Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Alurnya asik bener dinikmati.. Lanjutkan suhu..
 
Mau komen tapi ngga tau komen apa,terus terang aku penasaran cerita selanjutnya 😊
 
Nderek nyimak njih ...... Sinambi ngunjuk kopi kalian dahar telo godog , nuwun
 
Makasih suhu updatenya.... wuih bakal dapat durian runtuh si udin sekali mondok 2 3 anak kyai di dapatkan... semangat udin mendapatkan anak kyai dan santriwatinya
 
April gimana suhu? Udah nganggur 4 bulan, mending buat si Helmi, dipaksa pas di sekre tapi keenakan soalnya udah lama ga disentuh.
 
Chapter 6



"Kang, dari tadi aku lihat kamu ngelamun?" Tanya Kang Zuber heran, sejak tadi dia hanya bicara sendiri tanpa kuhiraukan. Fikiranku tertuju pada kejadian sore tadi, harus kuakui itu sangatlah nikmat, melebihi dari yang kubayangkan selama ini. Wajah cantik Ning Ishma, terlihat begitu menikmati apa yang dilakukannya padaku.

"Lagi ingat, desa." Jawabku bohong, dan tidak mungkin aku mengatakan kejadian yang sebenarnya pada Kang Zuber.

Walau aku tidak bisa mengingkari perasaan bersalah karena melakukan sebuah dosa besar, bahkan aku melakukannya dengan seorang wanita terhormat yang dianggap mempunyai karomah karena dia seorang wanita keturunan Kyai, darah biru di kalangan ulama. Walau itu semua bukanlah kesalahanku, aku hanyalah korban.

Pengalaman sebelum Maghrib membuatku shock, rasa bersalah terus menerus menggayuti hatiku. Ya Allah, semuanya terjadi tanpa dapat dicegah, Ning Ishma berubah menjadi singa lapar yang memperkosaku, merobek robek kesucian ku. Ini dosa besar apa lagi aku melakukannya dengan perempuan bersuami, hukumannya adalah rajam.

"Kang, ngintip santriwati yuk.!" Ajak Kang Zuber, membuyarkan lamunanku.

"Sampeyan nggak kapok, Kang?" Tanyaku heran, setelah hukuman yang kami terima. Setiap malam kami harus meronda dan siangnya membersihkan rumah Gus Nur sehingga waktu tidur kami jauh berkurang. Hukuman yang justru membuatku terjerumus dalam lembah nista.

"Itu salahmu, kenapa hp tidak kamu silent?" Kang Zuher menyalahkan kebodohanku, aku tidak bisa memungkirinya dan memang semuanya salahku.

"Iya maaf !" Ah kalau saja aku tidak menguping Gus Nur, aku tidak akan mengalami kejadian sore tadi menjelang Maghrib, saat ini aku masih perjaka ting-ting.

"Sekarang jam satu Kang, nggak ada yang ke kamar mandi." Jawabku ketus, sepertinya Kang Zuber sangat senang dengan berbagai petualangan mesum. Ah, apa bedanya dengan aku? Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan kenakalanku mengintip para santriwati mandi.

"Nanti jam 3 akan banyak santriwati ke kamar mandi, waktu yang tepat untuk mengintip. Apa lagi kalau yang ke kamar mandi Latifah atau Zaenab." Gumam Kang Zuber, membayangkan ke dua gadis yang dianggap bunga pesantren diantara 100 orang santriwati lainnya. Harus kuakui, ke dua gadis itu cantik.

"Kang Zuher sering ngintip mereka?" Tanyaku teringat dengan celoteh Latifah tentang bulu jembut lebat Zaenab, aku jadi penasaran ingin mengintipnya

"Hehehe, kalau ada kesempatan." Kang Zuher tertawa mengakui perbuatannya, aku ikut tertawa. Ternyata di tempat ini aku punya teman yang sama gilanya

"Memangnya kamu nggak pernah ngintip, selama mondok di Cirebon?" Tanya Kang Zuber telak, membuatku malu sendiri. Apa bedanya aku dengan Kang Zuber dalam dunia intip mengintip.

" Hahahaha, aku nggak pernah ketahuan. Baru di sini aku ketahuan, mungkin kita kualat karena berani ngintip Gus Nur." Jawabku mengakui kegilaanku selama mondok di Cirebon.

"Mungkin, eh dulu kamu satu pesantren dengan Ning Sarah ya?" Kang Zuher mengalihkan topik percakapan kami, membuat hatiku berdesir aneh. Nama itu selalu membuatku bahagia dan juga menderita.

"Iya, tapi aku kurang memperhatikan Ning Sarah. Kata teman temanku Ning Sarah anak K.H Ahmad Nafi', jadi aku nggak berani terang-terangan melihatnya, paling dari jauh. Eh nggak tahunya yang dimaksud K.H Ahmad Nafi'adalah Abah Yai, kaget aku." Jawabku mengenang kejadian di Cirebon, mengagumi kecantikan Ning Sarah dari kejauhan.

Hingga suatu hari aku memberanikan diri mengiriminya surat cinta dalam bahasa Arab, sebenarnya belum bisa dikatakan surat cinta karena aku meng-copy dari sebuah majalah pesantren. Laukaanal hubbu kalimat tuktabu lantahat aqlamie… walakinal hubbu riehun tahub.( Kalaulah cinta itu kata yang harus ditulis, niscaya penaku sudah habis. Tapi untunglah cinta itu adalah udara yang terus berhembus. ) Itulah kalimat yang aku tulis dan kutitipkan kepada salah satu santriwati yang kulihat sering bersamanya, namun surat itu tidak pernah berbalas. Aku kembali mengiriminya surat, dan kembali mengiriminya surat hingga aku bosan sendiri karena tidak ada satupun Suratku yang mendapat balasan. Gadis itu terlalu sombong, aku berjanji menghilangkan bayang bayangnya dalam hidupku. Pikiran ku mulai membentuk sosok Ning Sarah sebagai gadis sombong dan angkuh.

"Kamu naksir, Ning Sarah?" Tanya Kang Zuber, dia menatapku tajam seakan bisa membaca pikiranku.

"Aku nggak pantas untuknya, dia anak Abah Yai Nafi'. Apalah aku.?" Jawabku pelan, rasa marah dan jengkel atas semua keangkuhan Ning Sarah terasa menusuk hatiku mungkin ini lebih baik dari pada aku terus menerus mengharapkan cintanya yang tidak akan pernah kumiliki.

Seperti yang selalu dikatakan K.H Muntaha : "Tubuh yang kita gunakan untuk beribadah dan berjuang pasti akan rusak, begitu pula saat tubuh kita tidak digunakan untuk berjuang dan beribadah juga akan rusak. Sama-sama rusak, tapi lebih baik'kita gunakan untuk beribadah dan berjuang sehingga hidup kita tidak dia sia." Ya, aku akan berjuang untuk beribadah dari pada aku harus berjuang untuk cinta yang tidak akan kumiliki, aku tidak mau menyia-nyiakan hidupku.

"Hahaha, kenapa kamu takut untuk berjuang mendapatkan cinta Ning Sarah? Kamu tidak serendah seperti yang kamu bayangkan, selulus ya kamu menuntut ilmu agama kamu akan menjadi seorang ulama. Kalau nasibmu bagus suatu saat kamu akan mempunyai pondok pesantren dan orang akan memanggilmu Pak Yai." Kata Kang Zuber, matanya menerawang jauh.

"Amin Yaa rabbal'alamiin." Memang itu tujuan ke dua orang tuaku memasukkannya di Pesantren, tapi niat luhur itu sudah ternoda oleh perbuatan bejadku. Ilmu yang aku pelajari menjadi sia-sia. Ya Allah, maafkan semua dosa-dosa ku ini.

"Kalau aku, entah akan jadi apa setelah keluar dari Pesantren." Gumam Kang Zuber, tangannya merapikan peci yang dikenakannya.

"Jadi Kyai, minimal jadi Ustadz atau da'i." Jawabku pasti, menurut pengakuan Kang Zuber dia sudah di pesantren ini selama lima tahun. Kang Zuber adalah santri dalam yang mengabdikan hidupnya untuk melayani para kyai, mengerjakan semua pekerjaan rumah Abah Yai dan para Kyai lainnya. Sehingga dia bisa mondok di sini tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun, semua kebutuhannya ditanggung oleh para Yai yang dilayaninya.

"Orang tuaku miskin, nggak mungkin aku bikin pesantren." Jawab Kang Zuber.

"Akang bisa ikut ngajar di Pesantren tanpa mendirikan pesantren." Jawabku diplomatis.

"Iya, semoga aku berjodoh dengan, Ning..!" Gumam Kang Zuber, entah Ning siapa yang dimaksud olehnya. Jangan jangan dia juga naksir Ning Sarah?

"Hei lihat, sudah ada santriwati yang ke kamar mandi..!" Seru Kang Zuber menunjuk ke arah kamar mandi santriwati.

"Zuber...!" Sebuah suara lembut membuat kami terkejut menoleh ke arah sumber suara, Gus Nur berdiri tidak jauh dari kami. Tamatlah riwayat kami sekarang, hukuman apa lagi yang akan kami terima.

"I i iya, Gus..!" Kang Zuber menunduk gelisah.

"Jagalah hatimu, jagalah pandanganmu yang akan mendekatkanmu kepada zina." Suara Gus Nur begitu sabar memberi nasihat, entah terbuat dari apa hatinya

"Enggeh, Gus Yai..!"

"Dan ingatlah, setiap kita akan menuai hasil dari perbuatan kita. Tak ada yang luput dari pandangan Allah, Sang Maha Melihat. Bertaubat, bertaubatlah sebelum waktu kita di dunia ini habis." Aku menunduk gelisah, Gus Nur seperti menelanjangi perbuatan ku dengan Ning Ishma. Firasatnya begiytajam, ucapannya mampu menikam kesadaranku. Aku harus bertaubat, sebelum semuanya terlambat.

"Zuber, ikutlah ke masjid denganku. Aku ingin tau hafalan kitabmu sebelum kau pergi meninggalkan pesantren." Aku terkejut mendengar penuturan Gus Nur, apakah Kang Zuber akan diusir dari Pesantren karena perbuatannya sudah tidak termaafkan?

"Enggeh, Gus..!" Kang Zuber mengangguk, matanya menatapku seperti meminta pertolongan.

Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan kasar, maafkan aku tidak bisa menolongmu. Posisiku sama berbahayanya denganmu. Aku memandang Kang Zuher yang berjalan mengekor Gus Nur, langkahnya gontai tidak bertenaga. Masa depannya penuh tanda tanya, keluar dari pesantren dan kembali ke masyarakat umum untuk mengamalkan ajaran yang diterimanya bukanlah perkara mudah. Apa lagi kalau dihadapkan pada masalah mencari nafkah, entah apa yang akan dilakukan Kang Zuber yang buta dalam masalah itu.

Pletak, sebuah batu kecil tepat menghantam bale-bale gardu membuatku terkejut. Aku menoleh mencari siapa yang sudah menggodaku dengan tumpukan kerikil, sepertinya dari arah belakang gardu. Dan aku terpaku begitu tahu siapa yang sudah menggodaku, Ning Ishma berdiri di samping rumahnya melambaikan tangan ke arahku. Ya Allah, cobaan apa lagi yang harus kuterima, Ning Ishma berubah menjadi sosok yang menakutkan buatku.

Kembali Ning melemparkan batu kerikil ke arahku, tindakannya akan membuat heboh para santriwati apa bila mereka melihatnya. Terpaksa aku menghampirinya sebelum yang lain tahu. Tidak cukupkah dia melakukannya padaku, merenggut mahkota kesucian ku. Apakah dia akan mengulangi tindakannya selagi kesempatan itu ada? Entahlah, aku terjebak dalam kenikmatan syahwat yang sempat kudapatkan dan dosa serta laknat yang akan kudapatkan.

"Ikut, aku..!" Ning Ishma menarik tanganku sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, dia menariknya masuk pintu dapur. Aku terpaku menatap bale-bale yang menjadi saksi kenikmatan yang diperoleh dan juga nista yang kami lakukan.

"Ning, jangan Ning..!" Aku berusaha mengingatkan, walau aku sendiri mulai terbakar birahi. Kenikmatan yang ditawarkannya, sulit aku abaikan. Antara dosa dan kenikmatan adalah dua sisi mata uang yang menjadi satu.

"Jangan munafik, kamu menikmati seponganku tadi? Sekarang gantian kamu harus bisa memuaskan memekku, sebagai imbalan kenikmatan yang aku berikan." Ning Ishma menjawab ketus, dia menariknya ke ruang tengah.

"Ning, mau ke mana kita?* Aku terkejut, tubuhku gemetar memasuki ruang tengah. Ini rumah yang dinaungi cahaya mulya, ini rumah penuh barokah yang selalu diisi oleh amalan ibadah, bagaimana mungkin aku harus mengotorinya dengan perbuatan terkutuk dan nista.

"Ke kamarku..!" Ning Ishma menarik tanganku sekuat tenaga, tidak peduli dengan penolakan ku. Tenaganya begiykuat, menyeret ku masuk kamarnya yang berbau harum surgawi.

"Ning, saya bisa kualat..!" Seruku ngeri, entah malapetaka apa yang akan menimpaku karena berani mengotori kamar Gus Nur dan Ning Ishma dengan perbuatan nista. Semua ilmu akan kehilangan faedahnya.

Ning Ishma sama sekali tidak peduli dengan penolakan dan rasa takutku, dia memelukku dan mengulum bibirku dengan bernafsu, memusnahkan semua rasa takutku berganti dengan birahiku. Dengan perasaan canggung, aku membalas ciumannya, bibirnya begitu hangat dan lembut.

"Gitu donk sayang, kalau dicium harus membalasnya." Ning Ishma tersenyum menatapku dan untuk pertama kali aku berani membalas tatapannya, matanya yang jernih begitu indah dan mempesona. Kulit wajahnya begitu halus membuatku tergoda untuk menyentuhnya dengan tangan gemetar.

"Hihihi, malam ini aku milikmu dan kamu milikku." Bisik Ning Ishma, hembusan nafasnya menggelitik telingaku.

"Kamu mau aku buka jilbabku, biar kamu bebas membelai rambutku.." Ning Ishma menjauh dariku, Merlung matanya menggoda kesadaranku.

Perlahan Ning Ishma membuka jilbab lebar yang selalu dipakainya, membebaskan rambutnya yang hitam bergelombang menyentuh punggungnya. Ya Tuhan, dia seperti bidadari surga yang diimpikan setiap pria di muka bumi, kecantikannya begitu alami tanpa pulasan.

"Kamu mau lihat, tubuhku tanpa penutup?" Goda Ning Ishma melihatku terpesona mengagumi kecantikannya, bahkan mataku tak mampu berkedip. Sebuah kedipan kecil akan membuat bidadari itu hilang dari hadapanku.

"Kenapa, diam?" Suara Ning Ishma menyadarkanku, perlahan aku mengangguk.

Tawa kecil Ning Ishma mengiringi gerakannya yang gemulai mengangkat ujung baju yang dipakainya membuat nafasku terhenti, mataku mengikuti gerakan tangannya. Ya Allah, kulit perutnya begitu mulus, semakin sempurna dengan perutnya yang rata tanpa lemak. Gerakan lambat Ning Ishma memanjakan mataku dengan keindahan yang ada padanya.

Tatapanku beralih ke segetiga mungil yang melindungi memeknya dari pandangan liarku, seindah apa yang tersembunyi di baliknya aku ingin secepatnya melihat, konon di situlah lubang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan surga dunia, sehingga Nabi Adam terlempar dari surga karena benda itu.

"Ning..!" Aku mendesah lirih saat pakaiannya sampai di lehernya sehingga aku bisa melihat gundukan payudara yang berukuran sedang terbelenggu oleh BH yang dipakainya, inilah pertama kali aku melihat tubuh seorang wanita yang secara suka rela menelanjangi dirinya di hadapanku.

Lututku lunglai melihat pemandangan yang ada di depanku, tubuhku terhuyung mencari pegangan agar tidak terjatuh, kalau hal itu terjadi sungguh memalukan. Tanganku berhasil meraih sisi ranjang besi yang dingin, pada saat yang sama lututku tidak mampu menahan beban tubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai dingin mentertawakan kecanggunganku.

"Kamu kenapa sayang? Hihihi....!" Goda Ning Ishma, dia memegang ketiakku berusaha membantuku berdiri. Dengan susah payah aku berhasil berdiri dan menjatuhkan pantatku di sisi ranjang, sungguh memalukan.

"Ning...!" Mataku terbelalak melihat Ning setengah membungkuk sehingga payudaranya yang membusung indah tepat berada di hadapanku dengan jarak hanya beberapa centimeter sehingga aku bisa mencium aromanya yang harum dan memabukkan, begitu dekat sehingga aku bisa urat urat berwarna biru membayang samar.

Sejak kapan Ning Ishma melepaskan BH yang dipakainya, sehingga aku bisa melihat putingnya yang mungil berwarna kecoklatan? Nikmat apa lagi yang harus aku ingkari ? Dosa dan syahwat berjalan beriringan mencampakkan norma dan aturan yang ada, dan aku terperangkap di dalamnya.

"Kenapa, sayang..?" Goda Ning Ishma, payudaranya menyentuh wajahku, kehangatannya semakin membakar birahiku.

"Bo, boleh aku pegang?" Aku memajukan wajahku menempel pada payudara yang begitu menggoda.

"Pegang apa, sayang..?" Suara Ning Ishma terdengar mendesah.

"Sus..,.sus.. nya..!" Jawabku gagap.

"Tentu sayang, kamu boleh pegang susuku karena sekarang aku milikmu.." Ning meraih kedua tanganku dan meletakkannya pada sepasang payudaranya yang hangat, kenyal dan halus. Ya Tuhan, terimakasih aku sudah mendapatkan kesempatan memegang sepasang payudara indah impian para pria. Tanganku terus memegangnya, meresapi hangat yang terpancar dan mengalir ke pembuluh darah di tanganku.

"Jangan cuma dipegang, remas pelan, pelintir putingnya dan hisap seperti bayi yang sedang menyusu, maka kamu akan tahu betapa nikmatnya bermain-main dengan payudara wanita." Bisik Ning Ishma lirih, matanya terpejam dan sebuah senyum tipis membayang di bibir.

"Akkku..!" Perlahan aku meremas payudara Ning Ishma, berusaha mengikuti semua instruksinya dan benar ada keasikan tersendiri.

"Awwww....!" Jeritan kecil Ning Ishma membuatku terkejut, sepertinya remasanku terlalu keras dan membuat Ning Ishma kesakitan.

"Ma maaf, Ning..!" Aku menatapnya iba.

"Hihihi, aku nggak apa apa sayang.." Ning Ishma kembali melumat bibirku dan aku mulai bisa mengimbangi ciumannya dengan kaku, sementara tanganku kembali meremas payudaranya dengan lebih lembut. Ciuman kami berlangsung lebih lama dari tadi, membuat kami nyaris kehabisan nafas.

"Kamu curang, masa cuma aku yang telanjang..!" Ning Ishma mendorongku hingga terlentang, aku baru menyadari tubuh Ning Ishma polos tanpa sehelai benangpun. Mataku terbelalak melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang jarang, membuatnya terlihat semakin indah.

"Iyyyya...!" Seruku terpana dan tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Kok malah ngelihatin terus, bukannya buka baju? Kamu mau aku yang bukain baju kamu?" Tanya Ning Ishma, berkacak pinggang.

"Iyaaaaa..!" Aku sudah tidak mampu berpikir lagi, persetan dengan dosa dan nista yang akan mengotori jiwaku, merusak hatiku yang susah payah kujaga. Aku membuka kaos dan sarung dan juga celana dalam yang kukenakan. Melemparnya ke sembarang tempat, tanpa aku melihatnya.

"Murid yang berbakti..!" Seru Ning Ishma tertawa melihat kecanggunganku yang berusaha menyembunyikan kontolku yang berdiri mengacung dengan telapak tangan.

"Kenapa diumpetin, sayang? Kan aku sudah lihat, bahkan sudah ngisep kontol kamu." Goda Ning Ishma, dia kembali melumat bibirku, lebih bernafsu dari pada tadi dan akupun sudah semakin tahu apa yang harus kulakukan.



"Ning, ennakk..!" Gumamku menikmati kocokan tangan Ning Ishma pada kontolku yang sudah tegang sempurna.

"Kamu akan merasakan yang lebih enak lagi, percayalah padaku." Ning Ishma mendorongku rebah ke ranjang berkasur empuk ranjang yang ditempati berdua dengan Gus Nur, anehnya rasa bersalah yang sempat menghinggapi ku hilang dengan ke mana.

Kembali Ning menjilati kontolku dengan bernafsu, membuatku mengerang nikmat. Bahkan rasanya lebih nikmat dibandingkan tadi, mungkin karena aku bisa lebih rileks menikmati sensasi yang kudapatkan. Yang aku heran, kenapa Ning Ishma tidak merasa jijik menjilati dan bahkan menghisap kontolku. Terbayang olehku saat Ning Ishma menelan seluruh pejuhku, gairahku semakin memuncak ingin kembali menikmati sensasi saat pejuhku muncrat di mulut Ning Ishma. Tapi harapanku sirna, Ning menyudahi aksinya menjilati dan menghisap kontolku.

"Gantian, sekarang kamu yang harus jilatin memekku." Ning Ishma merangkak di atas tubuhku dan berjongkok tepat di atas wajahku sehingga aku bisa melihat dengan jelas memeknya merekah.

"Jilatin, sayang..!" Seru Ning Ishma, untuk beberapa detik aku ragu melakukannya. Ning Ishma semakin menurunkan pinggulnya sehingga memeknya menyentuh mulutku, tercium bau memek yang has. Awalnya aku merasa jijik, hingga terbayang olehku saat Ning Ishma menjilati kontolku. Rasa jijik hilang dalam sekejap, berganti dengan gairah untuk mencoba menjilati memek Ning Ishma.

"Ahhhhh, iya begitu sayang...!" Jeritan kecil Ning Ishma saat lidahku menyentuh kelentitnya, padahal aku melakukannya tidak sengaja. Rasanya aneh saat lidahku mengenai memeknya yang berlendir, rasa asin dan gurih yang belum pernah aku temukan. Tidak ada ada yang istimewa dengan rasa cairan memek Ning Ishma, yang luar biasa adalah sensasi yang kudapatkan karena menjilati memek istri dari Kyaiku Gus Nur dan juga anak dari Kyai besar yang namanya terkenal.

"Ohhhhhh, ahhhhh ennnnakkk...!" Ning Ishma menjambak rambutku sehingga wajahku semakin terbenam di selangkangannya. Aku yang menemukan mainan baru semakin bernafsu menjilati memek Ning Ishma, mulut dan pipiku basah oleh cairan memek Ning Ishma.

"Ampunnnnn, Akku ngecrottttt...!" Ning Ishma berteriak histeris, kurasakan tubuhnya mengejang menduduki wajahku sehingga aku tidak bisa bernafas tanganku berusaha menahan pinggulnya agar bisa sedikit menghirup udara yang mulai menipis di rongga paru-paruku.

"Kamu hebat sayang, belum pernah aku merasakan oral senikmat ini." Ning Ishma mengangkat pinggulnya, bergerak ke arah perutku sehingga bisa membuatku menarik nafas lega.

"Memek Ning Ishma, enak.." aku menjilati sisa-sisa lendir Ning Ishma menempel di bibirku, terlalu sayang kalau terbuang sia-sia.

"Kamu akan merasakan yang lebih nikmat dari memekku ini, sayang.." goda Ning Ishma menatapku sayu, diraihnya kontolku yang tegak bagai tugu Monas, digesek gesekkan pada memeknya yang sangat basah. Perlahan Ning Ishma menurunkan pinggulnya, otomatis memeknya menelan kontolku dalam jepitan memeknya yang hangat dan licin.


aisi meaning

"Ning...!" Aku menatap takjub melihat kontolku bergerak perlahan masuk ke dalam lobang memek Ning Ishma, tidak pernah kubayangkan perjakaku hilang diambil memek anak seorang kyai besar dan juga istri dari guruku.

"Kontol kamu gede banget, sampe mentok..!" Gumam Ning Ishma, matanya terpejam menikmati inci demi inci kontolku membelah memeknya yang sempit, begitu terasa jepitannya, begitu nikmat sehingga aku tidak bisa berkata kata.

"Ning...!" Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan, aku larut dalam gejolak birahi nista di kamar guruku, mereguk nikmatnya zina yang memabukkan.

"Kenapa, sayang? Kontol kamu sangat keras dan panjang, belum pernah aku merasakan yang seperti ini." Ning Ishma mulai menggerakkan pinggulnya setelah beberapa saat beradaptasi dengan kontolku, bibirnya terbuka dan terdengar rintihan pelan yang membuat bulu kudukku merinding.

"Kamu sudah sering, berzina?" Tanyaku takjub, Ning Ishma ternyata mempunyai sisi liar yang tersembunyi di balik wajahnya yang lembut dan tenang.

"Kamu yang kedua, sayang..!" Ning Ishma terus menggerakkan pinggulnya perlahan, menikmati gerakkan kontolku memompa memeknya yang sempit. Matanya menatap ku sayu, senyumnya terlihat bahagia.

"Yang pertama, Gus Nur?" Tanyaku penasaran, kenapa Ning Ishma sengaja memilihku, bukankah ada banyak pria lain yang lebih tampan dariku.

"Bukan, Gus Nur tidak pernah ngentotin memekku, dia impoten. Sudah jangan ungkit hal itu, kita nikmati saja malam ini." Jawab Ning Ishma, dia memelukku dan bibirnya kembali melumat bibirku, sementara pinggulnya terus bergerak memompa kontolku dengan irama yang semakin cepat sehingga aku bisa mendengar suara keciplak dari memeknya saat kontolku menyodok.

"Memekkkk, ennnnakkk...!" Seruku takjub, kontolku semakin leluasa keluar masuk memek Ning Ishma, semakin lama semakin cepat.

"Kontol kamu nikmat, memekku semakin lebar dientot kontolmu sayang.." Ning Ishma semakin liar memompa kontolku, wajahnya begitu bahagia seakan dia terlepas dari beban hidup.

"Akkku nggak tahannnn, akkku mauuuu kellluarrrr...." Ning Ishma menjerit kecil, matanya yang indah mendelik menyambut orgasme dahsyat. Tubuhnya beberapa kali mengejang bersamaan dengan kedutan kedutan kecil pada memeknya meremas kontolku.

"Kamu hebat, sayang. Belum pernah aku mengalami orgasme sehebat ini." Ning Ishma menatapku, tatapannya terasa aneh namun kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajahnya yang terlihat semakin cantik.

"Ning, kok udahan?" Tanyaku kecewa ketika Ning Ishma bangkit dan kontolku terlepas dari jepitan memeknya yang nikmat, Ning Ishma merebahkan tubuhnya di sisiku

"Kamu di atas, aku capek." Jawab Ning Ishma membuatku kikuk, ini pengalaman pertama ku dan aku belum tahu harus melakukan apa.

"Kok malah diam, say? " Tanya Ning Ishma melihatku duduk memandangnya tanpa melakukan apa apa, aku terlalu hijau dan belum pernah lihat bokep sehingga tidak tahu apa yang harus aku lakukan, lagi pula aku tidak berani kurang ajar, biar bagaimanapun Ning Ishma adalah guruku dan juga istri dari guruku.

"Say saya harus bagaimana, Ning?" Tanyaku lugu, sementara kontolku ingin secepatnya masuk ke dalam lobang sempit menyimpan berjuta kenikmatan tiada tara.

"Aduh, anak bahlul. Ngentot nggak perlu belajar, ini naluri setiap mahluk hidup. Ayo sini sayang, merangkak di atasnya seperti yang aku lakukan." Ning Ishma semakin melebarkan pahanya sehingga memeknya terlihat membelah, menggoda kontolku yang belum meraih orgasme.

Ya, memang benar seperti yang dikatakan Ning Ishma, aku hanya perlu mengikuti naluri ku. Aku merangkak di atas tubuh Ning Ishma, posisiku seperti akan melakukan push up. Ning Ishma meraih kontolku dan mengarahkannya tepat di lobang memeknya yang sudah siap menerima kehadiran kontolku.

"Tekan kontolmu, entot aku...!" Ning Ishma memeluk pinggangku dan menariknya dengan bertenaga, otomatis kontolku menerobos memeknya dengan bertenaga sehingga menyentuh dasarnya.

"Ahhhhh...!" Aku menarik nafas lega, kontolku kembali merasakan jepitan hangat memek Ning Ishma, nikmat sungguh nikmat.

"Oooooo, aaaaaa... Entot aku yang kenceng...!" Ning Ishma menjerit kecil saat aku memompa memeknya, seakan tidak puas dengan gerakkan ku yang kaku, dia ikut menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

Geliat nista di kamar yang seharusnya sakral semakin memuncak, Ning Ishma terus menggerakkan pinggulnya dengan cepat hingga akhirnya dalam waktu relatif singkat, dia kembali meraih orgasme kedua nya. Sementara aku harus bersusah payah mengenai orgasme yang tak kunjung tiba.

"Ning, akkkkku kelllllluaarrrrr, !" Seruku histeris saat pejuhku meledak membanjiri memek Ning Ishma.

"Akkku jugaaaa, sayyyyy...!" Ning Ishma menjerit histeris ketika dia kembali mendapatkan orgasme yang kesekian kalinya.

Kami terdiam, saling berpelukan saat tubuh kami mengejang mendapatkan orgasme. Perlahan tubuh kami lunglai, Ning Ishma memelukku semakin erat saat aku akan bangkit dari atas tubuhnya.

**********

Kepada Calon Imamku

Baharuddin


Kutunggu kamu di belakang aula pada jam 13 : 30, apa bila kamu bersedia menjadi Imamku suatu saat nanti

TTD,

Pengagum rahasia


Aku membaca tulisan di atas kertas berwarna pink yang keharumannya sudah memudar, sebuah surat yang kuterima tanpa tau siapa pengirimnya. Inilah surat pertama dan terakhir yang kuterima selama mondok di Cirebon, surat ini kuterima dua hari setelah menerima ijazah kelulusanku di Madrasah Aliyah. Siapa yang sudah mengirimnya untukku? Mungkinkah ini surat dari Ning Sarah? Ah, mustahil dia membalas Suratku setelah belasan surat aku kirim padanya. Ah, kenapa aku harus memikirkan siapa penulis surat ini? Sepertinya ini hanya lelucon, kalau dia benar-benar mencintaiku tentu mencantumkan namanya pada surat ini.

Aku masih ingat, saat datang ke belakang aula dan aku tidak menemukan siapa pun di sana. Sebuah lelucon yang menyakitkan

Surat ini tiada artinya sama sekali, untuk apa aku harus menyimpannya dan menebak nebak siapa pengirimnya. Toh aku sudah memiliki wanita cantik yang menyerahkan dirinya secara suka rela, Ning Ishma walau dia bukan sepenuhnya milikku tapi aku merasa ikut memilikinya walau hanya sesaat. Aku akan memusnahkan surat ini, Sebuah gerakan kecil akan merobek-robek surat ini menjadi serpihan kecil yang tidak berarti. Gerakan kecil itu tak kunjung juga datang, biarlah surat ini menjadi kenangan dari imajiku. Kembali aku melipatnya dan menyimpan di bagian paling bawah tumpukan bajuku.

HM, jam 15 : 30, sudah wakyaku mengisi bak kamar mandi Gus Nur, sebentar lagi bidadari akan mandi. Aku tersenyum riang meninggalkan kamar yang seluruh penghuninya sibuk dengan urusan menghayal kitab dengan bimbingan para ustad di aula. Sedangkan aku selama seminggu harus menjalani hukuman sehingga tidak bisa mengikuti pengajian. Langkahku terasa ringan, berjalan melintasi jalan setapak yang tertata rapi. Aku ingin secepatnya sampai rumah Gus Nur, menyiapkan air untuk bidadariku. Ah, hidup ini begitu indah, seindah mimpi yang berpendar di hatiku.

Di gardu Utara langkahku terhenti, Ning duduk memandang dingin ke arahku. Kenapa aku harus selalu bertemu dengan mahkluk sombong dan angkuh ini, rupanya dia harus belajar ilmu aqidah agar tahu kesalahannya di mana.

"Sombong, seharusnya santri baru harus menaruh hormat kepadaku." Ning Sarah bergumam pelan, menyindirku yang tidak mengucapkan salam melihat kehadirannya.

"Seharusnya kalimat itu, aku yang ucapkan ." Jawabku ketus, terang-terangan melakukan konfrontasi dengannya. Anak ini tidak boleh dibiarkan berbuat seenaknya, mentang mentang mentang anak Kyai bukan berarti aku harus terus mengalah dan diinjak injak olehnya.

"Hei, kamu seharusnya berkaca. Sudah jelas kamu yang sombong. Buktinya surat yang aku kirim tidak pernah kamu balas." Jawab Ning Sarah membuatku marah, dia memutar balikkan fakta. Sudah jelas aku berkali kali mengiriminya surat dan tidak ada satupun balasan darinya.

"Bohong kamu, aku tidak pernah menerima suratmu. Padahal aku sudah berkali kali mengirimimu surat sampai tidak terhitung jumlahnya dan tidak sekalipun kamu membalasnya seakan akan aku terlalu rendah untukmu.

Tiba tiba aku terdiam, bukankah tadi Ning Sarah mengatakan sudah mengirimi aku surat, kapan? Kami saling berpandangan, heran.

"Kamu, mengirimiku surat? Kapan?" Tanya kami berbarengan. Kembali kami terdiam, saling bertatapan.

"Kamu, dulu..!" Kami kembali berkata berbarengan, tanpa janji atau latihan sebelumnya. Tanpa sadar kami tersenyum geli.

"Kamu dulu..!" Kataku selagi Ning berusaha menyembunyikan senyumnya dengan telapak tangan.

"Kapan kamu mengirimi aku surat, sepertinya aku tidak pernah menerima surat darimu?" Tanya Ning Sarah setelah senyumnya berhenti.

"Sering, sudah tidak terhitung jumlahnya." Jawabku dengan nada suara yang lebih lunak.

"Aku tidak pernah menerima surat darimu, aku berani bersumpah." Jawab Ning Sarah, ternyata dia tidak pernah menerima surat dariku. Lalu, ke mana larinya surat dariku?

"Lalu, kapan kamu kirimi aku surat?" Tanyaku setelah tidak berhasil menebak, ke mana surat surat yang aku tujukan ke Ning Sarah.

"Saat kita menerima ijazah, aku menunggumu di belakang aula namun kamu tak kunjung datang." Jawab Ning Sarah.

"Saat kita menerima ijazah, tapi aku menerima surat itu dua hari setelah kita menerima ijazah." Jawabku heran, dan teejawablah sudah teka teki si pengirim surat, kenapa aku tidak menemukannya di belakang aula karena surat yang kuterima telat dua hari.

Bersambung.....
Mantap suhu .. lanjutkan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd