Cerita ini berisi Incest (Sedarah) terutama antara Ibu dan anak laki-lakinya nya.
semua karakter utama berusia 18 tahun lebih, dan tidak ada kisah flashback sex underage.
Cerita ini bersifat slow pace (pelan), tidak ujug-ujug sodok.
so scene SEX akan terjadi setelah build up cerita dirasa cukup.
CATATAN: ada huruf E yang dibaca seperti E pada kata sEdap
Link Parts (klik):
PART 1-6 urut di bawah
Part 7 >>>>>>>>Part 12
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Langsung aja deh Cek THIS out
PART 1
“Hey Ndra main kerumah yuk..! Aku ada mainan baru “
Itu Fatah temanku satu kelas, satu bangku. Kami berdua tumbuh bersama dari kecil, kami bertetangga dan orang tua kami juga akrab satu sama lain. Namaku Rendra sebentar lagi aku mau lulus SMA, ya bisa dibilang masih tanggung. Saat ini jam 12:15 saat pelajaran kosong, sehingga kami isi dengan berbincang dan bercanda ngalor-ngidul.
“Mainan apaan, Tah?” tanyaku kepada sahabatku itu
“JENGA!” sahutnya cepat.
“Ituuu.., mainan yang susun2 balok terus disodok-sodok itu.. yang ambruk waktu nyodok kalah”
“wah.. habis nyodok, yang ambruk kalah? mainan jorok nih pasti, wkwk”
Wajah Fatah mendadak berubah tanpa ekspresi, kebingungan dan lalu segera berubah menjadi WKKWKWKWK antara kami berdua.
“Bisa aja lo..!”
“HUSH, berisik lo pada.. Bukanya belajar mau kelulusan eh malah gak jelas?!!” terdengar sahutan suara cewek dari arah belakang kami. Dia Reni teman dekat kami yang juga tetangga kami.
“wahai orang-orang cabul, bertobatlah!, ” sahutnya ketus sambil melotot, tapi juga disertai dengan raut senyuman kecil menahan tawa di ujung-ujung bibirnya. Kami pun memandangnya, aku melihat sebenarnya dia juga suka dengan perbincangan kami. Dia memang suka memotong percakapan kami agar bisa ikut masuk dalam pembicaraan.
“aaa.....Nyahut aja kayak bebek lo!” timpal Fatah.
“Bilang aja ingin ikut.. “ sahutku sambil bersungut-sungut.
Dalam hatiku memang si Reni itu bebek, suarannya yang agak cempreng, dan bodynya yang mirip huruf S membungkuk apabila dia berdiri tegak. Seperti sedang membawa barbel 2 set, 1 set di dadanya dan 1 set di pantatnya yang seksi.
“wek wak wek wek wek wak wak”
"Kwak kwek kwek kwak kwak kwak”.
Kami bertiga saling bersahutan menimpali satu sama lain, berdebat kusir dengan topik harian, saling menyangkal dan menuduh lucu-lucuan, sampai tak terasa waktu berlalu dan bel pulang pun berbunyi. “TET TET TET”.
Kami bertiga beriringan keluar dari area sekolah dan menunggu angkot untuk pulang bersama. Karena rumah kami searah, tentu saja hal itu sudah menjadi kebiasaan kami. Kami memang tumbuh bersama, Fatah berusia 19 tahun sama dengan Reni, sedang aku 1 tahun lebih muda dari mereka. Tapi kami bersekolah 1 angkatan sejak SD. Entah takdir atau apa, kami bersekolah di tempat yang sama dan sering 1 kelas, walau sejak SMP kelas diacak, hanya 1 kali saja kami berpisah kelas. Benar yang diucapkan Reni sebentar lagi kami akan ujian kelulusan, setelah itu entahlah apakah kami akan terus bersama atau terpisah di jenjang yang selanjutnya.
Reni memutuskan untuk ikut kerumah Fatah setelah perdebatan sengit kami. Dengan syarat dia ganti baju dulu lalu menyusul, sedang aku dan Fatah langsung menuju TKP( Tempat Kejadian Permainan) yaitu rumah si Fatah.
“Asalamualaikum”, kami berbarengan mengucap salam di depan pintu rumah si Fatah, yang memang sudah terbuka. Seperti biasa kami langsung masuk nyelonong tanpa menunggu jawaban setelah melepas sepatu.
“ASALAAAMUALAIKUUUMM!” Fatah mengulangi dan mengencangkan ucapan salamnya, usil, sambil kami berdua berjalan santai menuju kamar Fatah.
“Walaikum salam” terdengar suara wanita dewasa dari arah dapur, suara ibunya Fatah.
Kutaruh tasku di samping ranjang si fatah lalu kubuka sabuk dan dasi yang seharian melilit pinggang dan leherku. Akupun duduk bersila santai di lantai tekel dingin dikamar si Fatah. Fatah juga melakukan hal yang sama denganku dengan tambahan dia membuka baju seragamnya dan hanya mengenakan kaos dalam saja.
“Rendraa..!” suara ibu Fatah memanggil namaku dari arah dapur.
“HADIR TANTE!” sahutku lantang..
“hahaha” suara tawa Tante Dewi membalas renyah. Namanya Dewi dia wanita cantik dan berkepribadian lembut yang melahirkan sahabatku ke dunia ini. Perawakannya semok-montok menggoda untuk usianya yang masih 37 tahun itu.
“HADAH.. yang dipanggil anak tetangga, anaknya sendiri nggak..!” canda Fatah dengan suara seakan ketus.
“hahaha”, suara lembut tawa pun kembali menimpali
“Fatah Samudra, anaku sayaang.......!”
“YES MAM, saya disini!” jawab fatah cepat.
Kami bertiga pun tertawa cekikian dalam drama keseharian itu. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya memang keluarga kami akrab, keluarga Aku, Fatah dan Reni bisa dibilang saling berteman secara turunan wkwk. Kami bertiga membentuk geng yang kami namai FaReNi.
Fatah mengeluarkan JENGA yang dia bahas saat sekolah tadi dalam wadah kain berwarna biru. Aku pun hanya diam dan memperhatikan gerak-gerik si Fatah dengan semangat dan antisipasi.
“Krotak-krotak-krotak” suara balok-balok jenga bertumbukan dengan ubin (tekel) putih di ruangan itu.
“Gini ni..!” suara Fatah mau menjelaskan tapi terpotong dengan masuknya sesosok ibu-ibu cantik, masuk membawa nampan dan 2 gelas sirup berwarna hijau diatasnya. Kemudian dia duduk di depanku bersebrangan, disamping Fatah dan meletakan nampan seisinya itu disamping jenga yang masih berantakan. Saat itu Tante Dewi tidak berhijab, rambut panjangnya yang berwarna hitam terurai indah dan basah ke punggungnnya. Beliau mengenakan pakaian santai rumahan, abaya (daster) tanpa lengan longgar terusan sampai mata kaki berwarna merah jambu, yang bisa membuat pejantan tanggung sepertiku jadi tidak santai dan kikuk. Dilihat takut kurang ajar, mau gak dilihat mata dan leher otomatis melirik dan menengok. Walapun longgar tapi tonjolan-tonjolan di tubuhnya sering kali timbul tenggelam memancing- menggoda. Tersibak bau harum bunga sabun mandi dari tubuhnya, yang memberi kode bahwa beliau habis mandi. Entah mengapa memang Tante Dewi sering mandi di siang hari disekitar waktu kami pulang dari sekolah.
“Silent moment for some awkward minutes” (hening dan bodoh sesaat)
“lho kok pada diem?” Tante Dewi memecah keheningan
“lha lha.. mama motong pembicaraan” timpal Fatah
Aku menyadari bahwa kehadiran ibu si Fatah mengalahkan fokus dan ketertarikan kami berdua terhadap jenga yang akan kami mainkan. Kami berdua memang lagi panas-panasnya mempunyai ketertarikan kepada lawan jenis saat itu. Tak jarang topik pembicaraan kami berdua mengarah ke hal-hal semi-nakal-porno di berbagai kesempatan. Dan memang Tante Dewi kadang jadi topik utamanya.
“Asalamualaikum”. Suara Reni dari depan pintu
“Walaikum salam” kami bertiga menjawab hampir bersahutan
“Masuk Ren” Tante Dewi mempersilahkan.
Tante Dewi beranjak berdiri.
“Mam, mau buat minuman buat Reni ya? Aku aja deh yang buat, mami kan baru aja duduk” Fatah memotong gerakan maminya tiba-tiba.
“eh tumben si ganteng baik” jawaban Tante Dewi lalu kembali duduk bersimpuh
Fatah lalu nyelonong keluar kamarnya dan berpapasan dengan Reni tepat di depan pintu kamar. Sekilas aku lihat Reni mamakai pakaian santai ketat tetapi berhijab, atasanya kaos dan bawahanya jeans.
“Ren ayo ke dapur sebentar” ujar Fatah.
Tanpa menjawab Reni langsung mengikuti Fatah ke dapur.
Aku pun duduk dan membolak-balik balok jenga didepan Tante Dewi. Tante Dewi memperhatikan gerak-geriku tanpa berkata apa-apa.
(Hening)
“Ini mainya gimana Te?” tanyaku tulus penasaran
“Ditumpuk aja, lalu disodok deh..” jawab Tante Dewi
(Hening)
“Nyodoknya pelan atau keras?”
“Tergantung situasi lah.. yang bawah apa yang atas, baru mulai, apa dari tadi..begitu”
“Nyodoknya sampai keluar Tante?”
“Iyalah, kalau ambruk kalah kalau masih berdiri ya lanjut main, giliran”
Waduh pikiran kotor gua kemana-mana anjing dengerin jawaban-jawaban polos Tante Dewi. Mau nimpalin nakal takut kena gampar.
“Tante tahu banyak ya soal jenga”
“Iya dong kan udah diajarin sama yang punya mainan, hehe”
“Kalau nanti main aku tolong diajarin ya Te, takut kalah, hehe”
“Ok sayang, Tante nanti ajarin Rendra sampai mahir” jawab Tante Dewi mengerlingkan matanya dan tersenyum nakal.
WADAW tak kuat rasanya tubuh ini menahan konak. Entah sengaja atau tidak situasi itu terjadi begitu saja. Entah memang demikian atau hanya karena pikiran kotorku saja.
“FATAH, RENI lama amat lo pada ngapain aja”? panggilku lantang mencoba mengusir pikiran kotorku.
“BENTAR BOS mau keluar, eh KELAR ini!”
Aku merasa ujung tongkat kemaluanku agak gatal seperti ingin pipis. Aku beranjak berdiri dan keluar kamar Fatah.
“Eh Rendra mau kemana? Kok Tante ditinggal sendiri”
“Ke toilet Te udah diujung” jawabku.
“grodak-grodak” terdengar suara perkakas dapur yang bertumbukan dengan sesuatu. Aneh pikirku, aku berjalan menuju arah belakang rumah Fatah ke arah dapur dan toilet yang memang berada pada satu lokasi. Dapur Fatah tidak ada pintunya, melainkan hanya tertup kain selambu pembatas sampai lantai dan saat itu posisi kain selambu tertutup. Aku mendekat ke arah selambu pelan-pelan dengan niatan Men-ci-luk-ba-i kedua sahabatku.
“BA-DA-LA!” teriakanku keras sambil menyibak selambu.
“Jancok, kaget COK!” Fatah menimpali dengan latah. Anehnya bukanya segera mendekatiku dan memukul pundaku seperti biasa, Fatah malah membelakangiku, menghadap ke arah kompor sambil membetulkan posisi celana seragam sekolahnya. Sedangkan Reni tiba-tiba berdiri dari posisi jongkok dan juga memunggungiku, keduanya salah tingkah dengan kehadiranku.
“HAHAHAHA” tawaku keras menggema ke seluruh rumah Fatah.
“HAYOOO, ngapain berduaan lama di dapur?” godaku sambil berjalan memasuki kamar mandi.
Belum sempat aku menutup pintu Fatah menyahut
“Bikin minuman anjing.. emang ngapain?!”
Aku pun menutup kamar mandi dan segera mengeluarkan dedek kecil setengah tegang dari resleting.
“Bikin sirup hampir setengah jam, kalian itu bukan bikin kopi atau teh, yang harus nunggu air mendidih. Udah bikin sirup, dua orang, eh lama, GOBE!” tak ada jawaban dari mereka berdua, yang terdengar hanya suara gelas-gelas tertata dan air yang dituangkan. Sialan sirupnya baru dibuat! Dari tadi ngapain aja coba, CURHAT?! Dalam hatiku bergumam setengah kesal.
Setelah selesai urusanku dengan dedek, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Fatah dan Reni sudah tidak ada. Aku pun beranjak ke kamar Fatah.
Aku melihat Fatah dan Reni duduk berdampingan bersandar di ranjang Fatah menghadap pintu dan punggung Tante Reni yang sedang mengotak-atik jenga, untuk menyusunya. Kulihat wajah Fatah dan Reni merah padam seperti tidak mau menatapku untuk suatu alasan. Akupun segera duduk di tempat yang tersedia yaitu di samping Tante Dewi. Ku tengok sudah ada 4 gelas sirup ukuran besar di atas nampan, 2 buatan Tante Dewi dan 2 hasil kerja kedua sahabatku barusan.
“Kalian ngapain aja sih tadi?” aku membuka pembicaraan.
“hihihi” malah Tante Dewi yang merespon dengan suara cekikik geli, sedang Fatah dan Reni semakin salting hampir salto.
“Sabar kenapa, temen masih bikin minuman juga” Fatah akhirnya menjawab
“Iya Nih Rendra gak sabaran amat” timpal Reni mendukunya.
“Lah bukanya apa, aneh aja bikin sirup hampir setengah jam, ya gak Te?” timpalku tak mau kalah sambil meminta dukungan dari Tante Dewi.
“hihihi” Tante Dewi hanya cekikikan saja
“Elo Rugi apa Ndra? Elo ditemenin bidadari cantik sambil nunggu kita berdua” jawab Fatah setengah kesal
Fatah memang jago modus, aku kira itu bakat dari lahir untuknya, Fatah tidak pernah canggung berhadapan dengan siapapun, jago berkomunikasi dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi . Walau wajahnya biasa-biasa saja jika dibanding aku. Dalam hati aku setuju, aku ke dapur memang bukan karena gak sabar menunggu, tapi lebih ke arah gak kuat si dedek gatel pengen pipis.
“Iya betul itu, betul”, jawabku menyetujui argumen Fatah di bagian bahwa Tante Dewi itu seorang bidadari.
“Tante Dewi memang bidadari cantik, itu betul, tapi kalian berdua GOBE itu juga betul!”
“GOBE GOBE GOBE GOBE”, responku tak mau kalah. Aku tidak berbakat modus, tetapi karena dari kecil tumbuh bersama Fatah jadinya ketularan. Bakat alamiku adalah cepat belajar, cepat bisa, suka mencoba dan tak mau kalah.
“Udah-udah gak usah bertengkar, ini Tante udah tata semuanya ayo kita main!” ujar Tante Dewi menengahi
“Lho Mama ikut main?” ujar Fatah ingin menegaskan
“Iya nih daripada nganggur, dan tadi Mama udah janji mau bantuin dan ajarin Rendra” jawab Tante.
“Ok dah ayo kita mulai, mainnya tim ya, aku sama Reni, Rendra sama Mama, Gue dulu, baru Rendra terus Reni terus Mama, muter!” Fatah memberi aturan permainan kepada kami bertiga. “Reni dan Rendra kan belum pernah, nah Fatah ajarin Reni, Mama ajarin Rendra” dia melanjutkan.
“Oke BOSS!” aku menyetujui aturan temanku itu, sedang Reni dan Tante Dewi terlihat pasrah saja mengikuti.
“Lihat ini” dan “Dak” Fatah memulai giliranya dan segera menyentil salah satu balok jenga yang berada di tengah secara vertikal, di bagian samping. Bagian yang disentil Fatah terlempar ke perutku, seakan tanda sebuah tantangan untuku. Jenga pun bergoyang cepat dan kembali tenang. Wuih aku yang memperhatikan Fatah menjadi bersemangat. Darah kompetisiku membara gak mau kalah.
“Gua ya” sahutku tidak sabaran. Aku membentuk jariku menjadi sebuah sentilan dan mendekati tumpukan balok mainan itu.
“Eh eh eh, sabar Rendra sayang, jangan ikut-ikut Fatah, itu jebakan” Tante Dewi meraih tanganku menghentikan.
“kalau awal nyodoknya keras ya gak bakal ambruk, nah semakin lama mainya, nyodoknya semakin pelan supaya gak kalah”
Seerrr,, merinding tubuhku merasakan kelembutan tangan Tante Dewi, tubuhku memiliki bulu-bulu halus yang lebih lebat jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Itu memang keturunan dari Ayahku. Bulu-bulu halus itu membuat aku lebih peka terhadap sentuhan.
“Oh gitu ya Tan, bukanya kebalik ya.. ?kalau awal nyodoknya pelan kalau mau akhir nyodoknya dipercepat supaya menang”, jawabku spontan gara-gara pikiran kotorku. Memang agak kongslet otaku ini.
“HAHA” Fatah tertawa seolah mendapat DM ke otaknya.
“Eh bukan gitu, ya ambruk dong kalau nyodoknya kekencengan kalau permainan mau berakhir, kan semakin lama semakin goyang tuh tumpukan batang” Tante Dewi tulus menjelaskan.
“Sini Tante bantu keluarin batang kamu”
Seeerrr... batang gua mau dikeluarin ama Tante anjing, pikirku. Wajahku memerah dan tubuhku menghangat.
Tante Dewi membimbing tanganku membentuk penunjuk, mirip dengan jargon 01.
“Yang keras nunjuknya biar kuat, baru didorong pelan-pelan” Bagian balok jenga itupun bergeser keluar perlahan dari tumpukan. Setelah sebagian besar bagian batang jenga itu keluar, Tante Dewi melepas tanganku.
“Nah sekarang disodok keras batangnya juga gak apa-apa, karena dah diujung”
“Beneran gak apa-apa nih, Te”
“Iya gak apa-apa, sodok aja keras-keras keluar dengan aman pasti tu.
“aku sodok ya Te, aku sodok nih.. “ aku mencoba menggoda Tante sambil memandangnya.
“Sodok aja sayang cepet ah”, sahut Tante Dewi tidak sabaran.
Aku sentil bagian jenga yang baloknya mau keluar itu keras-keras dan
“Ahhhhhkh...” tiba-tiba Fatah mendesah seperti wanita film XXX berbarengan dengan sentilanku ke jenga.
“Apaan sih.. ihh..” Reni memukuli pundak Fatah gemas..
Aku dan Fatah tertawa terkakak kompak.
“Eh aku mau godain Tante Dewi malah kamu yang Ahhhh...” hahaha
Tante Dewi tiba-tiba terdiam dan menunduk mulai sadar, bahwa dari tadi pembicaraan kami ini memang menjurus ke arah semi-nakal, seolah dia mengingat kejadian percakapan kami dan memilahnya satu-satu. Kemudian wajahnya memerah perlahan.
Setelah tawa kami reda sekarang giliran Reni yang melanjutkan.
“Kamu Ren sekarang!”, ujar Fatah dengan nada memerintah.
“Gimana, bantuin dong..” Reni merajuk ke Fatah...
“Oke dah, Reni maunya sodokan keras apa pelan?”..
“HAHAHA” Spontan aku tertawa, seolah dapat kiriman WA dari Fatah langsung ke otaku.
Fatah pun membimbing Reni melakukan giliranya, dilanjutkan dengan giliran Tante Dewi dengan jari-jari lentiknya.
Permainan pun berlanjut dengan tertib sembari diselingi candaan ringan yang terkadang berwarna biru muda. Tak terasa waktu sudah sore, pukul 16:30. Dari hasil pertandingan kali ini pemenangnya adalah tim Fatah-Reni dengan skor 6-4 melawan tim Rendra-Dewi. Aku memang kalah tapi tunggu saja nanti, aku akan membalas, ujarku dalam hati. Setelah menghentikan permainan kami hanya duduk-duduk saja berbincang.
“Kalian itu masih kecil tapi becandanya dewasa ya....”, ujar Tante tiba-tiba.
“Anak kekinian Mam, haha” jawab Fatah.
......
(Bersambung)
Likes, Apresiasi, dan Jejaknya dinanti
semua karakter utama berusia 18 tahun lebih, dan tidak ada kisah flashback sex underage.
Cerita ini bersifat slow pace (pelan), tidak ujug-ujug sodok.
so scene SEX akan terjadi setelah build up cerita dirasa cukup.
CATATAN: ada huruf E yang dibaca seperti E pada kata sEdap
Link Parts (klik):
PART 1-6 urut di bawah
Part 7 >>>>>>>>Part 12
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Langsung aja deh Cek THIS out
SUKA MENCOBA
PART 1
“Hey Ndra main kerumah yuk..! Aku ada mainan baru “
Itu Fatah temanku satu kelas, satu bangku. Kami berdua tumbuh bersama dari kecil, kami bertetangga dan orang tua kami juga akrab satu sama lain. Namaku Rendra sebentar lagi aku mau lulus SMA, ya bisa dibilang masih tanggung. Saat ini jam 12:15 saat pelajaran kosong, sehingga kami isi dengan berbincang dan bercanda ngalor-ngidul.
“Mainan apaan, Tah?” tanyaku kepada sahabatku itu
“JENGA!” sahutnya cepat.
“wah.. habis nyodok, yang ambruk kalah? mainan jorok nih pasti, wkwk”
Wajah Fatah mendadak berubah tanpa ekspresi, kebingungan dan lalu segera berubah menjadi WKKWKWKWK antara kami berdua.
“Bisa aja lo..!”
“HUSH, berisik lo pada.. Bukanya belajar mau kelulusan eh malah gak jelas?!!” terdengar sahutan suara cewek dari arah belakang kami. Dia Reni teman dekat kami yang juga tetangga kami.
“wahai orang-orang cabul, bertobatlah!, ” sahutnya ketus sambil melotot, tapi juga disertai dengan raut senyuman kecil menahan tawa di ujung-ujung bibirnya. Kami pun memandangnya, aku melihat sebenarnya dia juga suka dengan perbincangan kami. Dia memang suka memotong percakapan kami agar bisa ikut masuk dalam pembicaraan.
“aaa.....Nyahut aja kayak bebek lo!” timpal Fatah.
“Bilang aja ingin ikut.. “ sahutku sambil bersungut-sungut.
Dalam hatiku memang si Reni itu bebek, suarannya yang agak cempreng, dan bodynya yang mirip huruf S membungkuk apabila dia berdiri tegak. Seperti sedang membawa barbel 2 set, 1 set di dadanya dan 1 set di pantatnya yang seksi.
"Kwak kwek kwek kwak kwak kwak”.
Kami bertiga saling bersahutan menimpali satu sama lain, berdebat kusir dengan topik harian, saling menyangkal dan menuduh lucu-lucuan, sampai tak terasa waktu berlalu dan bel pulang pun berbunyi. “TET TET TET”.
Kami bertiga beriringan keluar dari area sekolah dan menunggu angkot untuk pulang bersama. Karena rumah kami searah, tentu saja hal itu sudah menjadi kebiasaan kami. Kami memang tumbuh bersama, Fatah berusia 19 tahun sama dengan Reni, sedang aku 1 tahun lebih muda dari mereka. Tapi kami bersekolah 1 angkatan sejak SD. Entah takdir atau apa, kami bersekolah di tempat yang sama dan sering 1 kelas, walau sejak SMP kelas diacak, hanya 1 kali saja kami berpisah kelas. Benar yang diucapkan Reni sebentar lagi kami akan ujian kelulusan, setelah itu entahlah apakah kami akan terus bersama atau terpisah di jenjang yang selanjutnya.
Reni memutuskan untuk ikut kerumah Fatah setelah perdebatan sengit kami. Dengan syarat dia ganti baju dulu lalu menyusul, sedang aku dan Fatah langsung menuju TKP( Tempat Kejadian Permainan) yaitu rumah si Fatah.
“Asalamualaikum”, kami berbarengan mengucap salam di depan pintu rumah si Fatah, yang memang sudah terbuka. Seperti biasa kami langsung masuk nyelonong tanpa menunggu jawaban setelah melepas sepatu.
“ASALAAAMUALAIKUUUMM!” Fatah mengulangi dan mengencangkan ucapan salamnya, usil, sambil kami berdua berjalan santai menuju kamar Fatah.
“Walaikum salam” terdengar suara wanita dewasa dari arah dapur, suara ibunya Fatah.
Kutaruh tasku di samping ranjang si fatah lalu kubuka sabuk dan dasi yang seharian melilit pinggang dan leherku. Akupun duduk bersila santai di lantai tekel dingin dikamar si Fatah. Fatah juga melakukan hal yang sama denganku dengan tambahan dia membuka baju seragamnya dan hanya mengenakan kaos dalam saja.
“Rendraa..!” suara ibu Fatah memanggil namaku dari arah dapur.
“HADIR TANTE!” sahutku lantang..
“hahaha” suara tawa Tante Dewi membalas renyah. Namanya Dewi dia wanita cantik dan berkepribadian lembut yang melahirkan sahabatku ke dunia ini. Perawakannya semok-montok menggoda untuk usianya yang masih 37 tahun itu.
“HADAH.. yang dipanggil anak tetangga, anaknya sendiri nggak..!” canda Fatah dengan suara seakan ketus.
“hahaha”, suara lembut tawa pun kembali menimpali
“Fatah Samudra, anaku sayaang.......!”
“YES MAM, saya disini!” jawab fatah cepat.
Kami bertiga pun tertawa cekikian dalam drama keseharian itu. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya memang keluarga kami akrab, keluarga Aku, Fatah dan Reni bisa dibilang saling berteman secara turunan wkwk. Kami bertiga membentuk geng yang kami namai FaReNi.
Fatah mengeluarkan JENGA yang dia bahas saat sekolah tadi dalam wadah kain berwarna biru. Aku pun hanya diam dan memperhatikan gerak-gerik si Fatah dengan semangat dan antisipasi.
“Krotak-krotak-krotak” suara balok-balok jenga bertumbukan dengan ubin (tekel) putih di ruangan itu.
“Gini ni..!” suara Fatah mau menjelaskan tapi terpotong dengan masuknya sesosok ibu-ibu cantik, masuk membawa nampan dan 2 gelas sirup berwarna hijau diatasnya. Kemudian dia duduk di depanku bersebrangan, disamping Fatah dan meletakan nampan seisinya itu disamping jenga yang masih berantakan. Saat itu Tante Dewi tidak berhijab, rambut panjangnya yang berwarna hitam terurai indah dan basah ke punggungnnya. Beliau mengenakan pakaian santai rumahan, abaya (daster) tanpa lengan longgar terusan sampai mata kaki berwarna merah jambu, yang bisa membuat pejantan tanggung sepertiku jadi tidak santai dan kikuk. Dilihat takut kurang ajar, mau gak dilihat mata dan leher otomatis melirik dan menengok. Walapun longgar tapi tonjolan-tonjolan di tubuhnya sering kali timbul tenggelam memancing- menggoda. Tersibak bau harum bunga sabun mandi dari tubuhnya, yang memberi kode bahwa beliau habis mandi. Entah mengapa memang Tante Dewi sering mandi di siang hari disekitar waktu kami pulang dari sekolah.
“Silent moment for some awkward minutes” (hening dan bodoh sesaat)
“lho kok pada diem?” Tante Dewi memecah keheningan
“lha lha.. mama motong pembicaraan” timpal Fatah
Aku menyadari bahwa kehadiran ibu si Fatah mengalahkan fokus dan ketertarikan kami berdua terhadap jenga yang akan kami mainkan. Kami berdua memang lagi panas-panasnya mempunyai ketertarikan kepada lawan jenis saat itu. Tak jarang topik pembicaraan kami berdua mengarah ke hal-hal semi-nakal-porno di berbagai kesempatan. Dan memang Tante Dewi kadang jadi topik utamanya.
“Asalamualaikum”. Suara Reni dari depan pintu
“Walaikum salam” kami bertiga menjawab hampir bersahutan
“Masuk Ren” Tante Dewi mempersilahkan.
Tante Dewi beranjak berdiri.
“Mam, mau buat minuman buat Reni ya? Aku aja deh yang buat, mami kan baru aja duduk” Fatah memotong gerakan maminya tiba-tiba.
“eh tumben si ganteng baik” jawaban Tante Dewi lalu kembali duduk bersimpuh
Fatah lalu nyelonong keluar kamarnya dan berpapasan dengan Reni tepat di depan pintu kamar. Sekilas aku lihat Reni mamakai pakaian santai ketat tetapi berhijab, atasanya kaos dan bawahanya jeans.
Tanpa menjawab Reni langsung mengikuti Fatah ke dapur.
Aku pun duduk dan membolak-balik balok jenga didepan Tante Dewi. Tante Dewi memperhatikan gerak-geriku tanpa berkata apa-apa.
(Hening)
“Ini mainya gimana Te?” tanyaku tulus penasaran
“Ditumpuk aja, lalu disodok deh..” jawab Tante Dewi
(Hening)
“Nyodoknya pelan atau keras?”
“Tergantung situasi lah.. yang bawah apa yang atas, baru mulai, apa dari tadi..begitu”
“Nyodoknya sampai keluar Tante?”
“Iyalah, kalau ambruk kalah kalau masih berdiri ya lanjut main, giliran”
Waduh pikiran kotor gua kemana-mana anjing dengerin jawaban-jawaban polos Tante Dewi. Mau nimpalin nakal takut kena gampar.
“Tante tahu banyak ya soal jenga”
“Iya dong kan udah diajarin sama yang punya mainan, hehe”
“Kalau nanti main aku tolong diajarin ya Te, takut kalah, hehe”
“Ok sayang, Tante nanti ajarin Rendra sampai mahir” jawab Tante Dewi mengerlingkan matanya dan tersenyum nakal.
WADAW tak kuat rasanya tubuh ini menahan konak. Entah sengaja atau tidak situasi itu terjadi begitu saja. Entah memang demikian atau hanya karena pikiran kotorku saja.
“FATAH, RENI lama amat lo pada ngapain aja”? panggilku lantang mencoba mengusir pikiran kotorku.
“BENTAR BOS mau keluar, eh KELAR ini!”
Aku merasa ujung tongkat kemaluanku agak gatal seperti ingin pipis. Aku beranjak berdiri dan keluar kamar Fatah.
“Eh Rendra mau kemana? Kok Tante ditinggal sendiri”
“Ke toilet Te udah diujung” jawabku.
“grodak-grodak” terdengar suara perkakas dapur yang bertumbukan dengan sesuatu. Aneh pikirku, aku berjalan menuju arah belakang rumah Fatah ke arah dapur dan toilet yang memang berada pada satu lokasi. Dapur Fatah tidak ada pintunya, melainkan hanya tertup kain selambu pembatas sampai lantai dan saat itu posisi kain selambu tertutup. Aku mendekat ke arah selambu pelan-pelan dengan niatan Men-ci-luk-ba-i kedua sahabatku.
“BA-DA-LA!” teriakanku keras sambil menyibak selambu.
“Jancok, kaget COK!” Fatah menimpali dengan latah. Anehnya bukanya segera mendekatiku dan memukul pundaku seperti biasa, Fatah malah membelakangiku, menghadap ke arah kompor sambil membetulkan posisi celana seragam sekolahnya. Sedangkan Reni tiba-tiba berdiri dari posisi jongkok dan juga memunggungiku, keduanya salah tingkah dengan kehadiranku.
“HAHAHAHA” tawaku keras menggema ke seluruh rumah Fatah.
“HAYOOO, ngapain berduaan lama di dapur?” godaku sambil berjalan memasuki kamar mandi.
Belum sempat aku menutup pintu Fatah menyahut
“Bikin minuman anjing.. emang ngapain?!”
Aku pun menutup kamar mandi dan segera mengeluarkan dedek kecil setengah tegang dari resleting.
“Bikin sirup hampir setengah jam, kalian itu bukan bikin kopi atau teh, yang harus nunggu air mendidih. Udah bikin sirup, dua orang, eh lama, GOBE!” tak ada jawaban dari mereka berdua, yang terdengar hanya suara gelas-gelas tertata dan air yang dituangkan. Sialan sirupnya baru dibuat! Dari tadi ngapain aja coba, CURHAT?! Dalam hatiku bergumam setengah kesal.
Setelah selesai urusanku dengan dedek, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Fatah dan Reni sudah tidak ada. Aku pun beranjak ke kamar Fatah.
Aku melihat Fatah dan Reni duduk berdampingan bersandar di ranjang Fatah menghadap pintu dan punggung Tante Reni yang sedang mengotak-atik jenga, untuk menyusunya. Kulihat wajah Fatah dan Reni merah padam seperti tidak mau menatapku untuk suatu alasan. Akupun segera duduk di tempat yang tersedia yaitu di samping Tante Dewi. Ku tengok sudah ada 4 gelas sirup ukuran besar di atas nampan, 2 buatan Tante Dewi dan 2 hasil kerja kedua sahabatku barusan.
“Kalian ngapain aja sih tadi?” aku membuka pembicaraan.
“hihihi” malah Tante Dewi yang merespon dengan suara cekikik geli, sedang Fatah dan Reni semakin salting hampir salto.
“Sabar kenapa, temen masih bikin minuman juga” Fatah akhirnya menjawab
“Iya Nih Rendra gak sabaran amat” timpal Reni mendukunya.
“Lah bukanya apa, aneh aja bikin sirup hampir setengah jam, ya gak Te?” timpalku tak mau kalah sambil meminta dukungan dari Tante Dewi.
“hihihi” Tante Dewi hanya cekikikan saja
“Elo Rugi apa Ndra? Elo ditemenin bidadari cantik sambil nunggu kita berdua” jawab Fatah setengah kesal
Fatah memang jago modus, aku kira itu bakat dari lahir untuknya, Fatah tidak pernah canggung berhadapan dengan siapapun, jago berkomunikasi dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi . Walau wajahnya biasa-biasa saja jika dibanding aku. Dalam hati aku setuju, aku ke dapur memang bukan karena gak sabar menunggu, tapi lebih ke arah gak kuat si dedek gatel pengen pipis.
“Iya betul itu, betul”, jawabku menyetujui argumen Fatah di bagian bahwa Tante Dewi itu seorang bidadari.
“Tante Dewi memang bidadari cantik, itu betul, tapi kalian berdua GOBE itu juga betul!”
“GOBE GOBE GOBE GOBE”, responku tak mau kalah. Aku tidak berbakat modus, tetapi karena dari kecil tumbuh bersama Fatah jadinya ketularan. Bakat alamiku adalah cepat belajar, cepat bisa, suka mencoba dan tak mau kalah.
“Udah-udah gak usah bertengkar, ini Tante udah tata semuanya ayo kita main!” ujar Tante Dewi menengahi
“Lho Mama ikut main?” ujar Fatah ingin menegaskan
“Iya nih daripada nganggur, dan tadi Mama udah janji mau bantuin dan ajarin Rendra” jawab Tante.
“Ok dah ayo kita mulai, mainnya tim ya, aku sama Reni, Rendra sama Mama, Gue dulu, baru Rendra terus Reni terus Mama, muter!” Fatah memberi aturan permainan kepada kami bertiga. “Reni dan Rendra kan belum pernah, nah Fatah ajarin Reni, Mama ajarin Rendra” dia melanjutkan.
“Oke BOSS!” aku menyetujui aturan temanku itu, sedang Reni dan Tante Dewi terlihat pasrah saja mengikuti.
“Lihat ini” dan “Dak” Fatah memulai giliranya dan segera menyentil salah satu balok jenga yang berada di tengah secara vertikal, di bagian samping. Bagian yang disentil Fatah terlempar ke perutku, seakan tanda sebuah tantangan untuku. Jenga pun bergoyang cepat dan kembali tenang. Wuih aku yang memperhatikan Fatah menjadi bersemangat. Darah kompetisiku membara gak mau kalah.
“Gua ya” sahutku tidak sabaran. Aku membentuk jariku menjadi sebuah sentilan dan mendekati tumpukan balok mainan itu.
“Eh eh eh, sabar Rendra sayang, jangan ikut-ikut Fatah, itu jebakan” Tante Dewi meraih tanganku menghentikan.
“kalau awal nyodoknya keras ya gak bakal ambruk, nah semakin lama mainya, nyodoknya semakin pelan supaya gak kalah”
Seerrr,, merinding tubuhku merasakan kelembutan tangan Tante Dewi, tubuhku memiliki bulu-bulu halus yang lebih lebat jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Itu memang keturunan dari Ayahku. Bulu-bulu halus itu membuat aku lebih peka terhadap sentuhan.
“Oh gitu ya Tan, bukanya kebalik ya.. ?kalau awal nyodoknya pelan kalau mau akhir nyodoknya dipercepat supaya menang”, jawabku spontan gara-gara pikiran kotorku. Memang agak kongslet otaku ini.
“HAHA” Fatah tertawa seolah mendapat DM ke otaknya.
“Eh bukan gitu, ya ambruk dong kalau nyodoknya kekencengan kalau permainan mau berakhir, kan semakin lama semakin goyang tuh tumpukan batang” Tante Dewi tulus menjelaskan.
“Sini Tante bantu keluarin batang kamu”
Seeerrr... batang gua mau dikeluarin ama Tante anjing, pikirku. Wajahku memerah dan tubuhku menghangat.
Tante Dewi membimbing tanganku membentuk penunjuk, mirip dengan jargon 01.
“Yang keras nunjuknya biar kuat, baru didorong pelan-pelan” Bagian balok jenga itupun bergeser keluar perlahan dari tumpukan. Setelah sebagian besar bagian batang jenga itu keluar, Tante Dewi melepas tanganku.
“Nah sekarang disodok keras batangnya juga gak apa-apa, karena dah diujung”
“Beneran gak apa-apa nih, Te”
“Iya gak apa-apa, sodok aja keras-keras keluar dengan aman pasti tu.
“aku sodok ya Te, aku sodok nih.. “ aku mencoba menggoda Tante sambil memandangnya.
“Sodok aja sayang cepet ah”, sahut Tante Dewi tidak sabaran.
Aku sentil bagian jenga yang baloknya mau keluar itu keras-keras dan
“Ahhhhhkh...” tiba-tiba Fatah mendesah seperti wanita film XXX berbarengan dengan sentilanku ke jenga.
“Apaan sih.. ihh..” Reni memukuli pundak Fatah gemas..
Aku dan Fatah tertawa terkakak kompak.
“Eh aku mau godain Tante Dewi malah kamu yang Ahhhh...” hahaha
Tante Dewi tiba-tiba terdiam dan menunduk mulai sadar, bahwa dari tadi pembicaraan kami ini memang menjurus ke arah semi-nakal, seolah dia mengingat kejadian percakapan kami dan memilahnya satu-satu. Kemudian wajahnya memerah perlahan.
Setelah tawa kami reda sekarang giliran Reni yang melanjutkan.
“Kamu Ren sekarang!”, ujar Fatah dengan nada memerintah.
“Gimana, bantuin dong..” Reni merajuk ke Fatah...
“Oke dah, Reni maunya sodokan keras apa pelan?”..
“HAHAHA” Spontan aku tertawa, seolah dapat kiriman WA dari Fatah langsung ke otaku.
Fatah pun membimbing Reni melakukan giliranya, dilanjutkan dengan giliran Tante Dewi dengan jari-jari lentiknya.
Permainan pun berlanjut dengan tertib sembari diselingi candaan ringan yang terkadang berwarna biru muda. Tak terasa waktu sudah sore, pukul 16:30. Dari hasil pertandingan kali ini pemenangnya adalah tim Fatah-Reni dengan skor 6-4 melawan tim Rendra-Dewi. Aku memang kalah tapi tunggu saja nanti, aku akan membalas, ujarku dalam hati. Setelah menghentikan permainan kami hanya duduk-duduk saja berbincang.
“Kalian itu masih kecil tapi becandanya dewasa ya....”, ujar Tante tiba-tiba.
“Anak kekinian Mam, haha” jawab Fatah.
......
(Bersambung)
Likes, Apresiasi, dan Jejaknya dinanti
Terakhir diubah: