Resensinya bagus..tapi masih bisa diperdebatkan.
Ada baiknya kita juga meninjau di Wikipedia siapakah Prof. Dr. Slamet Muljana, apakah se-teledor itu dalam menanggapi penelitian dari Residen Poortman atau apakah sedemikian mudahnya peneliti pemerhati sejarah sekelas SM mengambil dan mengolah serta mengutip data dari narasumber ?
Tentunya ada standar ilmiah yang harus SM ikuti dalam memilih sumber dan mengutipnya, tidak harus melakukan penelitian ulang ke naskah sumbernya namun cukup dengan cara2 yang benar dalam mengambil menyadur hasil penelitian peneliti lain, tentunya memilih peniliti yang berkompeten.
Benar pada resensi bahwa lebih mantap bila SM melihat dan menerjemahkan serta merumuskan naskah kuno tionghwa dr kelenteng SPK. Tapi dalam keterbatasan kesempatan merumuskan meyelidiki naskah tsb, SM melihat kepakaran Residen Poortman melalui metoda yg diambil, dan pada Bab selanjutnya ada penjelasan lain yg lebih mendetail berdasarkan sumber2 lainnya.
Copas : Residen Poortman bersikap sangat hati2 dalam mengutarakan pendapat2nja, terutama tentang identifikasi tokoh2 sedjarah, meskipun berdasarkan penjelidikannja jang bersumber pada dokumen2 penting jang orisinil ia jakin akan kebenaran pendapatnja. Dalam mengidentifikasi tokoh2 sedjarah ia selalu menggunakan terminology jang paling rendah nilainja jakni veroderstelling atau supposition, bukan presumption atau hypothese. Terminologi jang kedua dan jang ketiga ini lebih tinggi nilainja dan lebih kuat. Penggunaan istilah supposition/ veroderstelling menundjukkan betapa hati2 sikapnja dalam bidang ilmiah
Ok biar lebih seru dan menjawab (mungkin loh menjawab
) yg dimaksud :
.yang disembunyikan pemerintah
(sepertinya kurang tepat menurut ane
kalo pake kata disembunyikan) dibahas dikit deh
(jadi baca lagi nih
udah bbrp tahun ga dibaca lg
).
Oke
deh dilanjut :
diambil dari buku nya (kalo ada yg sdh baca maafin ane
tp mungkin ada juga yg belon pd baca
)
Berita atau Naskah dari Kelenteng Sam Po Kong (SPK) Semarang merupakan sumber sejarah baru, orientasi baru yang mencoba menembus kegelapan sejarah, karena uraian Babad tanah Djawi dan Serat Kanda kedengarannya seperti dongeng yang mengandung banyak fantasi. Berita atau Naskah SPK merupakan sumber sejarah baru, dan penelitian lbh lanjut sangat diharapkan.
Residen Poortman pd thn 1928 adalah penasihat urusan pemerintahan dalam negeri dan seperti resensi diatas ditugaskan oleh pemerintah kolonial belanda utk menyelidiki apakah Raden Patah adalah orang Tionghwa. Mengapa harus diselidiki Raden Patah adalah Tionghwa ? karena (menurut bukunya nih
.) menurut Serat Kanda Raden patah bergelar Panembahan Djimbun dan menurut Babad Tanah Djawi bergelar Senapati Djimbun,
..sedangkan Djin Bun dalam dialek Yunan artinya Orang Kuat
(jadi mungkin kolonial Belanda penasaran makanya nyuruh Residen Poortman selidiki
.kayanya sih gitu ya).
Sesuai resensi/buku maka berangkatlah Residen Poortman ke Kelenteng SPK di Semarang (mengapa ke SPK karena sejarah SPK itu sendiri yg sangat erat dengan jejak kaki Tionghwa di Tanah Jawa/Indonesia
kalo ini mnrt ane ya). Dan dibawalah tiga tikar naskah2 tulisan Tionghwa, ada yg sdh berumur lebih dari 400 tahun. Hasil penelitian tiga tikar itu tentang Panembahan Djimbun termuat pada preambule/pendahuluan suatu prasaran kepada pemerintah kolonial Belanda, dengan diberi label GZG yang artinya sangat rahasia, ditambah keterangan : hanya boleh digunakan dikantor saja. Atas permintaan Residen Poortman hasil penelitiannya harus dirahasiakan krn jika diketahui umum sudah pasti menimbulkan keguncangan dalam masyarakat islam di pulau jawa (ini copas dr bukunya
), menurut ane saat itu Residen Poortman sdh sangat hati2 mengenai hasil penelitiannya. Hasil penelitian ini atau prasaran baru diketahui pada tahun 1964 sebagaimana tertulis pada buku Tuanku Rao. Ada rentang waktu yg lama antara 1928-1964.
Lanjut deh
dikit lagi nih
Dalam buku tsb tidak disinggung dimana tiga tikar naskah tionghwa dari kelenteng SPK disimpan (sepertinya ga ada ya
ditulis dimana disimpan
), hanya ada 5 lembar prasaran dalam bentuk cetakan. Prasaran tersebut masih ada di Gedung Negara Rijswijk, Belanda. Tapi kalo menurut ane sih naskah2 kuno itu masih disimpan di Belanda, Belanda kan jago kalo nyimpen2 arsip sejarah.
Dikemudian hari, hasil penelitian Residen Poortman tsb diumumkan oleh Ir. M.O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao (1964) sebagai Lampiran/XXXI dari halaman 650 sampai 672 dibawah judul : Peranan orang2 Tionghwa/Islam/hanafi didalam perkembangan agama islam dipulau Jawa. Parlindungan adalah seperti anak angkat dari Residen Poortman, ahli waris Residen Poortman.
Jadi menurut ane nih terlepas dari pro kontra sebagaimana yang ada pada resensi diatas dan isi bukunya, Pemerintah lebih mengambil jalan tengah untuk melarang beredarnya buku tsb demi menjaga ketenangan masyarakat, bukan menyembunyikan kebebasan ilmiah tapi lebih kepada pemahaman kelompok masyarakat Indonesia kebanyakan yang mungkin ngga bisa se cool kita2 ini dalam menyikapinya saat membaca buku tsb.
.hehehe Ahok aja ribet tuh waktu kampanye jadi wagub karena suku dan agamanya.
Pada masanya cara2 berilmiah penulisan buku termasuk sumber2nya akan lebih detail dikupas dikritik dalam diskusi2 panel ilmiah. Jangan hanya sebatas resensi buku tapi bagusnya para ahli sejarah buat symposium atau panel diskusi terbuka yang bukan hanya menguliti buku Prof Dr SM ini, tapi naskah kuno tsb. ....nah masalahnya
.bakalan ada kelompok yg dateng ga teriak2 bubarin acaranya
.hehehehe
.(jangan2 udah ada kali diskusi ilmiah tentang naskah tsb atau bukunya
*** tau deh
).
Dalam bukunya kebanyakan/hampir semuanya nama Tionghwa untuk tokoh2 yg kita pelajari waktu sekolah SD SMP SMA dulu dan mereka semuanya adalah Tionghwa Muslim.
.cari deh bukunya baca sendiri biar lebih afdol
.ane kalo baca jadi penasaran
kok begini ya
bener ga sih
para pakar sejarah harus debat nih
termasuk pakar sejarah dari belanda.
PALING TIDAK SUDAH ADA ORANG YANG BERANI BERSUARA, DAN SEBUAH PENELITIAN DILEMPAR KE PUBLIK UNTUK DI UJI KEMBALI
DAN DIUJI LAGI
LAGI DAN LAGI