Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 2)
Pagi itu saya tengah menyiapkan bakso yang saya buat sendiri. Pikiran saya melambung dan melayang kemana-mana.
"Pak... wis tak tinggal di ember cucian yah, aku mlaku sek." Istri saya sudah rapi mengenakan seragam ibu-ibu majlis taklim. Katanya 'bahan ritual' udah dia tinggal di ember cucian, dia mau pergi dulu. Biasa, hari Kamis pagi ada taklim ibu-ibu kampung.
"Njeh buk." Iya, jawab saya.
Saya menggenggam adonan bakso, lalu diremas agar keluar dari sela-sela jari telunjuk dan jempol membentuk bola-bola kecil.
Waktu saya menyendok gumpalan bakso mentah itu dan memasukannya ke panci dengan air mendidih, Sari anak saya yang sudah pake seragam putih abu itu juga pamit.
"Pak... Sari sekolah dulu." Katanya. Saya kasih pergelangan tangan saya untuk dia salim, disentuhkan di keningnya. Saya ngga bisa salim dengan telapak tangan soalnya penuh dengan adonan bakso.
"Aku juga pamit pergi, mas." Emma ternyata ada di belakangku.
"Oh iya, semoga lancar ya dek." Emma nggak salim, hanya menganggukkan kepalanya ke saya.
Emma ini gimana sih? padahal dia kan adek saya. Kok ngga mau bersentuhan tangan dengan saya? Ya saya ngerti sih, dia mungkin sudah makin ketat agamanya. Liat aja gamis yang dia pakai itu gombrong banget, berwarna hitam. Hijabnya juga gede banget sampe nutupin hingga ke bawah dada dan pantatnya.
Kurang ketutup juga? Itu dia pake masker hitam, mungkin sebagai pengganti cadar. Saya memang kurang ilmu agama, A, tapi kok kayanya repot banget ya sampai nggak mau bersentuhan padahal sama sodara sendiri.
Saya sendirian di rumah, mengolah bakso supaya nanti jam 11 siang udah bisa keliling dengan gerobak. Lumayan, biasanya antara jam 12 dan jam 1 siang suka rame yang beli karyawan pabrik konveksi.
Saya menyelesaikan pembuatan bola bakso, terus mulai meracik kuahnya. Setelah selesai dan mencicipi, saya ke kamar mandi untuk mengambil celana dalem istri.
Saya ngambil 'bahan ritual' itu di ember, dan dijembreng di depan muka. Ukurannya XXL berwarna krem dengan model biasa aja. Jangan ketawa gitu Aa... iya bener XXL soalnya kan istri saya montok, beratnya 79 katanya sih. Tinggi... eh, berapa ya, nggak tau lah tapi ngga terlalu tinggi juga.
Tengah mencermati 'bahan ritual' itu, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sesuatu yang tergantung di dinding. Lahdalah.... itu apa? Waduh, ada cd warna krem tergantung beserta beha hitam. Saya taro cd istri saya di ember, terus saya ambil yang sedang tergantung dan dijembreng di depan muka saya.
Hmm.... kayanya saya baru liat cd yang itu. Warnanya krem, ukuran S. Aa tau kenapa ukuran kecil itu di kasih nama S ? Oh nggak ya, sama saya juga nggak tau A, mungkin singkatan dari 'Sitik' kali ya, alias kecil hahaha.
Ih kok saya waktu itu merasa berdosa sekali A, padahal kan cuman selembar kain gitu ya. Tapi A, waktu itu saya inget gimana si Emma selalu berusaha menutupi seluruh badannya itu bahkan ke saya sekalipun. Lah, ditutup-tutupi tapi sekarang saya ngeliat celana dalemnya begitu saja tergantung di dinding. Saya perhatikan A, ada bekas-bekas lendir gitu pas di bagian tengahnya. Pasti cairan pepek dia yang nempel disitu.
Langsung terlintas di pikiran saya, gimana kalau saya ritual pake punya dia? kan berarti terhitung colongan juga ya? apalagi... emh... aromanya itu beda banget sama istri saya. Aromanya khas dan.... anehnya bikin saya tegang.
Dengan hati deg-degan saya langsung ambil lalu dimasukkan ke saku celana.
Sore itu waktu saya pulang ke rumah dengan mendorong gerobak bakso, istri saya menyambut di halaman rumah kontrakan.
"Loh kok udah pulang Pak, gimana jualan hari ini?"
"Hehe... iya buk, dari jam 3 aja udah abis." Jawab saya sambil mengambil uang di laci gerobak dan diberikan ke istri saya.
"Wah, tumben.... kok bisa?" Istri saya mengambil uang yang saya kasih, lalu memandang saya.
"Iya buk... rejeki ngga kemana."
"Tapi pak, kok kancut ibu tadi masih ada?"
Saya bingung jawabnya, lalu saya pura-pura nanya hal lain untuk mengalihkan.
"Buk... si Emma udah pulang?"
"Udah tadi siang jam dua, tapi jalan lagi. Katanya mau ke rumah koncone."
Oooh....
Pokoknya A, saya seneng sekali waktu itu dan saya tidur nyenyak.
Pagi-pagi seperti biasa saya ngeracik bakso. Waktu saya lagi asik bekerja, terdengar pembicaraan di kamar saya. Suara istri saya dan si Emma.
"Mbak... kemaren kok bajuku dicuci sama mbak sih? saya jadi malu, ngerepotin mbak. Lain kali biarin aja saya yang nyuci sendiri." Suara si Emma.
"Ah ya nggak apa-apa toh dek, sekalian nyuci." Jawab istri saya.
"Trus jemuran keringnya, mbak taro dimana ?" Si Emma lagi.
"Ini di keranjang."
Tidak berapa lama kemudian tidak terdengar pembicaraan, asumsi saya si Emma lagi nyari jemurannya yang udah kering.
"Nyari apa toh dek?"
"Eh... nggak mbak, ini udah ada semua." Jawab Emma.
"Yo wis."
Saya heran, kok si Emma bilang semuanya ada? padahal bukannya celana dalemnya masih saya simpan baik-baik didalam panci bakso?
Ah biarin, mungkin si Emma malu bilang kalo kancutnya ilang. Saya melanjutkan bikin bakso, seolah-olah nggak punya dosa.
Nah, nggak kerasa ternyata waktu berjalan udah 40 hari. Di hari ke 41, karena saya ngga bisa dapetin lagi celdam si Emma, akhirnya saya pakai lagi punya emaknya si Sari, iya punya istri saya. Eh ndilalahnya dagangan saya hari itu nggak laku sama sekali. Saya narik kesimpulan, kayanya memang harus pakai celdam curian selain punya istri saya.
Besoknya juga sama A, jualan saya nggak laku sedikitpun. Malah, malem harinya saya mimpi yang bikin saya bergidik, ada mahluk hitam besar dengan seluruh tubuhnya penuh bulu, bermata merah, lidahnya menjulur. Dia menggeram-geram menatap saya. Tengah malem itu saya bangun dengan badan berkeringat.
Sejak kejadian si Emma kehilangan kancutnya itu dia nggak pernah naro pakaian kotornya lagi di kamar mandi. Dia selalu mencuci sendiri dan jemur sendiri. Gimana saya dapetinnya ? Saya termenung sendiri di kamar, merasa takut untuk tidur lagi.
Karena penasaran dan kepepet, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dengan hati-hati saya berdiri dan berjalan menuju kamar anak saya, karena si Emma tidur satu kamar dengan Sari.
Dengan hati berdebar, saya buka hordeng kamar. Iya, di rumah kontrakan ini kamarnya nggak pakai pintu, jadi dihalangin hordeng aja. Mata saya berkejap-kejap menyesuaikan dengan kegelapan kamar. Setetlah saya masuk, hordengnya saya tutup lagi. Perlahan, mata saya mulai terbiasa dengan gelapnya kamar dan di depan saya terlihat dua tubuh tergolek di kasur yang digelar diatas lantai.
Di sebelah kiri ada Sari, anak saya. Kalau di kanan ada si Emma, adik saya. Mata saya mulai melihat berkeliling setiap sudut kamar, berusaha mencari celana dalamnya si Emma yang selalu diumpetin.
Nah, itu dia !
Di salah satu sudut kamar ada sebuah keranjang terbuat dari anyaman rotan. Dengan tetap berjinjit, saya menghampiri keranjang itu. Saya benar-benar seperti pencuri.
Benar saja, di dalam keranjang itu ada baju-baju kotor si Emma. Gamis hitamnya tergulung di dasar keranjang, begitu juga bregos/kerudung panjangnya yang juga berwarna hitam. Tangan saya mengais-ngais kedalam keranjang rotan tempat cucian. Tapi mana celdamnya si Emma ? kok nggak ada ?
Ah, barangkali tergulung di dalam baju gamisnya ? Sangat mungkin sekali. Pelan-pelan saya bongkar gulungan baju gamis kotor berbau keringat perempuan itu. Dan.... ternyata yang dicari nggak ada juga. Loh, ditaro dimana ya?
Haduh, gimana ya? masa besok dagangan saya amsiong lagi sih? Lama-lama duit simpenan saya habis nih kalau gini caranya. Saya gulung lagi baju gamis kotor si Emma, dan ditaruh lagi di dasar keranjang seperti semula.
Kresek... krusak...kresek..
"Hmmmmmhh..... uaaaaah...hemmm..."
Jantung saya seperti loncat dari dalam dada.
Si Emma menggeliat, bergerak-gerak.
Saya berdiri mematung di sudut kamar yang gelap itu.
"Uhuk... uhuk.. uhuk..." Si Emma batu-batuk kecil.
Gimana kalau ketahuan sama si Emma? Ah, tapi ini kan rumah saya. Lagian ini kan kamar si Sari, anak saya. Si Emma disini cuman numpang. Hak saya untuk pergi kemanapun di rumah ini.
Emma menggeliat lagi, lalu posisi tidurnya berubah dari yang tadi miring ke arah tembok sekarang menjadi terlentang. Selimutnya tersingkap, begitu juga daster tidurnya.
Mata saya melotot didalam keremangan kamar, berusaha melihat lebih jelas.
Adik saya itu walaupun usianya udah 20 tahun, tapi badannya kurus. Liat tuh, kakinya kecil. Baru kali ini saya ngeliat lagi kakinya si Emma. Dulu terakhir ngeliat kayanya waktu dia masih kecil. Setelah itu si Emma sekolah di pesantren dan jarang ketemu.
Tapi biarpun kecil, kok kayanya mulus banget ya?
Saat itu terdengar dengkuran halus dari si Emma. Saya pikir sudah waktunya meninggalkan kamar ini, tapi tiba-tiba si Emma bergerak lagi. Salah satu lututnya ditekuk dan diangkat.
"Rrrrrrrzzzz....." Dia mendengkur lagi pelan.
Lutut kanannya yang diangkat itu pelan-pelan miring ke kanan.
"Zzzzz....." dengkurannya terdengar lagi.
Lutut kanannya makin miring.
"Rrrrr....." Dengkurannya makin dalam.
Blekkk
Lutut kanannya jatuh.
Kakinya mengangkang.
Saya memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas.
Selangkangannya terbuka lebar.
Karena kurang jelas, saya melangkah dari sudut kamar, menghampiri si Emma.
Dia mengenakan celana dalam warna putih berenda tipis di sampingnya.
Si Emma memang kurus, tapi.... selangkangannya montok. Mata saya makin melotot berusaha melihat lebih jelas.... dan mendekat.
Uh... sialan, kurang terang juga.
Tapi karena penasaran, jari tangan kanan saya mendekat ke arah gundukan selangkangan itu.
Teppp.
Ya ampun.... empuk sekali dan hangat.
Saya tekan sedikit.... waw, empuk banget... dan.....
"Uhuk... uhuk... uhuk... si Emma terbatuk, dan kakinya langsung menutup. Tanpa membuka mata, dia merapikan dasternya yang terbuka.
Saya meloncat dan ambil langkah seribu secepat kilat keluar kamar.
Sialan.... si Emma ternyata tidurnya gampang banget terbangun.
Jantung saya berdegup kencang sekali, kalau ketahuan saya meraba-raba selangkangannya waktu dia tidur, haduh... bisa mampus.
Tapi, saya masih tetep penasaran karena apa yang saya cari belum saya dapatkan. Jadi, setelah menunggu sekitar 15 menit dan suara dengkuran si Emma terdengar lagi, saya kembali menyelinap ke kamar.
Kali itu saya nggak bisa dan nggak berani ngeraba si Emma lagi walaupun rasa penasaran itu masih sangat besar. Saya fokus mencari celdamnya si Emma aja.
Ternyata di sudut yang lain masih ada setumpukan baju kotor. Bahkan ada dua celana dalam yang tergulung. Tanpa pikir panjang, saya langsung masukkan satu helai celdam ke saku lalu melangkah gontai keluar kamar.
Amannnn..... besok dagangan saya laris lagi.
**********
Saya tengah mempersiapkan kuah bakso, dan celana dalam si Emma sudah saya kasih pemberat berupa batu sekepalan tangan. Celana dalam itu sudah ada di dasar panci, menyumbangkan sisa-sisa lendir untuk penglaris.
"Mas Gino....." terdengar sebuah suara.
"Ya dek.... ono opo...?" Tanyaku dengan sedikit was-was. Jangan-jangan si Emma tadi malem tau diraba-raba....?
"Anu mas.... aku... butuh uang buat beli bahan alat peraga pengajaran...." Emma terdengar ragu-ragu.
"Tadi aku udah WA, minta sama mbok tapi katanya lagi kosong. Mbok bilang, minta mas Gino dulu...."
"Oooh... ya udah, sana minta mbakyumu." Jawabku
"Aku.... malu mas.... aku minta mas aja..." Kata si Emma.
"Yaolooo.... sama mbakmu aja malu." Aku menggeleng-gelengkan kepala. Keterlaluan si Emma ini, rasa malunya besar sekali. Kelewatan.
"Maaas....." si Emma merengek.
"Ya udah... nih... cukup nggak ?" Kurogoh saku celana dan kuberikan selembar uang seratus ribu.
"Cukup mas... tapi.... aku nggak punya ongkos.... habis bekal mas..."
Aku memberinya lagi seratus ribu, dan si emma tersenyum (barangkali.... karena mulutnya tertutup masker hitam). Emma mengambil uang yang kuberikan dengan telunjuknya saja, tanpa menyentuh tanganku.
Sebal sekali rasanya sama si Emma. Uangnya mau, tapi kok nggak menghargai saya? emangnya saya najis?
Tapi... ah sudah... lupakan. Saya kembali meracik kuah bakso, dan didalam hati tertawa karena mengingat bahwa celana dalam si emma, lengkap dengan lendir-lendir memeknya sudah terendam didalam panci.
Tapi anehnya.... dagangan saya hari itu nggak laku. Dan malamnya saya mimpi didatangi mahluk hitam berbulu yang ngamuk mencekik saya. Dia berbisik di telinga saya, berbisik dengan suara menggeram.
"Kancut itu punya anakmu !"
Dan saya terbangun, dengan tubuh bermandi keringat.
Haduh.... pantesan nggak laku dagangan saya. Tapi.... bukannya saya juga mencurinya walaupun punya anak sendiri? dan bukannya si Sari juga udah jadi remaja dan sebentar lagi dewasa? apa bedanya ?
Saya nggak ngerti.
Tapi saya bertekad mencuri celana dalam si Emma.
Bersambung ke :
Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 3)