Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 7


"Kamu tidak, berdusta?" Ning Sarah menatapku dengan mata yang berkilau indah, dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang membayang samar.

"Tidak..!" Jawabku singkat, mewakili semua yang tersimpan selama ini.

"Maaf, aku masih banyak kerjaan. Lagi pula kamu harus menjalani hukuman di rumah, Gus Nur. Assalammualaikum.,!" Ning Sarah berbalik meninggalkan ku yang menatapnya bahagia, benih cinta yang sempat layu kini kembali mekar. Terima kasih Ya Allah, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Aku jadi ingat dengan salah satu surat cinta yang pernah aku tulis :

Jangan siksa aku dengan pesonamu, Ning.

Keindahan parasmu tak hanya melenakan mata, tapi juga merasuk dalam hati yang paling relung.

Menuntunnya tetap yakin bahwa cinta ini demi Sang Maha Bijaksana yang tak terlensa netra.

Ah, kini semuanya terjawab, anehnya terjawab di sini, bukan di Cirebon. Aku bahagia, akhir penantian ku terjawab sudah.

"Kamu kenapa senyum senyum sendiri?" Tanya Ning Ishma yang entah sejak kapan sudah berada di dekatku, matanya menatapku penuh selidik.

"Eh, nggak apa apa, Ning." Jawabku malu, aku ingin berteriak mengabarkan pada dunia, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Hampir saja aku lupa dengan tugasku mengisi bak mandi, rasanya tugas itu semakin ringan karena hatiku bahagia.

"Mau ke mana, kamu? Bak mandi sudah diisi Zuber, aku bahkan sudah mandi." Suara Ning Ishma menghentikan langkahku, aku menoleh ke arahnya dengan perasaan cemburu. Apa Zuber juga mendapatkan perlakuan yang sama seperti perlakuan Ning Ishma kepadaku?

"Zuber. ?" Aku tidak rela tubuhmu dijajah pria lain, Ning. Membayangkannya saja sudah membuatku marah, tidak ada yang boleh menyentuhmu selain aku.

"Ya, memangnya kenapa?" Ning Ishma menatapku tajam, tidak ada senyum seperti yang biasa aku terima.

"Tidak apa apa, Ning." Jawabku malu dengan perasaanku sendiri, Ning Ishma bukanlah milikku bahkan apa yang sudah kami lakukan terjadi begitu saja tanpa sebuah komitmen.

"Kamu menuduhku, berbuat yang tidak pantas dengan Zuber? Kau menganggapku pelacur, sehingga semua pria bisa memilikiku? Jangan kurang ajar kamu, sudah dikasih hati minta jantung." Ning Ishma berbalik meninggalkan ku yang terpaku melihat kepergiannya, dia marah padaku.

"Saya tidak berkata, begitu?" Seruku membuat langkah Ning Ishma terhenti, dia berbalik menatapku tajam dan aku terkejut matanya berkaca kaca bahkan ada sebagian yang jatuh membasahi pipinya yang halus.

"Dari tatapanmu dan dari pertanyaanmu, aku bisa menerkanya." Jawab Ning Ishma, suaranya bergetar menahan apa yang ada di dalam dadanya. Kembali dia berjalan meninggalkanku, tidak digubrisnya panggilanku.

Ya ampun, masalah lain timbul. Sangat jelas, Ning Ishma tersinggung dengan tuduhanku. Tapi, bukankah aku sama sekali tidak menuduhnya, hanya tersirat dalam pikiranku dan sama sekali tidak terucap. Kenapa Ning Ishma bisa menerka apa yang kupikirkan? Sudahlah, mungkin kemarahan Ning Ishma akan segera sirna, aku yakin dia tidak akan mendendam.

Aku berjalan pelan menjaga jarak dari Ning Ishma, hatiku belum tenang sebelum melihat bak kamar mandi. Sepertinya bukan bak mandi yang jadi pikiranku, aku lebih tertarik melihat pantat Ning Ishma yang berlenggak lenggok di depanku pantat yang bebas aku remas semalam. Pemandangan indah itu lenyap sat Ning Ishma berbelok masuk lewat pintu depan.

***********

"Kang, sampeyan lagi sibuk?" Tanya Zaenab.

"Seperti yang kamu lihat, malam ini tamu Abah Yai seperti tidak pernah berhenti. Apa lagi besok acara Maulud, pekerjaan seperti tidak ada habisnya.." Jawabku tanpa menoleh ke arah Zaenab, tanganku terus melap tumpukan piring basah yang sudah selesai dicuci dan meletakkannya di kotak kayu.

"Sudah hampir jam 11 malam Kang, besok saja dikerjakan." Kulihat Zaenab menguap letih, seharian ini dia di dapur memasak untuk jamuan para Yai yang datang silih berganti dan juga mulai menyiapkan keperluan untuk besok.

"Aku takut besok akan lebih banyak tamu yang sowan ke Abah Yai dan kita kekurangan piring dan gelas bersih, besok kan kita akan mengadakan acara Maulud. Belum lagi tamu masyarakat umum yang akan datang, jumlahnya pasti ribuan." Jawabku, padahal ini bulan Maulud pertama buatku nyantri di sini. Seingatku di Cirebon setiap bulan Maulud akan banyak tamu yang datang menemui Abah Yai dan puncak pada acara Maulud, apa lagi Abah Yai Nafi'ulama sepuh yang berkharisma tentu tamunya akan lebih banyak lagi.

"Ya sudah, biar aku bantu." Zaenab mengambil lap bersih dan mulai membantuku melap piring yang masih basah, sekilas aku melihat tangannya yang putih bersih membuatku berdesir aneh. Akhir akhir ini aku gampang terpancing, hanya dengan melihat tangan santriwati sudah membuatku terangsang.

Semuanya karena Ning Ishma yang sudah mengajariku kenikmatan surga dunia, sekarang dia malah menghindar dariku. Seharusnya dia bertanggung jawab atas perubahan yang kualami bukan justru meninggalkanku tanpa sebuah kepastian. Aku merindukanmu Ning, cumbuan dan kehangatan yang kau berikan merenggut akal sehatku.

"Nggak usah Nab, lebih baik kamu beristirahat." Aku berusaha mencegah Zaenab, wajahnya terlihat lelah. Terlebih berdekatan dengannya berdua di dapur membuat pikiranku tidak menentu, aku takut syetan akan memaksaku memperkosanya.

"Nggak apa-apa, ini sudah tugasku sebagai santriwati abdi dalem, seharusnya kamu yang istirahat seperti yang lainnya, kamu bukan santri dalam dan tidak punya kewajiban membantu di sini." Jawab Zaenab tersenyum, ah senyumnya membuat birahiku semakin bergejolak. Tinggalkan aku di sini, jangan biarkan birahi menyiksaku. Gumamku dalam hati, aku berusaha menyibukkan diri dan menganggap Zaenab tidak ada.

Istilah santri dalam itu diperuntukkan untuk mereka yang mengabdikan hidupnya untuk melayani para Kyai sebagai pengganti biaya hidup dan belajar selama di pondok. Ada dua golongan santri santriwati dalem, mereka yang benar benar tidak mampu membayar sehingga memilih jadi santri santriwati dalem agar tetap bisa menuntut ilmu hingga selesai. Ada juga santri santriwati dalem yang secara finansial mereka mampu dan tetap membayar biaya hidup dan belajar, mereka memilih jadi abdi dalem untuk ngalap berkah dari para Kyai.

"Aku ingin jadi abdi dalem, ngalap barokah dari para Yai sehingga ilmuku akan semakin bermanfaat." Jawabku. Keinginan itu timbul sejak tahu siapa yang sudah mengirim surat padaku, aku ingin semakin dekat dengan Ning Sarah dan berharap Abah Yai Nafi'akan melihat keberadaan ku dan mengangkatnya sebagai menantu. Itu salah satu alasanku menjadi abdi dalam, satu alasan lainnya adalah Ning Ishma yang sudah memperlakukanku secara istimewa. Mungkin suatu saat, aku akan menemukan Ning Ishma lain.

Mengingat Ning Ishma, rasanya sudah lama sekali sejak kejadian itu dia marah padaku tanpa alasan yang jelas, sejak itu dia selalu menghindar dariku. Aku merindukannya, merindukan semua yang sudah diberikannya padaku. Membayangkan semua kejadian itu, kontolku bangkit perlahan hingga akhirnya mencapai puncaknya. Aku butuh kamu Ning, butuh jepitan memeknya yang sudah membawaku ke surga duniawi.

"Kamu kenapa, Kang?" Tanya Zaenab melihat kegelisahan ku, dudukku mulai terasa tidak nyaman.

"Nggak apa apa, lebih baik kamu beristirahat." Aku berusaha mengusir Zaenab, saat ini aku ingin sendiri. Berdekatan dengan Zaenab, membuat pikiranku menjadi aneh. Bau tubuh Zaenab membuatku teringat tubuh polos Ning Ishma, aku berusaha mengusir bayang bayang Ning Ishma dari pelupuk mataku.

"Aku akan bantu kamu, ini tugasku bukan tugasmu. Kamu sudah membayar untuk mondok di sini, sedangkan aku mondok gratis dan membayar dengan tenagaku." Jawab Zaenab, tegas.

Aku memandang Zaenab, gadis ini cantik dengan sepasang lesung Pipit yang akan membuatnya semakin cantik saat tersenyum. Tubuhnya bisa dikatakan montok dengan sepasang payudara besar yang terlihat jelas dari bajunya yang kekecilan, atau mungkin payudaranya terlalu besar sehingga baju yang dipakainya seperti terlihat kekecilan.

Astaghfirullah, seharusnya pikiran ini tidak merasuki jiwaku sehingga gairahku semakin terbakar. Sudah cukup kejadian dengan Ning Ishma, kejadian penuh nista. Ah kenapa Ning Ishma marah kepadaku dan selalu menghindari ku, apakah dia merasa bersalah dan bertaubat sehingga dia menjauhiku? Ya, sepertinya.

"Kenapa kalian berduaan, di dapur?" Suara ketus Ning Sarah membuatku menoleh. Pujaan hatiku berdiri dengan tatapan tajam, menyimpan api cemburu. Cemburu, kenapa aku bisa menebaknya seperti itu, atau hanya perasaanku yang kege-eran

"Aku sudah menyuruh Zaenab istirahat, Ning." Jawabku menjelaskan, sebelum api cemburu semakin membesar.

"Ini tugasku, Ning." Jawab Zaenab, dia tidak melihat api cemburu terpancar dari mata Ning Sarah.

"Kan bisa kalian kerjakan, besok." Jawab Ning Sarah, tegas.

"Besok akan lebih banyak tamu yang datang, Rasulullah melarang kita menunda bunda pekerjaan." Jawabku diplomatis, pada saat seperti ini membawa hadist sangat diperlukan, terbukti api kemarahan Ning Sarah perlahan mulai padam.

"Tapi kalian juga tahu, orang yang berduaan dengan lawan jenisnya maka yang ketiga adalah syaitan." Ning Sarah tidak mau kalah, dia tentu tahu tentang hadist yang sudah dipelajari sejak kecil.

"Jadi, Ning Sarah adalah.......!" Zaenab tidak meneruskan candaanya, dia menutup bibir menahan tawa.

"Jadi kamu menuduhku, syetannya?" Ning Sarah mendelik, namun dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang menawan.

"Saya nggak ngomong begitu, Ning." Zaenab tidak bisa menahan tawanya, tubuhnya terguncang berusaha meredam suara tawanya.

"Awas ya, kamu..!" Ning Sarah mencubit pipi Zaenab yang chubby, tidak terlihat kemarahan di wajahnya membuatku merasa lega.

"Aduhhh, ampun Ning...!" Seru Zaenab didiringi tawanya yang lepas, menandakan cubitan Ning Sarah tidak menyakitinya.

"Udah ah, capek....!" Ning Sarah tersenyum geli, ah gadis yang kuanggap angkuh dan sombong ternyata begitu bebas bercanda dengan Zaenab.

"Ya sudah, aku bantuin biar kalian nggak bisa pacaran." Ning Sarah melihat ke arah malu malu, lalu menunduk diiringi senyumnya yang menawan.

"Ning, jenengan satu pesantren dengan Kang Udin ya?" Tanya Zaenab, dia melihat ke arahku.

"Iya, Kang Udin itu sombong. Selama aku satu pesantren dengannya, belum pernah dia menyapaku." Ning Sarah melirikku, senyumnya terbuka lebar. Ning, pesonanya semakin menjeratku.

"Masa sih, Ning? Siapa lelaki yang tidak akan bertekuk lutut kepada gadis secantik Ning Sarah, kecuali lelaki itu buta atau mempunyai kelainan." Zaenab menatapku tidak percaya.

"Buktinya begitu, sampai aku ngirim surat dan Kang Udin sama sekali tidak membalasnya." Jawab Ning Sarah, wajahnya langsung bersemu merah karena mengatakan sebuah rahasia yang seharusnya tetap tertutup rapat.

"Ning Sarah ngirim surat ke, Kang Udin?" Tanya Zaenab nyaris tidak percaya mendengarnya.

"Eh, becanda lagi. Enak amat amat aku harus ngirim surat lebih dahulu ke cowok, di mana harga diriku. Sudah ah, aku sudah ngantuk." Ning Sarah bergegas meninggalkan kami dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

"Kang, memang benar Ning Sarah mengirimi kamu surat cinta?" Bisik Zaenab setelah Ning Sarah masuk.

"Nggak, Ning Sarah cuma becanda." Jawabku berusaha menutupi aib Ning Sarah.

"Tadi Ning Sarah..!"

Aku segera memotong kalimat Zaenab, "Bukan begitu kejadiannya, Ning Sarah lagi ngejek aku yang sering ngirim surat cinta untuknya namun tidak ada satupun yang mendapat balasannya."

"Kang Udin ngirim surat buat Ning Sarah? Oh begitu kejadiannya, berarti cinta Kang Udin bertepuk sebelah tangan, donk? Jangan patah hati Kang, kan ada aku. Hihihi.." Zaenab tertawa genit, matanya mengering menggodaku.

"Masa, emang kamu mau jadi pacarku?" Aku balas menggoda Zaenab.

"Hus, pacaran itu dosa karena mendekatkan kita dengan zina. Kalau Kang Udin mau, bisa langsung ngelamar aku." Jawab Zaenab tertawa, akupun ikut tertawa dengan Senda gurau ini.


***********

Acara Maulud berlangsung meriah, ribuan orang datang dari berbagai tempat. Tapi hatiku kosong, karena tidak melihat keberadaan Ning Ishma di kursi khusus para ibu Nyai. Di mana dia, seharusnya ada di antara para Nyai yang datang. Terlebih Mbah Yai Maimun dan Nyai Fathimah ke dua orang tuanya datang menghadiri acara ini. Hatiku belum tenang sebelum melihatnya, aku berkeliling mencari Ning Ishma di antara para jama'ah wanita yang hadir, namun aku tetap tidak menemukannya.

"Kang Zuher, itu Mbah Yai Maimun ayahnya Ning Ishma ya?" Tanyaku mulai memancing Kang Zuber.

"Iya, emangnya kenapa?" Kang Zuber balik bertanya kepadaku.

"Nggak apa apa, lalu istrinya yang mana Kang?" Tanyaku pura pura tidak tahu, padahal aku mengetahui nama mereka dari percakapan Latifah dan Zaenab di dapur.

*Itu yang pakai kerudung warna krem, Ibu Nyai Fathimah." Jawab Kang Zuber, memang penampilan Ibu Nyai Fathimah terlihat mencolok, dia tidak memakai jilbab mengingatkanku dengypenampilan Nyai Sinta Nuriyah istri almarhum Gus Dur.

"Kenapa Nyai Fathimah tidak pakai jilbab, ya Kang?" Tanyaku tidak bisa menyembunyikan rasa heranku.

"Ah itu urusan beliau, Mbah Yai Maimun pasti lebih paham jadi kita tidak perlu mempertanyakan hal itu." Jawab Kang Zuber, tegas.

"Tapi aneh ya kang, Ning Ishma tidak terlihat di samping Nyai Fathimah." Aku mulai mengutarakan tujuanku secara halus.

"Kalau yang aku dengar dari Gus Nur, Ning Ishma sedang sakit jadi nggak bisa hadir." Jawab Kang Zuher membuatku lega, akhirnya aku mengetahui keberadaan Ning Ishma.

Perlahan tanpa diketahui Kang Zuber, aku menyelinap diantara para jama'ah yang hadir, aku ingin menemui Ning Ishma dan menanyakan kenapa dia selalu menghindar dariku, salahku apa? Semoga tidak ada orang di sekitar rumah Gus Nur, sehingga aku bisa menemui Ning Ishma tanpa diketahui orang. Harapan ku terkabul, rumah Gus Nur terlihat sepi, semua orang berkumpul di pekarangan depan tempat acara maulid dilaksanakan.

Tapi, bagaimana caranya menemui Ning Ishma, bukankah dia sedang sakit? Atau bisa saja dia semakin marah karena kekurangan ajaranku, hal itu baru terpikirkan olehku sekarang. Rasa takut dan ragu ternyata masih kalah oleh keinginan ku untuk bertemu dengan Ning Ishma, biarlah yang akan terjadi terjadilah.

Aku mengendap-endap mendekati jendela yang aku tahu adalah kamar Ning Ishma, setelah yakin tidak ada orang aku memberanikan diri mengetuk pelan.

"Ning, ini aku..!" Jantungku berdetak semakin kencang, mukaku terasa panas menunggu jawaban dari Ning Ishma.

"Mau apa, kamu? Pergi dan jangan temui aku, lupakan yang sudah terjadi diantara kita." Hatiku bersorak kegirangan mendengar jawaban dari dalam kamar, suara merdu Ning Ishma membuat hatiku bahagia dan hasratku bangkit tanpa bisa aku kendalikan.

"Kenapa, Ning? Salahku, apa?* Aku berusaha membujuk Ning Ishma, entah keberanian dari mana yang aku dapatkan.

"Pergi kamu, jangan siksa aku !" Seru Ning Ishma dengan suara terisak Isak, apa dia menangis? Apa yang membuatnya menangis,?

"Ning, kenapa nangis? Siapa yang sudah menyakitimu?" Tanyaku geram, tidak ada yang boleh menyakiti Ning Ishma.

Tidak ada jawaban dari Ning Ishma, bahkan suara Isak tangisnya sudah berhenti.

"Ning, siapa yang sudah menyakitimu? Katakan..!" Kenapa Ning Ishma tidak menjawab pertanyaanku, aku menempelkan telinga ke dinding kayu untuk mendengar lebih jelas. Sunyi, sangat sunyi atau mungkin suara speaker dari depan membuatku tidak bisa mendengar suara di dalam kamar.

"Kenapa kamu terus menggangguku, Din?" Reflek aku menoleh ke belakang, Ning Ishma berdiri memandangku. Aku terpaku, melihat pipinya yang halus basah oleh mata.

"A akui?" Tanyaku bingung, siapa yang membuatmu menangis bidadari.

"Ya, apa kamu tidak merasa?" Ning Ishma menatapku tajam, air mata terus mengalir membasahi pipinya. Duka terbayang jelas di wajahnya yang cantik.

Aku menggeleng dengan keras, usiaku masih terlalu muda untuk bisa menebak apa yang menyebabkan Ning Ishma menangidan menuduhku penyebabnya. Sumpah, aku tidak pernah melakukan perbuatan yang menyakiti hatinya.

"Kamu jahat, jahat...!" Ning Ishma tiba-tiba memukuli dadaku, rasa sakit tidak seberapa dibandingkan rasa heranku kenapa Ning Ishma berlaku aneh.

"Ning, apa salahku?" Aku berusaha memegang pergelangan tangan Ning Ishma, dadaku mulai terasa sakit.

"Kamu tolol, sama sekali tidak mengerti perasaanku.!" Ning Ishma menarik tangannya dari pegangan ku, aku sekuat tenaga menahan agar tangan Ning Ishma tidak terlepas. Hebat, tenaga Ning Ishma ternyata sangat kuat sehingga bisa melepaskan peganganku.

"Aku..!" Ya Allah, apa lagi masalah yang aku hadapi.

"Ikut aku.,.!" Ning Ishma menarik tanganku, hampir saja aku jatuh tersandung. Apa dia mengajakku mengulangi kejadian malam itu, seperti inilah awalnya dia menarik tanganku.

"Diam, ada orang..!" Ning Ishma meletakkan jari telunjuk bibirku, aku mengangguk mengerti karena akupun sempat melihat seseorang datang. Ning Ishma membuka pintu dapur, aku mengikutinya tanpa diminta.

"Assalammualaikum...!" Ucapan salam dari pintu depan terdengar samar, membaur dengan suara speaker yang sedang melantunkan shalawat.

"Diam di sini, jangan sampai ada yang tahu kamu di sini. Wa alaikum sallam..!" Ning Ishma bergegas meninggalkanku di dapur.

Siapa yang datang, aku tidak bisa mendengar suaranya karena suara speaker yang keras. Menunggu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, aku tidak punya pilihan lain .

"Latifah dan Zaenab yang datang." Gumam Ning Ishma membuyarkan lamunanku.

"Ada apa mereka, datang?" Aku menatap Ning Ishma penuh harap dia memperlakukan ku seperti beberapa hari yang lalu, aku menginginkannya saat ini.

"Bukan urusanmu, Din. Bisakah kita menghentikan semuanya dan melupakan apa yang pernah kita lakukan, itu salah." Ning Ishma menghempaskan pantatnya di bale+bale bambu.

"Kenapa, Ning?" Tanyaku tidak mengerti, dia sudah memulainya dan tiba tiba dia ingin mengakhiri begitu saja. Tidak tahukah sia, hampir setiap saat aku berharap kejadian itu kembali terulang.

"Ini semua salahku, aku sudah menjerumuskanmu. Seharusnya aku tidak pernah mengenalmu, Din..!" Ning Ishma kembali menangis, air matanya tumpah tanpa bisa dicegah.

"Ning, kenapa kamu menangi?" Tanyaku heran, sepertinya tidak ada yang perlu ditangisi.

"Aku menangisi pertemuan kita, seharusnya kita tidak pernah bertemu sehingga aku tidak perlu jatuh cinta pada orang yang salah." Jawab Ning Ishma, suaranya terbata bata diantara Isak tangisnya.

"Aku tidak mengerti maksudmu Ning. Pada siapa kamu jatuh cinta, Ning?" Tanyaku tidak mampu menebak arah perkataan Ning Ishma, daya pikirku tiba menjadi tumpul.

"Anak tolol, aku sering memperhatikanmu dari kejauhan saat kita berada di Cirebon. Kamu terlihat berbeda di antara para santri lainnya, kamu begitu lugu dan bersemangat menghafal setiap kitab sehingga pada Ustadz memuji kecerdasan dan kesungguhanmu. Kamu bisa dengan cepat mengejar pelajaran yang tertingal, dibandingkan para santri lain yang sudah lebih dahulu mondok. Kamu terlihat istimewa, sayang usiamu jauh di bawahku. Usiaku sekarang 25 tahun, sedangkan usiamu 19 tahun." Jawab Ning Ishma membuatku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya.

"Aku nggak ngerti, Ning." Jawabku, pelan.

"Anak tolol, aku mencintaimu.... Aku mencintaimu..!" Seru Ning Ishma memelukku sehingga aku jatuh terlentang, Ning Ishma terus menindihku.

"Kamu ngerti, sekarang?" Tanya Ning Ishma, air matanya semakin deras mengalir dan jatuh membasahi wajahku.

Aku hanya terdiam, menatap tak percaya dengan pengakuan Ning Ishma. Tak mungkin, wanita seperti Ning Ishma bisa jatuh cinta padaku. Dia bukan gadis remaja yang mudah jatuh cinta, dia adalah wanita dewasa yang sudah matang.

Ning Ishma melumat bibirku dengan bernafsu, menggigit bibirku sehingga aku berusaha melepaskan diri darinya.

"Sakit, Ning..!" Seruku setelah terbebas dari gigitan, bibirku terasa asin oleh darah yang mengalir dari luka di bibirku.

"Aku tahu, kedatanganmu untuk tubuhku, bukan karena cintamu. Baik, aku akan memberikannya untukmu, demi cintaku padamu." Ning Ishma dengan kasar membuka baju Koko yang kukenakan sehingga ada beberapa kancing yang terlepas.

"Ning, pelan pelan.!" Seruku kaget, Ning Ishma lebih kasar dari pada waktu itu. Tidak ada kelembutan yang tersisa darinya.

"Aku mencintaimu, kenapa kamu tidak datang dengan cinta? Kenapa kamu datang hanya ingin menikmati, tubuhku?" Tanya Ning Ishma, tanpa menunggu jawaban dariku, dia menjilati dada bidangku, lidahnya menggelitik puting dadaku yang sensitif.

"Ning....!" Aku mendesah lirih, rasa nikmat menggelitik syaraf syarafku. Aku tergoda meremas pantatnya yang berisi, meremasnya dengan sepenuh gairah yang membakar jiwaku.

"Benarkan, kamu hanya menghitungnya, kamu hanya menginginkan memekku, yang ada d otakmu hanya ngentotin aku. Baik, aku akan memberikan memekku padamu... Hiks hiks hiks...!" Ning Ishma berdiri di atas tubuhku, dengan cepat dia membuka seluruh pakaiannya sehingga yang tersisa hanyalah jilbab yang dikenakannya.

Ning Ishma berjongkok di atas wajahku, memeknya disorongkan ke mulutku. Baunya yang khas membuatku kegirangan, inilah yang aku inginkan dan Ning Ishma sangat mengerti dengan keinginanku. Tanpa menunggu, lidahku menyusup masuk ke dalam lobangnya yang sengaja dibuka oleh kedua tangan Ning Ishma.

"Kamu jahat, Kamu hanya menginginkan memekku. Nikmatilah, jilat sampai kamu puas.!" Seru Ning Ishma sambil terisak isak, namun birahi sudah membutakan hatiku sehingga tidak merasa iba dengan tangisan Ning Ishma.

Lidahku bergerak liar menggelitik itilnya yang mencuat indah, kepalaku terangkat sehingga cairan memek Ning tidak terbuang sia sia.

"Ohhhhhh, kamu jahatttt...!" Ning Ishma merintih di antara Isak tangisnya, di antara rasa sakit dan nikmat yang tidak bisa diingkari.

"Kamu menganggapku pelacur yang bisa dinikmati setiap kamu membutuhkan, kamu jahat..... Ahhhhh ini nikmat...!" Ning Ishma terus menekan pantatnya ke wajahku sehingga aku semakin kesulitan bernafas, cairan memek Ning Ishma ada yang masuk ke dalam hidungku.

"Kenapa, kamu sudah bosan ngejilat memekku?" Tanya Ning Ishma saat aku berusaha mendorong pantatnya menjauh dari wajahku, nafasku hampir habis.

"Nggak bisa nafas, Ning..!" Seruku, akhirnya aku bisa menarik nafas.

"Bukankah kamu menginginkan, memekku? Kenapa takut mati saat kau menikmati surga?" Ejek Ning Ishma membuatku malu, aku memang menginginkan memeknya tapi bukan berarti aku siap mati demi memeknya. Itu namanya, mati konyol.

"Kamu masih, menginginkan memekku?" Tanya Ning Ishma, air matanya masih belum juga berhenti.

"Ning, kalau kamu tidak mau melakukannya, jangan lakukan." Jawabku lirih, rasa ibaku mulai terusik.

"Jawab, apakah kamu masih ingin ngentotin aku?" Tanya Ning di antara isak tangisnya.


"Ning, maafkan aku." Jawabku merasa bersalah.

"Kamu merasa, bersalah? Bohong, kontol kamu tetap ngaceng." Cibir Ning Ishma, meraih kontolku yang masih tegang sempurna.

"Akku menyesal Ning sudah melukai perasaanmu, aku sendiri bingung kenapa kontolku tetap ngaceng." Jawabku, sepertinya tidak ada hubungan antara menyesal dan ngaceng.

"Tentu saja saja ada, kamu tahu apa yang menyebabkan Gus Nur impoten?" Tanya Ning Ishma, dia mundur ke arah kontolku.

"Nggak tahu, Ning." Jawabku heran, apa hubungannya?

"Karena dia menyesal karena pernah berzina dengan beberapa santriwati saat dia mondok." Jawab Ning Ishma, dia mengarahkan kontolku ke lubang memeknya dan setelah pas, pantatnya menekan dengan cepat sehingga kontolku langsung amblas di memeknya yang hangat dan sempit.

"Ahhhhh,....!" Aku mendesis nikmat, Ning Ishma langsung memacu kontolku tanpa merasa perlu membiasakan memeknya yang tertembus kontolku.

"Enakkan, memekku? Ini yang kamu mau kan? Seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu, kamu jahat...!" Ning Ishma menggigit bibirnya, air matanya sudah terhenti sama sekali.

"Akku nggak jahat, Ning..!" Aku membela diri, payudara Ning Ishma bergerak brutal mengikuti gerakkan tubuhnya yang liar memacu kontolku.

"Kamu jahat, datang cuma mau ngentotin memekku. Kamu jahatttt..!" Payudara Ning Ishma begitu menggoda, aku beranikan diri menyentuh dan meremasnya dengan lembut agar tidak menyakitinya.

"Aduhhh Ning, pelan pelan nanti aku ngecrottttt...!" Aku berusaha sekuat tenaga menahan kenikmatan dahsyat yang nyaris membuatku menyerah, aku ingin lebih lama menikmati memeknya, semakin lama semakin bagus.

"Biarin, semakin cepat kamu ngecrottttt, semakin bagus." Jawab Ning Ishma, gerakannya melambat. Sepertinya diapun tidak rela aku ngecrot cepat, sementara dia sendiri belum mendapatkan orgasmenya.

"Iya, Ning begitu..!" Rasa nikmat yang kurasakan sangat dahsyat, kontolku seperti diremas remas oleh memek Ning Ishma yang hangat dan lunak.

"Ampun, ini nikmat.... Awwww ahhhhh ahhhhh sssssss....!" Ning Ishma menggeliat seperti cacing kepanasan, terus memacu kontolku mencari kenikmatan yang selama ini dicarinya. Matanya terpejam, wajahnya terlihat bahagia. Hebat rasanya, hentakan demi hentakan pinggul Ning Ishma membawaku ke dunia indah.

"Hamil aku sayang, walau aku tidak bisa memilikimu....!" Racau Ning Ishma, pikirannya semakin kacau oleh rasa nikmat yang menguasai jiwanya.

Aku memeluk Ning Ishma, kulitnya yang halus bersentuhan dengan kulitku. Aku ingin memilikinya walau hanya sesaat, menuntaskan birahi yang terkekang selama beberapa hari. Kulihat bibirnya yang lembut, Ning Ishma membalasnya dengan hangat. Kami berciuman di tengah panasnya persetubuhan yang berlangsung, kontolku dan memeknya bersatu menggapai kenikmatan surgawi.

"Ini yang kamu inginkan, sayang? Apakah pernah kamu berpikir untuk memilikiku seutuhnya, sebagai istrimu?" Bisik Ning Ishma setelah ciuman kami yang cukup lama.

"Aku tidak tahu, Ning." Jawabku, jujur.

"Sudah kuduga seperti itu jawabanmu, aku yang salah karena mencintaimu..,!" Ning Ishma menatapku pasrah, gerakan pinggulnya terus memacu kontolku.

"Maafkan aku, Ning." Bisikku, merasa bersalah karena tidak bisa membalas cintanya.

"Ahhhhh, akkkkku kelllllluaarrrrr...!" Ning Ishma menjerit kecil, tubuhnya mengejang berkali kali menggapai orgasmenya.

"Gantian, Ning!" Bisikku melihatnya kelelahan setelah orgasme dahsyat yang diraihnya.

"Enggak, aku yang akan melayaniku, bukankah itu maunya !" Seru Ning Ishma, dia kembali menggerakkan pinggulnya memompa kontolku dengan lembut, tubuhnya masih kelelahan setelah orgasme yang diraihnya.

Memek Ning Ishma semakin basah dan licin, namun tidak mengurangi rasa nikmat yang kurasakan. Bahkan suara yang timbul akibat tumbukan kontolku pada memeknya membuat birahiku semakin menggila, aku menggerakkan pinggulku menyambut hentakan memeknya.

"Kontolmu ennakk sekali, semoga pejuhmu bisa menghakimiku, sayang. Hanya itu yang aku inginkan darimu, sayang." Bisik Ning Ishma, diakhiri menjilati leherku yang basah oleh keringat.

"Ning, bukankah Gus Nur impoten?" Tanyaku heran, apa yang akan terjadi kalau Ning Ishma hamil?

"Ya memang, apakah aku salah ingin punya anak?" Tanya Ning Ishma, di semakin cepat menggerakkan pinggulnya sehingga membuatku kelimpungan menahan orgasme, aku lebih lama menikmati memek Ning Ishma selagi ada kesempatan.

"Akkku nggak tahan, Ning....!" Ujarku menyerah, pejuhku sudah berkumpul di ujung kontolku.

"Keluarin, hamili aku.." Ning Ishma semakin mempercepat gerakkan pinggulnya.

"Akkku kelllllluaarrrrr...!" Tubuhku mengejang saat ribuan sel spermaku terhambur keluar membanjir memek Ning Ishma.

"Akkku jugaaaa kelllllluaarrrrr..." Jerit Ning Ishma memeluk pinggangku erat...

"Assalammualaikum, Ning, ini Umi dan Abah..!" Ketukan kencang di jendela kamar membuatku terkejut setengah mati. Walau saat ini kami berada di dapur, jarak dapur dan kamar Ning bersebelahan sehingga kami bisa mendengar jelas.

"Wa alaikum salam....!" Wajah Ning Ishma langsung pucat menyadari keadaan kami, Ning Ishma segera bangkit dari atas tubuhku dan tergesa besar memakai pakaiannya kembali. Akupun bergerak cepat memakai bajuku.

"Cepat, kamu keluar...!" Bisik Ning Ishma ketakutan.

Tanpa menoleh kiri kanannya, aku keluar lewat pintu dapur dan bersembunyi di sumur menunggu hingga situasi aman. Saat itulah aku melihat sesosok tubuh menyelinap menjauh dari samping rumah, aku terkejut. Siapa orang itu, apakah dia tadi mengintip perbuatan ku dengan Ning Ishma? Celaka, aku harus tahu siapa orang itu sebelum apa yang kulakukan dengan Ning Ishma terdengar.

Bersambung...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd