Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
"Mba tolong ya Karina nanti dibikinin bubur buat sarapan pagi. Aku ada rapat dengan para petinggi kantor pagi ini."

"Iya Bu siap."

"Oh ya jangan lupa buburnya dikasih ayam yang banyak. Karina udah mulai suka sama ayam."

"Baik Bu." Noni, pembantuku mengangguk patuh sembari perlahan berlalu dari hadapanku menuju dapur.

Tanganku dengan cekatan memasang kaus kaki krem dan sepatu hak berwarna hitam di kedua kakiku. Aku harus segera bergegas ke kantor, rapat para tetinggi akan diselenggarakan Dua jam lagi, tapi aku harus lebih dulu mempersiapkan bahan-bahan untuk meeting kali ini di kantor.

Masalahnya aku tak diberitahu materi apa yang diperkarakan dalam rapat kali ini. Bosku hanya mengirimkan sebuah pesan singkat malam sebelumnya kalau pagi ini akan ada rapat penting. Tidak hanya itu, para pemimpin perusahaan dari kantor pusat akan datang untuk membahas sesuatu disana.

Hal seperti ini tidak datang setiap waktu. Celakanya bagiku, mereka tidak mengizinkanku mempersiapkan diri terlebih dahulu. Kalau aku tak becus mempresentasikan materi pembahasan sewaktu rapat nanti, mungkin itu akan menjadi akhir dari karirku mengingat Pak Budi selaku managerku mempercayakan hasil kerja kantor padaku.

Ditambah besar presentase penjualan mobil di kotaku sedang mengalami penurunan, hari ini akan menjadi hari yang sulit. Aku harus mempersiapkan mentalku untuk segala kemungkinan yang ada, bisa saja aku menjadi bahan hujatan para petinggi perusahaan karena tidak becus bekerja. Menjadi pelampiasan kemarahan mereka karena kantorku tidak bisa bersaing dengan baik di pasar. Itulah skenario terburuk yang terlintas di pikiranku.

Hufft, padahal ini akhir pekan, harusnya aku bisa menikmati waktuku bersama keluarga. Nasib baik tidak sedang berpihak padaku hari ini.

Setelah beres memakaikan sepatu di kedua kakiku, tiba-tiba handle pintu kamar terbuka,

"Bunda, kamu mau kemana?" Suamiku menyahut dari ambang pintu. Terkejut aku sudah berbenah diri di pagi buta seperti ini. Ia mengucek-ucek matanya. Tampak ia masih setengah mengantuk.

"Aku ada rapat di kantor pagi ini. Kamu istirahat aja ya di kamar. Jam 1 siang aku udah pulang kok, janji.." Jelasku terburu-buru, aku bergerak menghampirinya.

"Ini kan hari minggu, kok kamu masih ngantor aja sih, Bun.."

"Para petinggi perusahaan mungkin ingin ngecek kantor disini."

"Mungkin?" Ia mengulangi perkataanku. Celah kata yang dapat ia gali kesalahannya.

"Rapatnya mendadak sayang. Aku juga gak tahu apa yang bakal dibahas pagi ini." Aku mengusap lembut pipi suamiku. Berusaha melunakkan perasaannya.

"Kenapa kamu harus ikut rapat para tetinggi?"

"Bosku soalnya datang. Ayo dong jangan cemberut terus. Yaudah deh nanti sore kita lanjut olahraga mingguannya yah?" Bujukku merayunya.

"Hmm. Nanti siang aku jemput ke kantormu."

"Iya, Mas.."

Aku mencium bibir suamiku mesra. Ciuman singkat perlambang rasa sayangku padanya. Mas Hari membalas dengan melingkarkan tangannya dipinggangku.

Begitu-begitu Mas Hari mempunyai karakter sebagai seorang pencemburu. Kalau ia tidak demikian, ia tak mungkin menanyakan kabarku dari pagi hingga malam. Ia menyesalkan keputusanku untuk tetap bekerja. Alhasil, ia memutuskan untuk memantau setiap aktivitasku selama berada diluar rumah.

Aku sama sekali tidak keberatan dengan sikapnya itu. Justru sikap posesif semacam itu menurutku bagus. Itu menandakan ia masih sangat mencintaiku.

"Mau Mas antar ke kantornya, Bun?" Tawarnya penuh kehangatan. Ia masih urung melepaskan lingkaran tangannya di pinggangku.

"Gak usah. Tar Pak Dodi supir kita gak ada kerjaan dong? Mas istirahat aja di rumah temenin Karina, bentar lagi dia bangun."

Mas Hari mengangguk menyetujui. Tangannya berangsur melepas rengkuhannya. Ia mundur beberapa langkah. Memberikanku akses untuk merapihkan penampilanku kembali setelah ciuman tadi. Kubenarkan posisi jilbab kain katun berwarna abu yang kukenakan. Jilbab yang sangat pas ketika dipadukan dengan kemeja putihku.

"Pak Dodi, Pak! Ayo berangkat sekarang. Ibu udah siap." Pekikku memanggil sosok yang dimaksud. Kuraih tas papilonku yang berisi peralatan kerja dan makeup.

Tak lama kemudian Pak Dodi yang mengenakan seragam serba hitamnya muncul, rupanya ia sudah berada diluar mempersiapkan kepergianku,

"Oh iya Bu, mobilnya udah selesai saya panaskan. Mari Bu, kita berangkat." Pak Dodi, pria paruh baya berkepala empat itu mengintip dari pintu luar. Terlihat ia sedang mengenggam kain lap lusuh yang sepertinya ia gunakan untuk membersihkan mobil sebelum kami berangkat.

"Jaga Karina ya Mas.. I love you." Aku melempar senyumku pada Mas Hari, ia tengah duduk di kursi sofa sambil memperhatikanku. Terakhir aku mencium tangannya kemudian berpamitan pergi. Ia menyambut tanganku sementara mulutnya diam tak bergeming.

Kuhampiri Pak Dodi yang lebih dulu berangsur masuk ke dalam mobil.

"Ayo Pak cepetan, aku udah telat nih." Titahku setelah melirik ke arloji yang melingkar di lengan kananku.


'


'


'

Aku duduk dengan gelisah diatas kursi putar yang terdapat di ruang rapat. Pikiranku bercabang-cabang. Pak Budi tak kunjung dapat menjelaskan maksud diselanggarakannya rapat ini, aku tak dibekali sepeserpun pengetahuan untuk menghadapinya.

Satu demi satu kusaksikan pemimpin perusahaan mulai datang memasuki ruangan, mereka semua berpenampilan rapi dengan jas hitam melilit di tubuh mereka. Kebanyakan pria berumur, tapi dari raut muka mereka terpancar ketegasan dan kuatnya determinasi mereka.

Jari-jariku bertautan dengan cemas. Padahal seluruh peserta rapat belum sepenuhnya hadir, tapi atmosfer yang tercipta di ruangan ini sudah sangat mencekat.

Ruangan kedap suara ini sebenarnya hanya dibatasi dinding kaca tebal yang memisahkannya dengan ruangan lain. Dengan kata lain, aku bisa melihat siluet rekan-rekan kerjaku di meja kerjanya dari balik kaca tersebut. Mereka bebas menonton jalannya rapat dari tempatnya. Karenanya, perasaaan gugup menggerayangi hatiku.

Tiba suatu waktu, seorang pria tua keturunan Batak datang. Seluruh penghuni ruangan sontak berdiri dan membungkuk hormat pada dirinya. Pandangan pria itu berpedar seakan mengabsen seluruh penghuni ruangan. Sorot mata tajamnya membuat bulu kudukku meremang. Perlahan aku mengangkat wajahku memandang sumber keresahanku.

Kenapa Direktur Utama sampai repot-repot datang ke rapat para manager ini? Aku terus mengumpat dalam hati melihat sosoknya berangsur menempati kursi tertinggi di ruang rapat.

“Dimulai saja.” Ujar Sang Direktur memecah keheningan sebelumnya.

Pak Budi mengisyaratkan supaya aku membagikan berkas berisi grafik dan presentase penjualan unit mobil di kantorku dari tahun ke tahun. Masing-masing orang yang duduk di ruang rapat kedapatan bagiannya sendiri.

Baru saja aku menarik napasku untuk memulai salam pembukaan, tiba-tiba Pak Chandra, Direktur Utama perusahaanku membanting berkas yang kubagikan dengan gusar.

“Apa ini?”

Aku meneguk ludahku susah payah, “M-Maaf Pak, ini hasil penjualan kita tahun ini.”

“Saya tidak kesini untuk membaca hasil penjualan kantor disini.”Pak Chandra tertawa sarkas, ia geleng-geleng kepala melihat berkas yang kusodorkan.

“Maaf Pak..” Kataku penuh sesal. Aku merutuki diriku, ini hasil dari ketidaktahuanku tentang isi rapat ini.

“Ya sudah, sekarang kamu duduk ke kursimu kembali.”

Aku menuruti perintahnya, wajahku tertekuk malu sekali saat berhasil mendaratkan bokongku keatas kursiku kembali.

Setelah dirasa suasana kembali kondusif,

“Pak Norman.” Pak Chandra mempersilahkan Manager Keuangan berbicara, sosok yang dimaksud kemudian mengangguk sambil membuka berkas yang ia bawa,

“Dari laporan keuangan yang saya buat, perusahaan telah rugi sebanyak Dua milyar rupiah, hilangnya uang tersebut terindikasi berkaitan erat dengan hilangnya aset perusahaan. Terutama di cabang kota tertentu.”

“Singkatnya ada oknum-oknum yang menggelapkan uang perusahaan kita di kantor ini.” Timpal Pak Chandra meluruskan, ia ingin langsung ke inti pembicaraan.

Aku mengerutkan keningku heran, siapa yang berani menggelapkan uang perusahaan sebesar itu di kantorku? Pak Budi kah? Tindak-tanduk managerku akhir-akhir ini kuakui sedikit mencurigakan.

“Rincian lebih lanjutnya silahkan Bapak dan Ibu baca berkas ini.” Secara bergiliran, Berkas itu dibaca oleh para Manager, termasuk Pak Budi. Beberapa memancarkan raut terkejutnya dengan tulisan yang tertera di berkas tersebut.

“Kami telah melakukan investigasi siapa pelaku dari oknum penggelapan uang tersebut.” Sambung Pak Norman. Syukurlah jika pelakunya sudah ditemukan.

“Bu Elvia, silahkan dibaca.”

Saat berkas itu tiba di tanganku, semua pasang mata kini tertuju padaku. Jantungku berdebar tak karuan mendapat perlakuan semacam itu. Firasatku mulai tidak enak. Aku sedikit gemetar ketika tanganku perlahan membuka berkas tersebut.

Selembar kertas berisi laporan keuangan menjadi bacaan pertamaku, tidak ada yang aneh disana terlepas dari data hilangnya uang di salah satu tabel. Tapi sesaat setelah aku membuka lembar selanjutnya, pupil mataku melebar sempurna. Jantungku seakan berhenti berdetak detik itu juga.

Lintasan keterkejutan itu membuatku mematung ditempat, bola mataku bolak balik meneliti kembali detail berkas tersebut. Tidak, ini salah, tidak mungkin…

Menanggapi keterkejutanku, Pak Chandra kembali menyuarakan mulutnya,

“Sudah tidak ada gunanya menyangkal dan berakting seolah-olah Ibu tidak melakukannya, kami telah mengumpulkan saksi-saksi termasuk meminta keterangan dari Pak Budi sendiri terkait tindakan penggelapan uang yang ibu lakukan.”

Aku melempar pandangan penuh tanyaku pada Pak Budi. Meminta penjelasan atas tuduhan yang baru saja dilayangkan Pak Chandra. Pak Budi malah membuang mukanya, ia menghindari kontak mata denganku. Luapan amarah perlahan berkecamuk di dadaku. Justru Pak Budi yang lebih pantas dicurigakan.

“Pak.. Demi Tuhan saya gak pernah seberani ini melakukan perbuatan iblis macam itu. Saya gak pernah sepeserpun mengambil uang yang bukan menjadi hak saya.” Aku berusaha menyakinkan mereka. Air mataku mulai merembes keluar, menetes membasahi lembar kertas yang kugenggam.

“Kita sudah melakukan prosedur yang benar untuk melacak pelaku penggelapan uang tersebut, Bu.. Hanya kita masih beri Ibu kesempatan untuk membayarnya serta tidak melibatkan polisi untuk memecahkan masalah ini. Ibu punya waktu satu minggu untuk melunasinya.”

“TIDAK! Saya berani bersumpah apapun kalau saya tidak melakukan penggelapan uang.” Pekikku membela diri.

“Bukan sumpah yang saya butuhkan, saya butuh uang saya kembali, saya tidak peduli jika perusahaan saya merugi karena kurangnya minat daya beli konsumen. Tapi saya tidak mau ada benalu di dalam tubuh perusahaan saya!” Bentak Pak Chandra geram.

Hatiku semakin terkoyak-koyak mendengar tuduhan itu. Derai tangis tak kuasa lagi untuk kubendung. Demi Tuhan, aku tak pernah mengubah data keuangan perusahaan. Tak pernah terbesit niatpun untuk melakukan hal tersebut. Bagai tersambar petir, kini aku hanya dapat menundukkan kepalaku seraya menangis menerima seluruh tuduhan pimpinan perusahaanku sendiri.

“Dengar, Ibu hanya punya dua pilihan, membayar sejumlah uang yang pernah ibu ambil dari kami, atau kami pidanakan kasus ini ke pihak kepolisian. Semua terserah pada Ibu, saya dengar suami Ibu cukup mapan untuk membayar semuanya.”

Aku tersentak kaget mendengar penuturannya, darimana ia tahu soal suamiku? Suamiku tidak boleh terseret ke dalam masalah ini, aku sudah mengabaikan nasehatnya dulu. Tidak tahu bakal semurka apa ia jika ia sampai tahu aku terlibat dalam perkara ini. Dua milyar rupiah berarti kami harus menjual seluruh aset dan harta keluarga yang susah payah kami kumpulkan. Itu pun masih terdapat banyak kekurangan.

Seseorang pasti sedang menjebakku. Seseorang di lingkungan kantorku pasti ada yang memutar balikkan fakta hingga aku dituduh seperti ini,

“Pak… saya mohon Pak.., jangan libatkan suami saya ke dalam masalah ini. Saya tidak mau membebani suami saya, saya benar-benar tak tahu menahu soal penggelapan uang itu.” Aku mengiba.

“Pembicaraan kita sudah selesai sampai disini. Ayo Pak Budi, Pak Norman, kita lanjutkan diskusi kita di Villa saya.”

“Pak saya mohon Pak..” Rintihku menangis.

“Kalau kamu mau pembicaraan kita dilanjut, ikut kami ke Villa.”









Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Oh Tuhan, kenapa kau memberikan cobaan yang begitu besar padaku? Darimana aku mendapat uang sebesar itu untuk menebusnya? Bagaimana bisa aku dituduh menjadi dalang penggelapan uang perusahaan?

Terduduk lunglai laksana tanpa tulang, aku tak dapat berpikir dengan jernih. Kulitku pucat pasi dan pikiranku mencoba menerka-nerka. Aku tak pernah merasa mengambil uang tersebut, lantas siapa sebenarnya pelakunya?

Aku tak mau suamiku sampai mencium masalah ini bagaimana pun caranya. Aku tak perlu menerima murka suamiku untuk kesalahan yang tidak kuperbuat. Pasti ada jalan keluar lain memecah permasalahan ini.

Disaat-saat kebuntuanku itu, aku mendengar derap langkah Pak Budi datang menghampiriku. Suara sepatu pantofelnya yang beradu dengan ubin lantai marmer menyebabkan suara langkahnya menggema ke setiap sudut ruangan. Ia tengah menyesap rokoknya, yang kemudian ia buang ke luar teras saat tubuhnya hanya terpaut beberapa langkah dariku.

“Pusing?”

Aku mengangguk lemah, “Siapa sih yang tega ngejebak saya sampai kayak gini.. Kenapa Bapak kasih informasi palsu ke Pak Chandra? Bapak tahu kan kalau saya tidak mungkin melakukan hal tersebut?”

Pak Budi menghela napasnya, “Sulit mba, kemarin anak-anak di introgasi satu persatu, dan bilang cuma ada satu orang yang memenuhi kriteria pelaku tersebut..”

“Jadi Bapak juga gak percaya sama saya?” Tanyaku tidak percaya.

Pak Budi mengendikkan bahunya. Ia membuang mukanya menolak bertukar pandang denganku. Aku terkesiap kaget melihat gelagat Pak Budi, bisa-bisanya ia jadi seperti ini, padahal ia bilang aku adalah sosok yang paling ia percayai menangani tugas-tugas kantornya.

Dasar penghianat! Umpatku dalam hati. Bertahun-tahun aku mengabdi pada perusahaan, hanya untuk mendapatkan penghianatan dan fitnah? Aku mengutuk diriku sendiri karena tak mengindahkan anjuran suamiku keluar dari kerjaanku, lingkungan kerja memang keras, sikut menyikut sudah menjadi budaya disini, tapi aku tak pernah menduga semua akan berujung jadi seperti ini.

“Pak tolong bilangin ke Pak Chandra, saya akan cari pelaku yang benar-benar mengambil uang perusahaan. Saya bersumpah Demi Tuhan Pak bukan saya yang melakukannya.” Tukasku mengulangi perkataan beberapa waktu lalu. Memohon, mengiba, dan mengharapkan belas kasihan. Jilbabku sudah lusuh dibasuh keringat dingin dari pelipisku.

“Percuma mba, sudah ada unit khusus yang menyelidiki masalah ini. Pak Chandra lebih percaya sama usahanya sendiri.” Tutur Pak Budi memupus harapanku.

Kepalaku semakin pening saja mendengarnya.

Keheningan melingkup di udara selama beberapa jenak, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hanya terdengar suara gemerisik angin yang menghempas pepohonan diluarsana saat aku memikirkan solusi untuk memecahkan masalah ini dan siapa pelaku sebenarnya yang menggelapkan uang tersebut.

“Kamu dibawa kesini bukan tanpa sebab.” Katanya tiba-tiba.

“Maksud Bapak?”

“Pak Chandra sendiri bilang, kita bisa lanjutkan diskusi persoalanmu disini. Kita disini bukan untuk saling diam begini.”

“Loh kalau begitu kenapa Pak Chandra menghindariku sejak tadi?”

“Dua milyar itu bukan uang yang sedikit. Kamu perlu berjuang lebih keras lagi membujuknya.”

“Tapi saya tidak bersalah Pak.”

“Siapa yang salah itu sudah ada orang yang menangani, solusinya, kamu bayar atau mendekam di penjara selama sedikitnya 5 tahun.” Sanggah Pak Budi.

“Pak kenapa saya harus dipenjara oleh karena kesalahan yang bukan saya ciptakan?”

“Terus mba punya bukti apa kalau mba tidak bersalah? Lihat sendiri kan dokumen yang Pak Norman berikan? Kamu jangan memutar balik kenyataan terus. Kamu berani berbuat kamu harus berani menanggung resikonya! Kamu harus siap di penjara!”

Aku tidak percaya Pak Budi melontarkan kalimat penuh ancaman padaku. Mendengar kata penjara saja sudah membuat tubuhku bergidik ngeri, bagaimana nanti dengan nasib Karina? Ia tidak akan bisa kubesarkan selama 5 tahun itu.

Dimana aku harus menaruh mukaku dihadapan Mas Hari nanti?

Aku mengigit bibir bawahku,

“Pak Chandra itu habis dicerai sama istrinya. Saya pikir mba lebih tahu bagaimana caranya membayar hutang mba.” Gumamnya dengan nada yang nyaris tak dapat kudengar. Untung saja pendengaranku cukup tajam untuk menangkap suaranya.

Belasan detik berlalu, kupikir kalimatnya itu mereferensikan bahwa emosi Pak Chandra sedang labil karena perceraiannya itu, lantas aku mesti ekstra berjuang menyakinkannya bahwa aku bukan pelaku penggelapan uang perusahaan.

Tapi suatu ketika aku akhirnya mencerna kalimat Pak Budi dengan baik, ya tentu ada alasan mengapa Pak Chandra membawa Pak Budi dan Pak Norman ke villa pribadinya. Ia tak membawaku kesini tanpa sebab kan, mereka tak mengajakku refreshing atau berlibur disini. Dimana istri-istri mereka kalau begitu?

Jadi ini artinya…

“Astagfirullah Bapak! Saya gak bakal ngelakuin hal itu! Dosa Pak! Lagian ini bukan jadi salahnya saya.” Emosiku sontak tersulut. Wajahku mengeras dengan sendirinya.

“Salah atau tidaknya Mba Ratu sekarang bukan Mba yang menentukan, saya hanya membantu Mba Ratu mencari jalan keluarnya. Ingat Mba, dua milyar itu bukan uang yang sedikit.” Tandasnya tak mau kalah.

“Bapak pikir karena Bapak atasan saya, Bapak jadi bisa seenaknya berbicara begitu sama saya?” Semburku dengan suara melengking.

“Mba sendiri yang bikin perusahaan kita rusak. Nama baik saya jadi tercemar gara-gara saya pelihara karyawan macam Mba ini!” Pak Budi menggeretakan giginya tak terima. Jari telunjuk gemuknya mengacung-acung tak sopan padaku.

“Begitu ya, baiklah Pak. Kalau gitu sampai jumpa di pengadilan. Kita lihat siapa yang benar nanti.” Tersinggung, sudah habis kesabaranku, kugapai tas papilonku, berancang-ancang meninggalkan villa terkutuk ini.

Laki-laki itu sudah sinting ya! Aku wanita muslimah dan seseorang yang mencoba menjadi ibu yang baik untuk anakku, masa harus menjual badannya oleh karena kesalahan yang orang lain perbuat? Itu tidak etis! Sama sekali!

Jangan-jangan mereka memang sudah merencanakan semua ini.

Cukup sudah, aku akan melaporkan semua ini ke suamiku!








Suatu hari nanti, aku akan mengutuk ketidakberdayaanku saat ini. Akan timbul penyesalan dalam diriku kelak. Membiarkan diriku takhluk pada taktik Pak Chandra yang merampas martabatku sebagai seorang wanita. Ia menyusun rencananya dengan sangat rapi jika sejak awal ia memang menginginkan tubuhku. Jujur aku sendiri takjub ia bisa merangkainya sedemikian rupa.

Yah itu kalau dia memang berniat menjebakku dari awal. Karena semua ini tak masuk akal, aku tidak pernah menikmati uang haram dari perusahaanku. Kalau aku menjadi Pak Chandra, sepatutnya aku akan lebih mewaspadai Pak Budi. Ia senang bermain dengan banyak wanita di kantor, mungkin ia banyak menjajani wanitanya diluarsana.

Perlahan tanganku bergerak membuka kancing-kancing kemejaku, tanganku bergetar hebat tatkala melakukannya. Sekelumit perasaan tidak rela masih membayang-bayangi diriku. Usai melepas kemejaku dan melemparnya ke sembarang sisiku. Aku lantas membuka kaitan bra putihku. Hal itu juga berlaku untuk rok spanku yang berwarna senada dengan kemejanya.

‘Ohhh, ohhh, yess baby, cum in my face. Cum in my fucking face..’ Terdengar suara desahan bintang porno dari TV yang menyala. Tampak penghuni kamar ini sedang berasyik-mahsyuk menonton film porno koleksinya.

Pak Chandra merebah diatas ranjangnya dalam keadaan bugil. Tanpa mempedulikan kedatanganku, ia tetap beronani ria tanpa melepas pandangannya dari film porno yang ia tonton. Kuseret tubuh telanjangku yang bergetar agar lebih mendekat padanya, kini aku bisa melihat dengan jelas adegan dimana seorang actor pria menumpahkan spermanya di wajah cantik si bintang utama.

‘Yeah Baby, ahh… Let me swallow your cum, umhh… so hot, so thick, so nasty.’

Aku meneguk ludahku susah payah melihat adegan seronok tersebut. Hatiku teriris perih mendapati kenyataan bahwa aku akhirnya terjebak dalam jeratan pria tua ini. Ini jelas akan merusak reputasiku sebagai wanita muslimah yang alim dan suci.

“P-Pak a-ayo..” Kataku terbata-bata disela-sela tangisan hatiku. Aku ingin segera menuntaskan perzinaan ini dan pulang kerumah secepatnya. Aku tak kuat mengkonsumsi adegan persetubuhan di film porno itu lebih jauh lagi bersama tua bangka ini. Aku tak kuat tinggal lebih lama lagi di villa terkutuk ini.

Aku merindukan suami dan anakku.

Ah ya, Mas Hari pasti sekarang uring-uringan karena aku tak kunjung menyampaikan kabar tentang kondisiku sejak siang tadi.

Pak Chandra mengerutkan dahinya. Berpura-pura tak tahu menahu maksud perkataanku, “Ayo apa?”

“A-Ayo kita mulai..”

“Mulai?” Ia mempermainkanku.

“Ayo kita ngeseks.” Ujarku akhirnya. Mengenyahkan egoku supaya ini lekas selesai.

“Nah gitu dong, yang jelas. Biar Bapak bisa mengerti, ayo sini!”

Ragu-ragu, lututku mulai merangkak diatas ranjang, kusambut penis berukuran besar dan hitam yang sudah tegang dan mengacung dengan amat keras itu. Awalnya kuusap-usap kulit penis itu dengan lingkaran tanganku yang tak muat kugenggam seutuhnya, pelan dan penuh keteraturan, lalu kemudian kukocok-kocok penisnya mengikuti liarnya adegan persetubuhan film porno yang terputar di TV.

Pak Chandra menyibakkan kain jilbab abuku yang terjuntai jatuh menutupi gundukkan payudaraku, ya biar tubuhku sudah polos tanpa busana, jilbabku masih terpasang rapi di kepalaku. Pak Chandra mengulum puting payudaraku yang berukuran 34c itu. Ia remas-remas gundukan halus dan mulus seperti putih susu itu kasar. Desahan nyaris keluar dari mulutku kalau saja aku tidak mengigit bibirku.

Tidak benar jika aku sampai merintih keenakan oleh pria tua beruban sepertinya. Tentu saja, karena aku sudah menyandang status sebagai istri seseorang, dan pria dihadapanku ini bukan mahramku.

“Susumu lebih enak dari susu istriku dulu. Lebih lembut dan terawat. Top.” Sanjung Pak Chandra disela-sela kegiatannya mencupangi payudaraku. Jujur sekali aku ingin muntah mendengar pujiannya itu. Pujiannya lebih terdengar seperti kalimat pelecehan bagiku.

Masih dengan mulut menyusu di kedua puting payudaraku, ia usap-usap lembut kedua lenganku, tangannya menyusuri seluruh badanku. Ia gesekkan kulit tangan kotornya itu ke setiap inci permukaan kulitku. Aku sendiri merinding merasakan sensasi tersebut.

“Ohh cantiknya, betapa beruntungnya suami kamu dapat milikin kamu, mba..”

Seketika ia mengigit putingku hingga membengkak. Aku memekik kaget karena perbuatannya itu. Tanganku menjambak helai rambut Pak Chandra supaya menghentikan aksinya, namun tak ia gubris. Ia tidak kapok-kapok mengulum sembari mengigiti puting payudaraku hingga akhirnya aku menyerah. Brengsek sekali pria tua ini. Belum lagi dengan tangannya yang kini mulai meremas bongkahan pantatku yang sekal.

Aku melotot kesal, tapi tiada daya aku melawannya. Akhirnya aku pasrahkan diriku mengikuti tuntunan nafsu birahinya.

Mas Hari tidak pernah mengasariku saat menyetubuhiku, tapi aku lihat putingku dengan sendirinya mulai mengeras, mengacung indah seperti halnya penis Pak Chandra. Hal yang baru terjadi dalam petualangan seksku selama ini. Padahal tidak sedikitpun nafsuku terbangkitkan.

Saat lidahnya mulai menari-nari disekitar areola payudaraku. Aku terpaksa memejamkan mataku, tubuhku menegang menerima rangsangan hebat dari permainan lidahnya.

Hal itu menyulitkanku untuk tetap berdiri dengan hanya ditopang kedua lututku. Akhirnya tanganku yang semula tak bergeming dari posisinya mulai berpindah tempat bertumpu di bahu telanjang Pak Chandra.

Ya, semua terpaksa harus berujung menjadi begini. Mau bagaimana lagi? Saat aku berniat untuk meninggalkan Villa, Pak Norman datang setelah mendengar kegaduhan dari ruang tamu. Ia melerai pertengkaranku dengan Pak Budi. Tapi mereka tak berhenti sampai disitu saja.

Pak Norman mengancam meladeni tantanganku membawa perkara ini ke pengadilan tanpa perlu menungguku membayar hutang tersebut. Setelah penggelapan uang, ia tidak mau menciptakan kerusuhan yang akan merusak citra perusahaan karena ulah Pak Budi yang seenaknya saja berbicara tidak sopan padaku. Ia tak mau rumor tersebut tersebar andai aku melaporkan hal ini ke suamiku.

Jika aku melaporkannya pada suamiku, aku belum memiliki bukti fisik bahwa aku hendak diperkosa oleh Pak Chandra. Hanya sebatas rumor miring yang kemudian hilang dimakan waktu. Sedangkan mereka memiliki bukti aku menggelapkan uang perusahaan. Usai melontarkan penjelasan itu, niatku memberontak perlahan mulai mengendur.

Masalahnya menjadi semakin runyam, aku terpaksa memenuhi kemauan Pak Chandra. Karena itulah jalan yang paling mudah kutempuh. Ia memang menyodorkan satu lagi pilihan lagi padaku, yaitu pilihan ketiga, dimana aku hanya perlu menjadi pemuas nafsunya selama lima tahun kedepan atau sampai ia menemukan istri yang pas untuknya. Ia pikir itu cukup untuk membayar hutangku. Lima tahun pidana atau lima tahun menjadi budak seksnya. Begitulah analoginya kira-kira.

Dan disinilah aku berada sekarang. Berhadapan dengan Pak Chandra dibawah remangnya-remang sinar rembulan yang terekspos dari bingkai kaca jendela. Disorot oleh kamera CCTV supaya aku tidak melaporkan ini sebagai tindakan pemerkosaan.

Pikiranku masih dihantui ancaman Pak Norman dan perasaan tidak enak pada suamiku.

Pak Chandra melepas dirinya dari payudaraku. Wajahnya mempertipis jarak antara kedua bibir kami. Ia menciumku. Ciuman menuntut penuh hasrat dan birahi. Lidahnya melumat-lumat bibir ranumku tanpa ampun. Tangannya tak ada henti-hentinya meremas bokongku. Menjijikan. Bahkan Mas Hari tidak pernah melakukan hal semenjijikan ini sepanjang kami bersetubuh. Ia tidak pernah mempermainkan lidahnya seliar ini.

Perbuatannya tidak bisa kupertentangkan. Aku memilih diam saja tak membalas ciumannya.

Tahu aku takkan merespon, ia lekas menarik kepalaku untuk memperdalam ciuman kami. Bibirku tertekan sampai batas maksimalnya menyatu dengan bibir hitam Pak Chandra. Ketika pasokan oksigenku mulai menipis, aku mendorong bahu Pak Chandra sekuat tenaga, tapi Pak Chandra lebih kuat menahan kepalaku tetap pada posisinya.

Selang beberapa detik, barulah ia melepas ciumannya. Benang saliva tercipta di celah bibir kami. Terakhir ia menampar bokongku untuk menutup aksi mencium bibirku. Aku sampai harus menjerit tertahan akibat ulah perbuatannya itu. Napas kami berdua tersengal-sengal. Aku memalingkan mukaku kelain arah, menghindari kontak mata dengan Pak Chandra sebisa mungkin. Tangisanku mulai kembali merayap keluar dari tenggorokanku. Sesekali suara isakanku terdengar meskipun dengan volume nada yang amat kecil.

Tidak aku tidak bisa menghianati suamiku lebih jauh dari ini. Aku tidak mau menumpuk dosaku lagi. Biarkan fitnah itu menghancurkan hidupku daripada harus menghancurkan imanku. Hukuman Tuhan jauh lebih menyakitkan daripada hukuman pidana. Anggaplah ini sebagai ujian untuk semakin memperkuat imanku.

Kututupi kedua gundukan payudaraku dengan silangan tanganku. Kakiku kulipat menutup indahnya garis labia minoraku yang masih berbentuk garis manis hasil dari yogaku di hari minggu.

Pak Chandra yang sedari tadi mengamatiku akhirnya angkat bicara,

“Pikirkan dulu matang-matang kemana pilihanmu berlabuh, aku beri waktu kamu satu minggu. Ingat melaporkan kejadian ini ke siapapun akan saya balas berkali-kali lipat.”
 
Terakhir diubah:
well, to be honest, i've never expected this to become quite popular...
baru dini hari publish udah langsung page 4 lagi malamnya.. jujur itu malah bikin ane takut, takut kalau ceritanya ga sesuai sama harapan para suhu dimari :ampun::((
maaf bila ada salah2 kata :malu:
ane apresiasi siapapun yang udah mau ninggalin jejaknya disini...

beberapa page belakang ada yg bilang kisah macam ini memang ada kisah nyatanya,
yah.. ane memang terinspirasi dari kisah hidup seseorang yang mengalami kejadian serupa. tapi ga sedramatisir cerita ane..
mereka happy ending sih meskipun si istri akhirnya dicecar mulu heheh...
tapi cerita fiksi newbie ini tetap ga ada kaitannya sama mereka, alurnya jelas tidak akan 100%, even for 75% *perhaps* sesuai dengan apa yang mereka alamin. jadi mohon2 maaf jika ada kesamaan cerita :o
 
Terakhir diubah:
Semoga lancar yang satu ini...

Amiiiiin
 
Membaca true story seperti ini, justru membuatku meresa jengkel,kesel,tapi juga muncul nafsu. Saya gak bisa berpikir seandainya saya ada di posisi sang suami. Di satu sisi marah, tapi kalau ingat anak jadi sedih. Dalam agamaku, jelas seorang isteri wajib menaati perintah suami selama itu diluar musyrik.

By the way, salut jg buat TS yg sudi berbagi kisah ini, salut buat anda. Kensekuensi yg hrs diterima buat isteri ya hrs diterima.
:mantap::mantap:
 
Cerita kaya gini yang ane tunggu tungguuu
Semangat huuuuuuu
 
keren hu... kalimat chapter awal sangat menarik minat.. berikutnya juga ok.. semoga memang terus berlanjut..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
:jempol: hu
critanya saya suka krn pakai alur campuran.
Namun menurut reader hina ini critanya terlalu cpat/kurang detail yg mengakibatkan feel/imajinasi pembaca berkurang.
Contohnya tidak diceritakannya waktu menanggalkan pakaian,ekspresinya,pergolakan batin antara sedih,marah,tapi ada nafsu.sgt penting skali dg tema wanita baik yg "terjebak" sikon *dg konsekwensi crita bakal tambah panjang*.
Inilah knapa jarang saya menemukan suhu yg membuat tema sprti ini krn harus "kerja" lbih banyak.kebanyakan lbih suka buat wanita baik jadi binal,eksibision,krn lbih mudah *bukan brarti saya bisa dan meremehkan suhu lain lho*.
Semoga wanitanya tidak jadi binal
:ampun: suhu klo terdengar menggurui niat hamba cman mengeluarkan opini pribadi.
Btw di crita ini blm sampai tahap coitus yahu?
:klove: bgt ama crita yg menggambarkan orang "normal" krn feelnya lbih dpt.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hmm yg curhat suami itu ya hu?

Lanjut hu kalau bisa ada lanjutan dari setelah maafnya, penasaran sama yg kisah nyata itu, mungkin disini bisa jadi alternate reality
 
:jempol: hu
critanya saya suka krn pakai alur campuran.
Namun menurut reader hina ini critanya terlalu cpat/kurang detail yg mengakibatkan feel/imajinasi pembaca berkurang.
Contohnya tidak diceritakannya waktu menanggalkan pakaian,ekspresinya,pergolakan batin antara sedih,marah,tapi ada nafsu.sgt penting skali dg tema wanita baik yg "terjebak" sikon *dg konsekwensi crita bakal tambah panjang*.
Inilah knapa jarang saya menemukan suhu yg membuat tema sprti ini krn harus "kerja" lbih banyak.kebanyakan lbih suka buat wanita baik jadi binal,eksibision,krn lbih mudah *bukan brarti saya bisa dan meremehkan suhu lain lho*.
Semoga wanitanya tidak jadi binal
:ampun: suhu klo terdengar menggurui niat hamba cman mengeluarkan opini pribadi.
Btw di crita ini blm sampai tahap coitus yahu?
:klove: bgt ama crita yg menggambarkan orang "normal" krn feelnya lbih dpt.

Naah itu, ane hampir bikin cerita ini sampe 4k+ words, awalnya ane udah matok satu scene itu dapet jatah 1k words, tapi ane juga coba copy paste karya suhu lain masukin ke ms office ane, ternyata rata2 mentok di 2k, jadi ane ragu2 buat ngelebihin batas 4k :o

as you see, 3,5k aja belum masuk ke scene pertubuhan, mungkin suhu2 lain disini bakal nanya "ini kapan scene anunya" :nohope:

tapi terima kasih sarannya, chapter selanjutnya ane mungkin bakal bablas, doa ane semoga aja ga ngebosenin/ngejenuhin dgn words yg banyak begitu dibacanya hahah.. ane suka ga pede :o

yang diatas mungkin akan ada sedikit pembenahan...

Hmm yg curhat suami itu ya hu?

Lanjut hu kalau bisa ada lanjutan dari setelah maafnya, penasaran sama yg kisah nyata itu, mungkin disini bisa jadi alternate reality

adalah benarr :o
oke huu, pantau terus thread sederhana ane :D
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd