Mengingat besok weekend dan mungkin saya ngga akan sempat update, maka untuk hari ini saya update dua bab sekaligus ya.
Selamat menikmati.
*********************
4. Pasir Lenyap Camping Ground
Matahari bersinar dengan terik di hari yang cerah tanpa kabut. Beberapa orang tengah bekerja gotong royong membersihkan ilalang dan pohon-pohon yang telah ditebang. Sebagian lagi meratakan tanah di puncak bukit Pasir Lenyap hingga terdapat area datar yang cukup luas. Ada lagi yang membakar ilalang dan dedaunan yang telah menumpuk. Sedangkan sisanya sedang mendirikan saung-saung yang berbentuk seperti warung.
"Memang hitungan Abah Karim selalu tepat ya." Komentar Mang Ajum pada orang di sebelahnya. Baju Hansip yang dikenakan Mang Ajum telah lusuh oleh keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
"Bah Karim kan tukang palintangan." Jawab Tua Kampung yang duduk menyeruput kopi sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan topi Laken. Tukang palintangan artinya ahli perbintangan yang biasanya menghitung hari baik dan hari buruk untuk melakukan berbagai pekerjaan terutama untuk kepentingan upacara adat dan pertanian.
"Ternyata sesekali bukit kita ini memang terkena sinar matahari ya Pak Tua." Hansip Ajum kembali berkomentar sambil juga menyeruput kopinya. Terik panas matahari tak menghalangi mereka untuk menyeruput kopi panas.
"Kulit saya tambah terbakar nih." Hansip Ajum kulitnya memang hitam terbakar matahari, atau entahlah mungkin sebenarnya hitam dari sejak lahir.
"Bako, jum." Pak Tua Kampung menawarkan sejumput tembakau, tanpa mengomentari tentang kulit Hansip Ajum yang hitam.
"Nuhun Pak Tua." Hansip Ajum menerima tembakau pemberian Pak Tua Kampung lalu melinting tembakau dengan secarik daun kawung. Tak lama kemudian asap tipis mengepul dari mulutnya. Nikmat sekali mereka berdua merokok tembakau Mole dengan daun kawung ditemani oleh secangkir kopi hitam yang panas.
"Kita harus menentukan siapa yang boleh menempati warung-warung itu Jum." Pak Tua Kampung memikirkan bagaimana cara memilih warga yang sudah mendaftar sebagai pedagang di warung-warung Camping Ground Pasir Lenyap. Ada enam buah warung, tetapi yang mendaftar untuk jualan ada sepuluh orang.
"Pilih aja yang berani bayar paling tinggi kalo ceuk saya mah, Pak Tua."
"Kalau begitu mah namanya kapitalis, Jum. Kan maksud kita membuka Camping Ground juga selain untuk menambah kas kampung kita juga memberikan kesempatan buat warga yang kurang mampu." Pak Tua Kampung kurang setuju dengan Hansip Ajum.
Dalam hatinya Hansip Ajum menggerutu, ngapain nanya kalau tidak mau menerima usulan orang.
"Yah, saya mah terserah para sesepuh aja lah Pak Tua." Hansip Ajum berjanji tak akan mengusulkan apa-apa lagi dalam hatinya.
"Saya mau pilih berdasar kebutuhan ekonomi aja Jum, warga yang paling membutuhkan yang akan saya kasih kesempatan ngewarung disini." Pak Tua Kampung sudah jejeg dalam hatinya.
"Siap, Pak Tua."
"Nanti pilih juga pemuda yang kira-kira bisa memimpin kelompok yang jadi pengurus Camping Ground ini Jum."
"Siap, Pak Tua."
"Ah kamu mah siap siap aja kaya tentara Jum, kamu kan cuman Hansip."
"Siap, Pak Tua." Hansip Ajum tetep ngeyel.
"Saya mau ijin dulu turun ke kampung, Pak Tua." Hansip Ajum sekarang mengipas-ngipas tubuhnya yang kurus dengan tangan.
"Ada apa Jum ? kan belum kelar kerjaannya ?"
"Ada perlu dulu Pak Tua, nanti pokoknya saya yang jaga tempat kemping yang kita buat ini kalau sudah beroperasi." Janji Hansip Ajum.
"Ya sudah kalau begitu, dua minggu dari sekarang tamu kemping pertama kita datang. Itu, temen-temennya si Enok." Pak Tua Kampung mengingatkan bahwa tamu pertama yang akan menyewa tempat kemping yang didirikan Kampung Pasir Lenyap adalah teman-teman kuliah anaknya.
"Siap, Pak Tua."
Setelah berpamitan dengan Pak Tua dan orang-orang yang masih bekerja Hansip Ajum bergegas menuruni bukit untuk menuju ke kampung Pasir Lenyap yang berada tepat di kaki bukit. Sesuatu memenuhi fikirannya sejak seminggu lalu ketika para lelaki mulai bergotong-royong membangun Camping Ground. Rencana itu telah dipikirkannya matang-matang sejak saat itu.
Sinar matahari yang terik untung saja terhalang oleh rimbunnya dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang menuju kampung. Kalau saja bukan karena keinginannya yang menggebu, mungkin dia tak akan secepat ini berjalan.
Untungnya lagi jalan yang dilaluinya telah diperlebar dari beberapa waktu lalu agar dapat dilalui oleh mobil, padahal tadinya jalan ini hanya berupa jalan setapak saja.
"Kemana, Wak Hansip ?" Di tengah jalan berbatu seorang pemuda berpapasan dengannya. Tangan kiri dan kanan pemuda itu menjinjing dua buah jerigen berisi air minum berwarna kemerahan. Hansip Ajum tidak mengenalnya.
"Eeeh ini ada urusan dulu di bawah." Hansip Ajum menjawab sekedarnya sambil terus berfikir siapa gerangan pemuda tadi.
"Kamu siapa ?" Kepenasarannya tak dapat ditahan karena dia mengenal seluruh penghuni Kampung Pasair Leungit dengan cukup baik.
"Saya Asep, adiknya Teh Euis." Jawab pemuda remaja yang ternyata adalah Asep. Dia ditugaskan untuk membawa sesuatu untuk warga yang sedang bekerja.
"Oooh.... " Hansip Ajum terus berfikir berusaha mengingat. "Euis yang istrinya Oman tukang ojeg ?" Sepintas fikirannya teringat.
"Iya Wak." Jawab Asep yang akhirnya menurunkan dulu jerigen itu ke tanah. Nafasnya ngos-ngosan.
"Oooh tau atuh si Euis mah, dia termasuk warga yang paling cantik di Pasir Lenyap." Hansip Ajum terkekeh, dia selalu hafal siapa istri atau anak kampung yang cantik dan menarik. Apalagi kalau sudah janda, mungkin Hansip Ajum punya memori khusus di otaknya yang memuat daftar para janda.
Asep tak menjawab, dia tak pernah berfikir bahwa Teh Euis itu cantik. Tapi hampir semua orang yang dikenalnya selalu menyebut bahwa Teh Euis cantik.
"Ya sudah, kamu lanjutin ke atas. Udah pada kehausan tuh." Hansip Ajum memutus pembicaraan untuk melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Tapi sebentar, sepertinya isi jerigen itu menyegarkan.
"Kamu bawa apa ?" Pandangan Hansip Ajum tertuju pada dua jerigen air berwarna kemerahan. Di luar jerigen itu penuh dengan embun menandakan isinya bersuhu dingin.
"Ini air es sirop yang dibikin sama ibu-ibu buat minum bapak-bapak yang kerja diatas."
"Sini saya minta sedikit, Sep." Hansip Ajum mengulurkan tangan meminta Asep memberikan salah satu jerigen itu.
"Tapi saya ngga bawa gelasnya wak, katanya gelasnya udah ada diatas."
"Ngga apa-apa, sini saya totor aja dari jerigen." Hansip Ajum memaksa. Dirinya sudah haus luar biasa, seteguk es sirop berwarna kemerahan itu pasti sangat menyegarkan.
Asep memberikan salah satu jerigen itu yang disambut Hansip Ajum dengan tak sabar. Tangannya membuka tutup jerigen dan menaikannya diatas wajah dalam posisi miring dengan lubang jerigen di bagian bawah.
Hansip Ajum membuka mulutnya untuk menyambut air sirup dingin yang akan keluar. Tangannya digerakkan lebih tinggi membuat jerigen itu mengalirkan es sirup terlalu banyak dan tumpah di wajahnya.
"Goblog.... !" makinya pada jerigen. Asep ingin tertawa, tetapi takut dosa dan dimarahin.
Hansip Ajum sekarang mengalirkan air sirup itu lebih berhati-hati. Dia menenggaknya bagai unta kehausan. Setelah minum beberapa kali, Hansip Ajum menutup jerigen dan memberikannya kembali pada Asep. Mereka lantas berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.
Aku harus cepat-cepat, fikir Hansip Ajum. Sialan anak itu, mengorbankan waktuku yang berharga. Dia lupa bahwa Asep sudah memberinya minum untuk menuntaskan rasa hausnya.
Tapi Hansip Ajum malah teringat pada Euis. Hatinya merutuki Oman seorang tukang ojeg yang berhasil mengawini perempuan cantik dengan tubuh paling sempurna itu. Dan Hansip Ajum telah mendengar bahwa Oman sekarang merantau ke Jakarta meninggalkan Euis sendirian. Eh, sekarang tidak sendirian karena ada adiknya, gerutu Hansip Ajum. Hmm... harus dipantau nih si Euis.
Langkah kaki Hansip Ajum terus dipercepat. Tak dipedulikannya jantungnya yang dipacu keras untuk melangkah setengah berlari. Dalam usianya yang mendekati 60 tahun jantungnya tak lagi bersahabat dengan bukit ini.
Beberapa kali ia berhenti dan duduk di tepi jalan berbatu untuk memberikan kesempatan bagi jantungnya untuk beristirahat. Atas niat yang begitu besar akhirnya lelaki tua yang sok jago karena jadi hansip itu sampai juga di pinggiran kampung.
Hansip Ajum mulai memasuki kampung yang menjadi wilayah kekuasaannya. Siang ini di kampung hanya ada para perempuan karena para lelaki sedang gotong-royong diatas bukit. Senyum liciknya tersungging. Beberapa pertanyaan dari ibu-ibu yang sedang bercengkerama di teras rumah tak digubrisnya. Fikirannya hanya ke sebuah rumah yang samar-samar diingatnya.
Di sebuah tikungan kecil dia berusaha mengingat-ngingat. Pilihannya adalah ke rumah sebelah kanan dimana pada akhirnya ditemukan seorang nenek sedang menampi beras di golodog. Ajum menggerutu karena salah dalam mengingat. Dia sudah tambah tua, sampai lupa rumah yang ingin dia tuju.
Hansip Ajum kembali ke tempat yang tadi dan berfikir keras menimbang-nimbang sampai akhirnya dia memutuskan untuk menuju sebuah rumah yang ada pohon petai cina di halamannya.
Langkahnya sekarang menjadi pelan, dan kian mendekat ke sebuah rumah panggung langkahnya semakin pelan. Dengan merunduk ke rerimbunan semak, Hansip Ajum melangkah ke bagian belakang rumah yang ditujunya lalu diam-diam bersembunyi didalam semak.
Sebuah motor yang terparkir di samping rumah itu meyakinkan dirinya bahwa itulah rumah yang dia cari. Matanya menerawang ke halaman belakang. Ada sesosok tubuh perempuan mengenakan daster sedang mengambil jemuran yang kering dan menaruhnya didalam keranjang. Jakun Hansip Ajum turun naik seraya menelan ludah beberapa kali.
Beneran cantik dan menggiurkan si Euis ini. Dimana otak si Oman, sampai meninggalkan istri sebagus ini ? Kalau saja aku yang mendapatkan si Euis, tak kan mau aku keluar rumah untuk bekerja. Mending kelonan terus sama si Euis.
Hansip Ajum terkekeh atas lamunannya sendiri yang mesum.
Lekat pandangannya tertuju pada pantat Euis yang sedang merunduk menaruh jemuran yang sudah kering ke keranjang. Cahaya matahari yang begitu terik di dalam kampung ini cukup memperjelas lekuk liku keindahan tubuh Euis didalam dasternya. Pantat dan dada Euis menerawang.
"Aduh gustiii.... pantatnya ngga terlalu besar tapi bentuknya... ahh..." Lamunan Hansip Ajum terus diumbar. Hasratnya bangkit seakan lupa kalau dia sudah aki-aki.
"Emh, pasti mulus banget si Euis. Tuh dari betisnya aja udah kelihatan begitu mulus, apalagi diatas lututnya." Kebetulan sekali saat itu angin bertiup cukup kencang membuat daster Euis tersingkap.
Gustiii.... mulus banget tanpa noda. Paha seperti itu pasti enak buat dijilati.
Mata Hansip Ajum tak sekejappun beralih pandang hingga Euis masuk kedalam rumah membawa keranjang pakaiannya. Ditunggunya beberapa saat, tetapi Euis tak keluar lagi.
Sial, kapan-kapan si Euis wajib dipantau lagi. Begitu fikirnya.
Dengan enggan, Hansip Ajum keluar dari persembunyian lalu melangkah menuju arah lain di kampung itu. Ada sebuah rumah dengan berbagai bungkusan tergantung di terasnya. Kopi berebagai merk, snack anak-anak yang murahan, dan lain-lain. Rumah itu membuka warung kecil-kecilan. Tak terlihat seorangpun disana, mungkin penghuni ada didalam rumah. Dengan berhati-hati Hansip Ajum naik ke golodog lalu dilepasnya sepatu boot karet kemudian menyelinap masuk ke rumah yang tak dikunci pintunya itu.
**********
Tanpa menggerutu atau mengeluh, Asep melangkahkan kaki menuruni bukit. Dua jerigen air sirup es yang diambilnya habis dalam sekejap dan Pak Tua memintanya untuk kembali ke kampung untuk mengambil lagi lebih banyak. Harusnya tadi dia pakai motor aja, tetapi gara-gara bensinnya belum diisi terpaksalah Asep berjalan kaki.
Guru, Ratu, Wong Atua Karo, wajib sinembah.
Pesan itu terus diingatnya sehingga dia dengan iklas melaksanakan perintah Pak Tua sebagai wakil dari Ratu, wakil dari pemerintah yang harus ditaatinya. Kaki Asep mulai terasa pegal karena turun naik bukit di jalan berbatu yang cukup menguras tenaga, apalagi tadi dia membawa dua jerigen air sirup dingin yang berat.
Asep terus berjalan menuruni bukit dengan cepat, tidak seperti Hansip Ajum yang sudah kepayahan. Tenaga muda Asep masih kuat untuk turun naik bukit beberapa kali, dia memang sudah sering hiking ke berbagai bukit di sekitar Gunung Halimun.
Tak lama kemudian Asep sudah sampai di pinggiran kampung tetapi ia malas melewati jalan utama karena melingkar lebih jauh. Dia lebih memilih mengambil jalan pintas melalui rumah-rumah penduduk yang saling berjauhan. Rumah disini tidak seperti di kota, setiap rumah punya halaman belakang dan halaman depan. Terkadang merekapun punya halaman samping untuk sedikit berkebun menanam sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Asep melangkah melewati kebun sayuran orang, halaman belakang, dan terus berjalan melewati beberapa rumah.
Tepat ketika melewati warung Teh Yati, telinganya mendengar jeritan kecil. Langkahnya langsung terhenti. Siapa yang menjerit ? Telinganya dipasang tajam-tajam berusaha mendengar kalau-kalau jeritan itu ada lagi. Tetapi setajam apapun telinganya tak mendengar suara.
Mungkin salah dengar, batin Asep. Dia melanjutkan melangkah sambil tetap memasang telinga. Tepat di samping rumah warung tersebut, Asep kembali mendengar suara tetapi kali ini bukan jeritan melainkan rintihan yang samar-samar. Telinganya menajam bagai Kapten Spock pada film Star-trek.
"Ngghhhh....."
Nah benar kan, ada suara merintih. Sepertinya suara perempuan. Ada apakah gerangan ? Mungkinkah seseorang sedang sakit dan butuh pertolongan ? Jiwa Pramuka Asep tergugah, dia harus membantu orang yang sedang sakit itu.
Telinganya sekarang diperlebar dengan mendekatkan telapak tangannya untuk mempertajam pendengaran.
"Ngghh......" Nah itu, ada lagi sepertinya terdenggar lebih kuat di dinding bilik yang paling pojok. Asep melangkah mendekati pojokan rumah panggung berdinding bilik bambu itu.
"Jangan.... Mang Ajum...." Suara perempuan lagi. Asep berfikir keras kenapa perempuan itu menyebut nama Wak Hansip ?
"Sebentar lagi Nyi Yati...." Benar, itu suara si Wak Hansip. Asep ragu-ragu jadinya karena sebetulnya dia tak mau berurusan dengan Hansip Ajum yang suka petantang-petenteng sok jago.
"Aduuuh......" Suara Teh Yati lagi. Asep tak tahan dengan rasa penasaran. Dia menaruh dua jerigen kosong yang dibawanya ke tanah lalu mendekat ke dinding bilik bambu.
"Sabar Nyi Yati.... sebentar lagi.... ahhh.... ahhh..." Hansip Ajum menenangkan Teh Yati.
"Mumpung suami kamu ikut gotong royong diatas, Nyai.... tenang...." Hansip Ajum lagi.
Sedang apa dia ? Asep penasaran. Takutnya Hansip Ajum sedang menolong Teh Yati yang sedang sakit, kan sebaiknya dia ikut membantu.
Memicingkan mata, Asep mengintip ke bilik bambu.
Tetapi gelap.
Asep mencari lagi lubang yang lebih besar.
Perlahan dia dapat melihat isi rumah itu.
Sesuatu bergerak-gerak, Asep berusaha menyimpulkan apa itu.
"Empuk banget pantat kamu Nyai...."
Keplak.
Tepat pada saat Asep bisa melihat dengan lebih jelas, Hansip Ajum terlihat sedang menepuk pantat Teh Yati yang menungging. Kedua tanggannya memegangi pinggiran ranjang besi. Kain samping batik yang dikenakan Teh Yati tersingkap sampai ke pinggang.
Pantat yang satunya lagi hitam dan peot.
Ya Ampun..... Asep mau muntah melihat pantat hitam peot Hansip Ajum. Dia langsung menjauh dari lubang kecil pada bilik bambu itu.
Mereka sedang.....
Ah... salah barangkali ?
Nggak mungkin.
Aku harus memasatikan lagi, batin Asep.
Kepala Asep merunduk lagi dan matanya menempel ke lubang.
Hansip Ajum masih terus menggenjot Teh Yati dalam posisi nungging.
"Pantesan suami kamu jarang keluar.... Nyai... barangmu ternyata legit.... ahh ahh.."
Jantung Asep langsung berdetak dengan sangat kencang. Seumur dia hidup di dunia ini, belum pernah dirinya melihat adegan semacam ini. Bahkan kalau si Atoy memaksanya melihat film biru-pun dia selalu menolak karena tahu bahwa itu adalah dosa besar.
Jangankan adegan begituan, melihat tubuh perempuan yang masih mengenakan pakaianpun Asep merasa malu. Apalagi ini tadi terlihat bagian bawah Teh Yati sedang telanjang bulat.
Asep bimbang antara ingin melihat lagi dan ingin segera pergi. Jantungnya berdetak amat kencang seakan dapat didengar oleh orang lain. Tetapi rasa penasaran mengalahkan akalnya.
"Legiiit nyaiiiii......." Desah Hansip Ajum sambil tetap menggenjotkan pantatnya.
"Ampun maaaaang..... jangaaan...." Teh Yati menyebutkan ampun, berarti dia dipaksa.
"Sedikit lagi nyaiiiii...." Hansip Ajum.
"Tuluuung......." Jerit Teh Yati tetapi tak cukup kuat untuk didengar tetangga, dan hanya Asep yang mendengarnya.
Haruskah aku masuk dan menolong ? Asep masih merasa malas berurusan dengan Hansip Ajum.
"Tuluuuungggg...." Jeritan Teh Yati makin lemah.
Asep sudah mantap sekarang ingin menolong Teh Yati. Jiwa Pramukanya bangkit menggebu-gebu. Ini adalah bagian dari Dasa Dharma yang selalu diikrarkannya dalam kegiatan Pramuka setiap hari Jumat. Tapi bagaimana caranya membantu Teh Yati tanpa berurusan langsung dengan Hansip Ajum.
"Nyaiii..... barang kamu empuk bangeeeet.... aaah dikit lagiiii...." Hansip Ajum merintih rintih.
Asep punya akal. Dia melangkah dari samping rumah itu menuju ke depan golodog yang difungsikan sebagai warung.
"PUNTEEEENNN......" Teriaknya.
Grusak grusak grusak..... klontang.
Didalam sana terdengar suara orang terkaget-kaget dan bergerusakan, bahkan sesuatu yang terbuat dari kaleng sepertinya jatuh ke lantai papan kayu.
"PUNTEEEEN....." Asep berteriak lagi.
Sunyi.
"PUNTEEEN Teh Yatiiiii..." Asep memanggil Teh Yati sang pemilik warung.
Sejenak sunyi, tetapi kemudian ada jawaban ragu-ragu.
"Siapaaa...... ?"
"Ini Asep, Teh... disuruh beli Nutrisar*...." Asep beralasan.
Grusak.
Lalu terdengar suara lelaki berbisik dengan nada mengancam.
"Sebentar, Sep...."
Tak lama kemudian Teh Yati tergopoh-gopoh keluar. Rambutnya kusut, kain samping batiknya tak beraturan. Bahkan Asep masih dapat melihat sebagian pahanya yang putih.
"Eeeh... Asep.... " Katanya sambil menyambut Asep dengan bersalaman.
"Teh Yati, ini saya disuruh bikin Nutrisar* pakai es buat bapak-bapak yang kerja." Pintar sekali Asep mencari alasan.
"Eeeh begitu.... alhamdulillah..... teteh buatin yah.... Asep jangan kemana-mana, disitu aja." Teh Yati seperti yang merasa lega dan gembira atas kedatangannya.
Asep lalu duduk di golodog tepat didepan sepatu boot karet Hansip Ajum.
"Sepatu siapa ini teh.... ?" tanya Asep memancing Teh Yati yang sekarang sedang membuka beberapa bungkus serbuk minuman yang dimintanya. Tetapi Teh Yati nampak kebingungan untuk menjawabnya.
"Teh Yati butuh bantuan ?" Tanya Asep dengan pancingan lainnya.
Teh Yati segera menjawab.
"Aah bikin minuman gini mah ngga usah dibantuin, teteh juga bisa."
"Butuh bantuan lain, barangkali ?" Asep mendesak.
Teh Yati mulanya ragu, tetapi saat dirinya beradu pandang dengan Asep, tahulah dia bahwa Asep menawarkan bantuan untuk kesulitannya yang lain.
"Iya.... Sep... teteh butuh bantuan...." Jawabnya.
Saat Asep hendak menghampiri Teh Yati, tiba-tiba sesosok tubuh hitam kurus keluar dari dalam rumah.
"Yati.... saya pergi dulu, itu genting yang bocor udah saya betulin." Kata Hansip Ajum berpura-pura.
Teh Yati diam tak menjawab, hanya memandang Asep.
"Eeeh lagi apa kamu disini Sep ? Bukannya kamu harus bantuin bapak-bapak diatas ??" Hansip Ajum berkata galak pada Asep.
Asep tak menjawab, melainkan mengadukan pandangan tajamnya pada Hansip Ajum.
"Kenapa kamu, Sep ? Nantang saya ?" Hansip Ajum menyingkilkan lengan bajunya.
Asep sudah pasti bisa mengalahkan Hansip Ajum yang sudah tua dan kurus, tetapi dia masih berfikir beberapa kali untuk membuat masalah.
"Eh punten Wa Hansip, saya cuman disuruh bawa minuman lagi." Kata Asep sambil memalingkan mukanya.
"Ya udah, kamu sekarang balik lagi ke bukit biar nanti saya yang bawa minumannya." Hansip Ajum berstrategi agar dapat melanjutkan niat mesumnya yang belum tuntas.
"Biarin saya yang nunggu disini wak, nanti saya bawa sendiri keatas." Jawab Asep.
"Eh kamu ngga nurut sama saya ?" Mata Hansip mendelik marah.
"Ngga wak... cuman kasian aja sama wak hansip yang udah tua harus bawa beban berat." Kata Asep menekankan ucapannya pada 'wak hansip yang udah tua' seakan mengingatkan.
"Kamu menghina saya, Sep ?" Hansip Ajum makin kesal.
"Nggak wak...." Jawab Asep sambil tetap duduk di golodog.
Hansip Ajum kehabisan akal, entah harus bagaimana cara mengusir Asep. Nampaknya anak itu punya rasa curiga.
Akhirnya demi menghindar dari rasa malu, Hansip Ajum mengalah.
"Ya udah kalau gitu saya balik ke bukit lagi." Katanya.
"Nyai... awas kalau kamu ribut." Ancamnya pada Teh Yati.
"Asep, anak baru disini jangan belagu ya. Saya hanya mengingatkan, atau kamu bisa diusir masyarakat dari sini kalau disini macam-macam." Ancamnya pada Asep.
Asep diam saja.
Dengan tergesa-gesa penuh amarah, Hansip Ajum mengenakan sepatu boot karetnya dan melangkah meninggalkan mereka. Awas ya si Asep, sudah bikin urusan dengan saya sebagai hansip disini.
Hansip Ajum terus memaki-maki Asep didalam hatinya dan berjanji akan mengusir Asep dengan cara apapun karena telah menghalang-halangi keinginannya.
Sepeninggal Hansip Ajum, teh Yati langsung meninggalkan bungkus-bungkus minuman yang sedang dikerjakannya untuk menghampiri Asep.
"Asep.... untung ada kamu...." Teh Yati terisak sambil memeluk Asep dengan erat.
"Ada apa, Teh Yati ?" Walaupun sudah tahu, Asep tetap bertanya agar dapat memastikan.
"Teteh..... digadabah..... sama Hansip Ajum...." Tangis Teh Yati pecah di pelukan Asep.
Sebagai pemuda remaja yang tak berpengalaman, Asep tak tahu bagaimana caranya menenangkan perempuan. Dia hanya punya niat yang baik untuk menolong tanpa tahu cara yang tepat. Teh Euis terus sesenggukan.
Emh.... pakaian Teh Yati masih belum rapih. Pahanya yang montok terlihat mengintip dibalik kain samping batik. Asep memalingkan wajahnya dari sana.
Aduh... ini dada Teh Yati yang besar ini kenyal sekali.
Akhirnya Asep memutuskan untuk menjauh, dan Teh Yati pun menyadari bahwa tak seharusnya dia memeluk Asep begitu erat.
"Nuhun ya Sep.... tapi Asep jangan bilang siapa-siapa, teteh malu." Katanya sambil merapihkan kain sampingnya. Otomatis Asep matanya melihat lagi ke paha Teh Yati yang sepertinya empuk kalau dipegang.
"Iya Teh... saya ngga akan bilang siapa-siapa." Jawab Asep.
"Rahasia kita berdua ya Sep.... ?" Teh Yati memintanya untuk merahasiakan.
"Iya teh... tenang...."
Setelah Teh Yati tenang, dia melanjutkan membuat minuman untuk dibawa Asep kembali ke bukit. Teh Yati akhirnya pergi ke rumah tetangga karena takut didatangi lagi oleh Hansip Ajum yang hasratnya belum terselesaikan.
Asep kembali ke bukit dengan membawa dua jerigen minuman dingin, disertai dengan fikiran-fikiran yang tak karuan karena adegan yang dia lihat tadi.
Dosa Sep.... Dosa.....
Dia mengingatkan dirinya sendiri.
Tapi paha dan pantat montok Teh Yati memenuhi pikirannya di sepanjang jalan tanpa dapat ditepiskan.
Bersambung.