Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sanggar Aa Drajat

Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 2)

Pagi itu saya tengah menyiapkan bakso yang saya buat sendiri. Pikiran saya melambung dan melayang kemana-mana.

"Pak... wis tak tinggal di ember cucian yah, aku mlaku sek." Istri saya sudah rapi mengenakan seragam ibu-ibu majlis taklim. Katanya 'bahan ritual' udah dia tinggal di ember cucian, dia mau pergi dulu. Biasa, hari Kamis pagi ada taklim ibu-ibu kampung.

"Njeh buk." Iya, jawab saya.

Saya menggenggam adonan bakso, lalu diremas agar keluar dari sela-sela jari telunjuk dan jempol membentuk bola-bola kecil.

Waktu saya menyendok gumpalan bakso mentah itu dan memasukannya ke panci dengan air mendidih, Sari anak saya yang sudah pake seragam putih abu itu juga pamit.

"Pak... Sari sekolah dulu." Katanya. Saya kasih pergelangan tangan saya untuk dia salim, disentuhkan di keningnya. Saya ngga bisa salim dengan telapak tangan soalnya penuh dengan adonan bakso.

"Aku juga pamit pergi, mas." Emma ternyata ada di belakangku.

"Oh iya, semoga lancar ya dek." Emma nggak salim, hanya menganggukkan kepalanya ke saya.

Emma ini gimana sih? padahal dia kan adek saya. Kok ngga mau bersentuhan tangan dengan saya? Ya saya ngerti sih, dia mungkin sudah makin ketat agamanya. Liat aja gamis yang dia pakai itu gombrong banget, berwarna hitam. Hijabnya juga gede banget sampe nutupin hingga ke bawah dada dan pantatnya.

Kurang ketutup juga? Itu dia pake masker hitam, mungkin sebagai pengganti cadar. Saya memang kurang ilmu agama, A, tapi kok kayanya repot banget ya sampai nggak mau bersentuhan padahal sama sodara sendiri.

Saya sendirian di rumah, mengolah bakso supaya nanti jam 11 siang udah bisa keliling dengan gerobak. Lumayan, biasanya antara jam 12 dan jam 1 siang suka rame yang beli karyawan pabrik konveksi.

Saya menyelesaikan pembuatan bola bakso, terus mulai meracik kuahnya. Setelah selesai dan mencicipi, saya ke kamar mandi untuk mengambil celana dalem istri.


Saya ngambil 'bahan ritual' itu di ember, dan dijembreng di depan muka. Ukurannya XXL berwarna krem dengan model biasa aja. Jangan ketawa gitu Aa... iya bener XXL soalnya kan istri saya montok, beratnya 79 katanya sih. Tinggi... eh, berapa ya, nggak tau lah tapi ngga terlalu tinggi juga.

Tengah mencermati 'bahan ritual' itu, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sesuatu yang tergantung di dinding. Lahdalah.... itu apa? Waduh, ada cd warna krem tergantung beserta beha hitam. Saya taro cd istri saya di ember, terus saya ambil yang sedang tergantung dan dijembreng di depan muka saya.

Hmm.... kayanya saya baru liat cd yang itu. Warnanya krem, ukuran S. Aa tau kenapa ukuran kecil itu di kasih nama S ? Oh nggak ya, sama saya juga nggak tau A, mungkin singkatan dari 'Sitik' kali ya, alias kecil hahaha.

Ih kok saya waktu itu merasa berdosa sekali A, padahal kan cuman selembar kain gitu ya. Tapi A, waktu itu saya inget gimana si Emma selalu berusaha menutupi seluruh badannya itu bahkan ke saya sekalipun. Lah, ditutup-tutupi tapi sekarang saya ngeliat celana dalemnya begitu saja tergantung di dinding. Saya perhatikan A, ada bekas-bekas lendir gitu pas di bagian tengahnya. Pasti cairan pepek dia yang nempel disitu.

Langsung terlintas di pikiran saya, gimana kalau saya ritual pake punya dia? kan berarti terhitung colongan juga ya? apalagi... emh... aromanya itu beda banget sama istri saya. Aromanya khas dan.... anehnya bikin saya tegang.

Dengan hati deg-degan saya langsung ambil lalu dimasukkan ke saku celana.

Sore itu waktu saya pulang ke rumah dengan mendorong gerobak bakso, istri saya menyambut di halaman rumah kontrakan.

"Loh kok udah pulang Pak, gimana jualan hari ini?"

"Hehe... iya buk, dari jam 3 aja udah abis." Jawab saya sambil mengambil uang di laci gerobak dan diberikan ke istri saya.

"Wah, tumben.... kok bisa?" Istri saya mengambil uang yang saya kasih, lalu memandang saya.

"Iya buk... rejeki ngga kemana."

"Tapi pak, kok kancut ibu tadi masih ada?"

Saya bingung jawabnya, lalu saya pura-pura nanya hal lain untuk mengalihkan.

"Buk... si Emma udah pulang?"

"Udah tadi siang jam dua, tapi jalan lagi. Katanya mau ke rumah koncone."

Oooh....

Pokoknya A, saya seneng sekali waktu itu dan saya tidur nyenyak.
Pagi-pagi seperti biasa saya ngeracik bakso. Waktu saya lagi asik bekerja, terdengar pembicaraan di kamar saya. Suara istri saya dan si Emma.

"Mbak... kemaren kok bajuku dicuci sama mbak sih? saya jadi malu, ngerepotin mbak. Lain kali biarin aja saya yang nyuci sendiri." Suara si Emma.

"Ah ya nggak apa-apa toh dek, sekalian nyuci." Jawab istri saya.

"Trus jemuran keringnya, mbak taro dimana ?" Si Emma lagi.

"Ini di keranjang."

Tidak berapa lama kemudian tidak terdengar pembicaraan, asumsi saya si Emma lagi nyari jemurannya yang udah kering.

"Nyari apa toh dek?"

"Eh... nggak mbak, ini udah ada semua." Jawab Emma.

"Yo wis."

Saya heran, kok si Emma bilang semuanya ada? padahal bukannya celana dalemnya masih saya simpan baik-baik didalam panci bakso?

Ah biarin, mungkin si Emma malu bilang kalo kancutnya ilang. Saya melanjutkan bikin bakso, seolah-olah nggak punya dosa.

Nah, nggak kerasa ternyata waktu berjalan udah 40 hari. Di hari ke 41, karena saya ngga bisa dapetin lagi celdam si Emma, akhirnya saya pakai lagi punya emaknya si Sari, iya punya istri saya. Eh ndilalahnya dagangan saya hari itu nggak laku sama sekali. Saya narik kesimpulan, kayanya memang harus pakai celdam curian selain punya istri saya.

Besoknya juga sama A, jualan saya nggak laku sedikitpun. Malah, malem harinya saya mimpi yang bikin saya bergidik, ada mahluk hitam besar dengan seluruh tubuhnya penuh bulu, bermata merah, lidahnya menjulur. Dia menggeram-geram menatap saya. Tengah malem itu saya bangun dengan badan berkeringat.

Sejak kejadian si Emma kehilangan kancutnya itu dia nggak pernah naro pakaian kotornya lagi di kamar mandi. Dia selalu mencuci sendiri dan jemur sendiri. Gimana saya dapetinnya ? Saya termenung sendiri di kamar, merasa takut untuk tidur lagi.

Karena penasaran dan kepepet, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dengan hati-hati saya berdiri dan berjalan menuju kamar anak saya, karena si Emma tidur satu kamar dengan Sari.


Dengan hati berdebar, saya buka hordeng kamar. Iya, di rumah kontrakan ini kamarnya nggak pakai pintu, jadi dihalangin hordeng aja. Mata saya berkejap-kejap menyesuaikan dengan kegelapan kamar. Setetlah saya masuk, hordengnya saya tutup lagi. Perlahan, mata saya mulai terbiasa dengan gelapnya kamar dan di depan saya terlihat dua tubuh tergolek di kasur yang digelar diatas lantai.

Di sebelah kiri ada Sari, anak saya. Kalau di kanan ada si Emma, adik saya. Mata saya mulai melihat berkeliling setiap sudut kamar, berusaha mencari celana dalamnya si Emma yang selalu diumpetin.

Nah, itu dia !
Di salah satu sudut kamar ada sebuah keranjang terbuat dari anyaman rotan. Dengan tetap berjinjit, saya menghampiri keranjang itu. Saya benar-benar seperti pencuri.

Benar saja, di dalam keranjang itu ada baju-baju kotor si Emma. Gamis hitamnya tergulung di dasar keranjang, begitu juga bregos/kerudung panjangnya yang juga berwarna hitam. Tangan saya mengais-ngais kedalam keranjang rotan tempat cucian. Tapi mana celdamnya si Emma ? kok nggak ada ?

Ah, barangkali tergulung di dalam baju gamisnya ? Sangat mungkin sekali. Pelan-pelan saya bongkar gulungan baju gamis kotor berbau keringat perempuan itu. Dan.... ternyata yang dicari nggak ada juga. Loh, ditaro dimana ya?

Haduh, gimana ya? masa besok dagangan saya amsiong lagi sih? Lama-lama duit simpenan saya habis nih kalau gini caranya. Saya gulung lagi baju gamis kotor si Emma, dan ditaruh lagi di dasar keranjang seperti semula.

Kresek... krusak...kresek..

"Hmmmmmhh..... uaaaaah...hemmm..."

Jantung saya seperti loncat dari dalam dada.
Si Emma menggeliat, bergerak-gerak.
Saya berdiri mematung di sudut kamar yang gelap itu.

"Uhuk... uhuk.. uhuk..." Si Emma batu-batuk kecil.

Gimana kalau ketahuan sama si Emma? Ah, tapi ini kan rumah saya. Lagian ini kan kamar si Sari, anak saya. Si Emma disini cuman numpang. Hak saya untuk pergi kemanapun di rumah ini.

Emma menggeliat lagi, lalu posisi tidurnya berubah dari yang tadi miring ke arah tembok sekarang menjadi terlentang. Selimutnya tersingkap, begitu juga daster tidurnya.

Mata saya melotot didalam keremangan kamar, berusaha melihat lebih jelas.

Adik saya itu walaupun usianya udah 20 tahun, tapi badannya kurus. Liat tuh, kakinya kecil. Baru kali ini saya ngeliat lagi kakinya si Emma. Dulu terakhir ngeliat kayanya waktu dia masih kecil. Setelah itu si Emma sekolah di pesantren dan jarang ketemu.

Tapi biarpun kecil, kok kayanya mulus banget ya?

Saat itu terdengar dengkuran halus dari si Emma. Saya pikir sudah waktunya meninggalkan kamar ini, tapi tiba-tiba si Emma bergerak lagi. Salah satu lututnya ditekuk dan diangkat.

"Rrrrrrrzzzz....." Dia mendengkur lagi pelan.

Lutut kanannya yang diangkat itu pelan-pelan miring ke kanan.

"Zzzzz....." dengkurannya terdengar lagi.

Lutut kanannya makin miring.

"Rrrrr....." Dengkurannya makin dalam.

Blekkk

Lutut kanannya jatuh.

Kakinya mengangkang.

Saya memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas.

Selangkangannya terbuka lebar.

Karena kurang jelas, saya melangkah dari sudut kamar, menghampiri si Emma.

Dia mengenakan celana dalam warna putih berenda tipis di sampingnya.

Si Emma memang kurus, tapi.... selangkangannya montok. Mata saya makin melotot berusaha melihat lebih jelas.... dan mendekat.

Uh... sialan, kurang terang juga.

Tapi karena penasaran, jari tangan kanan saya mendekat ke arah gundukan selangkangan itu.

Teppp.

Ya ampun.... empuk sekali dan hangat.

Saya tekan sedikit.... waw, empuk banget... dan.....

"Uhuk... uhuk... uhuk... si Emma terbatuk, dan kakinya langsung menutup. Tanpa membuka mata, dia merapikan dasternya yang terbuka.

Saya meloncat dan ambil langkah seribu secepat kilat keluar kamar.

Sialan.... si Emma ternyata tidurnya gampang banget terbangun.

Jantung saya berdegup kencang sekali, kalau ketahuan saya meraba-raba selangkangannya waktu dia tidur, haduh... bisa mampus.

Tapi, saya masih tetep penasaran karena apa yang saya cari belum saya dapatkan. Jadi, setelah menunggu sekitar 15 menit dan suara dengkuran si Emma terdengar lagi, saya kembali menyelinap ke kamar.

Kali itu saya nggak bisa dan nggak berani ngeraba si Emma lagi walaupun rasa penasaran itu masih sangat besar. Saya fokus mencari celdamnya si Emma aja.

Ternyata di sudut yang lain masih ada setumpukan baju kotor. Bahkan ada dua celana dalam yang tergulung. Tanpa pikir panjang, saya langsung masukkan satu helai celdam ke saku lalu melangkah gontai keluar kamar.

Amannnn..... besok dagangan saya laris lagi.

**********

Saya tengah mempersiapkan kuah bakso, dan celana dalam si Emma sudah saya kasih pemberat berupa batu sekepalan tangan. Celana dalam itu sudah ada di dasar panci, menyumbangkan sisa-sisa lendir untuk penglaris.

"Mas Gino....." terdengar sebuah suara.

"Ya dek.... ono opo...?" Tanyaku dengan sedikit was-was. Jangan-jangan si Emma tadi malem tau diraba-raba....?

"Anu mas.... aku... butuh uang buat beli bahan alat peraga pengajaran...." Emma terdengar ragu-ragu.

"Tadi aku udah WA, minta sama mbok tapi katanya lagi kosong. Mbok bilang, minta mas Gino dulu...."

"Oooh... ya udah, sana minta mbakyumu." Jawabku

"Aku.... malu mas.... aku minta mas aja..." Kata si Emma.

"Yaolooo.... sama mbakmu aja malu." Aku menggeleng-gelengkan kepala. Keterlaluan si Emma ini, rasa malunya besar sekali. Kelewatan.

"Maaas....." si Emma merengek.

"Ya udah... nih... cukup nggak ?" Kurogoh saku celana dan kuberikan selembar uang seratus ribu.

"Cukup mas... tapi.... aku nggak punya ongkos.... habis bekal mas..."

Aku memberinya lagi seratus ribu, dan si emma tersenyum (barangkali.... karena mulutnya tertutup masker hitam). Emma mengambil uang yang kuberikan dengan telunjuknya saja, tanpa menyentuh tanganku.

Sebal sekali rasanya sama si Emma. Uangnya mau, tapi kok nggak menghargai saya? emangnya saya najis?

Tapi... ah sudah... lupakan. Saya kembali meracik kuah bakso, dan didalam hati tertawa karena mengingat bahwa celana dalam si emma, lengkap dengan lendir-lendir memeknya sudah terendam didalam panci.

Tapi anehnya.... dagangan saya hari itu nggak laku. Dan malamnya saya mimpi didatangi mahluk hitam berbulu yang ngamuk mencekik saya. Dia berbisik di telinga saya, berbisik dengan suara menggeram.

"Kancut itu punya anakmu !"

Dan saya terbangun, dengan tubuh bermandi keringat.

Haduh.... pantesan nggak laku dagangan saya. Tapi.... bukannya saya juga mencurinya walaupun punya anak sendiri? dan bukannya si Sari juga udah jadi remaja dan sebentar lagi dewasa? apa bedanya ?

Saya nggak ngerti.
Tapi saya bertekad mencuri celana dalam si Emma.


Bersambung ke :
Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 3)
 
Terakhir diubah:
Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 3)

Dagangan saya sedang parah-parahnya. Sudah seminggu jualan saya zonk, tidak satupun yang laku. Bukan itu saja yang parah, mimpi yang saya dapet tiap malem tambah parah. Tapi Aa, yang paliiiing menyeramkan buat saya adalah mahluk hitam berbulu itu seolah keluar dari mimpi.

Suatu malam saya terbangun dalam keadaan masih ngantuk tapi mata saya langsung terbelalak karena mahluk hitam berbulu itu ada di atas tempat tidur saya. Kamari tidur kita itu gelap A, dan didalam kegelapan itu sang mahluk duduk di atas kasur tepat di dekat kaki saya dan istri. Matanya merah berair menatap saya, lidahnya terjulur panjang dengan air liur menetes-netes. Mahluk itu menggeram-geram. Lidahnya.... Aa... lidahnya itu semakin panjang hingga menyentuh kaki istri saya yang masih tertidur tanpa menyadari apa yang terjadi. Lidah itu terus merayap ke betis, lalu ke lutut, dan akhirnya menyelinap masuk ke bagian bawah daster istri saya.

"B...b... Buk.... " Istri saya tetap ngorok.

"I...ibuk....." Tangan saya dengan gemetaran berusaha membangunkan istri, tapi dia tetep aja tidur.

"Ih...ih... ih..buk... ibuuk..." Jantung saya nyaris nggak kuat, masalahnya ternyata lidah panjang basah yang semerah darah itu aromanya.... berbau bangkai ikan busuk.

"Ib...ib....ibuuuuuuuuk....." Ya ampun... lidah mahluk itu menyelinap ke celana dalam istri saya.....

"Astagfi....as...astag....astagfir...." jujur saya sampai lupa kalimat itu.

"Paaak..... paaaak..... paaak..." Istri saya malah manggil-manggil saya, mungkin dipikirnya saya tengah menyetubuhinya.

Iiiih... Aa.... ngeri sekali.

"Paaaak...... paaaak..." Tiba-tiba tubuh saya berguncang lebih keras.

Sesuatu membuat tubuh saya berguncang.

"Pak, bangun !!!!"

Dan mata saya terbuka.

Istri saya menatap dengan tatapan khawatir.

"Bapak ngimpi opo sih? sampai treak-treak manggil ibuk?" Istri saya bertanya.

Haduuh..... saya bingung Aa, bukannya tadi itu saya sudah terbangun dan barulah melihat mahluk hitam berbulu itu? Lalu kok saat itu saya bangun lagi ?

Aa... mimpi dan kenyataan itu sudah sangat bercampur....

Tanpa menceritakan apa yang saya alami, saya cuman berterima kasih sama istri saya yang sudah membangunkan dari mimpi buruk ... atau entah kenyataan buruk.... Setelah itu istri saya tidur lagi.

Awalnya saya pura-pura tidur, tapi saya selama itu juga berpikir mengenai kejadian tadi. Apakah tadi itu mimpi atau kenyataan? Saya menduga-duga, jangan-jangan mahluk itu memberi peringatan. Ah... saya sebetulnya nggak ngerti hal-hal kayak gitu. Saya cuman ngikut temen untuk pergi ke orang pinter yang katanya bisa membuat dagangan kita laku.

Jadi waktu itu saya buka hape, terus saya cari di google tentang ilmu-ilmu penglaris. Saya menemukan suatu artikel yang menceritakan seluk-beluk ilmu tersebut.

Artikel itu judulnya "Pesugihan dan Penglaris : Praktek Saudagar Pulau Jawa"

Intinya pesugihan dan penglaris itu berbeda. Kalau pesugihan itu sesuatu yang akan meminta tumbal sebagai pengganti nasib baik seseorang dalam bidang usaha. Misalnya, jika ingin kesempatan kita mendapat uang semakin besar maka sesuatu yang lebih berharga akan harus dikorbankan. Misalnya nyawa istri atau anak kita.

Kalau penglaris, adalah mengundang dan memberikan sesuatu kepada mahluk-mahluk khusus dan dia akan memberikan sesuatu yang akan menarik minat para calon pembeli. Misalnya mengundang mahluk yang berbentuk seperti pocong dengan cara mencuri kain kafan seseorang. Nanti mahluk tersebut akan diam di halaman tempat kita berjualan dan kehadirannya mampu membuat orang-orang yang lewat tiba-tiba berasa ingin mampir ke warung kita.

Berarti A, yang saya lakukan itu ilmu penglaris kan ? nggak bahaya kan ?

*Catatan penulis:
Saya jelaskan pada Mas Wagino, bahwa sebetulnya kedua hal tersebut dilarang dalam agama yang dianut Mas Wagino. Bukan hanya di agamanya beliau, menurut saya dalam segala kepercayaan, praktek-praktetk yang berkelindan dengan mahluk-mahluk berenergi negatif sudah pasti dilarang.

Awalnya mungkin ilmu penglaris kelihatan seperti tidak berbahaya, tetapi lambat laun mahluk yang secara tidak langsung dipelihara oleh yang bersangkutan pasti akan meminta sesuatu yang lebih. Seperti pecandu narkoba. Begitu juga mahluk yang dipelihara Mas Wagino. Pasti akan meminta sesuatu yang lebih.

*****

Lanjut ke Cerita Wagino

Nah Aa... sekarang jadi cukup jelas buat saya. Apa yang tadi Aa jelaskan memang terjadi.

Saya kan berfikir, sebetetulnya apa sih yang dimauin mahluk itu? Masa celana dalem perempuan? apa sih, itu kan cuman kain? pasti ada sesuatu yang lain yang diinginkan mahluk itu. Jadi saya lakukan percobaan.

Setelah istri saya tidur, saya mengendap-endap lagi ke kamar si Sari. Seperti biasa, si Sari tidur di kasur sebelah kiri dan si Emma adik saya itu tidur sebelah kanan. Saya langsung bergerilya, mengendap-endap dan tiarap penuh harap.

Setelah mencermati keadaan sekeliling kamar yang remang-remang, lalu mengukur tingkat keterlelapan si Emma, saya memutuskan bahwa keadaan aman. Tanpa banyak berpikir lagi tangan saya bergerilya seperti tentara yang naik gunung dan turun ke lembah.

Saya perlahan menyingkapkan daster panjang si Emma yang sedang mendengkur lelap. Sambil menatap wajahnya, tangan saya terus bergerilya. Terkadang si Emma berhenti mendengkur kalau saya terlalu gegabah. Karena itu saya berhenti dulu sambil menahan nafas. Kalau si Emma sudah mendengkur lagi, saya lanjutkan pergerilyaan jari-jemari saya yang merayap di sepanjang paha si Emma. Sampai akhirnya jari-jari saya sampai di sasaran tembak.

Emma tengah mendengkur ketika seluruh daster bagian bawahnya terangkat sampai ke pinggang. Jari tangan saya tengah merayap di selangkangannya yang mengenakan celana dalam warna hitam. Kenapa ya perempuan suka mengenakan pakaian dalam warna hitam? mungkin merasa lebih seksi ya?

Tapi iya juga sih, bahkan si Emma yang tadinya tidak pernah terfikirkan oleh saya secara seksual maupun sensual, kali itu membuat saya cukup bernafsu. Itu loh A.... belahan anunya tercetak jelas di celana dalemnya. Dulu, sebelum saya pergi dari kampung di masa muda saya untuk pindah ke Jawa Barat, si Emma masih kecil di SD. Dulu sebetulnya saya sering melihat si Emma pakai cd doang, atau bahkan tanpa pakaian sama sekali. Tapi sekarang sudah beda semuanya.

Dalam lelap tidurnya si Emma tidur terlentang, bibirnya terbuka dan mengeluarkan suara dengkuran halus. Anak-anak rambutnya menghiasi jidatnya yang licin, membuat wajah adik saya itu terlihat sangat cantik. Rambut hitam panjangnya tergerai diatas bantal bergambar Pororo. Jemari tangan kiri Emma memegang erat ujung selimut, seolah akan membuat selimut itu akan tetap dapat melindungi tubuhnya.

Dengan menyelipkan jari tengah, saya menyibakkan celana dalem yang dia kenakan lalu menatap gundukan indahnya yang tidak terlalu berbulu itu. Bersih sekali.... beda dengan istri saya yang hutannya lebat seperti hutan kalimantan.

Saya semakin jauh menarik celana dalamnya ke samping, membuat gundukan itu semakin terpampang mengintip dari celana dalamnya. Ujung bagian atas belahan daging yang terlihat empuk itu kelihatan begitu menggiurkan. Tangan saya yang satu lagi menjulur, jarinya menyentuh ujung belahan atas.

Halus dan empuk.

Saya menekan sedikit.

Emma menggeliat ketika ujung telunjuk saya merayap di sepanjang belahan daging empuk di selangkangannya. Saya juga jadi tambah nafsu, batangan saya jadi tegang A. Nyutnyutan minta pelampiasan. Tapi karena misi saya kali itu bukan untuk memenuhi kebutuhan nafsu, ya saya biarkan aja dulu.

Setelah berkali-kali saya elus belahan itu, ternyata mulai lembab dan lebih hangat. Jantung saya terkadang nyaris copot kalau si Emma berhenti mendengkur. Takutnya tiba-tiba dia membuka mata.

Waktu saya sentuh kacangnya... eh ternyata keras.... kayanya tubuh si Emma benar-benar ngasih respons ke rangsangan jari saya. Dan akhirnya belahan daging empuk itu bukan hanya lembab, tetapi jadih basah A.

Saya pengen sekali menyelipkan jari saya ke belahan yang keliatan enak itu. Apalagi aroma kemaluan wanita yang masih segar seperti si Emma tidak mengeluarkan bau, hanya aroma segar merangsang.

Setelah cairan si Emma keluar cukup banyak, saya melumuri jari telunjuk saya dengan cairan itu. Basah sekali dan lengket berlendir bening.

Walaupun batang kejantanan saya menuntut sesuatu.... tapi saya menyudahi aksi bejat saya pada si Emma. Saya merapihkan lagi pakaian si Emma, lalu cepat-cepat ke dapur untuk mengambil segelas air mineral.

Saya mencelupkan jari saya yang berlumuran lendir dari kemaluan si Emma dan mencucinya disana.

Pagi-pagi, saya mengolah kuah bakso saya dan mencampurkan air di gelas tersebut kedalam panci.

Dan teori saya benar.
Dagangan saya laku.

Wahai mahluk penunggu kuah bakso.... saya yakin, dia terpuaskan dengan cara yang saya lakukan.

Hampir setiap hari sebelum subuh, saya akhirnya bergerilya menggerayangi si Emma demi mendapatkan cairan yang disukai mahluk hitam berbulu penjaga panci bakso saya.

Saya pikir, semua masalah terselesaikan. Rupanya masalah kembali datang.

Malam itu saya kebingungan karena tiba-tiba mendapati si Emma mengenakan ganjel di selangkangannya. Ya ampun.... si Emma ternyata sedang haid.

Saya saat itu juga memutuskan untuk tidak berjualan selama beberapa hari. Percuma kan jualan juga, hasilnya sudah pasti nggak akan ada : zonk.

Dengan lesu, saya kembali ke kamar tidur saya.

Saat saya menyibakkan hordeng yang menjadi pembatas pintu kamar saya, sesuatu yang hitam berbulu berkelebat lalu menghilang. Sekejap sempat mahluk itu berpandangan mata dengan saya, dia menyeringai. Saya lihat istri saya tidur mengangkang. Celana dalamnya telah terlepas, sementara kemaluan istri saya basah oleh lendir lengket berbau amis.

Apakah..... ?

Ah, saya nggak berani menyimpulkan apa-apa.


*****

"Mas, aku sore ini pulang kampung." Siang itu Emma pulang dari praktek mengajar cerita sambil senyum-senyum.

"Loh, terus PKL nya gimana ?"

"Udah selesai mas."

"Ooh.. gitu..." Saya jadi termenung, saya pikir libur jualan seminggu akan segera berakhir karena menurut perhitungan saya si Emma hari ini sudah selesai menstruasi. Tapi dia malah mau pulang.

Pening rasanya kepala ini.
Bagaimana jualan saya nanti ?

"Mas aku mau ngomong sedikit, tapi mas jangan tersinggung ya." Emma duduk di samping saya dan dia melihat ke kiri dan ke kanan.

"Aku mau ngomong ini dari kemarenan, tapi selalu ada mbakyu."

"Emang ada apa dek ?" Saya agak-agak waswas dengan apa yang akan dibicarakan si Emma.

"Mbak kemana mas ?"

"Nggak tau, tapi kayaknya lagi ngobrol di rumah tetangga."

"Gini mas.... aku tau mas pakai sesuatu untuk penglaris jualan mas."

Bledek.

Rasanya ada suara guntur di kepala saya.

"Aku juga tau, mas yang ngambil cd punya aku."

Duarr.

Rasanya ada petir menyambar jantung saya.

Emma berceramah macam-macam. Dosa lah, apalah....
Saya diam saja mendengarkan, tanpa mampu menjawab.
Berbagai dalil dia utarakan, dan meminta saya menghentikan segala ritual yang katanya musrik.

"Inget mas.... njenengan punya anak perempuan. Apa ndak takut sesuatu terjadi sama anak mas itu ?"

Saya termenung dengan semua omongan si Emma. Ingatan saya melayang pada si Sari, anak gadis saya yang tengah mekar.

Apa yang akan terjadi dengan Sari ?
Saya termenung memikirkannya.

Bersambung ke :
Kisah 3 : Wagino dalam dilema (bagian 4)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd