Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SECRETUM TENEBRIS (UPDATE PAGE 103)

Status
Please reply by conversation.
Wah mantab nich..
Sang Srigala the alpha
Bakal rebutan dengan
Sang Ravi matahari...

Hmm..
Lazimnya sih
Sang Srigala itu berpasangan dengan sang bulan...
 
Semangat dok, saya sebagai salah satu member yg menikmati cerita ini sangat mendukung dokter untuk terus berkarya


Semangat🔥🔥🔥
 
Salahkah aku terlalu cinta,

Berharap semua kan kembali,

Kau buang aku, tinggalkan diriku,

Kau hancurkan aku seakan ku tak pernah ada



Episode II


Primo Quarto​



Dengan secarik surat pengunduran diri ditangan, akupun berjalan perlahan ke bagian HRD RS ini. Bukannya pesimis, tapi ini bukan kali pertama aku mencoba untuk meminta kelonggaran jam dinas. Aku sudah pernah menghadap manajemen, dokter Padma (manajer medis), dokter Agus Taksaka (direktur medis), bahkan hingga dokter Tantri sang direktur utama sendiri. Kesemuanya tak bisa memberikan privilege untuk tidak jaga malam sama sekali padaku. Bahkan ijin khusus saat aku menyusui itupun sudah meninggalkan rekam jejak kurang baik pada namaku di RS ini. Mengurangi konflik dan perselisihan antar dokter umum menjadi alasan mereka untuk menolak permohonanku.

Lebih baik bersiap untuk semua kemungkinan terburuk, begitu pikirku dalam hati.

Pagi itu, aku langsung menghadap Pak Roy, kepala bagian HRD RS ini. “Selamat pagi pak Roy, mohon maaf mengganggu, saya bisa minta waktu sebentar untuk menghadap pak?”

“Selamat pagi dokter Luna, boleh dok… Silakan duduk, ada yang bisa saya bantu?”

“Mmm,, begini pak, ini saya mau menyerahkan surat ke bapak…” ujarku lirih seraya menyodorkan surat pengunduran diri. “Mohon bapak bisa mengerti dan maklum atas keputusan saya”.

Ekspresi Pak Roy yang awalnya ramah penuh senyuman seketika berubah terkejut setelah dia membaca surat yang kuserahkan itu. Nampak jelas dia memerlukan waktu untuk menenangkan diri sebelum akhirnya melanjutkan pembicaaran.

“Dokter Luna, betul ini surat pengunduran diri dari dokter yang diajukan ke saya? Sebetulnya ada masalah apa sehingga dokter dengan tanpa pemberitahuan mendadak mengajukan permohonan ini” tanyanya dengan nada lembut dan tanpa menghakimi. Terbentuk dari tahun-tahun pengalamannya di bidang kepegawaian.

“Ya pak, betul… keluarga saya jauh lebih membutuhkan saya saat ini sehingga sudah menjadi suatu keputusan bulat untuk saya meninggalkan pekerjaan saya….” jawabku singkat. Aku tidak mau memperpanjang permasalahan ini lagi. Sudah cukup berat bagiku untuk menahan air mata karena sebetulnya hatiku masih tak rela untuk mengubur karirku.

“Apakah memungkinkan Pak, bila hari ini adalah hari terakhir saya masuk kerja? Saya rela untuk menerima sangsi dan tidak dibayar gaji terakhir saya……………..” aku coba melanjutkan permohonanku dengan beberapa penekanan dan penawaran yang memang menjadi prioritas utama pembicaraan ini. Aku harus memenuhi permintaan Ravi, apapun caranya. Begitu pikirku dalam hati.

Namun, belum selesai aku berbicara, Pak Roy langsung memotong pembicaraanku. “Tunggu, tunggu dok… sebenarnya ada apa ini kok tergesa-gesa sekali. Pelan. Tarik nafas dan ceritakan dulu ada masalah apa dengan dokter Luna?”

Mencoba menghindar dari membongkar masalah pribadi keluargaku, aku akhirnya mengalihkan pembicaraan sepenuhnya tentang pekerjaan. “Saya sudah tidak kuat pak, sangat banyak masalah di RS ini yang saya kerjakan seolah2 hanya saya sendiri yang harus bertanggungjawab atasnya. Banyak tekanan dari kolega sesama dokter disini juga. Banyak tugas-tugas yang dibebankan ke saya seorang diri padahal dokter umum di RS ini bukan cuma saya… Sedang tak ada satupun penghargaan dan apresiasi, yang ada malah teguran dan amarah dari atasan karena pelayanan saya dinilai tak maksimal. Sudah 1 tahun lebih saya bekerja di RS ini pak, tapi nampaknya tidak ada perubahan dan perkembangan berarti….” keluhku pada pak Roy.

Semua masalah itu sejatinya benar adanya… bukan aku mengada-ada. Aku simpan rapat-rapat semuanya dalam benakku karena aku tak ingin tampak seperti orang yang suka mengeluh. Karena akupun benar sangat menikmati segala pembelajaran dan ilmu yang kudapat dengan mengerjakan semua pekerjaan itu. Seremeh apapun, ada sesuatu yang baru yang kupelajari dari tiap-tiap hari selama aku bekerja disini. Mengingat hal itu, hatiku kembali terasa berat. Aku tak rela melepaskan pekerjaan ini. Tapi aku tak berdaya…

Lalu ku teringat, bahwa sebetulnya akhir2 ini sudah banyak tugas yang tak lagi membebaniku… Banyak hal yang sudah terbenahi dengan lebih baik… Aku merasa seperti seorang pembohong pada pak Roy. Tapi daripada kuharus menceritakan hidup rumah tanggaku… Kembali kucoba menahan tetes air mataku.

“Wah wah wah dok… ya jelas tidak bisa kalau besok dokter langsung tidak masuk kerja. Terlepas daripada alasan dari dokter, kami secara perusahaan RS ini pun akan kerepotan karena kekurangan jumlah dokter secara mendadak. Bagaimana dengan jadwal-jadwal dokter yang dokter tinggalkan, begitu pula dengan tugas-tugas lainnya… itupun secara aturan perusahaan sangat tidak lazim dok. Minimal pasti ada jeda waktu untuk kami bersiap mencari pengganti dan mengisi posisi yang dokter Luna tempati saat ini. Aturan dari bagian personalia adalah adanya waktu jeda minimal 30 hari setelah kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri hubungan kerja. Saya butuh untuk merapatkan hal ini terlebih dahulu dengan jajaran manajemen……” Pak Roy coba membujukku.

Aku tahu ini memang tidaklah mudah. Semua yang dikatakan pak Roy benar adanya. Mana ada perusahaan yang bisa memenuhi permohonan konyol macam ini. Namun aku tak patah arang, ku mencoba sekali lagi bernegosiasi, demi Ravi, demi Phoebe, demi aku…

“….. baiklah pak, kalau begitu ijinkan saya memohonkan satu hal lagi. Ini memang agak memaksakan kehendak, tapi tolong pak, demi keluarga saya… Saya minta sampai dengan ada keputusan dari manajemen RS, mulai esok hari saya tidak dijadwalkan untuk dinas malam lagi pak. Dulu saya sudah coba menghadap semua direktur, tapi permohonan tersebut belum terkabulkan...” pintaku dengan mata menggenang airmata. Aku sudah tak kuat bila harus menghadapi Ravi lagi hari ini dan belum bisa memenuhi syaratnya.

Pak Roy mempertimbangkan keras permintaanku ini… dan setelah beberapa saat akhirnya dia menghela nafas dan berkata padaku “Dokter Luna, akan saya coba bantu untuk negosiasikan jadwal dinas dokter selama 1 minggu kedepan untuk tidak dinas malam. Satu minggu. Dimana setelah itu, saya akan perlu bicara lagi dengan dokter Luna terkait surat pengunduran diri dokter tadi… mungkin itu ya dok. Dari dokter Luna sendiri ada yang mau disampaikan lagi?”

“Tidak ada pak…. Terimakasih sekali atas pengertian dan bantuan pak Roy. Semoga yang terbaik pak. Kalau begitu, permisi, saya undur diri dulu. Selamat pagi.” Berat rasanya kuangkat badanku dan melangkahkan kakiku keluar dari kantor HRD. Aku menundukkan kepalaku sepanjang aku berjalan sehingga tak sengaja aku menabrak seseorang yang hendak masuk ke kantor HRD.



Brukk…



“Ah… maaf, maafkan saya… aku tak melihat kemana aku berjalan…..” spontan aku meminta maaf, dengan masih menundukkan kepala.

“Ooo… dokter Luna rupanya… tidak apa-apa dok, maafkan saya juga yang ga sengaja nabrak dokter” sahut suara seorang laki-laki dihadapanku yang kusadari adalah dokter Alvaro.

Sontak aku mengangkat wajahku dan memohon maaf lagi. I just bumped into the COO of this hospital… Astagaaa…. Luna, Luna,,, harusnya kamu lebih sadar diri, aku menghardik diriku sendiri.

“Maaf dok… maaf sekali... saya sama sekali tak melihat kemana saya melangkah… maafkan saya dok” aku mengulurkan tanganku dan membungkukkan badan.

Yang mana menyebabkan dokter Alvaro menyadari ada bekas luka cengkeraman Ravi di pergelangan tanganku dan cupangan serta memar di bagian belakang leherku…….

Dokter Alvaro tak menahan pertanyaannya “itu tanganmu kenapa dok?”

Kebingungan dan salah tingkah, aku menjawab sekenanya “hmm,, itu dok, tadi ada pasien yang gelisah di IGD dan mencengkeram tangan saya…” Aku berharap itu akan cukup menjelaskan ke dokter Alvaro. Demi nama baik keluargaku… Demi nama baik keluargaku,,, begitu harapku dalam hati.

Sayangnya, dokter Alvaro nampaknya tahu aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

“Lalu pasien itu juga memukul leher belakangmu kah dok? Nampaknya cukup serius luka dokter..” jawab dokter Alvaro singkat. Tanpa memberiku celah untuk mengelak.

“Kalau kamu ijinkan, aku ingin merawat lukamu dok…” Aku yang masih salah tingkah dan kebingungan hendak berkata apa, mendadak merasakan lenganku ditarik lembut oleh dokter Alvaro yang nampaknya sudah bertekad untuk mengobati lukaku.





“Dok, sudah cukup... lukaku tidak separah itu kok… Toh saya tadi juga sudah mengobatinya waktu di IGD” aku terus coba mengelak sepanjang perjalanan kami turun menuju ke poliklinik yang terletak di lantai dasar RS ini.

“Lukanya dokter obati sendiri dok? Lah, apa yang dilakukan perawat2 IGD itu melihat dokter yang bekerja bersama mereka dilukai oleh pasien? Apa mereka cuma diam saja,,” Dokter Alvaro tampak kecewa dan geram mendengar ceritaku.

Aduhhh,, kenapa jadi ribet begini,, begitu pikirku dalam hati. Memang aku tak pintar dalam bikin alasan dan cerita seperti ini.

“ehmm, anu dok…. Itu tadi, eh, saya ngobatin sendiri kok…. Saya ngga mau ngrepotin orang lain… lagipula cuma luka ga seberapa ini…..” kilahku lagi.

“Paling tidak biarkan aku memeriksa dan melihatnya dengan lebih teliti dok… luka seperti itu dan apalagi di bagian lehermu, pasti dokter kesulitan mengobatinya sendiri juga kan” dokter Alvaro tetap bersikeras memeriksaku. “Aku tetaplah seorang dokter, meski sekarang tak lagi menangani pasien secara langsung…”

“Tapi dok…”

“Udah, ga usah pake tapi tapi…. Kalo memang segitunya dokter Luna ngga mau merepotkan orang lain. Oke, cukup saya aja yang meriksa dan ngobatin luka dokter. Supaya perawat poliklinik bisa tetap mengerjakan pekerjaan mereka.” bujuk Dokter Alvaro tidak lagi memberi ruang untuk negosiasi bagiku.

Ehh… la kan dokter itu tetep aja cowok… Masa meriksa aku sendirian tanpa pendampingan suster… dengan serigala RS ini… aduh, mati lah aku… batinku dalam hati. Tapi aku akhirnya pun menyerah. Kami sudah tiba di poliklinik

“Kosongkan ruangan periksa no. 8, saya mau minta dokter Luna meriksa saya sekarang!” Perintah dokter Alvaro pada seorang perawat yang bertugas di poliklinik pagi itu.

Bahkan sampai ‘berbohong’ pada perawat seperti itu… kan yang mau diperiksa justru aku. Begitu pikirku.

Tanpa banyak pertanyaan, segeralah ruangan periksa itu disiapkan. Tidak ada seorangpun yang berani melawan perintah langsung dokter Alvaro. Apalagi bila dia mengucapkannya dengan penuh ketegasan dan tanpa kompromi seperti itu.

Sesampai diruang periksa, dokter Alvaro sendiri yang menyiapkan segala obat dan peralatan untuk mengobati lukaku. Kulihat masih cukup terampil juga dia, mengingat beliau sudah tak lagi melayani pasien semenjak menjabat menjadi seorang direktur 1,5 tahun yang lalu.

Ditengah lamunanku, aku tak menyadari dokter Alvaro tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku… dan mengangkat lengan kananku untuk melipat lengan bajuku. Reflek akupun menarik tanganku kembali.

“Ah maaf, aku terlalu fokus untuk segera memeriksa lukamu dok… sampai lupa tak meminta ijin untuk memegang tanganmu… bolehkah?” dokter Alvaro mencoba menenangkanku. Nada bicaranya jauh berbeda dibandingkan dengan saat memberi perintah ke suster di luar tadi. Mungkin itulah yang membuatku semakin tertegun dan dengan bengong mengikuti saja kata-katanya. Bahkan sampai tak sadar bahwa dokter Alvaro sudah melipat lengan bajuku sampai ke siku, menampakkan lebih banyak luka memar dan goresan disekujur lenganku.

“hmmm.. ini ‘pasien’ nya ganas banget ya dok… Luka nya sampai kemana-mana seperti ini…” ucap dokter Alvaro tiba-tiba memecah keheningan.a

“Ahh…. Eh, iya dok... mmm” aku makin salah tingkah dan tak bisa menjawab pertanyaan retoris itu. Dapat kurasakan kedua pipiku memerah menahan malu. Tapi tetap kubulatkan tekadku untuk tak mengatakan apa-apa. Aku harus menutup rapat kejadian semalam. Demi nama baik keluarga… kembali kucamkan itu dalam hati.

Dokter Alvaro, untungnya tak bertanya lebih lanjut. Mungkin dia sudah merasakan bahwa aku pun belum siap berbagi cerita dengannya. Namun kemudian, dia mengangkat tangannya dan menyibakkan rambutku, untuk memeriksa luka dileherku.

Lembut.

Itu yang kurasakan pertama kali dia memegang rambutku. Sangat, sangat jauh berbeda dari yang kualami semalam. Ingatan itu dan luapan rasa maluku membuat kepalaku tertunduk kian dalam. Aku bahkan tak bisa menatap dokter Alvaro. Tak bisa moenngelak dan berkata apa-apa lagi…

Tak butuh waktu lama, sebelum dokter Alvaro selesai memeriksa dan mengobatiku. Aku sama sekali tak merasakan perih ataupun nyeri. Sangat jauh dari image serigala nya yang tersohor di RS ini, ternyata dokter Alvaro mempunyai kelembutan seperti ini….

“Syukurlah luka2 dokter Luna tidak ada yang serius… Saya harap tidak ada luka yang membekas dok. Kalau dokter Luna berkenan, tolong ijinkan saya kembali merawat luka dokter Luna besok pagi. Supaya saya yakin dokter benar-benar sembuh”, kata dokter Alvaro sembari dia membereskan peralatan yang dia gunakan tadi.

“Terimakasih dok. Tapi saya kali ini harus benar-benar menolak penawaran dokter” jawabku lirih. Dalam hatiku masih terbayang ancaman Ravi pagi ini juga surat pengunduran diri yang kulayangkan tadi… Entah apakah besok aku masih masuk bekerja di RS ini begitu pikirku dalam hati. “Saya mohon diri dok. Saya harus segera kembali bertugas ke IGD” aku buru-buru meninggalkan dokter Alvaro di poliklinik.



Setelah makan siang (yang terlambat, karena sekembaliku ke IGD, banyak pasien yang berdatangan dan membutuhkan pemeriksaan dan perawatan) kudengar ponselku berdering... Ravi…

Kuhela nafasku dan kukuatkan batinku untuk menerima telepon ini.

“Halo Pa, selamat siang…” sapaku pada Ravi.

“Gimana Luna,,, kamu besok masih jaga malam?” sahut Ravi.

“emm… soal itu,,,,, manajemen sedang berdiskusi dulu Pa… Supaya permohonan untuk tidak jaga malam itu dapat dikabulkan….”

“halah, bertele-tele aja kamu dan RS-mu itu. Memutuskan hal semudah ini saja susah banget” potong Ravi ketus. “Sudah, kamu keluar saja dari RS itu sekarang!” lanjutnya seraya menutup sambungan telepon kami.

Hatiku remuk. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tak punya harapan apa-apa lagi. Mungkin ini benar-benar hari terakhirku di Trikarya Husada…



Akhir shiftku berjalan dengan sangat lambat. Aku seperti tak fokus melakukan pekerjaanku. Aku sangat takut untuk melihat jam dan mendapati bahwa waktuku di RS ini akan habis dalam 30 menit saja… Tapi kemudian, lamunanku dipecahkan oleh suara mbak Tika, sekretaris direktur yang lagi-lagi mencariku hari ini.

“Selamat siang dokter Luna” sapa mbak Tika yang nampaknya sehabis berlarian menuju ke IGD, karena dia nampak tersengal-sengal.

Kuharap ini bukan panggilan dari dokter Padma lagi… aku tak akan sanggup menghadapinya setelah perdebatan soal vaksin kemarin.

“Dokter Luna diminta hadir ke kantor dokter Alvaro sekarang dok.” lanjutnya.

“Dok… dokter Alvaro??” jawabku terperangah…

Bukannya dokter Padma, sekarang malah dokter Alvaro yang mencariku… Lepas dari cengkeraman harimau dan sekarang berhadapan dengan sang Serigala…. Ada apa lagi ini? Apakah dokter Alvaro sadar aku sudah membohonginya. Apa yang akan terjadi pdaku sekarang? Kutelan ludahku, menguatkan hati dan mentalku.

“Iyaaa dok,,, ayo ikut dengan saya sekarang…” pinta mbak Tika memelas.

Bahkan akupun tak tega melihatnya seperti itu. Entah semarah apa dokter Alvaro sehingga mbak Tika sampai seperti ini. Segera aku mengikutinya menuju ke lantai 7. Berdoa berulang-ulang dalam hati supaya sang serigala tidak menelanku bulat-bulat.





Tok… tok… tok..

Kuketuk pintu kantor dokter Alvaro selembut mungkin. Berharap dengan begitu mungkin amarahnya tidak akan makin tersulut.

“Masuk!” sahut suara dokter Alvaro lantang dari balik pintu.

Ku melangkahkan kaki masuk ke sarang serigala. Keringat menetes dari pelipisku. Jantungku berdebar sangat kencang aku yakin aku bahkan mendengatnya jelas di telingaku. Kutelan ludahku karena gugup.

“Selamat siang dokter Alvaro, dokter Alvaro memanggil saya?” ujarku lirih. Jujur aku kagum aku masih bisa bersuara merasakan keringnya tenggorokanku.

“Siang dok. Silakan duduk” jawab dokter Alvaro singkat. Nada suaranya berubah jauh dibandingkan dengan saat tadi di poliklinik.

Aku semakin was-was. Aku segera duduk di kursi yang tersedia, berhadapan dengan dokter Alvaro. Diatas mejanya, nampak secarik surat yang nampaknya sehabis diremas kuat-kuat hingga nyaris koyak dan robek… Jantungku berhenti berdetak sesaat. Karena aku kenal betul surat itu.

Surat pengunduran diri…. Dengan namaku yang tercantum didalamnya.

Tapi… kenapa surat itu ada disini. Di meja dokter Alvaro. Bukankah baru pagi ini kuajukan surat itu ke bagian HRD….



So… Adakah yang mau dokter Luna bicarakan pada saya terlebih dulu? Sebelum saya memulai pembicaraan siang ini.” Dokter Alvaro bertanya padaku dengan nada datarnya.

“Ya… hmmm..” jawabku terbata-bata.

Dokter Alvaro menatapku tajam, menunggu aku menata pikiran dan menyusun kata-kata. Dia tak melakukan hal lain. Namun cukup dengan pandangan tajamnya, lidahku kelu dibuatnya. Masih suatu mujizat air mataku tak langsung menetes karena jujur perasaanku campur aduk.

Takut. Panik. Bingung. Merasa bersalah. Tak Berdaya…

Well…?” Dokter Alvaro kembali melontarkan pertanyaan. Memancing penjelasan keluar dari mulutku.

Ku coba mengatur nafas dan pikiranku… dan setelah satu helaan nafas berat, akupun akhirnya menjawab pertanyaan itu.

“Ya dok… saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dari RS ini…. Terhitung mulai dari esok hari.”

“Dokter Luna tahu kan ada aturan perusahaan yang melarang itu.” potong dokter Alvaro cepat.

“Oleh karena itu tadi pagi saya menghadap pak Roy untuk memohon toleransi……….”

“TIDAK. Ada. Toleransi. apapun itu terkait kontrak kepegawaian” dokter Alvaro langsung menutup negosiasi. Nadanya tegas tanpa kompromi.

Seketika air mataku menetes tak terbendung. Aku tidak terisak, tidak. Mungkin hanya genangan air mata yang sudah dari tadi mengumpul di pelupukku, akhirnya terjatuh keluar. Aku kembali coba mengatur nafas. Sangat tak professional untukku menangis merengek di hadapan atasan (meski tidak secara langsung) demi untuk memenuhi permintaan konyolku. Permintaan konyol Ravi.

“Mohon maaf dok. Saya juga paham kalau itu sangat tidak etis dan tidak professional untuk saya seolah ‘mengancam’ RS ini untuk mengikuti mau saya. Tadi pagi pun pak Roy sudah cukup menjelaskan bahwa akan butuh rapat direksi terkait permohonan saya ini… Tapi sebetulnya bukan itu maksud saya”

“Dokter Luna ngomong kok muter2 seperti ini. Tak seperti biasanya… sebetulnya ada apa sih dok?” dokter Alvaro tampak sedikittttt melunak. “Apa masalah yang membuat dokter Luna mendadak mengeluarkan surat pengunduran diri?” selidiknya.

Dari caranya menatapku, aku tak bisa lagi mengelak. Aku bahkan tau kalau dokter Alvaro pasti sudah mendapat laporan lengkap dari Pak Roy terkait alasan yang kubuat tadi pagi. Dan karena sekarang dia menanyaiku lagi,,, well, dokter Alvaro pasti bisa merasakan ada yang kututupi dari ceritaku pada pak Roy. Mengulang kembali cerita itu dihadapannya, sama saja dengan bunuh diri.

Dengan kembali menghela nafas, dan kurasakan pundakku turun tak lagi kuat menahan beban, kuputuskan untuk mengungkapkan alasan utama pengunduran diriku pada dokter Alvaro.

“Suami saya yang meminta saya mengundurkan diri dok…. Keluarga saya, anak saya sangat membutuhkan saya dirumah” ujarku seraya menunduk.

“…… RS ini pun masih memerlukan dokter Luna, apa tak bisa dinegosiasi dulu dok? Mencari jalan keluar bersama…” dokter Alvaro mengajukan pertanyaan kembali setelah beberapa saat hening.

“Mmm… kalau boleh dok… sebenarnya saya… mmm…. Kalau bisa memohon untuk tidak dinas malam lagi….” ujarku lirih sembari memejamkan kedua mataku erat. Takut menyulut amarah dokter Alvaro lagi. “Mungkin sembari menunggu keputusan direksi dok, saya mohon satu ini saja” kembali terngiang perkataan Ravi. Paling tidak jika aku tidak jaga malam, mungkin aku bisa merayu Ravi untuk membiarkanku tetap bekerja… begitu batinku.

“Tidak jaga malam… hmm” dokter Alvaro bergumam. “Ok, kalau gitu pembicaraan saya dengan dokter Luna saya rasa cukup. Silakan melanjutkan pekerjaan dokter hari ini.” Dokter Alvaro menutup pembicaraan dan tangannya mengarah menunjukkan arah pintu keluar.

Jika masih ada tersisa bagian hatiku yang tidak remuk sebelumnya, saat itu aku dapat merasakannya benar-benar hancur. Deep down hatiku berharap paling tidak dokter Alvaro bisa membantuku. Entah mengapa. Padahal kami berbeda divisi. Beliau yang direktur umum, sama sekali tidak turut campur mengurusi divisi saya, seorang dokter umum yang melayani pasien. Namun melihat gesture nya seperti itu, pupus sudah harapan terakhirku....





Sore hari, setiba dirumah aku kembali bermain dengan Phoebe. Aku mencoba sekuat hati menghibur diri. Mengucapkan berkali-kali dalam hati it’s not over, your life is not over. Seolah seperti mantra. Dalam hati aku juga gundah, bagaimana nanti aku harus mengabarkan pada Ravi terkait permohonan resign ku di RS. Tapi disisi lain aku menguatkan diri, toh ini yang Ravi mau, mungkin justru setelah ini hidupku akan jadi lebih baik… begitu harapku.



Tak lama berselang, kudengar suara pintu garasi rumah terbuka. Ravi sudah pulang kerumah nampaknya. Kubersiap menyambutnya di depan pintu, dengan Phoebe yang riang dalam dekapanku. Otakku sudah siap menyusun kata-kata untuk merangkum pertemuanku dengan HRD RS hari ini tadi. Dengan dokter Alvaro…

Namun sesaat kemudian kudengar ponselku berbunyi, tanda ada pesan singkat baru kuterima. Entah apa yang ada dalam pikiranku, segera kuambil dan kubaca pesan itu.



Selamat sore dokter Luna. Kami dari RS Trikarya Husada sepakat memutuskan bahwa mulai besok dokter Luna masih bisa bekerja di RS kami dengan sedikit perputaran rotasi jabatan. Efektif mulai besok dokter Luna akan dipindahkan divisi ke bagian logistik farmasi sebagai kepala bagian dengan jam kerja mengikuti jam kantor yakni pukul 08.00 – 16.00. Demikian agar menjadi periksa. Salam, Bagian HRD RS Trikarya Husada”



Mulutku terbuka terperangah membaca pesan itu. Telingaku seakan tuli dan tak bisa mendengar jeritan celotehan Phoebe yang menyambut Ravi pulang. Hingga Ravi harus menepuk pundakku sampai aku kembali sadar dan dapat mengumpulkan pikiranku.

“Kamu baca apa sampai bengong gitu?” Ravi spontan menanyaiku

“Ahh… ya itu, Pa... emm” semua dialog dan kata-kata yang kusiapkan tadi mendadak menjadi tak bermakna dan otakku seperti konslet karena masih kesulitan mencerna pesan yang kudapat tadi.

“Aku masih menunggu penjelasanmu Luna… ada apa?” tanya Ravi lagi, mulai tak sabar.

“Ehmm… ya… Jadi tadi aku sudah bertemu dengan HRD, dan menyampaikan permohonanku untuk tidak jaga malam…”

“Iya… itu tadi kamu kan udah cerita di RS. Kamu udah resign dari RS itu kan?”

“Ngg… itu… aku masih bekerja di RS Trikarya Husada, Pa… Tapi mulai besok sudah tidak jaga malam lagi.” jawabku lirih. Mengenal Ravi selama ini, sangat mungkin dia akan marah mendengar kabar ini, karena tidak sesuai dengan harapan dan rencananya. Bekas luka dan memarku dari semalam seakan berdenyut nyeri, teringat akan apa yang akan terjadi lagi malam ini bila Ravi dilalap emosi.

“Ohh... lumayan juga RS-mu itu. Masih ada harapan rupanya. Kan kubilang juga apa, kamu sih Lun, kurang tegas orangnya, sehingga dimanfaatkan habis2an sama RS.” olok Ravi. “Lagipula baguslah kamu masih bisa kerja, masih ada yang bisa diharapkan dari pekerjaanmu meski gajimu tak seberapa, hahaha…” lanjutnya seraya tertawa sinis.

“Ya, Pa… Jadi besok aku masih boleh berangkat kerja kan, Pa?” tanyaku lagi memastikan.

“Boleh… boleh… tapi jangan lupa, nanti malam, tetap kutunggu kamu di kamar tamu” ujar Ravi seraya berjalan menuju kamar mandi.

Tak ada sapaan sayang ke Phoebe, tak ada kecup sayang, bahkan tak ada sekedar menanyakan kabar dan perkembangan Phoebe hari ini. Seolah hanya ragaku yang dia cari. Kepuasan nafsu yang dia dambakan dirumah. Selebihnya hanyalah ilusi dari sebuah keluarga.





Tok… tok... tok...

Kuketuk pintu kamar tamu setelah Phoebe lelap dalam tidurnya. Aku tau Ravi ada disana, karena setelah selesai makan malam dia bahkan tak masuk ke kamar tidur kami yang biasanya untuk memberi Phoebe kecupan selamat malam. Ravi langsung menuju kamar tamu ini, untuk menungguku. Seperti seekor predator yang menanti mangsanya datang sendiri kedalam jerat.

Tanpa menunggu jawaban dari Ravi, kuberanikan diri masuk ke dalam kamar. Remang-remang suasana kamar, hanya lampu kamar mandi yang tampak menyala, selebihnya lampu kamar itu padam. Segera setelah mataku dapat menyesuaikan, aku dapat melihat sosok Ravi sedang berbaring diatas ranjang. Nampaknya dia sedang asyik sendiri mengocok penisnya.

Sadar aku sudah ada dekatnya, Ravi langsung menggandeng lenganku dan menarikku keatas ranjang. Nafasnya sudah menderu dalam nafsu.

“Sini Lun, lanjutin kocokin penisku…” Ravi menarik dan mengarahkan tanganku ke penisnya tanpa basa-basi. Aku tak punya pilihan selain menuruti maunya.

“hmmmhhhh… enak banget… Tanganmu lembutttt Lun… kocokin yang enak ya… dan jilatin juga penisku… basahin sampe aku bisa leluasa ngentot kamu” Ravi mulai meracau.

Kuarahkan kepala penis Ravi ke dekat mulutku. Dan dengan satu tangan masih menggenggam lembut batang penisnya, perlahan kujilat bagian kepala penis Ravi. Jangan salah sangka, memberikan blowjob bukanlah sesuatu hal yang menjijikkan buatku. Aku justru sangat-sangat menikmatinya. Suamiku, yang biasanya sangat dominan padaku, bisa pasrah dan takluk sepenuhnya dalam kendaliku. Ini hal yang sangat meningkatkan gairahku.

Aku berfokus pada memuaskan suamiku. Kujilat seluruh kepala penis Ravi, tak lupa memainkan sekitar lubang penisnya dengan ujung lidahku. Kedua tanganku giat mengocokkan penis Ravi hingga dapat kurasakan penisnya sangat-sangat keras dalam genggamanku. Tangan kananku kemudian kuarahkan untuk mengelus dan memainkan kantung zakarnya.

“Ahhhnmm… yes Lun,, terusin,, enak banget… yeess..” Ravi nampak sangat menikmati permainanku.

Kuteruskan untuk memasukkan penisnya kedalam rongga mulutku. Berhati-hati supaya tak tergores dengan gigiku. Lidahku terus memainkan batang penisnya dalam mulutku, mengurut urat-uratnya yang menonjol dan membasahinya seluruhnya dengan liurku. Setelah kurasakan basah seluruhnya, aku kemudian perlahan mulai memompa penisnya dengan mulutku. Awalnya perlahan, naik,,,, turun,,,,, seraya tanganku tak hentinya mengelus dan meremas pelan buah zakarnya.

I know exactly how he likes it. And I know that I’m good at it. senyumku dalam hati

Ravi kembali melenguh dan tak lama dapat kurasakan tangannya mengumpulkan rambutku dan menggenggamnya dengan erat. Dia menggunakannya untuk menarik kepalaku dan mengatur tempo dimana penisnya terbenam dalam mulutku.



Yesss… Iyaaaa Lun,,, just like that… mulutmu enak banget,,, hangat… basah… Hmmnn… Ayo cepet ludahin yang banyak,,, biar aku bisa ngentot memekmu yang rapet itu...”

Aku bisa merasakan vaginaku mulai berkedut. Mendengar Ravi meracau seperti itu, sedikit banyak juga membuatku turned on. Aku masih belum kehilangan sentuhan dan kemampuanku memuaskannya. Sudah sekian waktu semenjak terakhir kali kami berhubungan sex seperti ini. Yang semalam tak masuk hitungan, karena itu hanyalah pelampiasan kebuasan Ravi. Aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa semalam… Tapi malam ini, well malam ini aku juga ingin merasakan nikmat.

Tak berselang lama, Ravi kemudian mengubah posisi kami. Dia langsung naik ke atasku dan menindih badanku dan mengarahkan penisnya ke vaginaku… Sleebbb… kurasakan dia langsung memasukkan penisnya seluruhnya kedalam.

“Ahmmm… emang memekmu mantap Lun… bisa berkedut-kedut dan meremasku rapat sperti ini...” Ravi berkata seraya langsung menggoyangkan pinggulnya.

“Hmmnhh,,, iya pah… papa enak kan pa…” sengalku dalam deru nafsu. Masih sedikit kurasakan nyeri dari kemarin. Mungkin masih ada yang lecet sedikit, batinku. Tapi semua itu kalah oleh birahi. Aku bertekad untuk menikmati ini.

Seperti binatang buas yang tersulut, Ravi kemudian langsung menghajar memekku habis-habisan. Plak… plak… plak… selangkangan kami beradu dalam nafsu… kedua tangannya menahan tanganku di samping kepalaku, seraya mulutnya meninggalkan bekas cupangan (lagi) di leher dan dadaku.

Ravi tak pernah mencium dan mencumbuku saat berhubungan. Juga tak pernah memainkan payudaraku. Dia beralasan tak menyukai rasa ASI (karena aku masih menyusui Phoebe), tapi jika kuingat2 lagi, bahkan sebelumnya pun dia hanya gemar meremas payudaraku, dan terlalu kasar memainkan putingku.

Aku mencoba kembali menikmati permainan kami… Tak akan lama lagi hingga Ravi mencapai puncak orgasme nya. Dia memindahkan tangannya untuk menahan lututku dan kembali memompa dengan keras dan cepat. Penetrasinya semakin dalam dari sudut ini,,, aku dapat merasakan penisnya seluruhnya hingga menyentuh dinding terdalamku. Dia mencoba mencari G-spot ku, tapi tak juga dia temukan… Untungnya penetasi dalam seperti ini, selalu berhasil merangsangku. Memacu deru hormonku. Dan membuatku turut meracau dalam nikmat…

“yessss… ahh Pa… lagi,,,, hmmmmgahhh… enak pa… enak banget” mulai kurasakan nikmat itu terbangun dalam diriku..

“hhhh,,,, memekmu nyedot banget Lun… penisku jdi keras banget nih… kukasih ni spermaku… hnngghhh” Ravi pun ejakulasi dan menumpahkan semuanya kedalam vaginaku. Segera setelah itu, dia pun berbaring di sebelahku dan membelakangiku. Tidak ada ucapan sayang, terima kasih, pillow talk… Nol. Dia langsung memposisikan dirinya untuk tidur.

Melihat nampaknya aku tak lagi ‘dibutuhkan’ olehnya, aku pamit untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Yang sepertinya tak lagi didengar oleh Ravi karena dia sudah terlelap.

Aku yang belum mencapai kepuasan, lagi-lagi harus bergantung pada kemampuanku sendiri.

Well, paling tidak Ravi sudah tidak uring-uringan lagi… Still a win for me. Dan toh besok aku masih bisa bekerja ke RS. Di divisi baru. Bagian supervisi logistik farmasi…

Seketika aku menyadari sesuatu yang membuat bulu kudukku merinding… Divisi Logistik itu, adalah divisi dibawah direktur Umum… dibawah kendali langsung dokter Alvaro.

O.M.G.!!





Primo Quarto : Bulan Separuh Pertama [italia] --- fase kedua dalam siklus Bulan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd