Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Terjebak di Amanika

Siapa tokoh perempuan favorit kalian di cerita ini?

  • Karina

  • Nabila

  • Gendis

  • Widi

  • Rini


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Terakhir diubah:
ketemu di forum yang berbeda ya suhu.... eh atau dipangil ..... wkwkwk......... semangat ya nulisnya.....
 
Part 2: Pikiran

Saat Nabila dan Rama sedang asyik beradu birahi, mereka tidak sadar bahwa aktivitas tersebut bisa dirasakan oleh orang lain, meski tidak berada di kamar yang sama.

"Dengerin tuh, baru juga check in udah ah uh ah uh aja ..." ujar Gendis, perempuan berusia sekitar 35 tahun yang berada tepat di sebelah kamar pasangan suami istri tersebut. Tanpa perlu melihat pelakunya secara langsung, dia sudah langsung tahu suara siapa itu. Tak lain tak bukan adalah Ibu Manajer Pemasaran Nabila Tsuraya.

Gendis-1.jpg

Mendengar ocehan Gendis, Widi yang berada di kamar yang sama pun tertawa. "Tahu tuh, ternyata Bu Nabila kalau ML suaranya berisik banget."

Widi sendiri masih sibuk bermain handphone sambil merebahkan diri di atas ranjangnya. Kopernya bahkan sama sekali belum dibuka. Posisi Gendis memang yang paling dekat dengan dinding yang berbatasan dengan kamar Nabila, sehingga ia bisa mendengar suara pergumulan pasangan suami istri tersebut dengan jelas. Di sebelah ranjangnya ada tempat tidur Widi, dan Rini berada di ujung kamar yang lain.

Widi-1.jpg

"Memangnya kalau lagi ML tuh biasanya gak teriak sekencang itu ya, kok Kak Widi tahu?" Tiba-tiba Rini mengajukan pertanyaan yang begitu sensitif.

Gendis dan Widi sontak bertatapan, kemudian sama-sama menoleh ke arah Rini. Sebagai perempuan yang lebih berpengalaman, Gendis paham betul apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Rini-1.jpg

"Kamu jaga baik-baik adikmu itu Widi, masih polos sekali dia," ujar Gendis.

"Iya, Mbak," jawab Widi.

"Lho, memang Kak Widi sudah gak polos atau bagaimana?" Rini malah tambah penasaran.

"Sudah kamu jangan banyak tanya," tukas Widi.

"Ih, Kak Widi mah begitu."

Beruntung, tak lama kemudian hampir tidak terdengar lagi suara dari kamar Nabila dan suaminya. Dalam hati Gendis berpikir, kok cepat sekali sudah selesai. Namun, dia tidak mau terlalu pusing dengan urusan orang lain, dan memilih untuk fokus pada masalahnya sendiri.

"Oh iya, katanya Bu Gendis sudah punya anak ya? Kok gak dibawa?" Tanya Rini tiba-tiba.

Widi langsung melotot ke arah adiknya, sambil mengisyaratkan dia agar menutup mulut dengan menaruh telunjuk di depan bibir. Ia mulai sedikit menyesal mengajak Rini ikut outing kantor ke Resort ini, mengingat betapa cerewet adiknya sejak berangkat dari ibu kota tadi. Di bandara, Rini terus saja mengikuti Nabila dan suaminya, sambil menanyakan hal-hal tidak penting mulai dari bagaimana rasanya menjadi seorang Manajer Pemasaran, hingga pengalaman menikah di usia muda.

"Sudahlah, Widi. Jangan dihalang-halangi adikmu itu. Justru bagus kalau dia punya rasa ingin tahu yang tinggi," ujar Gendis sambil berdiri dan menghampiri dua perempuan muda tersebut. Ia kemudian duduk di antara mereka berdua. Meski biasa mengenakan jilbab, kali ini Ibu muda tersebut sudah melepaskannya karena hanya bersama perempuan lain di dalam kamar. Rambutnya yang cukup panjang sepunggung itu pun tergerai bebas.

"Iya, Ibu sudah punya anak, usia lima tahun. Sepertinya dia tidak cocok dengan aktivitas jalan-jalan kali ini, yang nanti ada acara camping segala, kan. Makanya Ibu tinggalkan bersama orang tua Ibu. Mereka juga senang bisa seminggu bermain sama cucunya."

"Kalau suami Ibu?" Lagi-lagi pertanyaan Rini langsung mendapat pelototan mata dari Widi.

"Suami Ibu sudah meninggal karena virus ganas yang menyerang sekitar satu tahun lalu. Jadi, kini Ibu harus merawat anak Ibu sendiri."

Rini akhirnya mengetahui mengapa kakaknya terus-terusan melarangnya untuk bertanya lebih lanjut. Cerita hidup Bu Gendis ternyata begitu suram, dan tidak enak juga kalau dijadikan bahan obrolan. Untungnya, Bu Gendis seperti tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat membicarakan kehidupannya. Mungkin ia sudah menerima takdir pahit yang harus ia rasakan, ditinggal suami tercinta saat baru mempunyai anak usia balita.

"Jadi aktivitas kita di sini akan ngapain aja, Bu?" Tanya Widi mengalihkan pembicaraan.

"Menurut informasi sih malam ini kita akan makan malam bersama. Karena ini di daerah pantai, ya kemungkinan banyak makanannya berupa hidangan laut."

"Asyik, aku suka banget seafood, Bu," ujar Rini.

"Besok baru ada acara camping ke sebuah bukit yang katanya indah banget di sekitar sini, namanya Amanika. Setelah itu acara bebas, kita bisa main di pantai atau keliling lokasi-lokasi menarik di sekitar sini, tinggal bilang saja sama Mbak Karina yang tadi berbicara pas kita datang," lanjut Gendis. Ia memang cukup mengetahui detail acara outing ini karena dia yang berkomunikasi langsung dengan Karina sejak beberapa bulan lalu.

"Bu, aku ada pertanyaan lagi," Rini kembali menyahut.

"Kamu ini ya, gak cukup apa bikin ribet Bu Gendis tadi. Mulut kamu itu sepertinya perlu digembok deh sekali-sekali," sang kakak mulai protes sambil berusaha menjambak-jambak rambut adiknya yang tergerai indah.

"Sudah Widi, sudah ... Biarkan saja adikmu berekspresi. Kamu sebentar lagi lulus kuliah kan?"

"Iya, Bu. Tinggal sidang skripsi."

"Nah, bagus. Biar lebih sukses dari kakakmu yang cuma tamatan SMA. Makanya cepetan kamu kuliah Widi, udah kesalip neh sama adikmu."

"Kok jadi aku sih yang diserang," ujar Widi sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri.

"Jadi kamu mau tanya apa, Rini?"

"Dari yang Rini dengar, bukannya negara kita ada konflik bersenjata dengan negara Tukatu yah, Bu? Apa tidak masalah kita berwisata ke sini, yang lokasinya berbatasan persis dengan Tukatu?"

"Ibu juga kurang paham sih. Tapi yang Ibu dengar, negara Tukatu memang mempersenjatai warga lokal di negara kita yang kemudian menjadi separatis, meminta kemerdekaan atau bergabung dnegan Tukatu. Namun dari obrolan dengan Mbak Karina, hal-hal seperti itu hanya terjadi di pulau lain, sedangkan di pulau ini garis-garis batas negara kita dan Tukatu sepertinya sudah jelas, jadi tidak akan ada masalah."

"Owh, begitu."

"Konflik wilayah seperti itu biasanya terjadi apabila ada sumber daya alam di lokasi tertentu, seperti tambang emas, perak, minyak bumi, nikel, atau semacamnya. Nah di sekitar resort ini tanahnya justru gersang, tidak ada tambang apa-apa. Penduduknya juga tidak terlalu banyak, makanya cuma cocok jadi lokasi wisata. Setahu Ibu sih begitu," lanjut Bu Gendis.

***​

Sementara para perempuan sibuk berbicara tentang hal-hal penting, seperti konflik antar negara dan keselamatan mereka di perjalanan kali ini, para pria di kamar sebelahnya malah asyik bercanda tentang hal-hal yang tidak penting dan berbau mesum.

"Jadi, apa pendapat kamu tentang Karina tadi, Tom?" Tanya Pak Doni yang baru saja selesai membersihkan diri. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia bahkan masih menggunakan handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Ya ampun, Pak. Baru aja selesai mandi, udah langsung ngomongin Mbak Karina. Jangan-jangan Bapak di dalam coli sambil bayangin Mbak Karina ya? Hayo ngaku," jawab Tomi sambil berbalik meledek rekan kerjanya tersebut.

Di kantor, posisi Tomi dan Pak Doni bisa dibilang setara. Namun karena masa kerjanya yang lebih lama, Tomi selalu menganggap Pak Doni sebagai senior dan terus meminta pendapat beliau tentang masalah pekerjaan. Di sisi lain, Pak Doni mengakui bahwa Tomi mempunyai keunggulan dari sisi pengetahuannya yang luas dan etos kerjanya yang tinggi, sehingga ia pun terbuka akan berbagai masukan yang disampaikan juniornya tersebut. Dinamika itu membuat komunikasi keduanya begitu cair, sehingga pertemanan mereka semakin erat.

"Yaelah, kaya gak tahu selera lelaki aja lo, Tom. Emangnya lo gak ngaceng lihat bodinya Karina? Apalagi dadanya itu lho, ya ampun menonjol banget. Pengin ngeremes aja bawaannya."

"Ya gak begitu juga kali, Pak. Yang beradab gitu lho kalau mau deketin cewek."

"Ah, udah bosen gue pakai cara beradab, Tom. Sebelumnya gue selalu lurus-lurus aja jadi cowok, eh istri gue malah selingkuh sama temen sekolahnya dulu. Ya mending sekarang gue main hajar-hajar aja lah."

"Nanti kebablasan lho jadinya malah offside, hee."

"Bodo amat," ujar Pak Doni sambil melepas handuk yang menutupi tubuh telanjangnya, untuk kemudian mengenakan kaos dan celana pendek, tanpa peduli Tomi masih berada di ruangan yang sama. Sesama cowok ini, begitu mungkin pikirnya.

"Memangnya Pak Doni berani deketin Mbak Karina selama di sini?" Ujar Tomi meledek rekan kerjanya tersebut.

"Nantangin neh ceritanya kamu?"

"Bukan begitu, memangnya gak takut Mbak Gendis marah nanti? Hahaa."

"Waduh, kalian tuh ya kalau di belakang gue gosipnya bukan main. Emang ada apa gue sama tuh janda?"

"Ya siapa tahu aja Mbak Gendis kan janda, Pak Doni duda, bisa cocok nantinya, hee."

"Ngaco tuh gosip. Kalau semua janda harus gandengan sama duda, kenapa gak sama duda tua yang di ujung itu aja?" Ujar Pak Doni sambil menunjuk ke arah Pak Karjo, office boy kantor, yang sudah kembali tidur di ranjangnya. Mungkin ini adalah kali pertama lelaki tua berusia 60an tahun itu merasakan tempat tidur empuk seperti itu, setelah selama ini tinggal di kontrakan sepetak dengan hanya kasur tipis tergeletak di lantai.

Dalam hati, Pak Doni sebenarnya mengakui bahwa rekan kerjanya yang bernama Gendis memang cukup cantik. Apalagi, ibu muda tersebut juga mempunyai bentuk tubuh yang aduhai, meski sudah pernah melahirkan. Namun, pria tersebut seperti masih merasa gengsi apabila harus menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. "Seperti tidak ada perempuan lain saja di luar sana," begitu pikirnya.

"Lo sendiri bagaimana sama pacar yang kemarin lo bawa ke kantor?" Tanya Pak Doni.

"Yang mana, Pak?" Ujar Tomi menanggapi.

"Itu, yang kata lo kerjanya di Mega Kuningan. Yang kulitnya putih, rada pendek sedikit dari lo."

"Oh, udah putus kalau sama yang itu," Tomi hanya menjawab santai.

"Ya elah, Tom. Pacaran kok kayak tukang ojek, tiap jam boncengannya ganti."

"Namanya juga nggak ada kecocokan, Pak."

"Kebanyakan milih lo, mentang-mentang muka ganteng, kaya sekuteng, belum mateng."

"Hahaa ..."

Tomi memang mempunyai wajah yang paling tampan di antara karyawan lain di kantornya. Meski begitu, ia sangat sering berganti pasangan dengan sebab yang tidak jelas. Hal ini mungkin berkaitan dengan masa lalunya yang sudah ditinggal sang ayah sejak masih kecil, sehingga membuat dia punya sedikit masalah dalam hal komitmen dengan lawan jenis. Dan sejauh ini, belum ada yang mampu menaklukkannya.

Sempat muncul gosip di kantor bahwa Tomi sedang dekat dengan Widi, pegawai front office di kantor tersebut. Namun keduanya menampik gosip tersebut, dan hanya menganggapnya angin lalu. Widi sendiri sudah mempunyai pacar yang sering putus nyambung seperti jaringan telepon seluler di tanah air.

"Jadi, aktivitas apa yang lo tunggu di outing kali ini, Tom?"

"Hmm, jujur gue penasaran sama camping di Amanika sih, Pak. Temen-temen gue belum pernah ada yang ke sana soalnya, paling mentok ya Labuan Bajo sama Raja Ampat. Kan mantap tuh, kalau gue jadi yang pertama ke sana. Katanya kalau dapat spot yang cocok, kita bisa lihat sunrise gitu ya pas pagi?"

"Katanya sih begitu. Dan karena belum banyak terjamah, harusnya masih lumayan asli gitu ya bentuknya. Kebetulan deh ada anak muda kayak lo, nanti urusan pasang tenda dan bawa-bawa barang gue serahin ke lo aja yah, hahaa."

"Sialan lo, Pak. Bapak sendiri paling nunggu acara apa?"

"Hmm, apa ya? Gathering nanti malam, oke lah. Camping di Amanika, boleh juga walau biasa aja paling kayak lagi ke Ciwidey. Hmm, mungkin gue nunggu acara bebas setelah itu kali ya, biar bisa deket sama Karina, hahaa."

"Ya elah, balik lagi ke Mbak Karina. Gue bilangin sama Raymond dan Johan lho, mereka badannya gede-gede lho, Pak. Kalau mereka tonjokin Bapak, bisa remuk itu badan."

"Kalau nanti Karina-nya mau bagaimana? Oke donk," ujar Pak Doni percaya diri sambil mengedipkan mata ke arah Tomi.

"Terserah Bapak aja deh."

***​

"Gak istirahat aja tho, Bu?" Ujar seorang pria tua berusia 50 tahun yang sedang merebahkan diri di atas ranjang berukuran cukup besar di kamar tersebut.

Di usianya yang sudah tidak muda lagi, perjalanan dengan pesawat dan mobil van selama berjam-jam tadi benar-benar menguras energinya. Ia tidak pernah membayangkan akan selelah ini saat memutuskan untuk melakukan outing ke resort ini. Tahu gitu pergi ke tempat yang dekat-dekat saja, pikirnya.

"Sebentar, Pak. Ibu mau ambil foto-foto selfie dulu mumpung lagi di sini, biar bisa pamer di WhatsApp Stories sama ibu-ibu arisan," ujar sang istri yang dari tadi terus asyik mengambil gambar dengan berlatar belakang laut.

"Ya, terserah Ibu saja deh. Yang penting nanti malam jangan sampai kecapekan yah, malah tidur aja nanti gak bisa ikut gathering dan makan malam."

"Tenang, Pak. Bisa diatur. Bapak kalau mau tidur duluan aja."

Pak Harso sebenarnya juga sudah tidak terlalu mengantuk, karena sempat tertidur saat perjalanan tadi. Karena itu, ia hanya membuka-buka handphone miliknya, dan melihat kumpulan foto yang dibagikan oleh para anak buahnya. Mereka memang sepakat untuk membuat sebuah WhatsApp Group khusus untuk berbagi foto apa pun yang mereka ambil selama perjalanan ini.

Widi dan Pak Doni adalah dua orang yang paling aktif membagikan foto dari kamera handphone mereka. Karena itu, banyak sekali foto-foto rombongan tersebut mulai dari berangkat dari bandara, saat sampai di kawasan timur Indonesia tersebut, hingga saat mereka sedang menumpang mobil van untuk sampai di resort. Foto tersebut pun beraneka ragam jenisnya, mulai dari foto mereka yang berpose bersama, hingga foto candid Pak Karjo yang sedang tidur sambil ngowoh di jok belakang mobil. Pak Harso pun tertawa melihat kelakuan anak buahnya yang ajaib tersebut.

Namun, seiring dia melihat foto-foto yang dibagikan, ada sosok anak buah yang begitu ia perhatikan. Perempuan cantik tersebut mengenakan kemeja panjang berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Bila diperhatikan lebih lanjut, kemeja tersebut cukup menerawang, sehingga bisa menampilkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terlebih lagi, perempuan tersebut sepertinya mengenakan pakaian dalam berwarna hitam, yang sangat kontras dengan kain penutup tubuhnya.

Pak Harso tampak mengamati betul bentuk tubuh perempuan tersebut dari atas sampai bawah, yang jauh berbeda dengan istrinya yang sudah mempunyai gelambir lemak di sana sini. Perempuan muda itu memang punya tubuh yang sedikit berisi, tetapi tetap terkesan seksi. Apalagi dengan pakaian yang cukup ketat membentuk bagian payudara dan bokongnya. Tak terasa, pria tua yang sedang duduk di atas ranjang tersebut pun sampai harus menelan luda. Ia bisa merasakan ada yang mulai membesar di bagian bawah tubuhnya.

"Nghhh ... Mikir apa sih aku ini. Ada-ada saja. Hal itu kan tidak boleh terjadi," gumam Pak Harso sambil menyusul istrinya yang sedang menuju balkon untuk mengambil foto luar ruangan.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Apapun genrenya, pasti ada perselingkuhannya. Ciri khas ukhti imah nih, suka bgt aku
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd