratnya hubungan antara para pegawai karyawan perusahaan multifinance yang dipimpin oleh Pak Harso. Mereka jadi mengenal kepribadian satu sama lain, hingga ke hal-hal terburuk yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Namun kebersamaan itu harus berakhir, karena mereka akhirnya harus pulang kembali ke Resort Hostina, dan selanjutnya ke ibu kota beberapa hari kemudian.

Dengan cekatan, Raymond dan Johan membereskan tenda-tenda yang mereka dirikan beberapa hari sebelumnya, serta semua perlengkapan yang mereka bawa dari resort. Mereka hanya meninggalkan beberapa kantong sampah dan bekas kotoran dari toilet portabel yang mereka dirikan.

"Ini sampahnya gak dibawa turun lagi, Raymond?" Tanya Gendis, yang memang punya perhatian khusus akan kebersihan lingkungan.

"Kalau dibawa dengan van, khawatir mengganggu Bapak Ibu saat pulang nanti. Bisa bau semua seluruh mobil. Setelah mengantar kalian, kami akan kembali ke sini dengan kendaraan khusus untuk mengambil sampah-sampah ini," ujar Raymond menjelaskan.

"Oh, baguslah kalau begitu."

Para peserta pun sudah siap dengan barang bawaan mereka masing-masing, yang sebenarnya tidak terlalu banyak karena Raymond dan Johan sudah menyiapkan hampir semuanya. Sekitar pukul 10, mereka pun mulai berangkat dari tempat mereka camping, kembali turun menuju resort.

Sepanjang perjalanan, hampir semua peserta tertidur pulas, kecuali Nabila yang asyik melihat jalan di kiri dan kanan. Ia pun terkejut dengan betapa sedikitnya rumah penduduk yang mereka lewati. Dalam hati, ia sudah sangat rindu ingin segera bertemu dengan suaminya, Rama.

"Sedang apa ya Mas Rama di resort? Apakah dia sudah sembuh dari sakitnya?" Pikir Nabila dalam hati.

***​

Di Resort Hostina, tampak dua orang perempuan dan seorang laki-laki sedang berembug di sebuah kamar, mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan pelik yang tengah mereka hadapi.

"Jadi solusinya bagaimana ini Mbak Karina? Suami saya terjebak di bukit itu lho, dari kemarin juga belum pulang. Kalau ada apa-apa sama dia atau rombongan yang lain bagaimana? Mbak harus tanggung jawab." Tanya Bu Suyati, istri dari Pak Harso.

Karina-1.jpg

Dia lah yang sehari sebelumnya mengetuk-ngetuk kamar Karina, setelah melihat berita yang sama di televisi tentang Bukit Amanika. Alangkah kagetnya ia saat Karina membuka pintu, dan ada Rama di sana. Bu Suyati sempat merasa curiga karena Karina lama sekali membuka pintu, meski saat dibuka, keduanya masih berpakaian lengkap. Rama pun beralasan bahwa dia sudah lebih dulu mengetahui berita itu, dan langsung mendatangi kamar Karina.

"Boleh gak Bu kalau urusan pertanggungjawaban kita bicarakan nanti saja? Yang penting mereka bisa selamat dulu, dan bergabung kembali bersama kita," Ujar Rama.

"Lho, kok Mas Rama malah belain perempuan ini sih? Istri mas juga ada di sana lho."

"Saya mengerti, Bu. Saya bahkan sudah lebih dahulu marah-marah ke Karina kemarin. Namun yang harus menjadi perhatian utama kita saat ini adalah bagaimana mereka bisa kembali, cukup. Urusan tanggung jawab dan lainnya, bisa kita urus belakangan."

"Iya, Bu. Saya minta maaf atas apa yang terjadi, ini semua benar-benar di luar dugaan. Sekarang kita fokus dulu untuk menyelamatkan mereka. Karena itu ..." Kata-kata Karina terputus.

"Karena itu apa, Karina?"

"Karena itu, sepertinya lebih baik kita lapor ke aparat saja seperti saran Pak Rama. Saya ikhlas apa pun yang terjadi nanti, selama rombongan Pak Harso dan yang lain selamat," ujar Karina yang wajahnya sudah mulai pilu menahan stres dan kesedihan.

"Baiklah, ayo kita bertiga pergi ke sana," ujar Bu Suyati.

***​

Di tengah perjalanan, mobil van yang ditumpangi rombongan untuk kembali ke resort tiba-tiba berhenti mendadak. Para penumpang pun langsung terbangun dari tidur mereka.

"Ada apa ini Raymond? Kok tiba-tiba berhenti?" Tanya Pak Harso.

"Tunggu sebentar ya Bapak Ibu, saya coba urus dulu," ujar Raymond yang langsung turun dari kursi di samping pengemudi. Untuk perjalanan pulang, Johan lah yang ditugaskan untuk menyetir van.

Dari dalam mobil, Pak Harso bisa melihat beberapa tentara yang sedang berdiri di tengah jalan menghalangi mobil van yang mereka tumpangi. Mereka seperti sedang menjaga sesuatu. Di belakang mereka, ada barisan kawat berduri yang membuat mobil tidak bisa lewat begitu saja.

"Aneh sekali," tiba-tiba Johan bergumam.

"Aneh kenapa, Johan?" Tanya Pak Harso.

"Itu, pakaiannya kan bukan tentara Indonesia, tapi tentara Tukatu. Padahal ini masih di wilayah Indonesia. Apa nanti tentara kita tidak akan marah dengan pelanggaran perbatasan ini?" Ujar Johan.

Pak Harso mulai merasa ada yang tidak beres. Ia pun membangunkan seluruh penumpang agar mereka siaga. Tak lama kemudian, Raymond kembali ke mobil. Namun sayangnya, ia tidak membawa kabar baik.

"Aku tidak tahu mereka bicara apa, katanya Amanika sekarang adalah tanah Tukatu. Nggak jelas. Mereka suruh kita ikut mereka ke pos, jadi kamu ikuti mereka saja, Johan," ujar Raymond begitu kembali masuk ke dalam mobil.

"Kita gak tembus saja?" Tanya Johan.

"Kamu gila apa? Itu ada kawat berduri besar-besar sekali. Mereka juga bawa senjata. Salah-salah, bisa mati konyol kita ditembak mereka."

Perkataan Raymond tadi ada benarnya. Meski jumlah tentara itu tak seberapa, tapi cukup membuat rombongan 10 orang itu kalah kekuatan dengan senjata yang mereka miliki. Seorang tentara berjalan ke sebuah jalan setapak di sisi kanan jalan yang hanya bisa dilalui oleh sebuah mobil. Johan pun menyetir van mengikuti langkah tentara tersebut.

Tak sampai beberapa ratus meter mengikuti tentara tersebut yang berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi, mereka sampai di sebuah tempat yang mirip dengan sekolah. Ada sebuah bangunan utama dengan beberapa ruangan yang mempunyai pintu dan kaca jendela. Di hadapan bangunan tersebut ada sebuah lapangan yang luas, dengan tiang bendera di tengahnya. Dan seperti mendukung kecurigaan Johan, di atas tiang bendera itu tidak berkibar bendera merah putih, melainkan bendera Tukatu.

Sepuluh orang yang berada di van pun turun, dan kembali mengikuti sang tentara berjalan menuju salah satu ruangan di bangunan utama. Di belakang rombongan tersebut, tiba-tiba sudah ada beberapa tentara lain dengan senjata lengkap, mengawasi mereka dengan tatapan tajam.

"Pak tentara, boleh dijelaskan dulu ini ada masalah apa sebenarnya? Kami hanya wisatawan yang sedang berlibur dan dalam perjalanan pulang ke resort Hostina," ujar Pak Doni berusaha bernegoisasi dengan seorang tentara.

Namun tentara itu tidak menjawab, dan malah mengayunkan senjatanya sebagai tanda bahwa rombongan harus segera mengikuti tentara yang berada paling depan. Mereka pun terpaksa menurut.

"Ini mereka mengerti Bahasa Indonesia tidak sih, Raymond?" Tanya Pak Doni lagi, kali ini kepada Raymond yang berjalan di sampingnya.

"Mereka pasti mengerti Bahasa Indonesia, Pak. Dulunya Tukatu kan bagian dari Indonesia, sebelum kemudian memerdekakan diri. Namun, memang kini mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Portugis sebagai bahasa sehari-hari," jawab Raymond.

"Kamu sudah coba menghubungi Karina atau yang lainnya di resort?"

"Handphone saya belum mendapat sinyal Pak, tidak bisa menghubungi siapa pun." Pak Doni pun menggaruk-garuk kepala mendengarnya. Ia pun baru saja memeriksa handphone miliknya yang juga belum mendapat sinyal.

Rombongan tersebut kemudian diminta untuk memasuki sebuah ruangan yang cukup besar. Di dalamnya terdapat banyak meja, tetapi sudah disingkirkan dan ditumpuk menempel ke dinding, menciptakan area lapang yang luas di tengahnya. Sebelum disusun seperti itu, ruangan tersebut mungkin sehari-hari digunakan sebagai tempat bekerja dan istirahat guru-guru di sekolah itu.

Hanya ada sebuah meja dan kursi yang tersisa, yang letaknya di ujung ruangan. Seorang tentara tampak duduk di sana. Dari pakaian dan penampilannya, tentara tersebut sepertinya mempunyai pangkat yang lebih tinggi dari tentara-tentara yang mereka temui di jalan tadi. Ia memiliki badan yang besar dan tinggi, serta kulit yang hitam, membuat siapa pun yang melihatnya pasti langsung merasa segan dan takut.

"Selamat datang Ibu Bapak semua, selamat datang di Amanika," ujar tentara tersebut tanpa berdiri dari kursinya. "Perkenalkan saya Letnan Frans, dan saya adalah perwira tentara Tukatu yang bertugas menjaga wilayah ini."

Mayoritas rombongan tidak mengerti apa pentingnya penjelasan tersebut, hanya raut wajah Raymond dan Johan saja yang langsung berubah. Sebagai warga lokal, mereka tentu mulai menyadari betapa gawatnya situasi yang tengah mereka hadapi. Kekhawatiran Johan di mobil tadi terbukti benar, bahwa para tentara tersebut bukanlah tentara Indonesia. Meski begitu, mereka masih belum tahu alasan sebenarnya di balik keberadaan tentara tersebut di daerah yang seharusnya milik Indonesia ini.

"Mohon izin Bapak tentara. Setahu saya, tanah Amanika masih merupakan bagian dari Indonesia, bukankah begitu?" Raymond akhirnya membuka suara pertama kali. Ia berusaha menggunakan bahasa sehalus mungkin agar tidak memancing kemarahan sang tentara. Sebagai penanggung jawab tour, ia seperti merasa bertugas menyelesaikan masalah ini.

"Oh, sepertinya kalian belum tahu perkembangan terkini ya?"

"Perkembangan terkini apa maksudnya Pak tentara?"

"Sersan Robert, ke sini sebentar," ujar Letnan Frans memanggil salah satu anak buahnya yang berjaga di ruangan tersebut.

"Siap, Letnan."

"Tolong kamu ambilkan televisi di ruangan sebelah, dan bawa ke sini. Rombongan ini sepertinya perlu menonton berita," ujar Letnan Frans sambil tersenyum bengis.

"Siap, Letnan."

Tak berapa lama kemudian, Sersan Robert telah menggendong sebuah televisi kecil, lengkap dengan peralatan lain yang dibutuhkan untuk mendapatkan siaran, dan meletakkannya di meja kerja Letnan Frans. Ia pun langsung menyalakan televisi tersebut.

"Silakan kalian tonton sendiri berita yang sudah diulang-ulang sejak kemarin di seluruh stasiun televisi Tukatu dan Indonesia," ujar Letnan Frans.

Seluruh rombongan tampak fokus melihat tulisan yang muncul di televisi, dan suara penyiar berita yang samar-samar mereka dengar. Mereka hanya bisa menangkap beberapa kalimat dengan jelas, karena rasa kaget yang menerpa mereka. Beberapa hal yang mereka tangkap adalah Indonesia telah menyerahkan wilayah sekitar Bukit Amanika kepada negara Tukatu, dan perjanjian mengenai hal itu telah ditandatangani oleh Presiden sekitar 40 jam yang lalu, dan langsung berlaku seketika. Tidak ada aset maupun warga Indonesia yang tersisa di Bukit Amanika, sehingga proses penyerah terimaan wilayah pun langsung terjadi.

"Mohon maaf, Letnan Frans. Sepertinya ada kesalahan. Karena kami adalah warga Indonesia dan kebetulan masuk ke bukit Amanika sebelum perjanjian tersebut. Dan kami tidak tahu menahu soal berita itu karena sama sekali tidak mendapat sinyal telepon di atas bukit," ujar Raymond berusaha memberi penjelasan.

"Lalu?" Tanya Letnan Frans dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Widi pun sampai merinding karenanya.

"Karena itu kami berharap Letnan Frans berkenan untuk membiarkan kami kembali ke Indonesia."

"Tidak, saya tidak akan membiarkan kalian ke Indonesia."

Tiba-tiba suasana menjadi begitu tegang. Kata-kata Letnan Frans seperti menjadi putusan mati untuk para rombongan tersebut. Seluruh peserta outing yang tadinya sedikit tenang dan berharap bisa melanjutkan perjalanan, kini menjadi begitu khawatir dengan akhir dari masalah ini.

"Mengapa begitu Letnan? Bukankah kami tidak melakukan kesalahan apa pun? Kami hanya wisatawan yang datang ke sini sebelum perjanjian itu dibuat, lalu kebetulan pulang setelahnya karena kami tidak tahu menahu soal itu. Kami berani sumpah, tidak ada hal buruk yang kami lakukan di bukit Amanika ini," Raymond masih berusaha membujuk.

Letnan Frans kemudian berdiri dari kursinya, dan mendekati Raymond. Ia tampak mengeluarkan sebuah pistol dari sarung senjata yang tergantung di pinggangnya. Wajahnya tampak memerah karena marah. Sepertinya ia menjadi kesal karena kata-kata Raymond yang dianggap sebagai sebuah pembangkangan.

Saat telah berada tepat di depan Raymond, Letnan Frans pun menempelkan moncong pistol miliknya ke pipi pria tersebut. Meski mempunyai tubuh yang cukup bugar, Raymond hanya bisa terdiam seperti ayam kehilangan induknya saat diancam seperti itu. Sudut matanya mulai berair, dan kakinya bergetar hebat.

"Siapa yang bisa membuktikan bahwa kalian datang sebelum perjanjian itu dibuat? Hah?" Tanya Letnan Frans dengan nada mengancam. "Siapa juga yang bisa menjamin kalau kalian bukan mata-mata yang dikirim pemerintah Indonesia untuk menghancurkan kami dari dalam? Jawab!"

"Berani sumpah, Letnan Frans," ujar Pak Doni membuka suara. "Kami semua hanya wisatawan, kami pegawai swasta, tidak ada urusan sama pemerintah ..."

"Diiiiaaaaaaaaammmmmmmmmm ...."

Terdengar teriakan kencang Letnan Frans yang kemudian diikuti dengan desingan peluru yang mengarah ke tempat Pak Doni berdiri. "Doooooooorrrrrrrr."

"Aaaaahhhhhh .... "Secara reflek, Nabila pun berteriak karena kaget akan suara tembakan tersebut. Itu adalah suara desingan senjata pertama yang ia dengar secara langsung seumur hidup.

Nabila-1.jpg

Gendis-1.jpg

Gendis pun langsung menarik Manajer Pemasaran yang cantik tersebut ke dalam pelukannya, agar ia lebih tenang. Meski begitu, Nabila tetap tidak bisa air mata yang tanpa sadar keluar karena rasa takut yang teramat hebat. Di sebelah mereka, kakak beradik Widi dan Rini pun juga tengah saling berpelukan untuk saling menenangkan diri.

Pak Doni hanya bisa terdiam dengan mata terbelalak akibat suara letusan senjata tersebut. Ia memeriksa tubuhnya sendiri, dan untungnya tidak ada bekas luka satu pun. Satu-satunya rasa sakit yang ia rasakan adalah di jantungnya, yang berdetak sangat kencang setelah pistol tersebut memuntahkan peluru.

Letnan Frans sepertinya hanya berusaha menakut-nakuti Pak Doni agar tidak terlalu banyak bicara. Kebiasaan buruk Pak Doni tersebut baru saja membuatnya berjarak hanya beberapa senti dari kematian.

Di belakang rombongan tersebut, para tentara yang berjaga langsung menaikkan senjata laras panjang mereka, dan mengarahkannya ke para peserta outing. Mereka tampak siap membunuh seluruh rombongan apabila diperintah sang Letnan. Suasana yang tadinya sudah begitu menegangkan, kini tambah mencekam.

"Kalau saya bilang diam, ya diam. Saya sedang bicara dengan pria di depan saya ini," ujar Letnan Frans dengan suara yang menggelegar. "Mulutmu yang cerewet itu justru membuat saya makin curiga kalau kalian adalah mata-mata Indonesia. Sersan, cepat geledah mereka."

Sersan Robert dan dua orang tentara lain yang berjaga di ruangan tersebut pun langsung mengamankan senjata laras panjang mereka, lalu bergerak mendekati para peserta outing yang masih berdiri di tengah ruangan. Terlihat nama para tentara tersebut yang tertulis di bagian dada seragam mereka. Yang satu bernama Paul, dan yang lainnya bernama Diego. Usia mereka sepertinya hampir serupa, sekitar 30an tahun. Hanya Letnan Frans saja yang sepertinya sudah berusia di atas 40 tahun.

Mereka mulai dari para pria terlebih dahulu. Raymond, Johan, dan Tomi yang berusia lebih muda mendapat perhatian khusus dari para tentara tersebut, sehingga digeledah terlebih dahulu. Para tentara langsung mengambil dompet dan barang berharga lain yang ada di kantung celana para pria tersebut. Handphone mereka pun disita, meski semuanya berada dalam kondisi mati atau tidak mendapat sinyal sama sekali.

Pak Doni, Pak Harso, dan Pak Karjo pun mendapat perlakuan yang sama. Kali ini, Pak Doni yang baru saja diserempet oleh malaikat maut, telah belajar dari kesalahan. Ia tampak begitu tegang, tapi memutuskan untuk tidak mengeluarkan satu kata pun di hadapan para Sersan berkulit gelap tersebut.

Setelah itu, para Sersan tersebut turut menggeledah para perempuan, yaitu Gendis, Widi, dan Rini. Berbeda dengan para tawanan laki-laki, tentara-tentara tersebut seperti meluangkan waktu yang lebih lama saat menggeledah para perempuan.

Mereka mulai dari menaikkan tangan para perempuan ke atas, lalu mengelusnya dari atas ke bawah, hingga menyentuh dada, perut, dan pinggul ketiga perempuan cantik itu. Mereka tampak menghabiskan waktu yang lebih lama di bagian payudara dan bokong yang memang lebih sensitif.

Dalam hati, Widi bahkan merasakan payudaranya disenggol berkali-kali oleh Sersan bernama Paul. Rini pun sempat melihat Sersan bernama Diego tersenyum nakal saat meraba-raba tubuh indahnya yang hanya tertutup secarik kaos ketat. Namun tak lama kemudian, penggeledahan itu berakhir, dan sembilan dompet sudah tersaji di atas meja kerja Letnan Frans.

Widi-1.jpg

Rini-1.jpg

Sersan Robert baru saja akan mendekati Nabila, saat Letnan Frans mencegahnya. "Biarkan dia, perempuan itu biar aku saja yang urus," ujarnya sambil membuka seluruh dompet para tawanan tersebut, dan memeriksa isinya.

"Siap, Letnan," ujar sang Sersan sambil mundur secara teratur ke tempatnya semula.

Selama beberapa menit, Letnan Frans mengamati kartu identitas seluruh peserta outing satu per satu. Para rombongan tidak ada yang bisa menebak apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh perwira tersebut. Apakah mereka akan dijadikan tawanan untuk ditukar dengan sejumlah uang ke pemerintah Indonesia? Atau jangan-jangan mereka akan dibunuh di tempat itu? Bayangan pilihan terakhir tersebut membuat mereka semua bergidik ngeri.

"Oke. Sersan Robert tolong simpan semua barang sitaan ini, termasuk semua barang yang mereka bawa di mobil. Jangan sampai ada yang tertinggal. Dan kamu, ikut saya," ujar Letnan Frans sambil memberi isyarat ke arah Nabila. Perempuan cantik tersebut pun tidak bisa menolak karena khawatir para tentara Tukatu tersebut akan berbuat nekat dan membunuhnya di tempat.

"Lalu yang lain bagaimana, Letnan?" Tanya Sersan Robert ketika sang Letnan sudah sampai di pintu ruangan.

"Ikat semua tawanan laki-laki. Dan sisanya yang perempuan, terserah kalian mau diapakan," ujar Letnan Frans sambil menarik tangan Nabila yang langsung khawatir akan keselamatan dirinya dan rekan-rekannya.

Berbeda sekali dengan tiga Sersan yang masih berjaga di ruangan tersebut, yang seperti mendapat durian runtuh hari itu. Mereka langsung memandang ke arah Gendis, Widi, dan Rini, dengan tatapan penuh nafsu.

(Bersambung)
 
Makasih Suhu @fathimah updatenya. Hmmm... tensi mulai naik nih. Tensi atas bawah hahahaa. Gak sabar nunggu part 9
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd