Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG SERI PETUALANGAN SURADI

:tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan: Ane sungguh takjub, serasa seperti sedang menonton tv ane baca cerita ini.luar biasa suhu
 
15

Ugi melepaskan sepatu dan jaket kulitnya, kemudian duduk di lantai dapur yang sudah dihampari tikar yang berasal dari ruang tamu. Cici tak berkedip memandanginya.
"Kamu ngapain ngeliatin terus?"
"Eggak boleh?"
"Enggak."
"Iiiih..."
"Ciiii..." Bisik Ugi.
"Kang..." Jawab Cici, berbisik juga.
"Mang Otong udah pulang?"
"Bapak udah pulang."
"Koq enggak kelihatan. Lagi tidur di kamar?"
"Enggak, lagi jualan di sebelah."
"Di rumah akang?"
"I ya. Setiap malam minggu bapak jualan rokok dan kopi seduh di rumah Uwak."
"Sampai pagi?"
"Sampai pagi."
"Bi Popong ke mana?"
"Lagi main kartu di sebelah."
"Sampai pagi?"
"Sampai pagi."
"Cucu ke mana?"
"Lagi nonton dangdut."
"Sampai pagi?"
"Enggak, paling sampai jam 12-an."
"Berarti di rumah ini cuma kita berdua dong."
"I ya."

...

"Ciii..."
"Apa kang?"
"Akang ngantuk. Pengen bobo."
"Cici juga ngantuk. Pengen diboboin."
"Manja ih."
"Biarin."
"Udah besar minta diboboin."
"Biarin."
"Sukanya dipelukin dan diciumin."
"Biarin."
"Entar memeknya basah."
"Biarin."

...

"Ci..." Bisik Suradi.
"I ya kang?" Jawab Cici, berbisik juga.
"Kenapa hidung kamu mancung? Beda sama hidung Cucu, Mang Otong dan bi Popong?"
"Enggak tahu."
"Kulit kamu kuning langsat. Mereka coklat terang."
"Enggak tahu."
"Kamu tinggi, mereka pendek."
"Enggak tahu."

...

"Ci." Bisik Ugi.
"Apa?"
"Kamu cantik."
"Mmm."
"Kamu baik."
"Mmm."

Mereka saling diam.

"Kang..."
"Ya, Ci?"
"Kenapa diem?"
"Lagi merenung."
"Kenapa merenung?"
"Inget masa kecil."
"Hm."
"Walau serba kurang tapi akang bahagia."
"Hm."
"Kenapa bapak pergi meninggalkan emak ya?"
"Hm."
"Kenapa mereka sering bertengkar?"
"Hm."
"Kalau inget bapak akang sering merasa sedih."
"Akang jangan sedih. Kalau akang sedih Cici ikut sedih."
"Kalau akang sedih kamu jangan ikut sedih. Kamu peluk akang aja, biar sedihnya hilang."
"Sekarang akang sedih enggak?"
"Sedikit."
"Mau dipeluk?"
"Mau."

...

Mereka duduk berrendengan, bersandar pada dinding dapur yang dingin. Tangan kanan Ugi memeluk di pundak, jemarinya digenggam jemari tangan kanan CIci.

Tangan kiri Cici melingkar di Pinggang Ugi, jemarinya digenggam tangan kiri Ugi.

Kepala Cici terkulai di dada Ugi. Rambutnya menyentuh pipi Ugi. Mereka saling diam.

...

"Kang..."
"Ya..."
"Cici takut sama geledek tapi lebih takut lagi kehilangan akang."
"Enggak akan, Ci."
"Cici takut akang melupakan Cici."
"Enggak akan."
"Cici sayang sama akang."
"Akang juga sayang."
"Cici seneng meluk akang."
"Akang juga seneng."
"Kang... "

Cici menggapai bibir Ugi dengan bibirnya. Memagutnya lamaaa sekali bersama perasaannya yang terindah. Menikmati setiap kelembutan yang didapatkan dari kuluman bibir pemuda itu. Dan kehangatan yang menyeluruh yang meresapi seluruh simpul-simpul syarafnya.

Jantungnya berdebar. Dadanya mengeras.

Remasan jari jemari pemuda itu pada buah dadanya adalah sensasi aneh yang tak pernah diketahui sebelumnya. Sensasi yang mendenyarkan jantungnya berdegup lebih kencang. Putingnya mengeras. Mengeras. Dan jari-jari itu memilin-milinnya. Lembut dan tepat seperti yang diinginkannya. Memecahkan kebuntuan aliran darahnya yang membeku. Aku meleleh, bisiknya.

Bibir pemuda itu pergi meninggalkan bibirnya... jangan pergi, desisnya. Oh, bibir itu tidak pergi. Tidak jauh. Dia menyusuri lehernya, mengecupnya... jangan... jangan... jangan kecup di puting... Lidahnya hangat, lembut. Mmhhh...

"Akhhkh... jangan, kang."
"Kamu enggak suka?"
"Janganhnhn di sini... di kamarhr."

Cici memeluk Ugi dan tak ingin melepaskannya.
"Bawa Cici ke kamar, Kang." Bisiknya.

Mereka tak melepaskan pelukan dan ciuman ketika beringsut menuju kamar.

Sebuah kamar yang sangat sederhana. Tak berpintu, hanya bergorden yang kainnya sudah robek di sana-sana sini. Kasurnya pun bukan springbed atau kasur busa merk terbaik, tapi kasur tipis yang sudah sangat tua. Dindingnya tidak dilapisi wallpaper mewah, hanya balok kayu kaso-kaso albasiah dan lapisan triplek yang sudah termakan cuaca lembab. Dan lantainya, bukan terbuat dari marmer atau keramik mahal, hanya peluran semen biasa. Tapi kamar itu adalah kamar terindah bagi dua insan yang sedang dibadai asmara.

Hatinya berkata: Cici, malam ini adalah malam yang istimewa. Malam spesial. Kamu jangan takut. Dia yang telah menentramkan hatimu, yang telah membuatmu nyaman dan bahagia, mustahil menyakitimu. Biarkan dirimu meleleh di tangannya...

Lelaki yang sangat disayanginya itu membaringkannya di atas kasur. Menarik kaos dan BHnya hingga lepas dari tubuhnya. Dia menatap lelaki itu pada matanya... apakah akang kecewa dengan tubuhku? Dia berbisik. Tetapi lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tulus yang menentramkan. Lalu menciumi lehernya. Menyusuri buah dadanya dengan bibir. Menjilatinya. Mengemut dan mempermainkan putingnya dengan mulut dan lidah. Memanja-manja desiran-desiran halus pelelehan di dalam dirinya.

"Akhkhkhhh.... " Dia mendesah. "Kang, aku meleleh." Katanya dalam hati kepada lelaki itu. "Jangan hentikan." Kedua tangannya meraih kepala lelaki itu dan menjambakremas rambutnya.

"Apakah dia menerima tubuhku apa adanya?" Dia bertanya dalam hati, ketika lelaki itu menarik celana panjang kulotnya sekaligus beserta celana dalamnya. "Akhh, ya. Dia menerimaku apa adanya... akhkhkh... akang..." Dia mendesis. Seluruh tubuhnya seperti terkena aliran setrum ribuan volt ketika pemuda tanggung itu menciumi perut dan pangkal pahanya.

"Oughhghhh... akang... tak perlu akang membuktikan bahwa akang menerima seluruh tubuh ini dengan cara seperti itu... akhkhkhh... akang... akhkh... jangan... janganhh.ciumi kang... akang sudah cukup membuktikan... aaahhhh... akang... aaaddddduuuuhhh.... kaaaaannnggghhhh.... lelehan itu mengalir deras... akhkhhh.... akanghhh.... aku engga tahan.... janganhhh dijilat itunya kaaanngnghhh... aaahhhhhh... kaaaaaannngghhh... ada yang meletup-letup.... adduuhhh kaangnghhh... enaakkhh... shshshshsh...sssshhhh... lelehannya menggelosor kaangnghh... srrrrrr... srrrr... srrrrr.... ada yang ngecrot kaaanngnghhhh... enggaaaa taaahhhaaannnnn...."

Pemuda tanggung itu melepaskan semua baju dan celananya.

Dia melihat benda milik pemuda itu, sedang mengacung-acung. "Apakah itu yang dinamakan kontol?" Tanyanya dalam hati. Dia ingin melihatnya dari dekat, ingin meraba dan mengelusnya. Apakah benda itu akan dimasukkan ke dalam pusat letupan di antara selangkangannya? Ya, itu pasti. Liangnya sudah berdenyut-denyut, ingin disesuatukan oleh benda itu.

Benda itulah malam istimewanya. Malam spesialnya. Hadiah ulangtahunnya. Ya, dia berhak mendapatkan hadiahnya malam ini.

"Ci..." Pemuda itu berbisik pelahan sekali.

Dia mendengar bisikan lemah itu. Bisikan keraguan. "Jangan ragu, Kang. Lakukanlah yang terbaik yang bisa akang lakukan." Dia berkata dengan hatinya, bukan dengan mulutnya. "Lakukanlah, Kang. Cinta kita akan abadi jika dua tubuh kita bersatu." Tapi dia tak sanggup mengatakannya.

Dia hanya bisa mengangguk setuju.

Benda itu panas tapi hangat, hangat tapi panas; ketika menelusup masuk ke dalam dirinya, puluhan halilintar tanpa suara menyetrum seluruh syaraf-syaraf tubuhnya.
"Hhhhhh..."

Dia merasakan kehangatan dan kelembutan itu terus menyusup, sampai tiba di suatu titik di mana rasa sakit itu datang. Ya, rasa sakit itu tiba-tiba datang. Rasa sakit seperti tertusuk jarum suntik. Tapi dia tidak ingin penelusupan yang hangat dan lembut itu dihentikan.
"Adduuuhhh, Kaangng...pelan-pelan..."
"Sakit ya?"

Dia mengangguk.

"Jangan berhenti, Kang. Teruskan pelan-pelan. Ini adalah hadiah ulang tahunku." Dia berkata dengan hatinya.

Ah, akang ternyata mengerti. Terus masukkan pelan-pelan, Kang.

Dia menggigit bibirnya. Dia menahan rasa sakitnya. Terus kang, sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit la...gi... akhkhkhkh... dia merasa ada sesuatu yang meletup pecah... PYARRRRR!

Mmmhhhh...

Dia menarik nafas, lega. Rasa sakit itu hilang digantikan oleh sensasi aneh yang sangat jelita. Ya, sangat jelita.

Penelusupan itu berhenti ketika dia merasakan pertemuan itu. Pertemuan yang menyatukan dia dengan lelaki itu. Dia ingin memeluk tapi tangannya tak sampai. Dia ingin pertemuan yang menyatukan itu dia nikmati lebih lama.

"Tunggu! Jangan ditarik dulu. Biarkan beberapa saat lagi.." Dia berkata dengan hatinya.

Penarikan itu membuat suatu efek ngilu yang memerindingkan seluruh pori-pori kulitnya. "Jangan pergi! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!" Jeritnya dalam hati.

Ada semacam perasaan hampa ketika benda itu meninggalkannya. Perasaan hampa seakan-akan dia ditinggalkan sendirian di pantai sepi tiada berpenghuni. Dia pun meneteskan air mata.

"Kamu menyesal, Ci."

Dia tak memahami kalimat itu, yang dia inginkan adalah kebersamaan abadi dengan lelaki itu.
"Jangan tinggalkan Cici, kang."
"Tidak akan sayang, akang janji." Kata lelaki itu.

Lelaki itu kemudian mengambil sapu tangan warna biru muda di saku celana panjangnya yang tergolek di lantai. Sapu tangan itu digunakan untuk melap darah yang menempel pada benda kejantanannya yang berdarah.

"Apakah dia juga mengalami sakit seperti yang aku rasakan?" Dia bertanya kepada hatinya.

"Aku berjanji dengan ini." Kata lelaki itu sambil melipat kembali saputangannya. Lalu menyimpannya di saku celana panjangnya dengan hati-hati.
"Peluklah Cici, Kang." Pintanya dengan sangat.

Tetapi lelaki itu malah mengusap pipinya.
"Jangan nangis sayang, akang tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun."
"Cici sayang sama akang dengan seluruh jiwa raga Cici."
"Ya, akang tahu. Akang juga sayang sama Cici dengan seluruh jiwa raga akang."
"Peluklah, Kang."

Lelaki itu memeluk erat dan berbisik.
"Masukin lagi ya?"

Dia mengangguk.

Dia merasa khawatir rasa sakit itu akan datang lagi. Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti. Sama sekali tidak terbukti!!!

Penelusupan yang pelahan kini telah berganti menjadi penembusan yang tenang. Dia merasakan sensasi baru yang mendenyar-denyarkan pusat kewanitannya. Sensasi wow yang membawanya naik melayang. Ketika penembsan itu berubah lagi menjadi hujaman demi hujaman, dia merasa seperti dipantul-pantulkan dari puncak gunung satu ke puncak gunung lain yang lebih tinggi.

Srrrr... puncak satu, dia mengeluh.
Srrrr... Srrrr... puncak dua, dia mengerang.
Srrrr... Srrrr... Srrrr... puncak tiga, dia merintih.

Perasaan indah apakah ini yang telah membuat dirinya merasakan sebuah sensasi kenikmatan yang lebih jelita dari segala jelita? Sehingga nafasnya tersengal dan jantungnya berdegup kencang?

Dia tak sanggup lagi menahan semuanya. Tak sanggup. Seluruh simpul-simpul syarafnya telah berfokus menggembungkan sesuatu di dalam pusat kewanitaannya.

"Akaaangngng!!!!" Dia menjerit dan memeluk lelaki itu sekuatnya untuk meledakkan sesuatu yang menggembung di pusat kewanitaannya.

Crot! Crot! Crot!

Kemudian dia terlempar di suatu dunia yang aneh. Sebuah daratan yang sangat luas tak bertepi. Di daratan itu dia melayang dan berputar. Tak ada orang lain di sana, kecuali dia dan akang.

Ya, hanya dia dan akang.
 
16

Pada 5 putaran pertama Lilis merasa beruntung. Dia narik 4 kali. Pada putaran ke 6, dia merasa kartunya sangat baik. Tapi jantungnya berdegup ketika melihat pemuda tanggung itu melongok di ambang pintu dengan wajah kecewa. Terdengar olehnya suara Cici menghibur pemuda tanggung itu.

"Mungkin mereka sudah lama pacaran secara diam-diam ." Duganya dalam hati. Lilis gemetar dan sedikit cemburu ketika tadi siang melihat pemuda itu mencium Cici. Padahal Lilis merasa pemuda tanggung itu menykai dirinya.

Pemuda itu memiliki bentuk tubuh yang bagus. Lilis kesengsem dibuatnya.

Setelah ke luar dari permainan dengan alasan sakit perut, Lilis minta izin ke kamar mandi. Dia melihat Mang Otong sedang tiduran di ruang tengah dan Bi Popong sedang konsentrasi dengan kartu-kartunya.

Dia masuk ke dalam kamar mandi hanya satu menit saja untuk kencing. Lalu mengendap-endap menuju pintu belakang itu dan ke luar. Halaman belakang itu samar dan agak gelap. Dia berharap pintu belakang rumah Bi Popong tidak dikunci.

Ternyata memang tidak dikunci.

Dengan sangat hati-hati dia memasuki dapur itu, berdiri tenang di keremangan, mengintip pemuda tanggung itu sedang memberikan kenikmatan kepada gadis itu.

Seluruh tubuh Lilis merinding.

Pemuda tanggung itu tengah menciumi paha gadis itu dengan cara yang lembut.
"Ternyata kamu sudah berpengalaman, Gi." Kata Lilis. Matanya terbelalak ketika pemuda tanggung itu melepaskan seluruh bajunya. Terlihat batang kontolnya yang besar walau tidak begitu panjang. Bentuknya melengkung seperti pisang. Lilis meraba payudaranya sendiri dan mengelus-elus belahan memeknya dari luar celana dasternya.

"Dia begitu lembut memerawani Cici." Desisnya. Teringat dulu bagaimana dia merasa kesakitan dan rasa ketidaknyamanan di malam pertama dengan kang Dadang. "Bahkan dia melap darah keperawanan itu dengan saputangannya dan menyimpannya. Ugiii... kamu harus masuk ke dalam memekku."

Saat pemuda tanggung itu menggenjot Cici, jari jemari Lilis sudah masuk ke dalam celana dalamnya dan mengobel-obel memeknya sendiri.

"Si Cici pasti sudah ke luar berkali-kali... dia sangat beruntung diewe oleh kontol yang besar dan berpengalaman itu ahkh... Ugi..."

Lilis kembali ke permainan kartunya dengan bayangan kontol itu meggenjot memeknya di otaknya. Dia kalah beberapa kali karena tidak konsentrasi dan mundur dari permainan. Ketika pulang, dia melihat suaminya sedang ngorok.

"Kau tak pernah memberi aku kepuasan!" Katanya dalam hati. Lilis berbaring di sisi suaminya dan melakukan onani lagi. "Ugi... ugi... " Desisnya.

Malam itu akhirnya Lilis bisa tidur dengan nyenyak.
 
17

Mereka cepat-cepat berpakaian ketika mereka merasa ada seseorang di dapur.
"Kang gordennya lupa ditutup." Kata Cici. "Tadi seperti ada suara apa di dapur."
"Mungkin tikus." Kata Ugi.
"Kang, terimakasih." Cici mengecup bibir Ugi. Lalu memeluknya. "Jangan tinggalkan Cici."
"Tidak akan sayang." Jawab Ugi sambil membelai rambutnya.
"Sebentar lagi Cucu pulang, akang harus segera pergi."
"Ya, sekarang juga akang mau pergi, enggak perlu diusir."
"Aaah, akang. Cicic enggak ngusir..."
"Akang cuma becanda, koq." Kata Ugi tersenyum.
"Peluk dulu." Kata Cici.

Mereka berpelukan dan berciuman selama beberapa saat.
"Nenen kamu mengeras lagi." Kata Ugi. "Pengen lagi yaa...?"

Cici memukul pemuda tanggung itu dengan mesra. Dan mengusirnya pergi.


18

Ugi tak tabisa tidur bukan karena berisik. Tapi dia ingat Mami. Sejak Pak Joni kena stroke dan badannya lumpuh sebelah, beberapa kali Mami memintanya untuk pindah dan tinggal di salah satu kamar kost yang kosong. Mami juga memintanya untuk berhenti bekerja.
"Kamu terusin sekolah, setelah SMA tamat lanjutkan kuliah." Katanya.

Ugi selalu ragu dengan apa yang dikatakan Mami. Soalnya, bosnya berkata bahwa cepat atau lambat, dia akan bosan dengan Mami.
"Kamu masih muda, perjalananmu masih jauh. Betul kamu harus melanjutkan sekolah, tapi berhenti bekerja? Tidak. Kamu tidak bisa mengandalkan belas kasihan orang agar kamu bisa sukses. Kamu harus bekerja." Kata Bosnya.

Ugi tak pernah meragukan apa yang dikatakan bosnya. Bos selalu benar.

Lagi pula apa yang telah dilaluinya bersama Cici membuatnya sadar akan keindahan sex yang sebenarnya.

Banyak sekali hal yang dipikirkannya malam itu.
"Tapi yang jelas, aku harus melakukan apa yang diperintahkan bos secepatnya. Demi kepentingan diriku sendiri." Katanya dalam hati, sebelum akhirnya dia terlelap.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd