Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG [Season 1 & 2] - Slavery Game

Tim siapakah anda?

  • Lia

    Votes: 68 21,1%
  • Indah

    Votes: 40 12,4%
  • Vera

    Votes: 20 6,2%
  • Yolanda

    Votes: 60 18,6%
  • Azizah

    Votes: 125 38,8%
  • Natsu

    Votes: 9 2,8%

  • Total voters
    322
Bimabet
Apakah miss A jd slave jg, mas reza ud dpt rambutnya blm nih, wkwk

Semoga bs di adaptasi ya ide yg iseng ke tulis buat miss A nanti, tp inget min, jgn banyak2 slavenya
 
Lah koq aku diseret2 nih om TS hehehehe.
Intinya sih "Revenge is a sweet game" ga peduli caranya gimana hehehehe
 
"Hahaha!" aku tertawa sendiri, kemudian berkata, "Memasak dan meracik bumbu cerita dengan penuh dedikasi."

Aku pun bersorak dengan gembira, "Mantap suhu!"

"Hmm... Kemungkinan Reza akan melanjutkan misi utamanya dalam membasmi ataupun mengendalikan para penjahat. Namun, Ruang lingkup Reza dalam menjalankan misi akan dibatasi oleh Lia dan orang terkasih lainnya. Semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin besar pula bahaya yang mengancam. Akan ada sebuah pengorbanan yang layak untuk setiap kehidupan yang diubah oleh Reza Renjani," aku mulai beropini dengan isi kepalaku, menunggu air rebusan matang untuk membuat secangkir kopi hitam.
 
SG 58 – One Step Closer


POV Reza

Aku berjalan menuju ke rumah yang ada persis di sebelah rumahku dengan langkah mantap dan sedikit tergesa. Saat ini, tanganku sedang mengepal keras dan pandangan mataku nanar. Emosiku kurasakan sudah ada di ubun-ubun.

Dalam pikiranku, hanya terfokus kepada sosok orang itu. Aku tahu ia sudah ada di rumah itu. Selain memang rencana awalnya begitu, aku juga merasakan dalam pikiranku bahwa posisinya sekarang sedang sangat dekat denganku.

Aku juga bisa membaca pikiran-pikirannya dengan jelas. Hanya ada perasaan bingung, cemas dan juga takut yang berseliweran dalam pikirannya itu.

Dendamku yang membara pada orang itu, yang sampai saat ini masih kucoba untuk kutahan karena aku masih membutuhkan orang itu dalam rencanaku, seketika membuat emosiku yang memuncak menjadi meluap-luap setelah mendengar kabar tentang tewasnya Nuha Paredan.

Aku sudah hilang akal dan sudah tidak peduli lagi dengan semuanya. Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah keinginan untuk langsung membunuh orang itu dan menuntaskan dendamku yang kupendam serta melampiaskan emosiku yang tak bisa kubendung lagi.

Aku membuka gerbang rumah itu dengan kasar dan sayup-sayup mendengar teriakan-teriakan dari dalam rumah. Lalu aku berjalan menuju pintu depan rumah. Suara-suara teriakan itu terdengar semakin jelas.

BRAKK PRANGG

“Ampuun.. aku benar-benar tidak tau apa-apa”, suara orang itu terdengar berteriak minta ampun.

“Maass Teguh Udaahh.. jangann.. nanti dia bisa mati..”, aku mendengar suara jeritan Vera.

Dengan tidak sabar, aku mendorong pintu depan rumah itu untuk membukanya, namun ternyata terkunci. Kesal karena aku tidak bisa membuka pintu itu, aku menggebrak-gebrak pintu itu dengan mendorong-dorong secara paksa pintu itu.

Kudengar teriakan dari dalam rumah seketika terhenti. Disusul oleh langkah kaki yang tergesa berlari ke arahku. Gorden rumah itu tersingkap sedikit dan menampilkan sedikit wajah Vera yang terlihat cemas. Namun wajah Vera seketika terlihat lega setelah melihatku. Verapun dengan terburu membuka pintu depan rumah itu untukku.

Setelah pintu terbuka, Vera langsung memegang tanganku dan berusaha menarikku ke dalam rumah sambil berkata cemas,

“Mas ayo cepet.. cepet tahan mas Teguh. Kalau ngga Bramono bisa mati dibunuhnya”

Aku melirik ke arah Vera sesaat lalu menatap ke arah dalam rumah. Kemudian dengan gerakan sedikit kasar, aku melepaskan pegangan Vera di tanganku seraya bergumam,

“Aku yang akan membunuhnya malam ini”

“Eh?”, Vera tersentak setelah mendengar gumamanku. Sebelum Vera sempat berkata apa-apa, dari luar rumah terdengar suara langkah-langkah kaki yang sedang berlari tergesa-gesa.

“Veraa..”, suara Indah terdengar berteriak memanggil Vera. Vera menoleh ke arah suara itu dan menjadi terkejut,

“Indah? Mbak Lia??”

Aku tidak mempedulikan semua hal itu dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan nafas memburu. Setelah sampai di ruang TV rumah Bramono itu, aku melihat mas Teguh sedang mendorong tubuh Bramono di dinding dan menahan dada Bramono dengan lengan kirinya. Tangan kanan mas Teguh sedang mengepal seperti sedang bersiap untuk menghajar wajahnya.

Wajah Bramono terlihat sudah babak belur. Hidungnya mengeluarkan darah dan bibirnya pecah sehingga berdarah juga.

Aku juga melihat ruangan itu sudah berantakan. Sebuah buffet kecil tempat menyimpan guci keramik sudah terguling ke lantai. Guci itu pun sudah pecah berkeping-keping.

TV kulihat sedang dalam keadaan menyala dan masih menayangkan berita tentang kecelakaan tragis yang dialami Nuha Paredan.

Mas Teguh dan Bramono menyadari kedatanganku, lalu kompak menoleh ke arahku. Mas Teguh hanya melihatku sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke wajah Bramono sambil masih tetap menahannya di dinding.

Bramono yang melihatku, mendadak menunjukkan raut wajah lega. Lalu memanggilku lemah,

“Ma-masteer.. toloongg..”, pintanya memelas.

“Lepaskan dia”, perintahku tegas kepada mas Teguh.

Mas Teguh terlihat enggan melaksanakan perintahku. Namun tak lama kemudian ia tetap melepaskan Bramono lalu mundur beberapa langkah dan bergerak kesamping sehingga kini tidak ada lagi yang menghalangi pandanganku ke arah Bramono.

Tubuh Bramono merosot di dinding, lalu jatuh terduduk di lantai. Kedua lututnya tertekuk di depannya. Kulihat ia berusaha mengatur nafasnya yang tak beraturan. Tapi kemudian seketika ia tersadar lalu berusaha untuk berlutut sambil melihatku dengan pandangan memelas,

“Masteerr.. Ampuun .. sungguh aku tidak tau apa-apa soal Nuha”, ujarnya sambil mengatupkan kedua tangannya.

Aku menatapnya dengan dingin seraya menggeram,

“Tidak mungkin kau tidak tau..”, lalu..

“ARRGHHHH.. AMPUUUNN.. SUNGGUHH MASTEERR AKU TIDAK TAUUU.. ARGHHHH AMPUUUN SAKIITTT”, tubuh Bramono ambruk ke lantai sambil menggeliat kaku dan berteriak minta ampun kepadaku.

Aku mendengar beberapa langkah kaki di belakangku diiringi suara-suara pekikan wanita.

“Aahhh”, suara Vera memekik tertahan

“Maass udaah berhentii.. nanti dia bisa mati”, Indah berteriak mencegahku.

Aku mengabaikan teriakan Indah tapi tetap membatalkan perintah ‘punish’ sesaat sambil berteriak ke Bramono,

“BAGAIMANA MUNGKIN KAU BISA TIDAK TAUU”, lalu..

“ERHHH..ARGHHH.. AMPUUUN.. AMPUUN .. AHHHHH.. AKU SUNGGUH TIDAK TAHU”, Bramono kembali menggeliat kesakitan.

Namun suara erangannya terdengar melemah. Kondisi tubuhnya yang sudah lemah akibat tadi dihajar mas Teguh, dan aku yang mengaktifkan skill ‘punish’ dengan durasi lama, memperburuk kondisi Bramono.

“Masss..”, Indah dan Vera berteriak hampir berbarengan.

“Mbak Lia.. cepet cegah mas Reza atau orang itu bisa matii”, rengek Indah memelas kepada Lia.

Lia yang seketika tersadar dari syoknya, langsung berlari ke arahku dan memegang erat lengan kiriku.

“Zaa.. udaahh.. hentikaan.. nanti dia bisa mati”, ujarnya sambil menggoyang-goyangkan lenganku dan menariknya ke belakang. Namun aku tetap tidak bergeming. Dengan nafas yang masih memburu, aku hanya menatap dingin ke arah Bramono yang terkulai di lantai.

Bramono saat ini hanya mengejang-ngejang dan menggeliat seperti orang yang sedang epilepsi. Suara erangan kesakitannya sudah hampir tidak terdengar karena tersumbat pula dengan buih yang keluar dari mulutnya.

Lalu dalam situasi menegangkan itu, Indah tiba-tiba berlari ke depanku. Kemudian Indah meletakkan kedua tangannya di pipiku.

Aku langsung tersentak kaget. Seketika pula, nafasku yang memburu berangsur normal. Emosiku yang dari tadi meledak-ledak, mendadak lenyap tak berbekas. Aku langsung bisa berfikir jernih. Lalu dengan kesadaranku yang kembali, dengan tergesa aku menonaktifkan perintah ‘punish’.

Pandanganku beralih ke wajah Indah yang sedang menatapku cemas. Namun raut wajahnya perlahan berubah lega dan Indah langsung memelukku erat. Lalu kurasakan ia menangis terisak di dadaku.

Bramono terkapar tak bergerak di lantai. Mas Teguh dengan buru-buru berlari ke arahnya lalu mengecek tanda-tanda vital di tubuhnya. Kemudian mas Teguh menoleh ke arahku dan berkata,

“Detak jantungnya lemah. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit”

Aku mengambil dan menghela nafas beberapa kali sambil memejamkan mataku lalu menggeleng,

“Dia tidak akan mati, hanya pingsan. Aku masih bisa merasakan pikirannya. Longgarkan baju dan celananya, beri dia ruang”, aku menginstruksikan kepada mas Teguh yang langsung menjalankan instruksiku itu. Setelah itu mas Teguh duduk beberapa jengkal di sebelah Bramono yang terkapar itu sambil sesekali mengecek lagi tanda-tanda vitalnya.

Kemudian aku mengelus punggung Indah dan berkata,

“Sudah.. mas udah gpp.. makasih ndah”

Indah melepaskan pelukannya dan bergerak mundur dua langkah sambil menatapku. Terlihat matanya masih berkaca-kaca. Aku menatap wajahnya sebentar lalu menoleh ke arah Lia yang berada di samping kiriku.

Sambil mengelus punggung tangannya yang masih memegang lenganku, aku berujar lirih,

“Maaf..”

Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Satu kata itu sudah bisa mewakili perasaan bersalahku atas semua yang didengarnya dan disaksikannya malam ini.

Lia tetap memegang lenganku sambil menatapku sendu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang ada dalam benaknya saat ini dan hanya bisa menatapnya dengan penuh penyesalan. Aku harap Lia masih bisa melihat cintaku yang besar kepadanya dari mataku.

“A-ayo kita duduk dulu”, suara Vera terdengar di belakangku. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil. Lalu aku mengajak Lia untuk duduk di sofa.

Lia menurut dan ikut duduk denganku di sofa yang sama. Kedua tangannya masih menggenggam erat lenganku. Lalu aku melihat Indah dan Vera duduk bersebelahan di sofa yang ada di seberang sofaku, terpisahkan oleh meja. Terlihat Vera sedang berusaha menenangkan Indah yang masih sesenggukan.

Aku menghela nafas panjang lalu menunduk menatap lantai. Kemudian dengan agak membungkuk, aku mengangkat kedua tanganku ke arah wajahku dan mengurut-ngurut pelan celah antara hidung dan kedua sudut mataku dengan jariku.

Kurasakan satu tangan Lia melepas lenganku lalu membelai dan mengusap punggunggku dengan lembut. Mataku terpejam meresapi pijatanku di wajahku dan belaian lembut Lia di punggungku. Otakku kemudian berpikir keras untuk menganalisa situasi saat ini.

Ketika aku tadi merasakan apa yang ada dalam pikiran Bramono, aku mengetahui bahwa Bramono berkata jujur kepadaku. Kecelakaan tragis yang menewaskan Nuha memang bukan salahnya. Ia bahkan tidak tahu menahu tentang hal ini.

Tapi aku sangat yakin bahwa Nuha bukan hanya mengalami kecelakaan biasa, tapi dibunuh oleh orang suruhan Rudy Zhao. Dan orang suruhan Rudy itu sudah jelas adalah supir truk yang menabrak mobil yang Nuha tumpangi sehingga terguling dan jatuh ke jurang.

Aku menghentikan gerakan memijat di wajahku dan menoleh ke arah TV. Reporter di channel TV itu masih meliput dari tempat kejadian sambil memberitakan beberapa informasi tentang kejadian itu.

Aku sebenarnya mau tau wajah supir truk itu, tapi informasi yang sedang diberitakan, hanya memberikan info tentang inisial nama supir truk tersebut.

Aku kembali menganalisa dengan cepat dalam pikiranku. Lalu tiba-tiba aku tersentak karena tersadar sesuatu. Mataku seketika terbelalak lalu refleks melihat ke arah Lia sebentar, lalu ke arah Vera dan Indah di depanku yang melihatku juga dengan tatapan cemas dan heran karena melihat reaksiku.

Kemudian aku langsung menoleh ke arah mas Teguh. Mas Teguh menatapku tajam dan terlihat ia juga sedikit heran. Dengan nada cemas, aku berkata kepadanya,

“Mas.. Bramono benar-benar tidak mengetahui soal pembunuhan Nuha ini. Berarti ini memang inisiatif Rudy Zhao sendiri”, ujarku menjelaskan kepada mas Teguh.

Lalu aku menoleh ke arah Lia dan memintanya untuk melepaskan lenganku. Setelah Lia melepaskan pegangannya, aku berdiri dan menoleh lagi ke arah mas Teguh sambil berkata,

“Kita harus segera menyadarkan Bramono. Aku yakin sebentar lagi Rudy akan menghubungi Bramono. Apa mas masih menyimpan botol kecil yang aku kasih waktu itu?”, kataku kepada mas Teguh dengan nada memburu-burunya.

Mas Teguh terhenyak dengan perkataanku dan langsung berdiri lalu berjalan dengan tergesa menuju garasi mobil.

Kemudian aku menoleh ke arah Vera dan bertanya,

“Mana HP-nya Bramono”

“Tadi jatuh ke lantai”, jawab Vera cepat lalu dengan sigap berdiri dan mencari-cari. Setelah menemukannya, Vera langsung memberikan HP itu kepadaku.

Aku mengambil HP itu dari tangannya lalu berkata,

“Mas bisa minta tolong siapin air minum untuk Bramono?”, pintaku kepada Vera sambil tersenyum.

“Iya mas.. Vera sekalian buatin minum buat semua”, ujarnya dan membalas senyumku.

“Aku bantu Ver”, sahut Indah di sebelahnya.

Lalu mereka berdua berjalan menuju dapur. Tak lama kemudian mas Teguh datang sambil membawa botol kecil mirip sample parfum, yang digunakannya dulu untuk membangunkan Bramono dari telernya pada waktu acara makan malam itu.

Aku berdiri dan berjalan menghampiri Bramono yang masih terkapar. Kalau tidak dengan dadanya yang naik turun yang menandakan ia masih hidup, mungkin semua akan mengira Bramono sudah mati.

Kemudian mas Teguh berlutut di samping Bramono dan membuka tutup botol lalu mendekatkan botol itu ke hidung Bramono.

Tak lama kemudian, hidung Bramono tampak mengernyit dan perlahan matanya terbuka. Ketika kesadarannya mulai pulih, Bramono tersadar dengan kondisinya dan mengerang lirih.

Lalu ia tampak menyadari keberadaanku dan langsung berusaha bangkit sambil merintih pelan,

“Mas-masteerr..”

Aku menahannya untuk bangkit ,

“Shh.. tenangkan dirimu dulu. Maafkan aku.. jangan takut, aku tidak akan menghukummu lagi”

Bramono yang mendengar perkataanku seketika bernafas lega. Lalu ia berusaha mengontrol ritme nafasnya. Setelah beberapa saat ia kembali berusaha untuk bangkit lagi.

Aku dan mas Teguh membantunya sampai posisinya menjadi terduduk.

“Kamu bisa berdiri? Kami akan memapahmu ke sofa kalau kamu bisa”, tanyaku.

Bramono mengangguk lemah dan berusaha berdiri. Aku dan mas Teguh segera memapahnya dengan mengalungkan kedua lengannya masing-masing di leher kami lalu membawanya untuk duduk di sofa tempat Indah dan Vera tadi duduk.

“Arghh.. hahh.. hahh.. hahh”, Bramono mengerang dan bernafas tersengal setelah ia berhasil duduk. Lalu ia kembali berusaha mengatur ritme nafasnya lagi.

Beberapa saat kemudian, Vera dan Indah kembali dengan membawa beberapa gelas dan sebotol air dingin lalu meletakkannya di meja.

Kemudian Indah dan Vera duduk di sofa yang sama dengan Lia dengan posisi Indah berada di tengah-tengah. Terlihat mereka jadi canggung berdekatan dengan Lia. Indah dan Vera bahkan hanya bisa menunduk menatap lantai. Kulihat Lia sedikit mendengus mencibir melihat reaksi Indah dan Vera itu.

Aku menuangkan air dingin ke dalam gelas lalu mendekatkannya ke bibir Bramono. Bramono langsung mengangkat lemah tangannya dan membantuku meminumkan minuman itu ke mulutnya.

“Hahhh.. hahhh”, Bramono menghela nafas lega. Nafasnya terdengar sudah lebih teratur. Wajahnya yang bengap sudah tidak mengeluarkan darah lagi. Mas Teguh yang tadi membantuku memapah Bramono, langsung berjalan ke arah dapur lalu kembali dengan membawa semangkok air hangat dan handuk.

Setelah itu dia duduk di sebelah Bramono dan membantunya membersihkan lukanya yang sudah mengering. Setelah wajah Bramono terlihat lebih bersih, aku berkata kepadanya,

“Maafkan aku. Aku tidak tau ternyata kamu tidak tau apa-apa soal tragedi pembunuhan Nuha”, ujarku tidak tulus. Padahal sebenarnya, kalau aku bisa berpikir jernih sebelum datang ke rumah ini, aku bisa langsung merasakan pikiran Bramono.

Namun karena emosiku yang sudah sangat tinggi dan butuh pelampiasan, maka aku tetap menghukumnya. Karena menurutku kejadian tewasnya Nuha, sebagian adalah salahnya. Kenapa Bramono sampai tidak bisa mengetahui hal ini.

Bramono hanya menatapku sayu setelah mendengar permintaan maafku itu. Lalu aku melanjutkan,

“Menurut prediksiku, sebentar lagi Rudy akan menghubungimu. Kau tau harus berkata apa?”, tanyaku.

“I-iya master..”, jawabnya lemah.

“Good. Menurut analisaku, mungkin ia tidak sabar dan marah ketika tau usaha eksekusi Nuha waktu itu tidak berhasil. Jadi dia berinisiatif sendiri untuk membereskan apa yang semestinya menjadi tanggung jawabmu. Malah mungkin saja ia mulai mencurigaimu. Kamu harus bisa memberikan alasan yang logis untuk meyakinkannya. Siap?”, lanjutku mem-briefing nya.

Bramono mengangguk lemah tanda ia mengerti. Lalu aku menyerahkan HP-nya kepadanya. Setelah itu, kami semua menunggu dalam diam.

Kulihat Lia masih menatapku tajam namun ia tidak berkata apa-apa. Indah dan Vera sesekali melirik ke arahku, tapi kembali menundukkan kepala mereka ketika Lia melihat ke arah mereka. Aku hanya bisa menghela nafas panjang melihat kondisi itu.

Kami menunggu cukup lama selama hampir 20 menit. Lalu tiba-tiba handphone milik Bramono berdering dan bergetar di atas meja. Terlihat di layar HP itu, tertulis ID si penelpon..

BIG BOSS



….

….

….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd