Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Part 6: Tragedi

Mentari pagi mulai naik dari ufuk, menyinari lima tenda yang telah berdiri sejak sehari sebelumnya di bukit Amanika. Hampir seluruh penghuninya masih terlelap di dalam tenda, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat momen-momen indah di pagi hari yang cerah tersebut. Namun, kehangatan tenda dan sleeping bag sepertinya terasa lebih nyaman bagi mereka.

Salah satu peserta yang paling pertama bangun adalah Nabila. Perempuan tersebut perlahan berjalan keluar dari tenda, meninggalkan Gendis yang tampak masih asyik tidur di dalam kantung tidurnya. Manajer Pemasaran yang cantik tersebut tampak mengenakan kaos lengan panjang yang ditutupi dengan jaket untuk menepis udara dingin yang menerpa, serta celana training panjang.

Nabila-1.jpg

Ia menghirup udara pagi yang begitu segar, dan merasa beruntung bisa ikut di perjalanan kali ini, setelah sekian lama berkutat dengan kesibukan pekerjaan di ibu kota. Setelah bertahun-tahun bekerja di bagian pemasaran, menawarkan pinjaman ke para calon nasabah, Nabila mulai merasa bahwa kehidupannya menjadi benar-benar monoton. Di pagi hari, ia berangkat ke kantor, dan sorenya pulang ke rumah. Terus saja begitu lima hari dalam seminggu.

Kehidupan pribadinya pun tidak kalah membosankannya. Saat sampai di rumah, suaminya yang juga bekerja biasanya akan merasa lelah, sehingga jarang sekali ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri, atau sekadar bercanda dan mengobrol dari hati ke hati. Sudah sejak lama ia mendambakan seorang anak, demi bisa membuat kehidupannya semakin cerah, tetapi tidak juga diberikan rezeki dari Yang Maha Kuasa. Ia sudah sering meminta sang suami untuk bersama-sama pergi ke dokter kesuburan sebagai wujud usaha mereka untuk mendapatkan keturunan, tetapi sang suami terus saja menolak.

"Apabila sudah rezeki, nanti juga akan datang waktunya, Istriku," itulah kata-kata yang selalu ia ucapkan setiap kali Nabila mengajak pergi memeriksakan diri ke dokter. Nabila pun sampai bosan mengajak suaminya tersebut.

Karena suasana tenda masih begitu sepi, Nabila pun memutuskan untuk berkeliling daerah sekitar tempat mereka menginap. Agar tidak tersesat, perempuan tersebut memutuskan untuk berjalan mengikuti aliran sungai, sehingga mudah saat dia ingin kembali ke tenda. Sekitar 15 menit berjalan, ia melihat ada seorang pria yang sepertinya tengah berlatih bela diri tepat di pinggir sungai. Karena penasaran, perempuan tersebut pun berjalan mendekat.

"Haaa ..." Teriak pria tersebut sambil melancarkan pukulan ke arah depan.

"Ciaaaattt ..." Ia kemudian berbalik dan mengarahkan tangkisan.

"Haaa ..." Tendangan kaki pun melayang ke udara.

Pria tersebut tampak mengulang-ulang beberapa gerakan yang sama. Tubuhnya tampak berkeringat, entah sudah berapa lama ia melakukan latihan di tempat tersebut. Awalnya Nabila tidak mengenali pria tersebut, dan menganggapnya pria lokal yang memang tinggal di tempat itu. Apalagi pria itu hanya mengenakan celana pendek, dengan tubuh bagian atas yang terbuka, menampakkan kulitnya yang gelap.

Namun semakin Nabila mendekat, ia mulai sadar bahwa pria tersebut adalah seseorang yang ia kenal. Ia sedikit kurang mengenali dari jauh karena sama sekali belum pernah melihatnya tanpa pakaian seperti itu. Di kantor, pria tersebut selalu mengenakan seragam kemeja lengan panjang dan celana panjang yang tidak berubah setiap hari.

Entah karena alasan apa, Nabila akhirnya memutuskan untuk tidak langsung menghampiri pria tersebut, dan membiarkannya terus melakukan latihan. Perempuan berjilbab itu malah bersembunyi di balik semak-semak dan memperhatikan sang pria dari sana.

Dari tempatnya bersembunyi, Nabila bisa melihat dengan jelas otot-otot sang pria yang perlahan mulai keluar dari tubuhnya yang sebenarnya sudah tidak muda lagi. Namun, pria tua tersebut sepertinya terus menjaga kebugarannya, hingga bisa tetap fit di usianya sekarang. Gerakan-gerakan bela diri yang ia praktikkan, membuat pria tersebut tampak begitu jantan dan perkasa di mata Nabila.

"Duhh, apa sih yang aku pikirkan saat ini," gumam Nabila. "Aku kan seorang perempuan yang sudah mempunyai suami."

Namun ketika sedang asyik memperhatikan pria tua tersebut, Nabila tidak sadar batu yang menjadi pijakan kakinya justru jatuh ke bawah. Ia pun sedikit terperosok ke dalam semak-semak yang menjadi tempat persembunyiannya. Kondisinya memang tidak berbahaya, karena posisi Nabila berdiri tidak terlalu terjal. Namun gerakan itu cukup membuat bunyi berisik saat tubuhnya beradu dengan dedaunan, yang terdengar oleh sang pria.

"Siapa di sana," ujar pria yang sedang berlatih bela diri itu tiba-tiba.

Nabila pun tidak bisa berkutik. Ia kemudian keluar dari persembunyiannya dan menghampiri sang pria. Apabila dia tetap bersembunyi, pria tersebut pasti akan menganggap macam-macam.

"Tenang, Pak Karjo. Ini hanya saya, Nabila."

Melihat yang menghampirinya adalah atasannya di kantor, Pak Karjo langsung mengambil pakaiannya yang tergeletak di tanah, lalu mengenakannya kembali. Ia pun merasa malu sempat tampil setengah telanjang di depan perempuan yang ia hormati itu. Padahal, Nabila dalam hati justru merasa sedikit kecewa dengan apa yang dilakukan Pak Karjo.

"Duh, maaf Bu saya tadi lagi latihan silat. Ibu sudah lama di sana?"

"Belum, saya baru saja sampai. Tadi saya mendengar suara Bapak saat latihan, makanya saya menghampiri ke sini." ujar Nabila beralasan. "Bapak sudah lama latihannya?"

"Belum lama, baru sekitar 30 menitan, Bu."

"Bapak memang selalu latihan seperti ini setiap hari?"

"Ya, setiap ada kesempatan saja, Bu. Sudah sejak jaman muda selalu latihan seperti ini. Kalau tidak latihan, tubuh rasanya jadi pegal. Namun karena kesibukan di kantor yang mengharuskan saya datang lebih pagi, kadang tidak sempat juga saya latihan."

"Owh, begitu," pantas saja tubuh Pak Karjo tetap terlihat berisi meski ia sudah tidak muda lagi.

"Ibu mau saya ajarkan?"

"Eh, maksudnya bagaimana, Pak? Diajarkan apa?" Tanya Nabila kaget.

"Ya, saya ajarkan beberapa gerakan bela diri seperti tadi. Siapa tahu bisa Ibu praktikkan juga agar tubuh Ibu tetap bugar. Atau siapa tahu bisa bermanfaat kalau ibu, amit-amit, diganggu oleh orang jahat. Tapi, itu kalau Ibu berminat saja sih."

Nabila berpikir sejenak. Sepertinya kata-kata Pak Karjo ada benarnya. "Hmm, boleh juga Pak. Coba Bapak duluan, nanti saya ikutin dari belakang."

"Oke, Bu. Awalnya Ibu pasang kuda-kuda terlebih dahulu, seperti ini. Kemudian arahkan tangan ke depan seperti gerakan meninju."

Nabila pun mengikuti arahan Pak Karjo. Tetapi karena belum pernah berlatih bela diri sebelumnya, gerakannya pun terlihat sangat kaku. Untuk gerakan-gerakan awal perempuan berjilbab itu masih bisa mengikuti, tetapi ketika gerakannya sudah mulai rumit, ia tampak bingung.

"Seperti ini ya, Pak?"

"Bukan, Bu. Tangannya harus lurus ke depan. Hmm, kalau saya bantu boleh Bu?" Ujar Pak Karjo sambil mendekati perempuan muda yang sebenarnya lebih cocok untuk menjadi anaknya tersebut.

Nabila pun mengangguk.

Setelah mendapat persetujuan, Pak Karjo pun memposisikan dirinya di belakang Nabila, dan mulai menyentuh tangan sang perempuan berjilbab agar berada di posisi yang lurus. Setelah itu, ia pun mengarahkan lengan Nabila sesuai dengan yang ia peragakan tadi.

Diperlakukan seperti itu, Nabila merasa sedikit tegang. Ia bisa menghirup bau keringat Pak Karjo yang menyengat. Tapi bukannya terganggu, ia justru merasakan ada gairah yang muncul dalam tubuhnya. Hal ini belum pernah ia rasakan sebelumnya dengan suaminya atau lelaki lain.

"Nah, kemudian Ibu gerakkan tangannya agar berada di posisi menangkis seperti ini," ujar Pak Karjo sambil menggerakkan tangan sang atasan yang berwajah manis tersebut. Tanpa sadar, pinggangnya sempat bersentuhan dengan tubuh Nabila yang masih berbalut pakaian lengkap. "Eh, maaf Bu."

"Iya, tidak apa-apa, Pak," jawab Nabila malu-malu.

Selanjutnya, Pak Karjo memang seperti menahan diri untuk tidak menyentuh tubuh Nabila, karena khawatir salah diartikan oleh sang atasan. Nabila pun kembali kecewa, karena ia justru merasa ada gejolak aneh di dalam dirinya saat tubuhnya begitu dekat dengan Pak Karjo, office boy kantor yang selama ini tidak pernah ia anggap siapa-siapa.

***​

Sementara Pak Karjo dan Nabila sedang berlatih bela diri di pinggir sungai, Gendis baru saja bangun dari tidurnya. Ia melihat ke sekeliling tenda, dan menemukan Nabila sudah tidak berada di sana. Namun ia tidak merasa khawatir.

"Ah, paling juga sedang jalan-jalan," gumamnya.

Perempuan tersebut pun keluar setelah memakai jilbab panjang dan jaket tebal. Perlahan ia berjalan mendekati tenda toilet portabel yang berada paling ujung. Di dalamnya, ia mengambil air untuk membasuh mukanya agar segar. Tak lama kemudian, perutnya berbunyi seperti meminta asupan makanan. Gendis pun langsung mendekati kompor dan melihat bahan makanan yang tersedia. Ia akhirnya memutuskan untuk memasak mie instan.

Gendis-1.jpg

"Wah, lagi masak mie ya Bu Gendis. Saya minta satu donk, boleh gak?" Terdengar suara seorang lelaki. Gendis menoleh, dan menemukan Pak Harso sedang berdiri tepat di belakangnya.

"Eh, iya Pak. Saya lagi masak mie instan. Bapak mau yang rasa apa?"

"Apa saja, asal Bu Gendis yang masak rasanya pasti enak, hee," perempuan tersebut pun tampak tersipu akan pujian dari sang atasan.

Beberapa menit kemudian, dua mangkuk mie instan pun telah tersaji. Gendis meletakkan satu mangkuk untuknya sendiri, dan satu mangkuk lagi untuk Pak Harso. Mereka pun duduk berhadapan di meja yang ukurannya tidak terlalu besar. Keduanya melihat sekeliling, dan belum ada rekan mereka yang sudah terbangun. Raymond dan Johan pun belum terlihat batang hidungnya.

"Anak kamu apa kabar, Gendis? Sehat, kan?" Ujar Pak Harso membuka obrolan.

"Sehat, Pak. Alhamdulillah."

"Kalau tidak salah, sekarang usianya sudah lima tahun kan?"

"Betul, Pak. Sebentar lagi dia ulang tahun yang keenam."

"Kalau ditinggal begini, siapa yang jaga?"

"Saya titipkan ke orang tua saya, Pak."

"Oh, sekalian ya kakek dan neneknya momong cucu, hee."

"Ya, kalau saya kerja juga mereka yang jagain sih, jadi sudah biasa," jawab Gendis sambil tersenyum.

"Berarti anak kamu sudah masuk TK ya?"

"Belum pak, masih PAUD. Rencananya tahun ajaran depan baru masuk TK."

"Oh, anak sekarang masuk sekolahnya lebih lambat ya. Beda sama jaman saya dulu, umur lima tahun saja sudah masuk SD."

"Beda lah, Pak. Sekarang kalau masuk SD terlalu muda juga gak boleh, kecuali SD Swasta yang bayarannya mahal, baru bebas-bebas saja."

Percakapan tersebut mulai mencairkan suasana di antara keduanya.

"Kamu gak ada rencana cari ayah baru untuk anak kamu?" Tanya Pak Harso tiba-tiba.

Gendis pun terdiam. Ia seperti tidak bisa menelan mie instan yang baru saja masuk ke mulutnya saat mendengar pertanyaan tersebut.

"Mohon maaf kalau saya mengajukan pertanyaan itu. Saya cuma khawatir dengan kondisi kamu dan anak kamu, mengingat ... suami kamu pergi dengan cara dan waktu yang tidak biasa," Pak Harso melanjutkan. Ia mulai merasa tidak enak telah mengeluarkan pertanyaan tersebut.

"Iya, Pak. Terima kasih atas perhatiannya. Saya ... Saya hanya belum bisa melupakan kebersamaan dengan suami saya. Pernah ada beberapa waktu saya ingin menjalin hubungan dengan pria lain, tapi ada perasaan bahwa saya telah mengkhianati suami saya," ujar Gendis. "Apabila saya pergi keluar dengan lelaki lain, saya merasa seperti seseorang yang baru saja selingkuh saat tiba di rumah. Seolah suami saya masih ada di sana, dan tidak pernah pergi."

Tanpa terasa, tetes demi tetes air mata mulai meluncur di pipi Gendis.

Pak Harso pun bingung melihat situasi di hadapannya. Ia sebenarnya tidak bermaksud membuat perempuan cantik di hadapannya menangis. Secara reflek, ia pun menyentuhkan tangannya ke pipi bawahannya tersebut, dan mengusap air matanya.

"Maaf kalau saya lancang bertanya seperti itu, dan membuat kamu mengingat kembali masa lalu kamu yang kelam tersebut. Namun, kamu harus bangkit Gendis. Kamu harus kembali menjadi Gendis yang dulu. Bukan demi saya atau yang lain, tapi demi anak kamu," ujar Pak Harso sambil terus mengelus pipi perempuan tersebut.

Dalam hati, Pak Harso mulai mengagumi wajah ibu muda berjilbab tersebut yang begitu cantik, dengan kulit putih yang sangat halus. Sejak lama, ia memang sudah memperhatikan bawahannya tersebut, tetapi ia tahu bahwa tidak ada hal lebih yang bisa ia lakukan karena Gendis telah mempunyai suami. Namun tanpa disadari, naluri kelelakiannya kini muncul, membuat selangkangannya perlahan menjadi penuh. Untung saja ada meja yang menghalangi mereka berdua, sehingga Gendis tidak sampai melihat hal tersebut.

"Terima kasih, Pak. Atas perhatiannya kepada saya," Gendis terdengar masih sedikit sesenggukan, tetapi ia tampak tidak menolak sentuhan Pak Harso di pipinya. "Ini bukan salah Bapak. Tapi akunya saja yang bodoh, masih terus terjebak masa lalu dan tidak bisa move on."

"Kamu bukan bodoh, Gendis. Kamu hanya perempuan dengan cinta yang besar di hati kamu. Dan menurutku, kamu layak bahagia."

Perempuan tersebut tampak memejamkan mata, dan seperti menikmati elusan tangan Pak Harso di pipi kirinya. Merasakan hal itu, dada Pak Harso jadi berdebar. Selama ini, hampir tidak pernah ia menyentuh perempuan lain, apalagi ibu muda seperti Gendis yang berparas manis dan merupakan bawahannya tersebut.

Mereka berdua seperti lupa akan dua mangkuk mie instan yang tergeletak begitu saja di meja. Entah apa yang ada di pikiran Gendis, yang seperti menikmati betul usapan tangan Pak Harso yang kasar di pipinya yang mulus. Mungkin kehilangan sosok lelaki dan tidak pernah disentuh sejak suaminya meninggal, membuat perempuan yang tampak alim tersebut seperti haus akan kepuasan. Ia seperti lupa bahwa yang tengah menyentuh pipinya adalah seorang pria tua yang telah beristri, dan merupakan atasannya di kantor. Kesejukan alam Amanika seperti membuat mereka berdua lupa daratan.

"Ngghhh ..." Gendis mengeluarkan desahan lembut, sambil tetap memejamkan mata.

Pak Harso pun mulai berani mengarahkan jemarinya ke bibir perempuan tersebut yang tampak ranum. Meski masih polos tanpa lipstik, tetapi bentuknya yang indah pasti membuat para lelaki tergoda akan bibir tersebut, tak terkecuali Pak Harso. Ia pun mengusap bibir tersebut, dan menarik bibir bawah Gendis ke bawah, hingga terbuka sedikit. Wajah perempuan tersebut seperti sudah dimabuk birahi, dan rela melakukan apa saja saat itu demi memuaskan hasratnya.

"Ahhhh ... segar sekali bangun pagi-pagi," tiba-tiba terdengar suara parau seorang lelaki dari arah tenda.

Pak Harso dan Gendis langsung tersadar, dan bergerak menjauh. Apalagi setelah itu Pak Doni tampak keluar dari tendanya, diikuti oleh Tomi di belakangnya.

"Wah, Pak Harso lagi makan mie instan berdua dengan Gendis. Kok gak ajak-ajak, Pak?" Ujar Pak Doni sambil mendekati meja tempat Pak Harso dan Gendis berada.

"Kamu sih bangunnya siang. Harusnya lebih pagi donk kayak aku, biar dapat mie instan, hee."

"Curang ih Pak Harso."

Pak Doni akhirnya mencari-cari mie instan untuk memasaknya sendiri. Tanpa ia ketahui, di belakangnya Pak Harso dan Gendis tengah saling menatap penuh arti, meski tanpa suara.

***​

Saat para rombongan outing asyik melakukan aktivitas mereka masing-masing di bukit Amanika, resort Hostina juga tidak berhenti memberi cerita. Di sebuah kamar, terdengar suara cekikikan sepasang lelaki dan perempuan yang seperti tengah dimabuk cinta.

Terlihat sang perempuan baru saja keluar dari kamar mandi sambil berbalut handuk, yang hanya menutupi sebagian tubuhnya yang indah. Ia tampak diikuti oleh seorang lelaki yang juga telanjang dada dan hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan handuk resort berwarna putih. Mereka seperti sedang main kejar-kejaran, hingga sang lelaki berhasil menangkap sang perempuan dari belakang, tepat di sisi ranjang. Selain suara mereka berdua, hanya ada suara penyiar berita di televisi yang sayup-sayup terdengar.

"Nghh, Pak Rama nakal deh ... Aku lagi mandi malah disusulin," ujar sang perempuan. "Kan nanti aku bisa jadi basah lagi."

"Habis kamu bikin ngaceng terus sih, apalagi yang ini neh," sang lelaki yang bernama Rama itu langsung menyelipkan tangannya ke balik handuk sang perempuan, dan mengelus-elus payudaranya. "Tubuh kamu benar-benar seksi, Karina."

Rama pun mencium bibir Karina dari belakang, sambil memejamkan mata. Sang perempuan menikmati kecupan mesra tersebut dan membalasnya dengan mengeluarkan lidahnya hingga menyentuh bibir sang lelaki. Perlahan ia bisa merasakan tangan Rama yang mulai menyentuh bibir kemaluannya, berusaha membangkitkan gairahnya kembali setelah semalaman bertempur di atas ranjang.

Karina-1.jpg

Namun tiba-tiba. "Pak, sebentar Pak."

"Kenapa Karina, enak banget ya elusan aku di memek kamu?"

"Pak, serius Pak. Berhenti sebentar," ujar Karina sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki tersebut.

"Ada apa sih, kok kamu tiba-tiba begini. Aku udah bayar kamu lho semalam."

"Bukan masalah itu, Pak. Tapi lihat itu berita di TV."

Mereka berdua hanya bisa menatap running text yang berjalan di televisi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kata-kata sang penyiar pun seperti mengonfirmasi bahwa apa yang mereka baca bukanlah sebuah kesalahan. Sayup-sayup terdengar kata Amanika, Indonesia, dan Tukatu.

"Ini serius ya?" Akhirnya Rama membuka suara.

"Sepertinya begitu. Aduh bagaimana ini?" Karina nampak panik. Ia tidak peduli handuknya telah jatuh ke lantai dan ia praktis tengah telanjang di hadapan Rama.

"Yaudah, kita harus tenang. Sekarang kamu telpon Raymond atau Johan, suruh mereka cepat kembali ke sini, jangan menunggu besok."

"Dari semalam aku coba menelepon mereka, tapi tidak bisa, Pak. Entah mengapa jaringan telepon mereka seperti tidak berfungsi. Jangan-jangan ada hubungannya dengan berita ini? Aduh gawat banget."

Rama baru menyadari bahwa sejak kemarin istrinya tidak sekali pun menelepon atau mengirim pesan. Ia tadinya berpikir bahwa istrinya tengah bersenang-senang di sana. Ia bahkan merasa sedikit senang, karena jadi ada waktu luang lebih banyak baginya untuk menggarap tubuh Karina, tanpa ada yang mengganggu. Namun dengan berita yang baru dia lihat, sebagai suami ia pun merasa khawatir.

"Adakah cara lain untuk menghubungi mereka? Atau mungkin mereka sudah tahu berita ini dan sekarang sedang menuju kemari?"

Karina pun menggeleng. "Kalau mereka sedang dalam perjalanan, seharusnya sih mereka sudah bisa mendapat sinyal telepon. Berita ini sepertinya sudah dipublikasikan sejak subuh tadi."

"Oke, begini saja. Kita lapor kantor polisi atau TNI terdekat, dan minta bantuan mereka. Pasti mereka mau bantu. Atau kalau perlu kita ketemu Pak Lurah, Camat, atau siapa pun yang bisa membantu."

Mendengar saran itu, raut wajah Karina jadi berubah.

"Mengapa? Bisa kan kalau begitu? Kita minta polisi atau TNI untuk menjemput mereka semua dengan mobil, helikopter, atau apa kek. Atau kita sendiri yang minta izin untuk menjemput mereka dengan mobil."

"Sepertinya itu juga tidak bisa, Pak."

"Lho, kenapa? Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?"

"Saya sebenarnya ada sedikit masalah dengan aparat setempat, karena mereka beberapa kali meminta "jatah preman" yang tidak sedikit untuk usaha tour saya. Karena itu, untuk camping ke Amanika ini saya sama sekali tidak berkomunikasi dengan mereka, demi menghemat budget. Saya pikir ini hanya camping biasa, dan akan selesai dalam beberapa hari. Saya tidak tahu bahwa akan ada kejadian seperti ini."

Rama pun menggaruk-garuk kepalanya. Ia seperti ingin mencari solusi yang paling tepat di situasi ini, tetapi belum bisa mendapatkannya. Ia tampak uring-uringan dan berjalan mondar mandir dengan hanya menggunakan handuk. Kata-kata Karina pun seperti membuatnya tambah kesal.

Tiba-tiba, di saat mereka sedang pusing memikirkan masalah tersebut, terdengar ketukan di pintu. Tokk ... tokk ...

"Mbak Karina, Mbak Karina di dalam kan? Saya mau bicara. Sepertinya ada masalah dengan bukit Amanika ya, apakah rombongan kita aman?"

Karina dan Rama pun saling bertatapan saat mengetahui suara siapa yang ada di luar.

(Bersambung)
 
Mulai sUdah petualangannya yah Hu. Hehehee.. Mungkin clue #2 dan #3-nya udah mulai kebaca. Sama kayak karya2 Suhu sebelumnya, kayaknya paketnya itu gak bakal beda jauh. Hehehehe.. Age gap tetap jadi sesuatu yg menggairahkan. Hhaahahahaaa.. Maapkeun prediksi abal2 nih Hu.
 
Mulai sUdah petualangannya yah Hu. Hehehee.. Mungkin clue #2 dan #3-nya udah mulai kebaca. Sama kayak karya2 Suhu sebelumnya, kayaknya paketnya itu gak bakal beda jauh. Hehehehe.. Age gap tetap jadi sesuatu yg menggairahkan. Hhaahahahaaa.. Maapkeun prediksi abal2 nih Hu.

Kalau yang udah sering baca cerita aku pasti paham arahnya ke mana, hee

Tapi sebagai penulis emang ada keinginan untuk membuat variasi, sehingga walaupun bentuknya mirip, tapi ujungnya mungkin tetap tidak bisa ditebak oleh pembaca
 
Yg susah ditebak itulah yg membuat pembaca makin semangat buat nunggu Hu. Prediksi dan tebakan sih haknya si Pembaca, tapi tetap "Tuhan" Yg menyutradarai karya ini tetap Suhu. Yg terpenting, mau apapun harapan atau prediksi itu gak merubah apapun yg jadi kerangka tulisanmu Hu. Karena itulah nyawa dari karyamu. Semagat sukses terus Hu.
 
Trims updatenya suhu @fathimah. Seru. Dan pandai sekali suhu meng-cut scene Gendis pada waktunya hahahaaa... Baca cerita suhu satu ini mah bikin nagih, g sabaran nunggi update. Pas udah update, g sabar lagi nunggu update berikuy. Teruussss gitu hahahaa. Terbaik suhu
 
Bimabet
Trims updatenya suhu @fathimah. Seru. Dan pandai sekali suhu meng-cut scene Gendis pada waktunya hahahaaa... Baca cerita suhu satu ini mah bikin nagih, g sabaran nunggi update. Pas udah update, g sabar lagi nunggu update berikuy. Teruussss gitu hahahaa. Terbaik suhu

Saya tahu itu, makanya seperti ada semacam "tanggung jawab" untuk menyelesaikan sampai akhir agar tidak nanggung, hee. Semoga pembaca setia menunggu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd