Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Tahukah hatiku galau, tak tahu harus melangkah

Sejak pertama mata jatuh menatap, hatiku tak pernah dusta

Tapi mengapa bila aku mendekat, rasanya semakin jauh





Episode VIII

Luna Oscura





Semenjak aku tiba di RS untuk bekerja pagi ini, mood ku masih kecut. Pembicaraanku dengan Ravi semalam masih mempengaruhi emosiku. Dan layaknya wanita pada umumnya, saat perasaan menguasai pikiran, banyak kekacauan yang timbul. Aku jadi sering lupa. Dan itulah kenapa meski jam tanganku sudah menunjukan pukul 09.00, aku kembali berada di area parkiran di basement, di dalam mobilku, demi untum mencari flashdisk yang berisikan data-data dan laporan untuk kegiatan laporan bulanan divisi umum pagi ini.

Aku tau bahwa dokter Alvaro kemarin jelas-jelas berkata bahwa aku tak perlu menyusun laporan khusus secara terpisah untuknya hari ini. Karena ada bu Vera kepala Logistik yang akan melaporkan kegiatan sebulan terakhir. Tapi bukan Luna namanya kalau datang kedalam rapat tanpa membawa bahan materi sedikitpun. Paling tidak data ini adalah langkah awalku untuk mempelajari lebih dalam terkait seluk beluk manajerial rumah sakit.

Segera setelah menemukan flashdisk yang tertinggal tadi, aku bergegas menuju lift untuk menuju ke ruang pertemuan di lantai 7. Di dalam lift, aku bertemu dengan manajer medis RS ini. Dokter Padma.

Kalian masih ingat dokter Padma kan? Yang pernah mengomeliku terkait permintaan vaksin… Yup, aku berdua dengannya berbagi lift. Dan karena aku tau kantornya juga terletak di lantai 7, seperti jajaran direksi yang lain, perjalanan ini akan menjadi ujian emosi lainnya untukku pagi ini. Andai aku tidak terlambat, aku akan lebih memilih untuk menaiki lift lain. Aku tak butuh tambahan lain yang makin memperkeruh mood ku.

“Selamat pagi dokter Padma.” layaknya seorang junior teladan, aku tetap menyapanya terlebih dahulu.

“Pagi dokter Luna. Bagaimana dok, sudah bisa beradaptasi dengan pekerjaan barumu?” dokter Padma menanyakan kabarku. Jika bukan karena nada sinisnya saat bicara, aku pasti bisa menerima pertanyaannya dengan hati lapang.

“Syukurlah dok, karena bimbingan dan arahan dari atasan dan rekan-rekan di divisi umum, saya bisa cukup cepat beradaptasi. Meski tak bisa kupungkiri, masih banyak hal yang belum saya pahami dan perlu saya pelajari lebih dalam lagi.” sahutku dengan sedikit menyindir divisi medis.

“Ah… baguslah kalau begitu. Walau cukup aneh kenapa kamu bisa secepat itu pindah divisi dan jabatan. Lalu, dokter Luna ini mau kemana? Bukannya kantor logistik ada di lantai 1…” tanyanya menyelidik.

“Saya diminta hadir dalam rapat pertemuan bulanan divisi umum oleh dokter Alvaro dok. Kebetulan ruang pertemuan pagi ini ada di lantai 7.”

“Rapat bulanan? Ya, entahlah apa akan berguna untukmu menghadirinya. Karena pembahasannya jauh sekali dari dasar keilmuan medis.” Kembali terdengar nada sinis dari dokter Padma.

Tak lama layar dalam lift menunjukkan angka 5. “Saya duluan dok, saya ada perlu ke kantor HRD untuk mewawancarai 3 dokter umum baru untuk memenuhi pembagian shift jaga IGD dan bangsal.” Dokter Padma meninggalkan lift untuk turun di lantai 5, lantai tempat kantor HRD berada.

Huftt… syukurlah dia sudah pergi. Aku memanfaatkan waktu singkat sebelum aku tiba di lantai 7 untuk menata hati dan perasaanku. Sangat tidak cerdas bila aku menghadiri rapat dengan mood sejelek ini.

Kulirik sekilas jam tanganku, pukul 09.22. Aku terlambat.

Aku mengetuk pintu masuk ruang rapat dengan perlahan, dan segera memposisikan diri di kursi di dekat bu Vera. Masih ada banyak wajah kepala divisi umum yang tidak kukenali. Tapi ada Pak Roy kepala HRD dan pak Tris kepala Security nampak hadir di rapat ini.

Dokter Alvaro yang memimpin rapat ini. Dan aku tiba saat divisi Rumah Tangga RS (RTRS) mempresentasikan laporan mereka. Divisi inilah yang mengelola seluruh kebutuhan non medis RS ini, baik dari kebutuhan listrik, perawatan genset, pengelolaan air, dan lain-lain.

“…untuk pemakaian listrik, kami bisa efisiensi kan hingga 20% pak. Dengan cara membersihkan AHU dan FCU pendingin gedung secara teratur……. Untuk solar penggunaan ada peningkatan akibat pemadaman listrik kemarin…..blaa.blaaa…blaaa” kepala RTRS menjelaskan dengan detil. Dan akupun berusaha sebisaku untuk memahami laporan ini. Laporan yang sangat lengkap dan mendalam, dari permasalahan yang ditemui hingga kiat-kiat penyelesaiannya.

Sangat. Sangat berbeda dari rapat kinerja divisi medis yang pernah kuhadiri sebelumnya.

I’m really impressed

Laporan-laporan selanjutnya dari berbagai bagian dibawah direktur umum kemudian dipresentasikan. Dari bagian IT, bagian HRD, dan kemudian tibalah waktunya untuk presentasi laporan dari bagian pembelian dan pengadaan. Bu Vera segera mengambil posisi untuk mempresentasikan laporannya.

“Dari pembelian ada peningkatan pembelian obat terutama di obat paten non generik. Pembelian bulan ini meningkat 936 juta dari bulan sebelumnya. Dan ratio pembelian masih sama di mana obat paten lebih banyak 2 kali daripada obat generik.” jelas bu Vera.

Aku menelan ludah mendengar laporan ini. Panik akan reaksi dokter Alvaro saat mengetahui adanya peningkatan fantastis dalam permintaan obat paten.

“Bu Vera, apakah menurut anda pembelian ini masuk akal?” tanya dokter Alvaro dengan cara bicara yang sekarang kujuluki nada alpha.

Uh.oh… Ini akan berakhir sangat buruk.

Aku menundukkan kepalaku. Berharap dan berdoa supaya dokter Alvaro akan bisa mengatasi permasalahan ini.

Kulirik ke arah bu Vera yang memilih diam dan juga menundukkan kepala, tidak menjawab pertanyaan dokter Alvaro.

“Marketing, mana datamu kunjungan?” gelegar perintah dokter Alvaro berikutnya. “Coba tampilkan di depan, sandingkan dengan data pembelian obat.”

Dari data yang ditampilkan, aku bisa melihat jumlah kunjungan pasien di tiap-tiap bulannya. Dan nampak bahwa tidak ada peningkatan signifikan dalam jumlah pasien. Malahan cenderung stagnan. Tim marketing pun menjelaskan perbandingan rasio pasien BPJS : Umum adalah 2 : 1. Jelas pembelian obat berbanding terbalik dengan kebutuhan.

“Bu Vera, tolong tampilkan data obat yang paling sering anda beli, dan paling mahal” kembali dokter Alvaro meminta data dari bu Vera.

“Nah kan ini yang aneh, obat macam alteplase dan grup -zumab kok banyak amat ini. emang pasien kanker kamu meningkat? Engga kan? Malah turun setau saya.”

Seraya mendengar ini, aku menggenggam erat flashdisk ku. Data yang tersimpan didalamnya akan sangat vital untuk presentasi ini. Vital dan akan makin menyulut emosi dokter Alvaro.

“Oke buka stok existing, dan stok lama, saya mau liat barang yang mendekati expired 3 bulan. Dan juga saya mu liat dead stock mu, barang yang ga bergerak” perintah dokter Alvaro lagi.

Bu Vera dengan pucat membuka laporannya dan menampilkan laporan yang diminta.



“APAAA?????!!!!! DEAD STOCK MUUUU??!!! Senilai 3M ?????? GILA!!!! Ini barang kaga gerak sama sekali dan sebentar lagi expired?? BISA KAMU RETUR GA? HAH?!” dokter Alvaro berteriak dengan emosional. Suaranya menggelegar ke seluruh ruangan.

Aku tak tega melihat bu Vera dibentak habis hingga pucat pasi dan berkeringat dingin seperti itu. Aku memberanikan diri untuk duduk bersanding dengan bu Vera, memberikan data laporan obat alteplase dan golongan -zumab obat kanker yang tersimpan dalam flashdisk untuk bisa menyokong data laporan bu Vera. Dengan setenang mungkin aku mencoba menampilkan data yang bu Vera ajukan tadi yang kusandingkan dengan data yang sudah aku buat kemarin.

Untung aku kemarin segera merapikan laporan-laporan ini. Bisa mati kutu kami semua 1 divisi logistik bila data yang diminta dokter Alvaro tidak bisa kami presentasikan. Dokter Alvaro bisa melahap habis kita semua dengan amarahnya itu. Serigala Alpha tidak untuk diuji murkanya.

Kuhela nafas dalam dan memulai presentasi dataku. Kumulai dengan data tabel dan temuan yang kudapat, disambung dengan grafik dan skema proyeksi. Satu persatu grafik demi grafik kujabarkan secara urut dan terarah. Kuharap aku bisa menjelaskan dengan lugas apa permasalahan yang kutemui sedang terjadi di RS ini. Telaah data dan analisa singkat untuk mengatasi masalah juga tak lupa kujabarkan.



“Kalian semua lihat!! Lihat ini!!! Apa ga rugi rumah sakit gini caranya…..” murka dokter Alvaro makin menjadi.

Dalam hatipun aku mengiyakan pernyataan itu. Miris memang melihat data ini. Sangat sukar dipercaya pada awalnya. RS sebesar dan semegah ini, ternyata menyimpan borok kerugian sedalam dan sebesar ini. Sungguh menyedihkan.

“Iya kita butuh uang untuk hidup, iya bpjs memang bayar telat ga karuan. Tapi gila klo nimbun stok seperti ini. dan uang RS tidak berputar tapi mengendap” lanjut dokter Alvaro. “Owner RS dan jajaran dewan komisariat kita memang kaya, bukan berarti tidak kita kelola uang dan bisnis ini dengan baik. Pasien kita BPJS, iya, tapi bukan berarti terus kita telantarkan. Kita juga ngga lantas menggorok pasien umum kita untuk kita peras uangnya untuk mendapat perputaran. E sudah sakit, haruskah kita bebani lebih dengan biaya yang gila?!!” tanyanya tajam.

Ironis memang. Seolah segala hal menjadi halal di RS ini. Hanya demi mendapatkan keuntungan.



“Vera kenapa kamu diam? Kenapa semua ini diloloskan? Bukannya saya sudah meminta peninjauan ulang?” dokter Alvaro kembali menyelidik.

“aa..nu…dok…kepala Farmasi..bu Tyas langsung…by pass ke CEO dan mengeluarkan memo perintah” kata Vera dengan pucat pasi.

Bingo! Ini dia jawaban yang dari kemarin aku cari. Akupun sempat heran dan curiga kenapa bisa bagian logistik dibawah kendali dokter Alvaro, kenapa bisa kelolosan sebesar ini. Kalau melihat dari karakternya, sepertinya tidak mungkin dokter Alvaro mau ikut bermain dan menerima gratifikasi obat. Tapi aku kan belum mengenalnya juga. Ada baiknya akupun waspada terhadapnya.

BRAKKKK!!!!! Dokter Alvaro menggebrak meja dengan keras. “KEPARAT! Memang aku sudah tidak dianggap di RS ini.”

Keras sekali dia menggebrak meja. Mataku otomatis langung mengarah ke tangan kanan dokter Alvaro. Tangannya yang terluka pasti akan makin cedera bila terkena tekanan sebesar itu. Belum lagi jahitannya…

Dokter Alvaro dengan cepat langsung menarik tangannya kembali dan menyembunyikannya dibawah meja rapat.

“RAPAT BUBAR” ujarnya seketika dengan tegas. Setelah itu dia langsung keluar dari ruang rapat.

Murka serigala alpha sudah berkobar. Aku sangat khawatir dia akan makin mengamuk di kantornya. Yang sangat mungkin akan memperburuk kondisi tangannya. Ingin ku segera mengikutinya. Dari arahnya melangkah, aku bisa menduga kalau dokter Alvaro kembali masuk ke kantornya. Tapi saat aku hendak berdiri meninggalkan ruangan……

“Ehh dok… dokter Luna. Kalau boleh dok, kami semua mau minta copy data dan laporan dokter Luna ya? Sebagai bahan pembelajaran dan referensi untuk penyusunan laporan kami berikutnya…” pak Roy memecah keheningan dalam ruangan rapat.

Dan saat kulihat ke sekitarku, semua orang di ruang rapat itu memiliki ekspresi wajah serupa. Segan. Kagum. Takut. dan yang terutama adalah raut percaya.

Mereka percaya padaku? Entah dalam hal apa. Tapi mereka seolah berserah dan bergantung padaku untuk melakukan langkah berikutnya.

Tapi langkah apa? Mereka menginginkanku melakukan apa?

“Ah, ya pak Roy… Silakan. Silakan ambil dan copy data saya. Ini akaan saya copy ke dalam laptop kerja divisi umum. Kalau ada rekan-rekan lain yang ingin mengambil copy datanya juga, silakan.” aku berkata kepada forum yang masih berkumpul diruangan itu. Tapi mataku tak berhenti melirik keluar ruangan. Kearah mana dokter Alvaro pergi tadi.

Gerakan yang nampaknya disadari oleh pak Roy dan bu Vera.

“Dokter Luna. Ini rapat sudah selesai kok dok. Kami juga akan segera kembali ke pekerjaan kami masing-masing setelah mengambil copy data dokter Luna… Kalau dokter Luna ada kepeuan mendesak untuk segera pergi lebih dulu, silakan dok…” sambung pak Roy.

Sebuah jalan keluar.

Entah apa yang mereka lihat dari ekspresiku. Tapi aku bersyukur mereka melepaskanku untuk bisa segera merawat dokter Alvaro.

“Mmm… kalau begitu, saya permisi duluan bapak ibu semua. Terimakasih atas ilmu yang sudah dibagikan pada saya. Mari.” aku segera memohon diri.

Keluar dari ruangan rapat, aku bergegas berjalan menuju ke arah kantor dokter Alvarom kuharap tebakanku benar, dan aku bisa menemuinya disana.



Kuketuk pintu kantor dokter Alvaro perlahan.

“Siang dok, maaf mengganggu ini saya dokter Luna. Bolehkah saya masuk dok?” aku meminta ijin dari luar pintu.

Kalau firasatku benar, jika aku tidak memperkenalkan diri terlebih dulu, mungkin dokter Alvaro tidak akan membukakan pintu ini.

Tapi kemudian pikiran lain terbersit diotakku. Lantas kenapa aku se-pede itu kalau dokter Alvaro akan mempersilahkan aku, dokter Luna yang bukan siapa-siapa ini, masuk?

Sebelum otakku makin dipenuhi perdebatan yang tak berujung, kudengar suara dokter Alvaro dari dalam kantornya.

“Masuk.”

Tanpa menunggu aba-aba dan perintah lain, aku melangkahkan kakiku masuk ke ruangannya. Setelah meminta ijin dengan isyarat tangan, akupun duduk dihadapannya.

“Ada lagi yang perlu kamu sampaikan Luna? Data-data laporan yang tadi tolong kamu serahkan padaku, akan ku perintahkan Tika untuk mengumpulkan laporan dari divisi lainnya sebagai bahan laporan ku kepada jajaran direksi dan dewan komisariat.”

“Oh. Kalau tentang laporan yang tadi, para kepala bagian tadi nampaknya masih tinggal di ruang rapat untuk menyatukan semua berkas laporan menjadi 1 folder untuk diserahkan padamu. Kupikir karena mereka sangat luwes mengerjakannya, itu sudah menjadi hal yang rutin bagi mereka…. Tapi, bukan itu alasanku kemari mencarimu dok.”

Dokter Alvaro terdiam mendengar kalimat terakhirku tadi.

Sejujurnya akupun gugup dibuatnya. Jantungku berdebar keras. Yang terdengar semakin menggema di dalam ruangan yang hening ini. Entah dari mana tadi keberanianku itu berasal.

“Mmm.. lantas apa yang membawamu kemari Luna?” sahutnya lirih, meski kalay kulihat dari gerakan matanya, dia tau pasti jawaban dari pertanyaannya sendiri.

Akupun mengarahkan pandanganku kearah tangan kanannya. Kearah rembesan darah di perban putih yang kupasangkan padanya 3 hari lalu…

“Gimana kondisi tanganmu? Bolehkah aku melihatnya?” ta

“Tangan apa?” jawab dokter Alvaro mencoba menghindar menjawab pertanyaanku.

Aku hanya diam melihatnya. Menunggu. Menunggu sampai dia benar-benar menyadari bahwa tak ada gunanya berkelit dariku.

…………………………………………………………………………

“Jika tidak ingin bicara, kamu bisa pergi sekarang.” sahut dokter Alvaro dingin

“Pergi? Semudah itu kamu mengusirku? Itu maumu? Aku pergi? Dan membiarkan luka itu terus berdarah? Dasar serigala tak punya hati!” ujar Luna tajam.

Naluri dokterku mengambil alih. Ini bukan kali pertama aku bertemu pasien ‘bandel’ seperti ini. Tapi seorang dokter Alvaro bisa seperti ini? Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya.

“Jawab aku, jahitanmu boleh aku periksa tidak? Aku yakin kalau melihat rembesannya, pasti ada yang terbuka kembali akibat ulah sok kerenmu memukul meja rapat tadi.”

Dengan tetap terdiam dokter Alvaro bergeming.

Satu menit. Tiga menit. Lima menit…

Akhirnya dia mengulurkan tangannya ke hadapanku.

Masih dikuasai oleh emosi dan naluri dokter, aku dengan sigap meraih tangannya, memeriksa dengan seksama kondisi perban untuk memperkirakan separah apa kondisi lukanya, dari rembesan darah yang terbentuk. Aku tak akan berani membuka perbannya di kantor dokter Alvaro yang tidak memiliki peralatan medis lengkap seperti di klinik bila kulihat lukanya masih merembes deras.

Yang untungnya tidak terjadi… Rembesan darahnya nampak sudah tak meluas lagi. Tanda apabila perdarahan sudah berhenti. Entah apa yang sudah dilakukannya.

“Aku perlu membuka perban ini, untuk mengecek kondisi luka dan jahitanmu. Apakah kamu memiliki peralatan medis dasar di kantormu ini? Atau kita perlu ke klinik lagi?”

“Aku bilang tidak perlu, sudah tidak berdarah” jawabnya dingin.

Yang makin menyulut emosiku. Semua rasa frustasi yang kurasakan dari tadi pagi. Dari semalam. Memuncak dan meluap hingga semua kata-kata yang kuucapkan berikutnya penuh dengan amarah. Penuh dengan kekesalan.

“Kamu memang tidak punya hati ya? Aku yang merawatmu, yang menjahit lukamu, harus melihat darahmu mengalir... Kamu pikir aku bakal diam saja? Kamu punya hati ga sih? Tau ngga kalo aku khawatir? Gimana kalo luka itu terbuka lagi….berdarah lagi……senikmat itukah melukai dirimu sendiri?”

Aku betul-betul terbawa perasaan. Entah kenapa aku sangat mengkhawatirkan lukanya. Mengkhawatirkan dokter Alvaro… kurasakan mataku mulai basah karena airmata. Aku tipe orang yang cengeng. Kelenjar airmataku sangat sensitif dengan perubahan emosi seperti ini.

“Kamu ga pernah mikirin perasaan orang lain, kah? Ga pernah sadar anak buahmu semua menghormatimu menyayangimu, bukan karena mereka takut. Aku saja yang orang baru bisa melihatnya… kamu malah seenaknya melukai dirimu sendiri… Kamu tau ga aku juga khawatir…. Ngga suka liat kamu kaya gini…. Masalah banyak di RS ini, apa mau kamu selesaikan semua dengan kepalan tanganmu? GROW UP!! Ga semua masalah kelar pake pukulan! Mikir sedikit, ada orang yang sayang sama kamu!” kuluapkan semua kejengkelan dan amarahku.

Sangat tidak dewasa dan tidak bijak aku tau. Wanita yang dilahap emosi kerap kali tidak bisa berpikir jernih. Murni hanya dikuasai insting.

Alvaro Kalingga, kamu adalah orang yang menumpu harapan banyak orang di RS ini. Diantara keruh dan gelapnya perpolitikan RS, kamu bisa membawa secercah harapan bahwa RS ini mungkin masih bisa diselamatkan. Cuma kamu yang bisa diandalkan, dijadikan teladan. Bukan cuma untukku, tapi juga untuk semua anak buahmu.

Kalau kamu bahkan tak bisa menjaga emosi, akan sangat mudah untuk semua orang yang tak suka padamu untuk menjegalmu. Perbuatan baik lainnya tak akan dipandang lagi. Yang diingat hanyalah figur dokter Alvaro yang buas, yang liar dan tak bisa diatur.

Dan aku tak bisa membiarkan itu. Tidak saat kamulah satu-satunya harapanku untuk RS ini. Satu-satunya orang yang patut untuk kuteladani. Tidak. Aku akan menjagamu dari kebodohanmu sendiri.


Seraya berpikir itu, tak terasa air mataku mengalir makin deras. Tak lagi kuat menahan gejolak perasaan. Aku terisak tanpa henti.

The next thing I know, aku sudah ada dalam pelukan dokter Alvaro. Dalam dekapannya yang hangat dan lembut. Kehangatannya menyelimutiku, seolah menutup dan meredakan nyeri batinku.

Dan aku merasa sangat tenang, damai… sangat nyaman di dadanya. Dada yang bidang dan kuat. Keharuman wangi tubuhnya bercampur dengan bau parfum yang sama seperti yang dulu kucium saat di klinik…

Beberapa saat berlalu, hingga aku bisa kembali mengatur nafas dan menghentikan tangisanku.

Otakku mulai bisa bekerja kembali. Dan aku menyadari aku masih dalam pelukannya. Pelukan dokter Alvaro

“Kenapa kamu memelukku?” kucoba bertanya lirih… tapi badanku seolah masih enggan melepaskan diri dari dalam pelukannya.

Ini salah. Salah dalam berbagai macam hal. Tidak sepantasnya kami yang rekan kerja memiliki kedekatan seperti ini. Apalagi secepat ini….

Belum lagi mengingat status kami berdua yang sudah berkeluarga. Aku dengan Ravi dan Phoebe. Sedang dokter Alvaro dengan istrinya Claire dan putrinya Emma


“Kenapa kamu membiarkanku memelukmu?” dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

Pertanyaan sulit yang akupun bingung bagaimana menjawabnya. Meski jawaban itu sebetulnya jelas. Tak sepatutnya aku membiarkan ini terjadi. Pelukan ini… kedekatan ini… Kenapa aku membiarkannya? Ini sangat salah… tapi kenapa terasa sangat benar…

Akankah aku mengijinkannya melakukan ini lagi? Mendapat rasa nyaman dan damai ini lagi?

“Aku ingin menjagamu Luna” dokter Alvaro memecah keheningan dengan menjawab pertanyaanku di awal tadi.

Tapi jawabannya itu justru memicu instingku yang lainnya. Seolah dia tadi juga bisa membaca pikiranku.

“Jika itu maumu, maka ijinkan aku juga menjagamu”

Setelah beberapa saat, aku melepaskan diriku dari pelukan dokter Alvaro. Entah kenapa aku sudah merindukan kehangatannya.

Lunaaaaa… what’s happening with you?

Untuk mencegah kecanggunganku, aku mengalihkan perhatian dan konsentrasiku ke hal lain. Ke tangan dokter Alvaro yang tadi belum selesai kurawat dan kuobati. Kuraih tangan kanannya untuk membuka perban yang membalut luka dokter Alvaro. Sudut lukanya sedikit terbuka dan mengalirkan darah. Spontan kuambil sapu tangan yang selalu kubawa untuk membebat dan menghentikan perdarahannya.

“Hanya ujung lukamu saja yang terbuka, tekan dengan ini, sebentar juga berhenti, tidak perlu dijahit ulang dan tidak perlu di perban lagi. Lukamu cepat mengering..., tapi tetap, usahakan jangan kena air dahulu. Aku tau kamu dokter, tapi dokter adalah pasien yang tidak bisa taat pada aturan medis sendiri”

Ya. Aku yang dokter pun tau betapa bandelnya dokter bila berada di posisi pasien.

Setelah puas memeriksa dan merawat lukanya, aku segera membalikkan badan dan melangkah keluar…

“Luna….” Dokter Alvaro memanggilku lagi. Nadanya lembut, penuh tanda tanya. “Pelukan tadi…apakah artinya….” lanjutnya sedikit terbata

“Aku tak tahu…sama sepertimu akupun tak tahu. Aku belum pernah mengalami rasa ini, dan juga belum pernah menjalani hal seperti ini….biarkan saja dulu” jawabku.

“Biarkan saja berjalan, dan nikmati prosesnya…jangan banyak bertanya..begitukah?” Dokter Alvaro memastikan dia menangkap apa yang kumaksud.

Aku hanya bisa mengangguk dan melangkahkan kaki keluar dari kantornya…… sebelum aku dengan bodoh akan memeluknya lagi. Karena aku benar-benar sudah merindukan kehangatannya.







“Lun… Luna… LUNA!”

Terdengar suara Ravi menggelegar di ruang makan.

Ruang makan? Di rumah? Ah… waktu sudah larut rupanya. Semenjak siang tadi, aku seperti terlepas dari dunia ini. Semua berlalu bagai bayangan. Bayangan yang akupun kesulitan untuk mengingatnya kembali. Aku bahkan tak ingat jelas bagaimana aku tadi sampai di rumah.

Karena memori dan waktuku seperti terhenti… terhenti pada kejadian tadi pagi di RS… di kantor dokter Alvaro…….

Kehangatan pelukannya. Harum aroma tubuhnya. Kekuatan dekapannya. Lembut perkataan dan tanyanya...

Kesemuanya seolah memenuhi pikiran dan batinku. Hatiku yang selama ini bahkan tak kusadari telah mati rasa, serasa terhanyut dalam bayang rindu.

Hah?? Rindu. Aku? Rindu dengan dokter Alvaro????

Gila apa ya…

Luna, Luna… kamu ga boleh kaya gini. Kamu harus kuat. Seperti selama ini kamu kuat menghadapi apapun. Tantangan pekerjaan. Tantangan rumah tangga. Tekanan mertua. Tantangan sebagai seorang ibu.

Luna yang tangguh menghadapi itu semua dalam keheningan. Menelan semua pil pahit dan tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Seolah semua baik-baik saja…

Masa ‘kalah’ hanya dengan satu pelukan dari dokter Alvaro…

Dan 1 genggaman tangannya sebelum itu………………..

Lunaaaaaa… enough with this nonsense.

“Luna!! Jawab!!… berapa kali aku harus panggil kamu sih?” hardik Ravi makin keras.

“Ahh.. iya Pa. Maaf aku ngga konsen tadi… Papa nanya apa barusan?”

“Ga konsen, ga konsen… kamu tu melamun ada kali 10 menit. Kaya orang bodoh aja, sampe semua-semua ga dengar. Aku dah manggil kamu tuh berapa kali…”

“Maaf, Pa. Maaf banget. Tadi aku mikir tentang RS……..”

Yang tidak sepenuhnya salah… aku memang tadi melamun karena memikirkan RS. Secara spesifik memikirkan seseorang di RS…

“Bah… mikir apa sih berat banget. Sampe suami aja kamu abaikan. Aku ini suamimu ya. Selalu harus menjadi prioritasmu. Apalagi ini di rumah. Kamu sudah ngga di RS lagi. Buuat apa mikir kerjaanmu itu dirumah. Kerjaan ga seberapa. Gaji juga mengenaskan gitu. Apa bagusnya sih!” Ravi makin murka.

“Iya, Pa. Sekali lagi Luna minta maaf… Sekarang apa yang bisa kulakukan untukmu? Apa yang tadi papa katakan? You have my full undivided attention now…” sahutku menjawab amarah Ravi.

“Huuh.. aku jadi ga mood bicara kan. Tapi ya sudahlah, karena ini penting… besok aku dan Ella akan ke RS Trikarya Husada. Kami sudah atur janji temu dengan Tyas. Kami ingin segera mempercepat proses dan perjanjian kerjasama ekslusif untuk pengadaan obat dari PT. Dwipangga untuk RS Trikarya. Kamu, ikutlah pertemuan kami sekalian besok. Jam 11.00 siang di foodcourt RS. Supaya kamu juga bisa membantu mengawasi dan memperlancar proses kedepannya. Ingat, jangan terlambat.”

Jlegerrr.. bagai petir menyambar disiang bolong. Kata-kata Ravi otomatis membuatku terpaku ke kursi ku.

Aku paling tidak suka hal-hal seperti ini. Memang tak bisa dipungkiri pasti nesar keuntungan dari segi finansial. Apalagi RS yang sudah beroperasional full seperti Trikarya Husada, pasti bisa menyelimurkan pengambilan obat dalam jumlah besar.

Selama ini harga obat-obat paten di RS bisa ditekan karena adanya persaingan antar pabrikan obat. Demi supaya bisa mendapat tender dengan RS, pabrikan biasa memberikan keuntungan berupa potongan harga, perjanjian sponsor kegiatan seminar, dan lain-lain. Itupun bila RS bisa memenuhi target kuota pengambilan obat yang sudah disepakati di awal.

Tapi ini… yang ada dihadapanku sekarang… suamiku sendiri berkomplot untuk mendapatkan ekslusifitas dan dominansi pasar obat paten ke RS Trikarya. Dan anak perusahaan Godjali yang nantinya akan banyak turut andil adalah PT. Dwipangga. Yang dipimpin Ella dan suaminya…

Ini adalah mimpi terburuk dalam deretan mimpi burukku…

Demi memenuhi ego dan kehausan Ravi akan harta, aku harus membantu Ella musuh bebuyutanku sendiri… dan lebih parahnya, tindakanku ini akan merugikan RS dimana aku bekerja.

Baru saja tadi pagi di RS kami membahas tentang jumlah dead stock yang menggunung dengan nominal fantastis. Dan sekarang ini…

Ini bukan jatuh ketimpa tangga lagi namanya… ini jauh, berkali lipat lebih buruk dari itu.

Ravi memintaku untuk harus ikut terlibat langsung kedalamnya? Karena dialah yang bergerak di balik PT. Dwipangga. Aku harus terseret masuk dan mengotori tanganku sendiri…

What nonsense…

Nuraniku berontak. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi… tapi bagaimana… aku tak akan bisa melawan. Tak mungkin aku melawan suamiku sendiri. Apalagi sekarang Ravi sedang murka seperti ini. Hanya butuh sedikit lagi alasan untuknya untuk mulai bermain tangan denganku.

Aku harus berhati-hati melangkah. Melihat kembali posisiku dalam papan catur ini. Papan catur yang makin hari makin ruwet karena permasalahan dan konflik keluarga mulai bercampur dengan hidup profesional dan karir ku…

“… aku tak bisa janji untuk tiba tepat waktu pukul 11.00, Pa.” sahutku lirih

Dari sudut mataku dapat kulihat muka Ravi memerah karena amarahnya yang sudah diubun-ubun. Segera kulanjutkan perkataanku yang belum selesai tadi.

“Karena ini sangat mendadak, dan aku tidak yakin apakah agendaku besok bisa memungkinkan untuk itu. Tapi aku berjanji aku akan mengusahakan untuk bisa meminta ijin makan siang lebih awal supaya bisa meninggalkan kantor sebelum pukul 12.00. Sebisa mungkin aku akan usahakan bisa hadir di foodcourt pukul 11 lebih… bila waktu memungkinkan…”

“Kamu tahu kan waktuku sangat berharga! Beraninya kamu membuatku menunggu.” Ravi nampak tak puas dengan jawabanku.

“Ya. Aku tahu itu. Tapi apakah Papa juga ga berpikir waktuku di RS pun terbatas dan sangat tersita pekerjaan. Dan dari pengalamanku di RS selama ini, meeting dengan pihak medis, seperti dengan bu Tyas di bagian Farmasi… pasti dia tak bisa tepat waktu.” sahutku mantap.

“Kerjaanmu apa sih. Sok sibuk amat. Ga ada duitnya juga. Ngeles mulu ya kamu disuruh sama suami se………..”

“Tolong jangan marah-marah dan jangan teriak lagi, Pa. Ingat Phoebe sudah tidur dikamarnya. Kasian dia kalau sampai terbangun… kalau begitu kuubah janjiku. Aku janji aku akan bisa tiba di foodcourt besok siang sebelum bu Tyas hadir. Kalau aku bisa menepati janjiku ini, kuharap kamu bisa meredam amarahmu yang tak perlu ini.” aku mengakhiri pembicaraan dengan Ravi.

Piring makan malamku masih penuh terisi, karena aku sama sekali tak menyentuhnya.

Aku bangkit dari kursiku, dan segera meninggalkan Ravi di ruang makan. Seolah seperti ada aba-aba, terdengar suara samar tangisan Phoebe dari kamarnya di lantai 2.

Menemukan tujuanku saat ini, aku bergegas menuju kamar tidur untuk menenangkan dan menemani Phoebe tidur. Aku sudah tak peduli lagi apakah Ravi akan memintaku untuk menyusulnya ke kamar tidur tamu seperti hari-hari kemarin. Biarlah…

Aku akan tetap menemani Phoebe sampai pagi hari besok… hatiku yang kesal tidak akan bisa me-rileks-kan tubuhku untuk melayani nafsu Ravi. Dan aku tak ingin badanku babak belur lagi seperti dulu.

Tidak, jika besok aku akan bertemu dokter Alvaro.

Ya, besok pagi aku akan segera menemuinya… Paling tidak, dia mungkin memiliki jawaban untuk permasalahanku ini. Kuharap dia akan bisa membantuku, menjernihkan pikiranku.
 
Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku

Mampukah kita bertahan di saat kita jauh

Seberapa hebat kau untuk ku banggakan

Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu ku andalkan





Episode IX

Luna Nueva



Dengan kemantapan hati aku melangkahkan kakiku menuju lantai 7 RS Trikarya Husada. Aku berharap bisa menemui dokter Alvaro pagi ini. Aku sengaja tidak mengirimkan whatsapp apapun untuk melakukan janji temu, karena berbeda dengan pertemuannku 2 hari yang lalu, hal yang akan kubahas pagi ini adalah hal personal.

Hal pribadi.

Karena aku, dengan seluruh akal sehatku, bertekad untuk melawan perintah suamiku sendiri demi mendapat ketenangan hati nurani. Aku tak ingin membebani pasien hanya karena ketamakan Ravi memonopoli pasar obat di RS ini. Yang mana bila itu tercapai, harga pengobatan di RS akan makin menjulang tinggi.

Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak bila aku bisa melakukan sesuatu.

Aku tiba di depan meja mbak Tika.

“Selamat pagi mbak Tika, saya ingin menemui dokter Alvaro pagi ini. Beliau ada ditempat?”

Tanpa basa-basi aku langsung meminta waktu untuk menghadap dokter Alvaro.

“Oh.. sayang sekali dok.. hari ini beliau sibuk. Pukul 9.00 pagi ini beliau dipanggi menghadap dewan komisaris.” sahutnya dengan riang.

Yang sangat berkebalikan dengan perasaan hatiku saat mendengarnya…

Yah, tapi memang salahku. Aku dengan mudahnya berpikir pasti dokter Alvaro akan mau meluangkan waktunya untukku. Aku dengan bodohnya melupakan jabatannya sebagai seorang COO di RS sebesar ini. Tentu dia memiliki kesibukan yang luar biasa…

“oohhh.. Baiklah kalau begitu mbak Tika. Saya akan coba mencari waktu lain untuk menemuinya. Terimakasih.”

Hufft… pupus sudah harapanku untuk bisa menemui dan meminta arahan dari dokter Alvaro sebelum menemui Ravi siang ini. Pertemuan dengan dewan komisaris pasti akan memakan cukup banyak waktu.

Dengan langkah gontai aku berjalan kembali menuju kantorku. Aku memilih untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaanku. Hari ini bu Vera mengajak untuk rapat internal tim logistik. Kami perlu strategi dan menguatkan proses peninjauan ulang permintaan barang-barang medis. Terutama obat. Ini sebagai tindak lanjut dari rapat bulanan divisi umum kemarin.

Berulang kali aku harus mencubit dan menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri selama rapat berlangsung. Karena aku merasa sangat sulit berkonsentrasi. Alih-alih berfokus pada topik laporan bulanan kemarin, pikiranku justru melayang kembali pada kejadian setelahnya.

Di kantor dokter Alvaro. Amarahku pada dokter Alvaro. Dan terutama pelukannya…

Betapa aku merasa hangat dan terlindung dalam dekapannya. Seolah dia siap untuk melindungiku dari apapun yang mungkin menggangguku.

Tinggi badannya tak berbeda jauh dari Ravi. Dugaanku pasti diatas 175cm. Karena dia masih lebih tinggi dariku saat aku mengenakan sepatu heels ku. Tapi caranya memeluk dan merengkuhku sangat jauh berbeda dari cara Ravi memelukku. Dokter Alvaro seolah tak ingin aku menjauh darinya barang sesenti pun. Seolah tak rela bila aku keluar dari dekapannya.

Sampai bau harum tubuhnya betul-betul merasuk dan menghantui indraku. Kekuatan otot lengannya bahkan masih bisa kurasakan di sekujur tubuhku karena eratnya dia menahan tubuhku yang terisak kemarin.

Fuck… aku bahkan menangis seperti anak kecil di hadapannya kemarin… dan kenapa aku bisa mengingat kesemuanya dengan sejelas itu… ini jelas sangat menggangguku… Aku tak bisa bekerja seperti ini. Dan terlebih ini adalah suatu hal yang salah.

Sangat salah.

Ingat. Aku dan dia sama-sama sudah punta keluarga masing-masing…

Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini semua. Sebelum situasi menjadi semakin tak terkendali…

Ring… ring… ringg..

Ponselku mendadak berdering kencang… membuyarkan konsentrasi rapat kami. Kulirik layarnya dan kulihat nama dokter Alvaro terpampang disana.

Entah kenapa jantungku seketika berdebar kencang. Terasa telapak tanganku pun mulai berkeringat… come on… ini cuma telepon dari dokter Alvaro loh… kenapa aku begitu deg-degan seperti ini…

Masa cuma karena dia menelpon, kamu sudah salah tingkah?

Ya,,, memang sih ini mendadak, dan dokter Alvaro sebelumnya belum pernah menelpon aku secara langsung seperti ini…… mungkinkah dia tau aku sedang memerlukan arahan dan saran darinya… membutuhkan bantuannya?

Pikiranku mulai ngaco… aku menggelengkan kepalaku, mengusir jauh perasaanku yang aneh dan tak menentu itu, dan segera kuangkat telpon itu.

Kulirik sekilas kearah jam dinding di ruang rapat logistik. Pukul 10.15. Masih ada waktu, begitu pikirku... Jika aku bisa meminta waktu untuk bertemu dengannya barang sebentar… sebelum Ravi menginjakkan kakinya di RS ini.

“Ya, halo dokter Alvaro, selamat pagi…” sapaku kedalam telepon itu. Berharap debaran jantungku tidak kentara dalam getar suaraku.

“Halo dok, saya minta bantuan tolong di emailkan ke saya segera. Laporan pengadaan obat 3 bulan terakhir, untuk 20 besar obat yang paling kita sering beli dan mengeluarkan cost besar.” terdengar suara dokter Alvaro yang nampak sangat serius.

Nada suaranya seketika membuatku tertular dengan profesionalitasnya.

Dia tak terpengaruh dengan kejadian kemarin, dan dia masih bisa bekerja optimal seperti ini. Aku pun harus bisa… harus bisa mengatur perasaan…

“Siap dok. Akan segera saya siapkan dan kirimkan datanya.” jawabku sigap.

“Terima kasih dok” sahut dokter Alvaro seraya menutup telepon.



“Maaf sekali bu Vera, saya harus menyiapkan laporan pengadaan obat untuk dokter Alvaro. Sepertinya beliau membutuhkannya sesegera mungkin. Silakan bu Vera dan teman-teman melanjutkan pertemuan ini dulu. Saya akan menyusul setelah mengirimkan file yang diminta beliau.”

“Ya dok. Silakan. Kami juga paling-paling sebentar lagi selesai kok dok.”

Setelah mendapat ijin, aku segera berjibaku dengan komputer ku. Tak sulit mencari data yang diminta dokter Alvaro. Selama kamu tau dimana mencari dan menyimpannya. Setelah mendapatkan apa yang kucari, segera kusimpan ulang dalam format yang lebih mudah dibaca, dan langsung kukirim ke email dokter Alvaro.

And just like clockwork, setelah aku menekan tombol send di emailku. Ponselku kembali berdering… Ravi kali ini.

“Ya, Pa. Halo…”

“Luna, aku sudah dalam perjalanan menuju RS. Gimana, kamu bisa datang ke foodcourt ga sekarang?”

“Sekarang, Pa? Lha Papa aja kan masih perjalanan… ini aku baru aja mau minta ijin ke Bu Vera. Kalau aku diijinkan aku bisa datang tepat waktu nanti.”

“Ya udah sana, kamu tunggu apa lagi. Buruan minta ijin. Waktuku terbatas. Masih banyak pertemuan dengan supplier dan mitra kerja lainnya hari ini.” ujar Ravi seraya menutup telepon.



Tuhan… kurang berat apa hari ini…

Aku keluar dari bilik kantorku, dan kebetulan sekali rapat sudah usai dan bu Vera hendak kembali ke biliknya. Buru-buru aku menyusulnya.

“Bu Vera, maaf… tapi ini kebetulan suami saya datang ke RS, dan dia ingin mengajak saya makan siang bersama… kalau boleh saya ijin untuk makan siang lebih awal, bu?. Saya akan kembali bekerja disini segera setelah saya selesai makan siang dengan suami.”

“Tentu saja boleh dok. Saya tak bisa melarang hal macam itu… aduh aduh, romantis sekali suami dokter Luna ini. Bikin saya iri saja… selamat menikmati makan siang.” sahut bu Vera riang.

Keriangan yang sayangnya tak bisa kurasakan…

Andai saja ini benar-benar romantis seperti yang kau pikirkan bu… Makan siang yang berselimutkan transaksi bisnis, lengkap dengan segala intrik nya. Bahkan bila aku bisa mengumpulkan cukup nafsu makan untuk menghadapinya, mungkin sudah merupakan suatu capaian untukku.

Aku berterimakasih pada bu Vera seraya tersenyum simpul kearahnya.



Setibanya aku di foodcourt, aku sengaja memilih restoran yang agak lengang, dan menempatkan diri di meja yang terletak di ujung paling belakang. Topik yang akan dibahas sangat riskan dan berbahaya bila terdengar oleh pihak yang salah. Akupun sebenarnya sangat tidak ingin terlibat dalam hal ini. Bahkan dengan ada disini saja, aku sudah merasa sangat bersalah…

Kukirimkan pesan WA pada Ravi, mengabarkan kalau aku sudah menunggunya di foodcourt.

“Siang dok, mau pesan apa?” pelayan restoran menghampiriku.

“Ah, iya.. tolong susu coklat panas……” sahutku otomatis. Karena itu adalah minuman favoritku. Kemanapun aku pergi, hampir selalu aku memesan itu.

Tapi setelah kata-kata itu terlontar dari mulutku, pikiranku seketika melayang ke hal lain. Ke waktu 2 hari yang lalu,,, pagi hari,,, di kantor dokter Alvaro…

Saat itu dia juga menyuguhkan susu coklat padaku……

“Ahhh.. Luna.. bagus-bagus. Kamu sudah ada disini.” terdengar suara Ravi memecah lamunanku.

OMG! Ravi sudah disini. Berapa lama aku melamun? God!! Kenapa aku jadi seperti ini sih… Cuma gara-gara dokter Alvaro…

Kuarahkan pandanganku kembali ke arah waitress yang tadi mencatat pesananku, dari wajahnya, nampak dia agak kesal karena aku membuatnya menunggu. Tapi dengan keluwesan terlatihnya, waitress itu segera menawarkan buku menu pada Ravi.

Dan apakah itu kerlingan mata yang kulihat sekilas diarahkannya ke Ravi?

Tak bisa dipungkiri, dengan tinggi 180cm dan badan tegap, lengkap dengan kemeja resmi, dasi formal dan jas kerjanya yang terselempang di sikunya, Ravi nampak sangat tampan siang ini. Dia memang sangat mengedepankan penampilan. Apalagi hampir tiap hari dia bertemu dengan klien dan supplier penting di perusahaan. Jam tangan Breitling hitamnya pun menghiasi pergelangan tangan kirinya.

Chicken Cordon Bleu untukku, dan sebotol air mineral dingin plus es batu.” Ravi berkata pada pelayan restoran. “Dan kamu Ella, kamu mau pesan apa?” lanjutnya seraya menoleh kearah Ella.

Aku terkesiap. Sekejap tadi aku benar-benar lupa kalau Ella juga akan hadir siang ini. Dan ikut dalam pertemuan makan siang ini…

So much for a ‘romantic’ lunch

Tapi yang lebih perih menyayat hatiku… kenapa Ravi justru lebih dulu menanyai Ella… Dia lebih peduli pada Ella dibanding aku?

Ella siang ini mengenakan dress warna merah maroon tanpa lengan, dengan belahan dada cukup rendah. Dia memadukannya dengan sepatu Louboutin hitam beludru nya. Sangat mencolok penampilannya di RS ini. Seolah dia hendak pergi menghadiri suatu pesta saja. Ini sebenernya pertemuan macam apa sih….

Seketika aku memandang pada diriku sendiri, membandingkan betapa ‘berbeda’ penampilanku dengannya. Aku hari ini memakai atasan kemeja putih satin yang kupadukan dengan blazer navy berbahan faux fur dan celana panjang dengan potongan pensil. Tak lupa kupakai sepatu heels Valentino berwarna nude untuk melengkapi penampilanku. Sepatu pemberian dari Ravi yang dia secara khusus memintaku untuk memakainya bekerja setiap hari.

Permintaan yang sekarang cukup mudah kuturuti, karena toh sepatu ini memang nyaman. Terlebih jabatanku yang tidak lagi di IGD. Kalau dulu aku masih bekerja secara fungsional, sepatu hak tinggi itu sungguh sangat menyiksa karena aku tak bisa gesit bergerak kesana kemari untuk melayani pasien.

Keberadaan Ella disini benar-benar menguras nafsu makanku. Andai aku bisa memilih, aku akan lebih memilih untuk makan siang bersama bu Vera dan rekan-rekan tim logistik di kantin karyawan. Menunya mungkin akan jauh lebih sederhana. Tapi kuyakin akan terasa lebih nikmat dibanding apapun yang akan kusantap siang ini.

“Hmm.. menu macam apa ini… sederhana banget sih untuk RS sekelas ini.” sindiran Ella menusuk telingaku.

Kembali aku menghela nafas panjang. Aku ga boleh berpikir pesimis terus seperti ini. Terbawa dan terpengaruh emosi seperti ini. Mengumbar kelemahan diri sendiri hanya akan membawa petaka. Aku harus bisa membawa diri.

“Dokter Luna mau pesen makan apa dok? Atau cuma mau minum saja?” waitress itu kembali memfokuskan perhatiannya padaku. Daripada dia makin makan hati berhadapan dengan Ella si ular beludak itu.

“Tidak, terimakasih mbak… cukup itu saja untukku.”

“Ayo cepet Ella… mau pesen apa kamu. Milih gitu aja lama.” hardik Ravi.

“Ice lychee tea, less sugar. Lalu caesar salad, tapi saya minta telurnya telur kampung, setengah matang, dan keju parmesannya diiris, jangan diparut… ah, dan crouton nya saya minta roti gandum wholemeal ya. Catet.” cerocos Ella.

Spontan aku memutar bolamataku. Dasar rempong. Ribet amat sih hidupnya. Dan dari pandangan sekilasku ke arah pelayan tadi. Diapun juga sangat kesal mencatat pesanan Ella.

Semoga ga dikasi racun aja tu salad nya Ella…

“Mana Tyas?” tanya Ravi kearahku.

“Aku belum melihatnya tuh, Pa.”

“Hmm.. coba kutelepon dulu dia. Lagipula ini juga baru jam 11.15. Mungkin dia lagi sibuk.”

Bah! Baik bener kamu kalau sama Tyas. Coba kalo aku yang telat… Dari kemarin cerewet aja ‘jangan terlambat’, ‘jangan terlambat’… Double standard much!

Sedang aku, udah berusaha datang ontime sesuai maumu. Bahkan bisa menepati janjiku yang bisa hadir lebih awal dari Tyas. Bahkan lebih awal darimu yang maniak efisiensi. Tak ada ‘terimakasih’. Tak ada apresiasi.

You always take me for granted. Seolah aku tak perlu diperhatikan…

Setelah beberapa saat, barulah telepon Ravi tersambung ke bu Tyas…

“Halo, Tyas. Ah, iya… ini aku sudah tiba di RS Trikarya. Sekarang kami sudah menunggumu di foodcourt. Langsung datang kemari ya… Kamu mau kupesankan apa dulu ini? Sembari menunggu?”

Lagi dan lagi… perhatianmu kamu tujukan ke orang lain. Dan bukan ke istrimu sendiri…

“Oke. 1 spaghetti bolognese dan 1 lemon tea ya.” Ravi mengulang pesanan Tyas seraya memberi sinyal pada waiter kalau dia akan memesan tambahan makanan.

Sesudah semua pesanan makanan dan minuman kami diproses. Ella nampak mulai sibuk mengeluarkan ponsel dan cermin kecilnya. Mengecek apakah make-up dan lipstick nya masih sempurna.

Bukankah mereka ini kesini mau memberikan penawaran untuk penyediaan obat? Lantas mana brosur dan berkas penawaran yang seharusnya mereka tampilkan. Kulirik ke arah Ravi. Dia juga nampaknya tak membawa berkas semacam itu. Ravi tidak membawa tas apapun. Hanya ponsel dan jas nya yang sekarang tersampir di punggung kursi tempatnya duduk…

Aneh sekali.

“So, Luna…” Ella membuka pembicaraan setelah menaruh cermin lipatnya diatas meja. “Kamu sekarang jadi kepala gudang ya?” sambungnya Ella pedas.

“Jabatan resmiku adalah Kepala Bagian Logistik Farmasi, Ella” jawabku seraya mengertakkan gigi. “Namun, sepertinya otak kecilmu itu kesulitan untuk mengingat……..”

Tapi kemudian Ella langsung memotong omonganku. “Ya, ya, ya… bla.bla.bla… hanya kata-kata kosong.” Ella melambai-lambaikan tangannya yang lengkap dengan kuku manicure merah panjangnya kearahku. Seolah ingin aku menutup mulutku. “Demi memperindah posisi buluk macam itu. Hahahhaa… aku bahkan tak yakin itu bisa kau sebut sebagai kenaikan jabatan. Kamu sekolah tinggi-tinggi demi gelar dokter, akhirnya cuma kerja jadi kepala gudang. Bahkan di perusahaanku pun, kepala gudang cukup hanya lulusan SMK.”

Emosiku memuncak diubun-ubun. Aku benar-benar ingin mencekik dan menjambak rambut Ella untuk membungkam mulutnya. Bahkan adu cakar dengannya pun aku berani, meskipun kukuku pendek karena dokter tidak diperkenankan memelihara kuku. Hampir ku berdiri dari kursiku, sebelum 2 hal terjadi secara bersamaan.

Tangan Ravi bergerak keatas pahaku untuk menahanku berdiri. Dan waitress datang dengan membawa pesanan minuman kami.

Seketika aku teringat. Aku sedang berada di tempat umum. Di restoran. Di RS Trikarya Husada.

Meski hatiku dongkol dan telingaku panas mendengar cacian Ella, aku bersyukur Ravi menghentikanku dari perbuatan konyolku.

Bayangkan, seorang dokter umum bertengkar dengan pengunjung RS. Bila berita ini tersebar kemana-mana. Tamat sudah riwayatku.

Kutarik nafas dalam-dalam, meredam semua amarahku. Susu coklat panasku yang sudah tersedia dihadapanku segera kusesap perlahan, untuk bisa menenangkan hatiku.

Dan karena aku diam, tidak membalas omongan Ella, dia nampaknya cukup puas. Dia tak lagi melanjutkan cercaannya padaku. Atau mungkin itu karena Ravi pun juga memberinya peringatan dengan tatapan tajam untuk tidak melanjutkan pertengkaran kami yang kekanakan ini.

Ringg… ringg…

Dering telepon berbunyi memecah keheningan di meja makan kami. Ponsel Ravi.

“Halo… Ya, betul ini Ravi Godjali…. Ah ya, terkait perjanjian harga bulan lalu…………” Ravi bergerak melangkah menjauh untuk menerima telepon itu. Nampaknya dari relasi bisnisnya yang lain. Entahlah, aku tak tahu menahu dan tidak pernah diberi tahu olehnya terkait pekerjaan Ravi.

Tinggalah hanya aku dan Ella di meja itu. Aku memilih tak melihat kearahnya sama sekali. Daripada menyulut perdebatan dan pertengkaran tak penting lainnya. Kuambil ponselku, dan melihat apakah ada pesan atau tugas lain yang kulewatkan di RS. Setelah yakin tak ada yang mencariku di kantor, aku beralih untuk menelpon Phoebe. Wajah imutnya pasti bisa menghibur hatiku yang kecut.

Tak butuh waktu lama sebelum telponku tersambung ke ponsel dirumah. Babysitter Phoebe yang mengangkat telepon.

“Halo sus, mana Phoebe?”

“Phoebe baru saja tidur bu… baru saja saya hendak hangatkan susu untuk diminum Phoebe.”

Aku menelpon disaat kurang tepat rupanya. “Oh, ya sudah kalau begitu. Tolong fotokan wajah tidurnya ya, Sus. Saya kangen. Jagain Phoebe ya.”

Dengan berat hati kututup sambungan telepon dan terus memegang ponsel. Menanti kiriman foto Phoebe manisku…

Bersamaan dengan kuterima foto itu, nampaklah bu Tyas datang memasuki restoran bersama dengan Ravi. Lagi-lagi aku menyadari ada yang tak biasa dengan penampilan bu Tyas. Selain dari cara jalannya yang berlenggak-lenggok berlebihan, sepatu yang dia kenakan pun sangat berbeda dari biasanya.

Bu Tyas masib mengenakan seragam karyawan RS Trikarya Husada. Yang kemudian membuatku berpikir lagi… anehnya, sampai hari ini aku belum diminta untuk mengepas ataupun mengambil seragam semenjak kepindahanku ke divisi umum. Memang untuk dokter yang bekerja sebagao frontliner di pelayanan dan fungsional, ketentuan seragam hanyalah jas putih yang sudah identik menjadi identitas kami. Namun sekarang jabatanku sudah berbeda bukan……

Hmmm… suatu pertanyaan besar lainnya yang menjadi PR untuk kutanyakan kepada pak Roy. Atau dokter Alvaro?...

Well, apapun itu… seragam yang dikenakan bu Tyas entah kenapa siang ini nampak sangat amat ketat. Seperti 1 ukuran lebih kecil dari yang biasa dikenakannya. Otomatis memamerkan semua lekuk tubuhnya. Dan dia berjalan dekat, sangat dekat dengan Ravi. Dalam hati aku yakin, hanya karena aku disinilah, dia masih menahan diri untuk tidak menyandarkan badannya atau mengalungkan lengannya ke lengan Ravi.

Iya memang mereka adalah teman masa kecil (sesuai pengakuan Ravi). Tapi bahkan orang buta pun akan tahu dari gelagat bu Tyas, kalau jelas bu Tyas mengincar Ravi.

Bu Tyas adalah seorang single-mother. Putra semata wayangnya masih kecil, kelas 1 SD. Suaminya meninggal di usia muda karena penyebab yang kurang jelas. Ada yang bilang karena kelelahan merantau dan melaut.

“Siang dokter Luna. Siang bu Ella… mohon maaf saya sudah membuat anda semua menunggu. Tadi saya masih bertemu dengan beberapa dokter spesialis yang mengeluhkan pengadaan obat.” cerocos bu Tyas seraya menyodorkan tangan.

Aku mencoba menahan diri dan mengatur emosiku. Tapi aku tetap akan menunjukkan posisiku sebagai istri Ravi yang sah. Wanita-wanita jalang ini boleh saja bertingkah semau mereka dihadapan Ravi. Tapi jangan harap mereka akan bisa menarik perhatian Ravi lebih dari urusan bisnis.

Aku mendengus dalam hati, menarik kursiku mendekat ke arah Ravi. Dan duduk berhimpitan dengannya. Ravi nampak kurang nyaman dengan kedekatanku. Dia memang kurang suka dengan public display of affections. Tidak profesional dan tidak pantas katanya. Bah. Profesional macam apa yang menghadiri pertemuan resmi di RS untuk membahas kerjasama farmasi berpakaian seperti itu……

Ravi saja yang buta.

Ditengah pikiranku yang carut marut, aku sama sekali tak menyadari kalau mereka bertiga sudah mulai membahas tentang kerjasama dan perjanjian eksklusif PT. Dwipangga dan Godjali group sebagai supplier obat utama RS Trikarya Husada.

Hanya saat tiba-tiba namaku disebutlah aku tersadar perhatian mereka semua mendadak tertuju kearahku.

“Maaf aku sama sekali tak mendengar, pembahasan kalian tadi. Kenapa kamu memanggilku?” aku sengaja hanya memfokuskan perhatianku kepada Ravi, mengabaikan Ella dan Tyas.

“Itu.. tadi Tyas bilang. Semua perjanjian dan kerjasama ini akan bisa terwujud bila ada lampu hijau dan persetujuan dari direktur Umum. Dokter Al, siapa tadi namanya?” Ravi menjelaskan ulang kepadaku.

Degh.. dokter Alvaro. Lagi? Kenapa namanya lagi yang disebut-sebut.

“Okay. Lalu?” selidikku lebih lanjut karena mereka bertiga tak lagi melanjutkan pembicaraan.

“Ya itu dia. Dokter Alvaro…” dengus bu Tyas. “Dokter Luna juga tahu sendiri kan, seperti apa dokter Alvaro itu.”

Serigala. Benci segala kecurangan. Penggelapan. Bahkan kemarin dialah yang membongkar keburukan pengelolaan vaksin yang merugikan RS. Tidak kenal ampun. Merciless.

Itulah image dokter Alvaro. Yang menjadi momok di seluruh RS Trikarya Husada.

Tapi aku memilih diam, dan memasang wajah bodoh. Biarlah penilaian itu keluar dari bu Tyas sendiri. Biarlah Ravi dan Ella mendengarnya dari orang lain dan bukan aku.

Karena akupun tak yakin penilaianku akan dokter Alvaro sekaranv akan sama seperti saat awal aku belum begitu mengenalnya….

Bukan berarti sekarang aku lebih mengenalnya. Tapi semua langkah yang diambilnya masuk akal. Dan bersih. Berbeda dengan kebanyakan orang berjabatan setinggi dia. Tapi justru itulah yang membuatnya berbeda.

“Maksud bu Tyas?” tanyaku dengan nada menyelidik. Berharap dia akan terpancing dan membuka pendapat tentang dokter Alvaro.

“Kaya dokter Luna ngga tau aja. Ya seperti yang kemarin itu lo dok. Baru-baru ini dokter Alvaro merombak aturan pengadaan obat dan penyimpanan vaksin. Karena beliau mendadak melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke instalasi farmasi. Dokter Luna pasti tau lah yang mana… Kan dokter juga di RS terus. Ceritanya udah nyebar kemana-mana.” cerocos bu Tyas.

Aku tersenyum licik. Haha… mudah juga bu Tyas ini kujerat. Entah terlalu polos atau terlalu bodoh. Malah sampai membuka korengnya sendiri. Aku melirik ke arah Ravi. Berharap dia akan menyadari betapa tidak cakapnya bu Tyas. Dan betapa beresiko dan berbahaya bagi Ravi jika dia bersikeras untuk tetap melanjutkan perjanjian kerjasama.

Tapi sayangnya Ravi nampaknya sudah tidak berpikir dengan akal sehatnya…

“Nah justru itu Luna… Tyas tadi bilang, dokter Alvaro cukup susah didekati. Tapi sepertinya dia percaya pada jajaran dibawahnya di divisi umum.” Ravi mengarahkan pandangan penuh arti kepadaku.

“Iya dokter Luna. Betul itu. Dokter Alvaro sudah sangat anti pada jajaran dan direktorat medis. Kalau masukan dan tawaran ini datang dari saya, pasti akan langsung ditolak mentah-mentah.” bu Tyas seraya menimpali omongan Ravi.

“Posisi dan jabatan kamu sekarang strategis Luna. Sebagai kepala gudang, dan dibawah direktorat umum………..” Ella ikut angkat bicara.

“Kami bertiga sepakat untuk memintamu menghadap dokter Alvaro segera. Untuk dapat membantu melancarkan proses kerjasama ini.” tutup Ravi.

Pandangan mereka bertiga mendadak berfokus padaku. Mata mereka menyiratkan harap dan kerakusan yang tak terbantahkan lagi. Dan di mata Ella sekilas juga terbersit pandangan meremehkan kearahku. Yang seolah berkata, aku harus melakukan segala cara, bahkan memanfaatkan tubuhku, untuk mendapat persetujuan dari dokter Alvaro.

Seketika tenggorokanku kering. Bahkan untuk menelan ludah pun rasanya sakit.

Aku mendadak tersudut seperti ini.

“Ehmm..”

“So… kamu tunggu apa lagi. Karena pertemuan kita sekarang sudah berakhir. Segeralah buat janji temu dengan dokter Alvaro itu hari ini juga. Akan kutunggu kabar baik darimu nanti sesampai kita di rumah.”

Bertepatan dengan itu, sajian santap siang kami pun tiba. Mereka bertiga tampak lahap menyantap makan siang mereka. Sedangkan aku, bahkan untuk menghabiskan segelas susu coklat favoritku pun aku tak bisa. Untunglah aku tidak memesan makanan apapun. Karena aku sama sekali tak memiliki nafsu.

Otakku berpikir keras. Bagaimana aku harus melakukan ini. Menuruti perintah Ravi blindly seperti biasanya. Dengan mempertaruhkan reputasiku di RS ini. Dihadapan dokter Alvaro…

Sungguh ingin hatiku berontak. Tapi sekali lagi aku tak berdaya.

Kukeluarkan ponselku… untuk mengirimkan pesan janji temu dengan dokter Alvaro.

Dan kulihat pesan masuk dari babysitter ku. Pesan berisi foto Phoebe yang sedang tidur… seketika hatiku terpecah.

Ada kedamaian yang kudapat dari wajah Phoebe yang lelap. Tapi sampai kapan dia akan bisa seperti ini. Akankah Phoebe bisa terus damai dan bahagia bila aku terus menerus bertentangan dengan Ravi… Akan jadi keluarga macam apa kami nanti… Gimana nanti kalau pertumbuhan dan perkembangan Phoebe terdampak karena perselisihan kami…

Demi Phoebe…

Ya. Hanya demi Phoebe. Aku akan kembali menuruti Ravi…





Sore hari


Langkah beratku mengantarku kembali ke lantai 7. Siang tadi aku membuat janji temu dengan dokter Alvaro via mbak Tika. Sudut hatiku yang terdalam berharap dokter Alvaro akan sibuk sepanjang hari ini sehingga tak akan bisa menemuiku.

Tapi nampaknya hari ini dewi Fortuna sama sekali tak memihak padaku. Mbak Tika mengirimkan pesan WA padaku yang mengatakan dokter Alvaro ada dikantornya saat ini dan beliau tak memiliki agenda pertemuan ataupun rapat lain hari ini.

Artinya, dia memiliki banyak waktu untuk aku menghadap.

Berbeda dengan pagi ini, dimana aku sangat semangat untuk menemuinya… sore ini menemuinya adalah hal terakhir yany ingin kulakukan

Kuketuk pintu kantor beliau perlahan, dan tanpa menunggu jawaban aku membuka pintunya perlahan. Dokter Alvaro nampak sedang duduk di kursi kerjanya, kedua tangan memegang kepalanya. Seperinya diapun mengalami nyeri kepala yang sama seperti yang sedang kualami.

“Permisi dokter Alvaro, selamat sore.”

“Dokter Luna… silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu, dok? Ada kesulitan?”

Aku berpikir keras bagaimana caraku menanyakan persoalan Ravi dan rencananya untuk menjadikan PT. Dwipangga supplier obat utama, tapi tanpa menunjukkan ataupun menjuruskan pada oknum tertentu.

Lagipula, tanpa data lengkap, akan sangat berbahaya menyudutkan salah satu pihak. Terlebih bila pihak yang terlibat kesemuanya berhubungan dekat dengan aku sendiri..

“Dok?... sepertinya berat sekali pikiranmu… ada apa?” kembali dokter Alvaro menanyaiku.

Benarkah itu gurat kecemasan yang terpampang diwajahnya? Atau hanya lelahnya yang kemudian kuartikan berbeda…

“Begini dok… saya ada pertanyaan… bagaimana kita bisa tau dan mendeteksi secara dini adanya permainan ataupun monopoli pasar oleh salah satu supplier pabrikan tertentu?”

Aku mencoba perlahan bermain di tepian topik. Entah kenapa aku sangat takut berhadapan dengannya hari ini. Takut tertangkap basah. Walau aku tak terlibat apapun. Aku tau seberat apapun aku mengelak, yang dilihat oranglah yang akan dipercayai.

Sebegitu dalamnya aku tenggelam dalam perasaan ini. Aku sampai tak mendengar jawaban dan penjelasan dokter Alvaro…

Sampai dia memanggil namaku…

“Luna? Kamu nampak sangat tidak konsentrasi sore ini… ada apa?”

‘Luna’… entah kenapa namaku terdengar begitu indah saat kau ucapkan dengan kelembutan seperti itu.

Tapi aku tak boleh terhanyut… tidak lagi…

Tidak saat semuanya akan menjadi makin rumit dan makin pelik karena kehidupan pribadiku akan mulai merasuki kehidupan profesionalku.

“Maaf dok…” aku hanya bisa tertunduk dan meminta maaf. Bahkan tak bisa memikirkan suatu alasan apapun.

“Apa yang sebenarnya membawamu kemari dok? Kalau instingku benar, ada hal lain yang sangat memenuhi pikiranmu…”

Memenuhi pikiran? Ya.. benar sekali.

Aku harus memulainya dari 1 titik. Pisahkan hubungan pribadi dan profesional

Pisahkan. Dan aku harus melakukan sesuatu untuk itu. Untuk mengakhiri kedekatanku dengan dokter Alvaro.

Kalau merawat lukanya bisa dianggap kedekatan.

Kalau mengkhawatirkan lukanya bisa dianggap kedekatan.

Kalau menangis sesenggukan karena lukanya bisa dianggap kedekatan.

Kalau pelukannya………

Ya… Aku harus mengakhiri ini semua.



Well… tentang kemarin…” tenggorokanku tercekat.

Seketika aku bingung… dari mana aku harus memulainya…

Kenapa mendadak segalanya menjadi rumit seperti ini. Seolah aku tak bisa mengurai dari mana awal dan ujungnya.

“Oh.. ya… tentang kemarin…” dokter Alvaro mendadak tampak tak nyaman. Dia segera mengubah posisi duduknya.

“Kemarin… aku tak tahu apa yang sudah menguasaiku… sepertinya aku terbalut emosi.” terbata-bata aku menyusun kata-kataku. Aku teringat betapa aku bisa sangat marah, sangat khawatir, sangat panik melihat kondisi luka ditangannya yang kembali berdarah. Dan teringat betapa keras aku sudah membentaknya. Dia yang seorang COO RS sebesar ini

“Aku sangat tidak profesional… kuharap dokter Alvaro bisa memaafkanku.” Memaafkan kebodohanku. Kebimbanganku. Tangisanku. Kekanakanku.

“ahhmm.. tidak, tidak… “ tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku memutuskan memotongnya dan melanjutkan perkataanku.

Karena bila tidak, aku tidak yakin akan bisa menyampaikan poin penting yang sangat mengganjal hatiku.

“Tolong, ijinkan aku menyelesaikan kata-kata dan permintaan maafku dulu dok…” aku menarik nafas dalam dan menguatkan hati untuk dapat memandangnya lurus. Bertekad untuk menyampaikan isi hatiku. Meluruskan kembali pikiranku. Menjauhkan emosi dari tindakanku.

Menghapus hangatnya kenangan pelukan kemarin sore…

“Saya mohon maaf sekali saya tidak cakap dalam mengatur emosi dan perkataan saya. Sehingga saya sudah dengan lancang membentak dan memaksakan kehendak untuk mengobati lukamu kemarin. Kuharap ini bisa menjadi pelajaran berharga yang akan kubawa seumur hidup.” Aku menelan ludah dan menudukkan kepalaku. Merasa seolah tak pantas lagi untuk menatapnya.

Seolah aku sudah jelas-jelas mengatakan dusta dihadapannya. Seolah aku sedang membohongi diriku sendiri dengan mengatakan itu…

“Maafkan aku yang sudah melupakan jabatan anda sebagai seorang direktur RS ini. Sedang saya adalah bawahan anda. Yang sudah sering merepotkan anda, baik secara langsung ataupun tidak langsung… sekali lagi kumohon dengan sangat, anda akan dapat memaafkan saya…”

Dokter Alvaro terdiam. Dan ruangan kantor ini mendadak terasa sangat menyesakkan dan keheningannya terasa sangat menusuk. Membuat aku merasa sangat nyeri dan tak nyaman dibuatnya.

“Terimakasih untuk waktunya dok. Saya permisi.”

Aku langsung bangkit dari kursiku, dan berjalan keluar dari kantor dokter Alvaro. Keheningan itu sangat mengusik batinku. Dan dinginnya ruangan itu… aku tak lagi sanggup merasakannya……….

Hanya keras kepalaku dan teguhnya hatiku yang menahan tetesan airmataku mengalir keluar saat aku meninggalkan kantornya.

Sekali lagi kugaungkan dalam hatiku… demi Phoebe… demi Phoebe…
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd