SG 41 – Planning Next Steps (1)
“Nghhh”, Lia menggeliat dengan mata yang masih terpejam ketika aku membelai rambutnya. Wajahnya masih terlihat kecapean akibat 3 kali orgasme yang keberikan padanya tadi malam.
Aku juga sedikit heran, kenapa akhir-akhir ini Lia menjadi sangat binal dan liar ketika berhubungan ranjang denganku.
Apa memang karena perubahan yang terjadi pada penisku, membuatnya jadi lebih merasakan kenikmatan, sehingga sifat kebinalannya ini jadi mendadak muncul. Aku tak tahu, dan aku tidak mengeluh dengan hal itu.
Malah sebagai laki-laki yang dulunya agak minder karena lebih sering ejakulasi duluan ketimbang istriku, aku saat ini jadi merasa puas dan lebih percaya diri.
Dulunya Lia lebih sering mencapai klimaksnya dengan permainan oral atau jariku saja. Namun sekarang, Lia seperti menemukan kenikmatan yang sebenarnya pada saat bercinta denganku.
Pada saat penisku yang sekarang melesak lebih dalam ke dalam vaginanya hingga menyentuh dinding rahimnya. Atau karena staminaku yang sudah lebih kuat sehingga bisa membuatnya orgasme berkali-kali.
Atau mungkin juga karena urat-urat yang menonjol di penisku sekarang lebih menyentuh area sensitifnya, sehingga membuatnya bereaksi serta bergoyang lebih liar dan lebih menggairahkan.
Bahkan sekarang Lia seolah tidak peduli lagi dengan suaranya yang mungkin bisa terdengar oleh Indah, adiknya, dari seberang kamar. Desahan Lia terdengar lebih erotis bak artis dalam film JAV yang sering kutonton.
..
“Bangun sayang.. udah pagi”, bisikku pelan sambil mengecup lembut keningnya.
Perlahan Lia membuka matanya. Setelah wajahku yang dekat dengan wajahnya, Lia lalu merangkulkan tangannya di leherku sambil memonyongkan bibirnya.
“Ihh.. masi bau jigong juga minta di
kiss.. Emang masih mau lagi?”, tanyaku menggoda.
“mmh..mmh..mmh.. Cape banget sayang”, jawabnya sambil menggeleng. Aku tersenyum mendengar jawabannya lalu berkata,
“Ya udah atuh bangun.. Ada yang mau aku omongin”, lanjutku masih berbisik.
“Hmm? Mau ngomongin apa? Ya udah aku ke kamar mandi dulu deh kalo gitu..”, aku mengangguk menjawabnya.
“Mau sekalian dibikinin kopi ato teh?”, tanyanya lagi.
“Boleh.. Teh aja..”, jawabku.
Kemudian Lia bangkit dan menuju kamar mandi. Kulihat jalannya Lia agak gontai dan lemas. Aku terkekeh ringan melihatnya seperti itu, yang aku tahu pasti akibat Lia yang terlalu bersemangat tadi malam.
Beberapa saat kemudian, Lia masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas teh panas. Aku yang memang memiliki
habit di pagi hari untuk meminum segelas air panas, entah itu teh atau kopi, langsung menyeruput teh yang dibawa Lia.
Kulihat Lia duduk di sampingku dan melihatku yang sedang menikmati teh buatannya sambil menunggu apa yang akan mau kubicarakan.
Lalu aku pun mulai bercerita kepadanya tentang rencanaku untuk
resign dari kantorku dan juga tentang alibiku yang sudah kusiapkan sebelumnya, bahwa aku akan mengerjakan sebuah proyek dengan Bramono untuk membuat sistem aplikasi manajemen di hotel-hotel milik Bramono.
Untuk rencanaku yang akan
resign, Lia tampak mendukung keputusanku itu. Namun untuk rencana kerja samaku dengan Bramono, Lia terlihat ragu-ragu dan khawatir.
“Aku tau.. ini
passion kamu sayang, bikin-bikin projek aplikasi begitu”, kata Lia dengan perlahan.
“Tapi apa harus dengan pria itu? Gak tau kenapa aku ngerasa pria itu sepertinya bukan orang baik-baik.. Aku takut kamu kenapa-napa”, lanjutnya mengkhawatirkanku.
Aku tersenyum kepadanya lalu bertanya,
“Apa karena pak Bramono selalu jelalatan ngeliat kamu?”
Lia tidak menjawab, tapi aku tahu itu salah satu yang ada dalam pikirannya.
“Tadi malam, waktu aku dan pak Bram sedang minum. Soal ini aku ungkit sama dia. Aku bilang kamu sedikit risih dengan caranya melihatmu. Trus dia langsung minta maaf, dan berjanji tidak akan melihatmu seperti itu lagi. Waktu dia berdiri mau menjabat tanganku, dia yang ternyata udah mabok, menabrak meja trus jatuh sampe tangannya patah”, ceritaku berbohong kepada Lia.
“Jadi kamu tenang aja. Mulai sekarang aku yakin dia pasti lebih sopan kepadamu”, lanjutku.
“Bukan cuma itu…”, kata Lia lalu terdiam lagi.
“Udah gpp sayang. Pak Bram sebenernya orang baik kok. Cuma ya wajar aja laki-laki. Mana ada cowok yang tahan ngeliat ke-sexy-an kamu..”, ujarku berusaha bercanda untuk menghilangkan kekhawatiran istriku.
“Vera jauh lebih cantik dari aku”, kata Lia minder.
“Kata siapa? Ya mungkin aja emang dia tipe cowok yang sebenernya suka wanita cantik berhijab.. sexy lagi.. Dia blum tau aja ternyata istriku ini sangat liar dan binal ketika bercinta”, godaku sambil menggigit kupingnya dengan bibirku
“Henghh”, jawabnya cemberut sambil mendorong tubuhku. Setelah beberapa saat diam sambil berfikir, akhirnya Lia pasrah dan mendukung keputusanku itu juga.
“Ya udah deh.. Yang penting kamu harus hati-hati ya”, jawabnya setelah berhasil kubujuk.
“Iya.. Btw.. Pagi ini aku juga harus ke rumahnya lagi. Ada beberapa hal yang harus kubahas dengan pak Bram. Kamu pagi ini jadi pergi nemenin temen-temen kamu
shopping?”, tanyaku.
“Iya jadi. Mungkin sampe siang.. nanti kamu mau dibeliin makan siang apa?”, tanya Lia.
“Santai aja.. kalo pun sampe sore juga gpp. Asal jangan sampe malem. Nanti aku makan pesen g*f**d aja”, jawabku santai.
Setelah itu, Lia pun bersiap-siap untuk mandi. Aku juga mandi di kamar mandi lain di rumahku. Aku tadinya iseng mengajaknya untuk mandi bareng. Tapi Lia bersikeras menolaknya dengan alasan tubuhnya yang masih lemas.
Beberapa saat kemudian, kulihat Lia sudah berdandan cantik serta memakai pakaian dan hijabnya yang juga terlihat cantik. Aku juga sudah memanaskan mobilku yang nanti akan digunakan Lia untuk berjalan-jalan dengan temannya.
Sebenarnya teman-teman Lia ini bukan berasal dari luar kota. Hanya teman-teman dekat Lia yang tinggal di kota B juga dan sengaja kuminta untuk membantu Lia dalam rencanaku tadi malam.
Dan Lia sudah berjanji kepada mereka untuk mentraktir mereka lalu
shopping bareng hari ini karena sudah membantunya.
Setelah Lia pergi, aku juga langsung keluar rumah dengan berjalan kaki menuju rumah Vera.
..
Sesampainya di rumah Vera..
Mas Teguh membukakan pintu pagar untukku lalu memanduku menuju ruang TV. Sesampainya di sana, kulihat ruangan ini sudah bersih dari pecahan kaca yang tadi malam berserakan dan juga sudah dirapihkan seperti semula.
Aku melihat Vera lagi duduk di salah satu sofa lalu tersenyum melihat kedatanganku. Aku juga tersenyum membalasnya.
Bramono kulihat sedang berdiri dalam posisi hormat layaknya seorang abdi dalem keraton yang melihat kedatangan sultan. Tangannya saling menangkup di celah pahanya yang sedikit terbuka, pandangannya menatap lantai.
Kulihat dia melirikku lalu seketika langsung menundukkan kembali kepalanya ketika melihatku juga sedang menatapnya. Mungkin dia takut aku akan menghukumnya lagi seperti tadi pagi.
Mas Teguh berdiri di sebelah Bramono dalam posisi siaga seorang prajurit. Pandangannya lurus ke depan. Dalam pikiranku, aku bisa merasakan perasaan syoknya yang masih belum mereda mengingat kejadian semalam.
Aku duduk di sofa yang sama dengan Vera lalu membelai lembut pipi Vera. Ia terlihat senang kuperlakukan seperti itu.
Lalu aku menoleh ke arah mas Teguh. Sambil tersenyum aku berkata kepadanya,
“Mas Teguh.. Kita ini partner. Mas bukan pengawalku apalagi bawahanku. Jadi duduklah di sini. Kita akan bahas rencana kita selanjutnya.”
Kulihat dia sedikit ragu sejenak mendengar perkataanku. Tapi ia kemudian duduk di sofa di depanku dan Vera. Bramono terlihat juga berniat untuk duduk bersama kami. Namun setelah melihatku yang menatap dingin ke arahnya, dia mengurungkan niatnya itu.
Lalu aku menoleh ke arah Vera lagi dan bertanya,
“Apa tadi dia bersikap tidak sopan sama kamu?”
“Ngga ada mas..”, jawabnya singkat lalu melanjutkan,
“Mas mau dibuatin teh atau kopi?”, tanya Vera kepadaku.
“Boleh.. Tapi sudah bukan posisimu untuk bikin kopi atau teh lagi”, jawabku. Lalu aku menoleh ke arah Bramono.
Bramono yang melihat aku sedang menatapnya, seketika langsung menjawab,
“Ba-baik master. Saya akan segera membuatkan minuman. Ma-master mau minum apa? Master Vera, master pai..eh master Teguh juga mau minum apa?”, tanyanya terbata dengan nada menjilat.
“Kopi.. black.. gulanya 2 sendok teh”, jawabku datar.
Mas teguh juga menjawab seperti pesananku. Vera meminta untuk diambilkan
orange juice dari dalam kulkas.
Sambil menunggu Bramono membawakan kami minuman, aku dan Vera mengobrol santai. Mas Teguh hanya diam saja mendengarkan obrolan kami.
Vera menanyakan keadaan Lia, yang kujawab dengan menceritakan Lia yang sedang mengajak teman-temannya yang tadi malam datang ke rumah kami, berbelanja dan makan siang bersama.
Beberapa saat kemudian, Bramono datang membawa nampan berisi minuman yang kami pesan tadi. Lalu ia menyuguhkan kepada kami dengan gugup karena tidak biasa berbuat seperti itu. Biasanya dirinyalah yang disuguhi dan dilayani.
“Roda kehidupan memang selalu berputar kawan”, batinku mencibir.
….
….
….