Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sesuai Aplikasi: Dea

Status
Please reply by conversation.
Sesuai Aplikasi: Dea

Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Keyword: Soft-core, Drama, 1st PoV Perempuan 19th, Mahasiswi, Ojol

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

---

Part II
Bandung, 27 Desember 2021


Seiring berlangsungnya keliaran dua insan dimabuk syahwat itu, aku merasakan kesengajaan sikut Kang Rifki yang menyentuh-nyentuh puting susuku. Parahnya, terkadang ditekan dan diusapkan sikutnya itu pada payudaraku yang membusung bebas tanpa bra.
"Hhhhhh." Aku mendengus tanpa bisa aku kendalikan.

Di satu sisi, mataku menyaksikan adegan dua manusia telanjang yang sangat erotis dan liar, di lain sisi payudaraku yang tersentuh-sentuh membuatku jadi tak karuan, ditambah cengkraman tangan kasarnya yang memegangi tanganku.

"Enak banget ya, Kang." Bisikku lirih.

Siang nampak mewacanakan hujan, namun hujan di bulan Juni bak sukat air menjadi batu - alias impossible. Maka yang ada hanya gerah-gelisah di sekujur badan, gara-gara panas dan lembabnya udara. Itulah kenapa, ketiak dan dadaku kuyup oleh keringat. Kang Rifki juga, kaos pada bagian punggungnya terlihat basah oleh keringat.

Di tengah gerahnya siang dan panasnya persetubuhan adik kelas dan kakak kelas ini, keusilan sikut Kak Rifki tak jua berhenti. Tapi aku bisa memaklumi itu. Andrian saja tak akan tahan melihatku bertelanjang dada di hadapannya, apalagi Kang Rifki yang di hadapannyanya ada tubuh telanjang perempuan yang sedang disetubuhi. Lagi pula, aku bisa merasakan apa yang mungkin dirasakan Kang Rifki. Bagaimana tidak, tusukan Hendri begitu kencang dan dalam, sampai pantat berlemak Kak Rani itu berombak-ombak dan payudaranya berayun-ayun bak balon air.

Mungkin karena kelelahan, Kak Rani menjatuhkan dirinya di kasur, namun Hendri nampak masih bersemangat. Dimiringkannya Kak Rani, lalu dipeluk dan disendoknya tubuh Seniornya itu hingga penisnya bisa menancap kembali dari arah belakang.

"Hh-hhh." Aku menghela nafas dalam-dalam ketika tangan Hendri menarik dagu Kak Rani ke belakang dan menciuminya dengan sepenuh nafsu.

"Kenapa, Neng sange?" Tanya Kang Rifki yang mendengar suara nafasku.

Aku menggeleng,

"Enggak, Kang."

"Itu tuh namanya sange, Neng."
"Sangat ingin ngewe."
"Kalo Neng udah suka ngewe, nanti juga tau." Ujarnya lempeng.

Keluguan Kang Rifki terkadang membuatku ingin tertawa, tapi mungkin dia begini adanya. Maka aku pun jadi tak begitu khawatir ketika aku melepaskan tanganku dari pinggangnya, lalu berpegangan pada lengannya, membiarkan tangannya melintangi buah dadaku.

"Neng gak pake beha?" Tanyanya, pasti karena tangannya terganjal payudaraku yang empuk.

"Kenapa emang, Kang?"

"Enyoy. Hehe." Jawabnya lugu. Enyoy itu kenyal dan empuk untuk bahasa lokal di sini.

Aku tertawa saja.
Namun tak lama, tontonan pun terpaksa terputus karena Hendri berhenti menyetubuhi Kak Rani. Ia mengambil minum dan mengajak Kak Rani duduk bercakap-cakap di kasur.

"Gak kuat dia, Neng." Komentar Kang Rifki, mentertawakan Hendri.
"Kalo lanjut, bisa crot di dalem dia.
"Habis memeknya sempit gitu."

Aku menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa mendengar komentar Kang Rifki, lalu turun dari panci yang kupijak. Teriknya matahari seolah terlupakan dari tadi dan baru terasa sekarang, maka aku pun meneduh ke sisi jendela yang ternaungi atap. Kang Rifki nampak mencoba bertahan, menunggu-nunggu tayangan selanjutnya dari jendela sebelah.

"Pake jaket saya aja, Neng." Ujar Kang Rifki, ketika melihatku celingukan mencari alas untuk duduk karena lantainya kotor.
Dia mengambil sebungkus rokok dari sakunya lalu menyerahkan jaket hijaunya itu.

"Gak apa-apa, Kang. Makasih." Ujarku, mengulurkan tangan menerima jaketnya.

"Meni seksi ih, Neng Dea." Puji Kang Rifki sambil menyalakan sebatang rokok, matanya melirik leherku yang basah oleh keringat.
"Keringetannya udah kayak abis ngewe aja kayak si cewek itu."

Aku tak tahu harus menjawab apa, aku tak terlalu biasa dengan bahasan-bahasan brutal seperti itu.

"Becanda, Neng, bukannya gak sopan." Kelakarnya sambil tertawa, meniupkan asap dari mulutnya dan lantas kembali ke tembok itu.

Bau kain terjemur matahari bercampur debu tercium dari jaket Kang Rifki yang aku pegangi. Lembab keringat, bau ketiak yang samar, dan bau tembakau, bercampur dengan sedikit bau detergen membuat jaket ini seperti sebuah jaket perjuangan hidup. Berbau kerja keras, bau pantang menyerah, bau seorang laki-laki, bau yang sebetulnya familiar buatku. Bau jalanan yang mengingatkanku pada jaket apek yang dahulu biasa Ayahku pakai untuk perjalanan sehari-hari ke kantor.

Ibuku pernah cerita kalau aku sangat posesif sama Ayahku. Aku selalu ngambek kalau Ibu bermesraan dengan Ayah. Tidurku harus ditemani Ayah, ke mana-mana harus digendong Ayah. Dari sendal, tas, sampai bantal yang dipakai Ayah tak boleh ada yang menyentuhnya kecuali aku, dan itu termasuk jaket Ayah. Sampai akhirnya aku duduk di bangku kelas 2 atau 3 SD, keposesifanku mulai mereda. Namun banyak yang tidak mengetahuinya kalau aku masih memfavoritkan barang-barang milik Ayah sampai aku SMP. Karena itu aku begitu menyukai bau apek dan bau terjemur matahari jaket Ayah, bahkan sampai sekarang. The Electra Complex adalah satu-satunya teori yang bisa menjelaskan apa yang aku alami itu, teori tentang pengaruh seorang Ayah terhadap perkembangan kedewasaan seksual seorang anak perempuan. Bagiku, bau matahari dan debu begitu jantan dan maco, bau apek karena keringat bahkan makin menambah sisi maskulinitasnya. Maka tak aneh buatku jika jaket hijau berlogo perusahaan antar-jemput online ini campuran baunya membuat bulu-bulu romaku berdiri.

"Neng Dea sering gitu, enggak pake beha?" Tanya Kang Rifki menghampiriku, menatap putingku yang rupanya turut berdiri karena bau jaket yang seksi ini.

"Kalau tidur aja, Kang." Jawabku apa adanya, sambil menarik kaosku agar melipat dan menutupi puting susuku.

"Kalo celana dalam pake?" Tanyanya lagi.

Entahlah ya, aku merasa Kang Rifki ini begitu polos dan menganggapku seperti anak sekolahan. Karena itu aku mendadak sedikit jahil. Dengan berlagak innocent, aku menunduk dan menarik keluar karet pinggang celana piyama yang kupakai. Pura-pura memastikan, kutarik agak lebar agar Kang Rifki juga bisa melihatnya.

"Oh, pake." Ujar Kang Rifki, melirik ruang kosong antara karet piyama dan perutku.
"Pink, ya?"

Aku pura-pura mengabaikan pertanyaannya, namun aku bisa menangkap binar-binar di wajahnya yang sengaja ia sembunyikan. Raut kepenasaran seorang laki-laki terhadap perempuan, dan aku sangat menyukai reaksinya itu.
"Beramal yang kedua-lah, gak apa-apa." Pikirku mencari-cari pembenaran.

"Dalemnya berbulu gak, Neng?"

"Kang Rifki kepo ih." Ujarku, pura-pura protes.
Di saat yang sama, aku melihat selangkangannya yang menyembung. Bagian ritsleting celana jeansnya itu nampak menebal, membentuk sebuah galangan yang melintang, penampakan khas seorang laki-laki yang sudah tak bisa membendung nafsunya.

Melihat itu, aku merasa jadi tertantang. Sikapnya sama seperti Andrian, yang kalau dikasih hati pasti minta jantung, bertanya tentang celana dalam malah sekarang bertanya tentang rambut kemaluan. Tapi itu serunya punya cowok ketika masih baru kenal, penasaran dan sangat menuntut.

"Oh, bulunya tipis." Ujarnya melongo ketika aku perlihatkan sedikit bagian dari bawah perutku yang agak cembung dan ditumbuhi rambut pubisku.
"Putih banget, ihh." Katanya dengan mimik geli, mengomentari kulit yang melatari rambut yang aku trim pendek itu.

Aku tertawa lebar dalam hati ketika Kang Rifki melengos dan kembali ke tembok itu dengan wajah mumetnya, sementara tangannya berusaha membetulkan celananya yang sepertinya sudah kesempitan.

Begitu sampai di dinding itu, Kang Rifki langsung memberikan isyarat tangan kalau permainan tetangga sebelah sudah dilanjutkan. Aku tertawa sambil berjinjit-jinjit menghampirinya.

Keduanya sudah bergumul kembali, melanjutkan posisi yang tadi. Aku yang sudah tak lagi merekam adegan mesum itu dapat leluasa berpegangan tangan pada sudut tembok, namun Kang Rifki seperti memanfaatkan kesempatan, dia berdiri di belakang, berdesakan dengan punggungku hingga penis tegangnya menempel persis di belahan pantatku.

"Kang, mau ngapain?" Tanyaku, agak risih.

"Oh, maaf, Neng. Si Otong suka nakal, memang." Jawabnya, sedikit mundur menghindari pantatku.

Tapi fokusku segera beralih, menjiwai Kak Rani yang kemaluannya sedang ditusuk-tusuk dari belakang sementara ia tertidur menyamping itu. Payudaranya yang mengembung diremas-remas kasar oleh Hendri sementara keduanya berciuman penuh nafsu.
"Gila, ya." Bisikku dalam hati, melihat pemandangan erotis tapi sekaligus romantis.

Melihat tubuh Kak Rani menggeliat-geliat keenakan, aku malah membayangkan rasanya jadi Kak Rani. Payudaraku mendadak terasa kencang, perutku mulai kembali terasa hangat, bibir kemaluanku terasa merenyut-renyut nikmat.

Kang Rifki yang sejak tadi tak bersuara pun nampaknya turut terbuai keliaran dan kemesraan Kak Rani dan Hendri, dadanya yang nyaris tak berjarak itu terasa kembang-kempis menyentuh punggungku.

Panas matahari sudah tak kuingat lagi, keringat yang kian membanjiri dahi dan leher serta basahnya dada dan ketiakku hanya membuatku makin menyatukan aku dengan lecap keringat kedua manusia telanjang yang sedang bersetubuh itu. Untuk beberapa kali, angin sepoi di panas terik itu menguapkan bau keringat dan ketiak Kang Rifki, menyelinap ke dalam hidung dan merembes di ujung-ujung syaraf kemaluanku. Keringat cowok tetaplah keringat cowok, mau itu pacar sendiri atau Ojek Online, dan dengan pemadangan seperti ini aku tak punya sisa otak untuk membedakannya.

Kebuasan Hendri dan kebinalan Kak Rani makin bertambah manakala Kak Rani disuruh berdiri di atas lututnya sementara Hendri menarik tangan Kak Rani ke belakang dan menusuk vaginanya. Nafasku kian memacu manakala tangan Hendri menyelinap ke selangakangan Kak Rani, seperti sedang memijat-mijat, mencubit-cubit, mencongkel-congkel klitoris Kak Rani. Seniorku yang alim ini menggeliat-geliat tak karuan begitu vagina dan klitorisnya diserang dua arah. Aku seperti tersihir dengan kekalutan yang nampak dirasakan Kak Rani, perlahan klitorisku ikut tegang, rongga vaginaku mulai terasa licin. Aku bahkan sudah tak peduli lagi ketika merasakan lonjoran kejantanan Kang Rifki menyentuh pantatku kembali.

Aku bisa memaklumi kelakuan Kang Rifki karena aku juga merasakannya. Dadanya yang terengah-engah itu tak ubahnya nafasku sendiri. Sesak. Karena sudah terlanjur berdesakan, aku pun melepaskan peganganku yang sudah pegal dari tembok, menyadari tubuh Kang Rifki di belakang sekarang bisa menahanku.

"Neng Dea wangi banget." Bisik Kang Rifki. Mulutnya yang hanya beberapa senti dari telingaku itu menyapukan udara panas dari nafasnya.

"Kang Rifki suka sama wangi aku?" Tanyaku memalingkan muka, balas mendenguskan nafasku ke wajahnya.

Kedua mata Kang Rifki menjuling menatapku, karena jarak wajahku terlalu dekat buatnya.

Bersambung aja seperti biasa, hehe
Lancrotken suhu
 
Patut dipasang tenda ini, ayo kang rifki tusuk aja langsung dea nya hehehhe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd