Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 10​



Ning Sarah menatap bayangan wajahnya di cermin dengan perasaan yang berkecamuk menjadi satu, entah kegilaan apa yang sudah dilakukannya dengan Burhanuddin sehingga membuatnya mengobral keperawanannya begitu murah. Tanpa bisa dicegah, sebutir air mata membasahi pipinya yang halus dan semakin lama semakin banyak hingga akhirnya Isak tangisnya pecah. Penyesalan selalu datang terlambat, dia tidak akan bisa mengembalikan keperawanan yang sudah hilang. Bahkan ada lagi resiko besar yang sekarang membayangi dirinya dan akan menghancurkan masa depan dan kehormatan ayahnya, Ning Sarah menggelengkan wajahnya berusaha mengusir bayang bayang mengerikan itu. Tidak, dia tidak boleh hamil apapun caranya. Pikiran itu justru dibantah oleh Ning Sarah, bagaimana kalau dia benar benar hamil mengingat begitu banyak pejuh Burhanuddin masuk ke dalam memeknya dan sebagian mungkin sudah membuahi sel telurnya yang subur. Ning Sarah mulai menghitung jadwal menstruasinya, masih ada dua atau tiga hari lagi dia akan menstruasi.

"Ning, boleh Ummi masuk?" Suara lembut Nyai Aisyah disertai ketukan pada pintu kamar menyadarkan Ning Sarah, dia berusaha menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia tidak boleh terlihat menangis di hadapan ibunya, terlihat lemah hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk dalam ketidakberdayaan.

"Sebentar, Ummi.!" Ning Sarah menatap wajahnya di cermin, dia berhasil menghentikan tangisnya dan pipinya sudah kering dari air mata. Sedikit bedak dia bubuhkan untuk menghapus sisa sisa noda air mata, namun ibunya pasti akan tahu kesedihan yang membayang di wajahnya. Dia selalu tahu, entah bagaimana caranya Nyai Aisyah selalu tahu hal yang berusaha disembunyikan olehnya.

"Ning, Gus Nur kecelakaan dan...!" Suara Nyai Aisyah berganti dengan tangisan samar yang terdengar oleh Ning Sarah, berita itu membuatnya terkejut dan menduga kecelakaan itu merenggut nyawa Gus Nur.

"Innalilahi.....!" Ning Sarah berlari membuka pintu, Nyai Aisyah langsung memeluknya dan tangisannya pecah di pundak Ning Sarah yang berdiri mematung. Dugaannya sepertinya benar, Gus Nur wafat dalam kecelakaan itu.

"Gus Nur, wafat?" Ning Sarah bertanya lirih, kehilangan Gus Nur pastilah pukulan telak untuk keluarganya karena selain sebagai ulama muda yang cukup berpengaruh di daerahnya dia juga suami dari Ning Ishma saudara sepupunya.

"Iya Ning, jenazah Gus Nur masih berada di rumah sakit dan Kang Shomad." Nyai Aisyah mulai berhasil mengendalikan diri, dia tidak bisa larut dalam kesedihan yang sebenarnya tidak perlu. Gus Nur bukanlah sanak familinya, tidak hubungan khusus di antara mereka bahkan selama ini mereka tidak pernah ngobrol, hanya tegur sapa yang bersifat basa basi.

Ning Sarah termenung, kematian Gus Nur justru membuatnya sangat khawatir Ning Ishma akan semakin dekat dengan Burhanuddin. Rasa cemburu muncul begitu saja tanpa bisa dicegahnya, ternyata rasa cintanya belum juga memudar dan sepertinya semakin bertambah sejak kejadian di hotel.

"Kamu kenapa, Ning?" Nyai Aisyah memandang wajah Ning Sarah dengan perasaan heran, kenapa raut wajah anaknya seperti tidak senang mendengar kabar kematian Gus Nur, seharusnya dia ikut berduka.

"Kita ke rumah Ning Ishma, Mi..!" Ajak Ning Sarah mengabaikan pertanyaan ibunya, dia tidak mungkin mengatakan apa yang sedang dipikirkannya.

"Ayok, Ning." Jawab Nyai Aisyah pelan, dia masih berduka oleh kepergian Gus Nur sehingga reaksi spontan Ning Sarah diabaikannya begitu saja.

Kedua ibu dan anak itu bergegas ke rumah Gus Nur yang sudah dipenuhi oleh para santri yang bersiap menyambut kedatangan jenazah Gus Nur yang masih dalam perjalanan, semua perlengkapan untuk jenazah sudah dipersiapkan, suasana duka begitu terasa dan terlihat dari para santri yang sebagian menangis. Nyai Aisyah dan Ning Sarah langsung masuk menuju kamar Ning Ishma yang tertutup rapat, keduanya saling berpandangan tak tahu apa yang harus mereka lakukan.

"Coba kamu ketuk pintu, Ning .!" Seru Nyai Aisyah, dia merasa sungkan untuk mengetuk pintu dalam situasi seperti ini, walau kehadirannya sangat diperlukan.

"Ummi, saja." Jawab Ning Sarah menolak, kenapa harus dia yang mengetuk pintu, sedangkan kehadiran Nyai Aisyah lebih dibutuhkan dalam situasi seperti ini.

Mereka berdua terdiam saat mendengar suara Isak tangis tertahan dari dalam kamar, mereka berusaha menajamkan telinga untuk bisa mendengar lebih jelas. Tidak salah lagi, itu suara Ning Ishma.

sementara di dalam Ning Ishma duduk termenung dengan Isak tangis yang berusaha ditahannya agar tidak terdengar ke luar, dia meratapi nasibnya yang tiba-tiba sudah menjadi janda dengan cara yang tragis, suaminya Gus Nur tewas dalam kecelakaan. Memang dia pernah menginginkan bahkan beberapa kali mendesak Gus Nur untuk menceraikannya dengan alasan perkawinan yang mereka itu haram karena Gus Nur tidak pernah bisa memberinya nafkah batin, namun Gus Nur selalu menolaknya dan mengatakan waktu itu akan segera tiba dia akan meninggalkan Ning Ishma.

"Apakah itu sebuah firasat yang dirasakan oleh Gus Nur dan aku tidak memahaminya, sepertinya begitu..!" Guma Ning Ishma, tanpa sadar Isak tangisnya semakin keras mengiringi air mata yang mengalir deras membasahi sepasang pipinya. Ketabahannya hancur dalam sekejap, mungkin dia tidak akan sehancur ini apabila Gus Nur menceraikannya dalam keadaan hidup.

Sebuah ketukan lembut di pintu sama sekali tidak terdengar oleh Ning Ishma, dia larut dalam duka yang mencabik cabik hatinya bahkan ketika ketukan itu semakin keras dan suara panggilan Nyai Aisyah yang jernih sama sekali tidak terdengar oleh Ning Ishma, telinganya seperti tuli.

"Ning, buka pintu...!" Ning Sarah ikut memanggil dengan perasaan cemas, akhirnya setelah mereka bedua memanggil dan mengetuk pintu tanpa ada reaksi dari Ning Ishma, Nyai Aisyah berusaha mendorong pintu dengan tubuhnya dan bersamaan dengan itu Ning Ishma membuka pintu hingga tubuh Nyai Aisyah menabrak Ning Ishma yang berakibat fatal, Ning Ishma jatuh terjengkang dan kepalanya menghantam tepian ranjang besi membuatnya jatuh pingsan seketika.

"Ning ...!" Seru Nyai Aisyah dan Ning Sarah panik melihat Ning Ishma tergeletak di bawah ranjang, mereka bergerak setengah berlari menghampiri Ning Ishma.

----XXX----​

45 hari setelah kematian Gus Nur, suasana pondok kembali berjalan normal. Semua mulai melupakan kepergian Gus Nur, walau suasana berkabung belum sepenuhnya hilang. Belum ada yang berubah dari rumah kediaman almarhum, kecuali Burhanuddin harus kembali pindah ke kamar khusus para santri dan tempatnya di rumah Gus Nur digantikan oleh Zaenab dan Latifah.

Burhanuddin duduk di bawah pohon mangga yang rindang sambil memandang rumah Gus Nur, beberapa hari terakhir ini dia belum melihat Ning Ishma yang sepertinya masih belum bisa melupakan kesedihannya dan mengurung diri di dalam kamar yang jendelanya tertutup rapat. Burhanuddin tidak bisa menipu dirinya sendiri, dia sangat merindukan Ning Ishma.

"Ning, sampai kapan kamu akan terus berduka?" Gumam Burhanuddin lirih, biasanya jam 9 pagi Ning Ishma sudah sibuk mengajar di kelas, berpindah dari satu kelas ke kelas lain sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Ketidak hadiran Ning Ishma membuat Burhanuddin tidak bersemangat, dia memilih bolos hari ini dan berniat menemui Ning Ishma. Namun keberaniannya sirna dan akhirnya dia memilih duduk di bawah pohon sambil memandang jendela kamar Ning Ishma yang tertutup rapat, berharap jendela itu terbuka dan wajah Ning Ishma muncul dari baliknya.

"Aduh...!" Berteriak kecil saat sebuah benda menghantam kepalanya, refleks dia menoleh ke belakang. Burhanuddin terpaku melihat Ning Sarah menatapnya sambil menunjuk ke benda yang mengenai kepalanya, benda putih dan Burhanuddin yakin itu adalah kertas yang diremas sehingga menjadi berbentuk bulat. Burhanuddin membungkuk mengambilnya, saat dia kembali tegak Ning Sarah sudah pergi menjauh.

Segera Burhanuddin membuka gulungan kertas yang ternyata sebuah surat, Burhanuddin melihat ke arah Ning Sarah yang sudah hilang dari pandangannya.

Aku tunggu kamu di penginapan tempat kamu mendapatkan perawanku, jam 11 ini.

Sebuah tulisan singkat namun sangat bermakna membuat jantung Burhanuddin berdegup kencang, sepertinya Ning Sarah menginginkan kejadian itu terulang lagi. Gairah Burhanuddin langsung bangkit, ternyata hari ini dia belum bisa mendapatkan kehangatan tubuh Ning Ishma namun sebagai gantinya kehangatan tubuh Ning Sarah. Tanpa sadar Burhanuddin mengepalkan tangannya ke atas sambil berteriak kegirangan.

Burhanuddin melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya pukul 09 : 20 menit, tidak mau membuang waktu Burhanuddin berlari menuju ke pekarangan belakang rumah Mbah Yai Nafi' untuk mengambil sepeda ontel yang biasa digunakan para santri untuk keperluan mendadak. Jarak dari pondok ke Penginapan lumayan jauh, bisa memakan waktu satu jam lebih dan dia tidak boleh terlambat sampai tujuan. Ning Sarah pasti akan tiba lebih dahulu karena naik motor, berbeda dengannya yang harus naik sepeda ontel. Tapi itu bukan halangan, sebuah cinta harus diperjuangkan walau harus mengayuh sepeda ontel puluhan kilometer.

Sesampainya di pekarangan dapur, hanya tersisa satu sepeda ontel tua yang catnya mulai mengelupas, tanpa berpikir panjang Burhanuddin menaiki sepeda tersebut dan mulai mengayuh dengan semangat 45. Seperti pembalap profesional, Burhanuddin mengerahkan semua kekuatannya mengayuh sepeda melintasi jalan yang belum terlalu ramai sehingga dia bisa melaju lebih cepat nyaris tidak menggunakan rem yang sudah mulai aus.

Tepat seperti perkiraannya, satu jam lebih dia sampai pada penginapan yang dituju. Tanpa berpikir panjang Burhanuddin masuk ke pekarangan penginapan dan menuju tempat parkir motor, hatinya mengeluh karena tidak melihat motor Ning Sarah terparkir. Apakah gadis itu kembali mengerjainya seperti yang pernah dilakukannya di gubuk, tengah kebun tebu? Sepertinya begitu, setelah hampir sepuluh menit dia mematung sehingga menimbulkan kecurigaan seorang satpam yang memperhatikan gerak geriknya sejak tadi masuk.

"Cari siapa, Mas?" Tanya satpam yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping, memandang dengan penuh curiga. Pakaian pria ini seperti santri dengan sarung dan kaos oblong, serta sebuah peci hitam bertengger di kepalanya.

Belum sempat Burhanuddin menjawab, sebuah motor metic masuk dan parkir di sebelahnya sehingga perhatian satpam beralih ke pengemudi motor yang mengenakan baju gamis hitam lebar dengan jilbab yang juga lebar menjuntai hingga pinggang serta sebuah cadar menutupi wajahnya.

"Ning Sarah..!" Gumam Burhanuddin dalam hati, dia menarik nafas lega.

"Maaf, aku terlambat..!" Kata Ning Sarah tanpa menoleh, dia meletakkan helmya.

Melihat kedatangan Ning Sarah, satpam itu segera menjauh, dia sudah terbiasa menghadapi tamu bercadar untuk menutupi identitas dirinya agar tidak dikenali. Seperti itu kelakuan para wanita yang datang untuk berbuat mesum, cadar hanyalah alat untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenali.

Burhanuddin segera memarkirkan sepeda ontel tepat di samping motor Burhanuddin, sekilas dia melihat plat nomer motor yang tertera jelas. Ning Sarah mungkin bisa menyembunyikan wajahnya di balik cadar, tapi dia lupa menyembunyikan plat nomer motor yang dinaikinya dari orang kebetulan hafal.

"Ayo, kamu bayar sewa kamarnya..!" Bisik Ning Sarah menyadarkan lamunan Burhanuddin yang hanya mengangguk pelan, untung dia selalu membawa uang di dalam dompet untuk biaya hidup di pondok selama sebulan, lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar hotel kelas melati ini. Setelah membayar dan menerima sebuah kunci kamar, Burhanuddin dan Ning Sarah berjalan cepat menuju kamar yang sudah di sediakan.

"Ada apa, Ning?" Tanya Burhanuddin setelah mereka berada di dalam kamar dan belum sempat duduk untuk melepas lelah setelah perjalanan cukup jauh, Burhanuddin memandang Ning Sarah dengan hati berdesir indah, terbayang olehnya saat dia bebas menggumuli tubuh indah wanita yang berdiri di hadapannya dengan wajah menunduk malu. Hanya mereka berdua di dalam kamar ini, apa lagi yang diinginkan Ning Sarah selain kejantanannya yang perkasa.

Ning Sarah semakin menunduk malu sambil memaki kebodohannya yang mengajak Burhanuddin bertemu di sini, dia sudah merendahkan harga dirinya di hadapan pria yang sudah merobek selaput daranya hampir dua bulan yang lalu dan membuat kekuatan kakinya goyah, tanpa bisa di tahan Ning Sarah terjatuh ke atas ranjang. Burhanuddin pasti menganggapnya perempuan murahan. Ning Sarah memejamkan mata tidak berani menatap Burhanuddin yang melangkah mendekatinya, jantungnya berdebar semakin kencang saat merasakan spring bed yang didudukinya bergerak menerima beban tubuh Burhanuddin.

"Katakan, Ning?" Tanya Burhanuddin lembut, tangannya merangkul pundak Ning Sarah dan saat menyadarinya Burhanuddin merasa terkejut dengan keberaniannya.

"Lepaskan....!" Seru Ning Sarah lirih, tubuhnya serasa kaku merasakan telapak tangan kekar Burhanuddin memegang pundaknya. Ya Tuhan, kenapa dia tidak punya kemampuan untuk menyingkirkan tangan Burhanuddin?

"Nggak, kita sudah pernah melakukan hal yang lebih jauh dari ini. Untuk apa lagi kita harus berpura-pura setelah aku sempat menaburkan benih di rahimmu, tanggalkan semua topengmu Ning.!" Jawab Burhanuddin, keberaniannya semakin bertambah karena Ning Sarah tidak berusaha menepiskan tangannya.

"Kamu gagal membuahi rahimku, itu artinya aku bukan milikmu." Jawab Ning Sarah dia memberanikan diri membalas tatapan mata Burhanuddin walau berlangsung hanya beberapa sesaat, wajahnya kembali menunduk melihat jemarinya bergerak gelisah di pangkuan. Ah, kenapa dia ragu mengatakan apa yang sudah dipersiapkan di rumah sebelum menemui Burhanuddin, kemana keberaniannya yang sempat mengikat pemuda itu di sebuah gubuk bahkan keberaniannya saat merobek selaput daranya menggunakan kontol Burhanuddin?

"Aku akan mencobanya lagi hingga berhasil membuahi rahimmu, aku tidak akan mengecewakanmu." Jawab Burhanuddin lugas mendengar perkataan Ning Sarah, gadis ini sudah menunjukkan keinginannya.

Perlahan Burhanuddin meraih dagu Ning Sarah yang langsung memejamkan mata, cantik sekali wajah gadis itu dengan kulitnya yang sangat halus sehingga Burhanuddin gagal melihat pori porinya dalam jarak yang semakin dekat sehingga dia bisa merasakan hembusan nafas Ning Sarah menyentuh wajahnya. Burhanuddin tidak menemukan cela di wajah Ning Sarah, baik pada alis di atas matanya yang tebal berjajar rapi, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang bangir dan juga bibirnya yang tipis mungil seperti gendewa serta dagu runcingnya yang semakin menyempurnakan kecantikannya.

Ning Sarah semakin merapatkan bibirnya saat bibir Burhanuddin menyentuhnya, hembusan hangat nafas pria itu seperti menyebar ke seluruh tubuh dan meluluh lantakkan tenaganya yang masih tersisa. Dia hanya bisa pasrah oleh lumatan bibir Burhanuddin yang begitu bernafsu namun masih terasa begitu lembut sehingga membuat pertahanannya goyah. Bibirnya mulai terbuka sehingga lidah Burhanuddin berhasil masuk dan menjilati lidahnya, Ning Sarah semakin larut dalam cumbuan mesra berbalut birahi yang dilakukan Burhanuddin sehingga akal sehatnya tidak lagi berfungsi. Bahkan ketika Burhanuddin menyudahi cumbuannya, Ning Sarah masih tetap memejamkan mata larut dalam gejolak birahi yang semakin membakar jiwanya.

Burhanuddin bersorak kegirangan, Ning Sarah sudah jatuh dalam pelukan birahi yang ditawarkannya. Burhanuddin semakin bersemangat mengulum bibir Ning Sarah yang terasa hangat, lidahnya semakin lincah menggapai lorong-lorong mulut Ning Sarah.

"Berhenti..!" Ning Sarah berusaha mencegah tangan Burhanuddin yang hinggap di payudaranya dan menyadarkannya, refleks Ning Sarah memegang telapak tangan Burhanuddin yang mulai meremas payudaranya tanpa berusaha menyingkirkannya. Gila, Ning Sarah memaki dirinya yang tidak berdaya oleh kekurang ajaran Burhanuddin.

"Apanya yang berhenti, Ning?" Goda Burhanuddin, pengalaman singkat dengan Ning Ishma, Zaenab dan juga Nyai Aisyah serta Ning Sarah membuatnya semakin piawai mempermainkan birahi wanita. Dia mulai tahu saat wanita mulai terpancing birahinya, hal itu jelas tergambar pada Ning Sarah.

"Berhenti...!" Kembali Ning Sarah memohon, tangannya menekan telapak tangan Burhanuddin yang semakin kurang ajar meremas payudaranya. Rasa nikmat itu semakin menguasai jiwanya, jauh melebihi apa yang dirasakannya saat pertama kali menyerahkan keperawanannya dengan suka rela.

Ning Sarah semakin tidak berdaya saat Burhanuddin merebahkan tubuhnya di atas spring bed dengan kaki masih terjuntai menyentuh lantai, matanya tetap terpejam tidak berani menatap wajah Burhanuddin karena itu sama saja mempermak dirinya, biarlah pria itu melakukan apa yang disukainya termasuk mengangkat gamis lebarnya hingga ke dada sehingga AC yang dingin menyentuh kulit paha dan perutnya, Ning Sarah berusaha keras menahan suaranya agar tidak merintih saat Burhanuddin mengangkat betisnya yang indah dan membuat pemuda itu terpesona oleh keindahannya.

Perlahan Burhanuddin mulai menciumi betisnya yang jenjang dengan mesra membuat Ning Sarah tidak mampu menahan rintihan suaranya, hembusan nafas pemuda itu menyentuh kulit betisnya yang mulus tanpa noda. Ning Sarah mengangkat tubuhnya dan melihat Burhanuddin terus menciumi betisnya dan berubah menjadi jilatan membuat Ning Sarah menggelinjang geli.

"Ahhhhhh......!" Ning Sarah mendesis, tubuhnya kembali terhempas ke belakang saat lidah kasar Burhanuddin menyentuh pahanya dan bergerak menuju selangkangannya. Tubuhnya kaku oleh sensasi dahsyat, jiwanya menjadi tegang karena sebentar lagi lidah Burhanuddin akan menyentuh memeknya yang masih tersembunyi di balik CD putih yang dikenakannya dan terlihat mulai basah. Ning Sarah menunggu dengan tegang, lidah Burhanuddin terasa lama menjilati pangkal pahanya yang semakin lebar terbuka, namun lidah Burhanuddin malah berpindah ke pangkal paha sebelahnya tanpa pernah menyentuh memeknya yang semakin basah menodai CD nya.

"Dinnnnn, kamu jahat...!" Seru Ning Sarah menatap wajah Ning yang sedang asyik menciumi pahanya yang mulus dan harum, pria itu sengaja mempermainkan birahinya, menggodanya dengan kenikmatan yang menyentak dan menjalar ke memeknya tanpa disentuh.

Burhanuddin tidak peduli dengan rengekan Ning Sarah, dia terlalu asyik mengagumi keindahan sepasang kaki Ning Sarah. Dia ingin menciuminya, menghirup keharumannya yang alami tanpa terganggu oleh Nyai Aisyah seperti saat pertama kali menyentuh Ning Sarah. Dia hanya ingin berlama lama menikmati setiap lekuk keindahan yang diciptakan Tuhan pada diri Ning Sarah.

"Dinnnn... Aaaaa. .!" Ning Sarah berteriak nyaring, tubuhnya menggeliat saat lidah Burhanuddin akhirnya menyentuh memeknya yang masih bersembunyi di balik CD nya, namun kain tipis itu tidak mampu menghalangi kenikmatan yang dirasakannya, apa lagi kalau lidah Burhanuddin menyentuh langsung memeknya?

Ning Sarah mengangkat pinggul dan kakinya semakin ke atas, lalu menurunkan CD nya agar Burhanuddin lebih leluasa menjilati memeknya tanpa penghalang yang menjengkelkan dan pekerjaannya diteruskan oleh Burhanuddin yang menarik lepas CDnya sehingga keindahan memeknya bisa dinikmati oleh Burhanuddin.

"Awwwww...!" Ning Sarah menjerit kecil, puluhan cahaya seperti berpedar di matanya saat lidah Burhanuddin menyentuh itilnya yang mencuat mungil di antara garis tipis memeknya. Tuhan, dia tidak pernah membayangkan ada seorang pria yang menjilati memeknya dengan liar tanpa rasa jijik, padahal memek adalah tempat keluar air seni manusia.

"Apa, iniiii..!" Seru Ning Sarah merasakan sebuah gelombang kenikmatan menderanya, geliat tubuhnya semakin menjadi hingga dia harus berpegangan pada sprei agar tidak terhempas semakin jauh.

Burhanuddin semakin menjadi, lidahnya bergerak semakin cepat meraih apa saja yang bisa dijangkaunya. Cairan memek yang semakin banyak diseruput dengan rakus, namun semakin banyak yang dihirup Burhanuddin merasa dahaganya tidak juga terpenuhi

"Ning, kamu cantik sekali..!" Burhanuddin merangkak di atas tubuh Ning Sarah yang pasrah menunggu apa yang dilakukannya, sekeliling bibirnya basah oleh cairan memek Ning Sarah.

Burhanuddin mendekati wajah Ning Sarah yang masih lengkap mengenakan hijab dan baju lebarnya yang tersingkap hingga dada dan satu satunya yang sudah terlepas hanyalah CD putih yang entah berada di mana. Burhanuddin kembali mencium bibir Ning Sarah dengan lembut, perlahan beralih ke pipinya yang sangat halus dan juga sepasang mata Ning Sarah yang terpejam tidak luput dari sasarannya.

"Hentikan, Din..!" Seru Ning Sarah mengatakan hal yang sama berulang ulang, dia tidak tahu lagi harus berkata apa setelah semua kalimat yang sempat disusunnya semalam hilang dalam sekejap oleh cumbuan demi cumbuan Burhanuddin yang membangkitkan birahinya.

"Kenapa, Ning?" Untuk pertama kali Burhanuddin bertanya, dia menatap lembut wajah cantik Ning Sarah yang terpejam menyembunyikan gairah yang terus menerus menghantam kesadarannya.

"Aku akan pergi ke Mesir, maukah kamu memenuhi permintaanku sebelum pergi?" Ning Sarah perlahan membuka matanya untuk memandang pria yang berhasil mendapatkan semua miliknya yang paling berharga, cinta, keperawanannya dan juga ibunya. Namun matanya kembali terpejam saat bertemu dengan tatapan tajam Burhanuddin. Keyakinannya kembali goyah, apakah dia bisa meninggalkan pria yang sudah berhasil mendapatkan segalanya darinya, apakah dia bisa pergi jauh melupakan semua mimpi terindah yang membuat hidupnya semakin berwarna?

"Kamu serius, Ning?" Tanya Burhanuddin terkejut tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, gairahnya langsung hilang dalam sekejap.


Hanya apdet pendek, kesibukan di RL menjelang akhir tahun tidak bisa ditinggalkan.
Bersambung​
ooouuchh....,,
 
hadew prtnda akn cpt slesai ni crita ffrit ane... huhuhuhu... lnjtk kan.
 
deg deg kan ni... ikut aja din turuti smua mau nya ning sarah di. stlah itu biar kan ning sarah prgi din.biar km bebas sebebas nya menikmati se isi pondok din. ingat ada janda baru yg musti km puas kan. dan jg guru guru pondok putri lainya yg menngungu km puas kan.
 
tebak kan prtm sy soal prmntaa ning sarah adalah meminta udin menikah i ning isma. soalnya ning sarah tau cm ning isma lah wanita yg bs menunduk udin... maaf kl ane nympah suhu.. cm ikut trbw suasan cerita ini.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd