Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sandra

Status
Please reply by conversation.
Kembali lagi bersama n00bietol yang hina dina ini, suhu-suhu sekalian. Mohon maaf bahwa cerita harus menggantung sekian lama, karena yah, alesan ada aja. Harus ane akui, bikin cerita ini effortnya sungguh besar, sehingga mohon maklum jika ada saat dimana ane benar-benar macet cet. Garis besar plot sudah di kepala, tapi, menuangkan ceritanya duh, susah banget.

Akhirul kata, terimakasih banyak kepada para suhu yang telah bersabar menunggu lanjutan cerita ini. Oya, satu lagi, walaupun masuk cerita panas, sex scene akan semakin berkurang dalam lanjutan cerita ini. Ane yakin, hanya suhu-suhu yang suka plot cerita yang mampir ke cerita ane, jadi ane berusaha menyajikan plot yang tak biasa-biasa saja.

in memoriam : Gabriel García Márquez, yang ulang tahunnya baru saja diperingati 6 Maret lalu.

SHOCKING TRUTH?

Bisa menunggu sampai minggu depan? Gue lagi bener-bener ga mau mikir kantor saat ini

Guess I can. But this's quite serious Van

Ok. tell me.


Belum sempat aku membaca balasan Mitha karena tampaknya dia menulis cukup panjang, tiba-tiba aku merasakan sebuah tubuh memelukku dari belakang. Tubuh berbalut kemeja itu tak mengenakan apa-apa di baliknya, sehingga aku dapat dengan jelas merasakan kekenyalan dada dan puting susunya yang runcing menggosok punggungku. Sandra.

"Hei, bangun pagi banget ..."

Aku berbalik, memeluknya erat, dan mencium keningnya.

"Biasa, kebelet pipis ...,"

"Gue ketawa aja waktu mbak Rima dapat pemandangan gratis tadi,"

"Lah, lo ngeliat ya?"

"Tadi gue udah mau keluar kamar, tapi liat-liat keadaan dulu, ga kaya lo mas,"

Kami berdua tertawa, dan kemudian berciuman.

Kami berciuman lama sekali, persetan dengan bau mulut. Damn, this is good!

"Pasti di kepalamu banyak sekali pertanyaan ya mas?"

Aku mengangguk.

"Rasanya memang kami harus menjelaskan semuanya ..."

"Semalam seperti mimpi saja. Mimpi yang tak pernah terpikirkan sama sekali. Gue bingung sebenarnya, tapi siapalah gue bisa menolak tawaran seperti itu?"

Sandra tertawa tertahan.

"Why baby?"

"I don't know. Seemed right, walaupun perasaan gue sekarang campur aduk mas ....," katanya.

Aku hanya bisa diam sambil mengelus halus rambutnya.

"Can we talk over coffee? ... and toast?"

Aku mengangguk, dan menyiapkan kopi serta roti bakar untuknya. Dia duduk di kursi pantry, dan sekilas saja aku dapat melihat keindahan paha mulusnya.

"Kasih gula dikit mas, boleh?"

"Harusnya kopi ga boleh sama gula, tapi karena lo yang minta,..."

Dia tersenyum lebar sambil mencium kembali pipiku. Aku menambahkan sedikit gula ke dalam cangkirnya. Dia mengoleskan selai stroberi ke roti bakarnya.

"So tell me ..."

Sandra menghela nafas dan pelan-pelan, dia mulai bercerita asal mula kejadian tadi malam.

Mulanya adalah makan siang bersama. Lisa menelpon suatu hari dan mengajak Sandra untuk makan siang bersama. Tentu saja Sandra cukup heran, mengingat dia belum pernah kasih nomer telepon sekalipun kepada Lisa. Juga karena Lisa sebenarnya tak kenal dekat dengannya. Tapi toh demi membina pertemanan, Sandra menerima undangan makan siang itu.

Ternyata mereka berdua cocok. Iya, cocok itu kata Sandra. Lisa gampang banget diajak ngobrol katanya. Setelah makan siang berdua itu, mereka kembali ketemuan beberapa kali. Jalan bareng di mall, belanja. Semua itu tanpa sepengetahuanku.

"Nah, selama sering ketemuan itu, gue merasakan bahwa Lisa ada rasa sama lo mas," katanya sambil menyeruput kopinya.

"Dia sering keceplosan menceritakan Omnya yang ama dia kagumi, yang baik, menyenangkan ..."

"Dia bahkan bercerita tentang peristiwa di club waktu itu mas ..."

Aku tertegun memandangnya. Sedetail itukah cerita Lisa kepada Sandra tentangku?

"Gue cemburu banget mas. Baru kali itu gue merasa cemburu berat. ..."

"Sampai pada suatu saat dia bertanya, kak Sandra pacaran ya sama Om Evan? dan gue bener-bener kaget mas. bagaimana dia bisa menebak dengan tepat hubungan kita? padahal tak seorangpun di kantor tahu tentang kita. Tiba-tiba gue sadar bahwa gue berhadapan dengan perempuan yang punya perasaan yang sama dengan gue. Dia sangat menyukaimu mas, atau mungkin mencintai ..."

Sandra terdiam sejenak, memandangku. Aku menjadi salah tingkah dipandangi begitu.

"Gue tahu perasaan dia ke lo mas. Awalnya jelas dia ga mau ngaku. Tapi setelahnya, dia bilang bahwa dia merasa bersalah karena dia juga sepertiku, mencintai laki-laki yang sama. Jujur gue mau marah banget sama lo mas, dan juga dia. Gue tinggal aja dia waktu itu di restoran ..."

"Serius?"

"Iya, abis gue jengkel banget,..." dan dia bergerak untuk memelukku. Aku pun memeluknya balik. Seakan hendak memastikan bahwa dialah satu-satunya milikku.

"Tapi bukan Lisa dong namanya kalo ga bisa meyakinkan kak Sandra,...."

Kami berdua melihat Lisa keluar dari kamar hanya menggunakan kaos yang dipakainya tadi malam, plus celana dalam yang dia pakai tadi malam. No Bra. Sekilas saja aku melihat puting susunya tercetak di kaos ketat itu. Seksi. Aku menelan ludah.

"Ga sopan ih!" Sandra melempar serbet kain yang ada di atas meja pantry ke arah Lisa.

"Ya gimana lagi, saingan gue berat euy, seksi gitu?No bra pula? Ga mau kalah dong gue,"

Lisa dan Sandra tertawa terbahak. Aku? kikuk.

"Ada roti bakar nih, gue ambil ya?" dan tanpa ba bi bu, Lisa langsung mengambil roti bakar yang seharusnya bakal jadi sarapanku itu. Dengan cuek pula dia mendekatiku, merangkulkan tangannya ke bahuku, dan mencium bibirku secara provokatif. Aku jelas kagok karena Sandra ada di sampingku persis.

Aku merasakan Sandra pun ikut-ikutan memelukku dari samping, dan mengecup leherku. Damn, sensory overload!

"Ok, berhenti dulu, atau gue ...."

"Apa?"

"Atau gue ..., ah, sudahlah.."

"Cerita masih belum selesai, San, ...." dan aku terpaksa menghentikan kegilaan ini.

Mereka berdua terkikik geli.

"Kak Sandra cemburu berat Om, butuh waktu berhari-hari untuk bisa mendekatinya lagi,"

Sandra menepuk lenganku.

"Lo sih mas, pake acara ngasih hati ke anak abg."

Lisa tertawa dan melemparkan sepotong kecil rotinya ke arah Sandra.

"Selera kita mirip ya kak?"

"Iya, seleranya Om-om semua, hahaha."

"Terus ... siapa yang muncul dengan ide .... itu ....?"

Sandra mengangkat alis kirinya, sambil menengok ke arah Lisa.

"Entahlah bagaimana gue bisa masuk ke dalam skenario dia ..."

"But you like it, don't you?" Lisa mendekati Sandra, dan mengecupnya pelan di bibir. IYA, DI BIBIR! Sandra diam saja tak menolak ciuman itu, dan tiba-tiba saja aku merinding menyaksikan itu. Merinding dan panas dilanda cemburu. Cemburu? Iya, seperti tak rela saja melihat Sandra dicium orang lain. Bahkan Lisa. Perasaanku campur aduk luar biasa. Apakah aku pernah mengalami seperti ini sebelumnya? Sama sekali belum pernah!

"Gue merasa cemburu sekarang, ...."

"Gue ga tahu, pikiran gue terus berjalan sejak tadi malam itu, dan melihat kalian berdua dalam satu ranjang, entahlah, gue ga bisa. Anggaplah ini male ego atau apapun, tapi gue bohong kalo gue ga cemburu dengan ini semua. Aneh ga sih?"

Aku berkata terus terang kepada mereka.

Sandra tanpa ragu mengangguk setuju. Lisa pun mengangguk. Mereka berdua setuju?

"It's a one-time only thing, OK?"

Lisa mengangkat bahunya.

"I guess ..."

Kami semua terdiam dalam situasi yang canggung.

Teng! Lisa memukul pan dengan sendok, mengagetkan kami semua. Dia nyengir, dan bagaimanapun, itu membuat kami tertawa juga.

"Ada yang mau sarapan selain roti? bikin nasi goreng yuk," katanya sambil menarik tangan Lisa.

"well, Breakfast and that kind of view, siapa yang bakal nolak?" kataku sambil memandang kedua bokong yang tak tertutup rapat itu plus baju yang menutup sekadarnya. Sandra menjulurkan lidahnya, dan mengangkat bajunya ke atas, memperlihatkan bokong padatnya yang terbalut celana dalam renda menawan. Lisa pun ikut-ikutan dengan menampilkan pantat sekalnya. Arrrrghhhhh, jadi pengen ...

Secepat kilat aku berada di belakang mereka, dan meremas bokong mereka dengan kedua tanganku.

"Auuuwww!"

"That's for being naughty!"

Aku harus membiarkan mereka sibuk di dapur, kalau tidak bisa kelaparan dan horny. Not a good combo.

Aku baru sempat membaca pesan BBM dari Mitha.

Jadi gue terpaksa harus background check setiap manajer, dan mendapati bahwa Sandra ternyata tidak pernah intern di JP Morgan. Ini bukan masalah sepele Van.

Aku tertegun. Mengapa Sandra melakukan hal itu? Mengapa harus berbohong untuk bisa masuk ke firm? Aku pikir dengan segala kelebihan dia, dia hampir pasti lolos seleksi.

+Any idea why?

-No clue. perhaps you could ask her?

+I guess. Amin udah tahu?

-Belum.

+Bagaimana dengan yang lain?

-So far bersih

+OK.


Setelah makan pagi yang sederhana itu (iya, nasi goreng Lisa, tapi lapar yang sungguh luar biasa membuat apapun menjadi sangat enak) plus ngobrol panjang lebar seakan kejadian malam kemarin ga ada artinya, Lisa dan Sandra sudah janjian untuk jalan bareng tanpa aku. Iya, tanpa aku. Aku sendiri tak bakal bisa membayangkan jalan bareng mereka berdua. Canggung. Entahlah. Rasanya juga aku butuh waktu sendiri untuk memproses segalanya yang terjadi dalam waktu singkat itu. termasuk informasi dari Mitha tentang Sandra. Apakah aku perlu menanyakannya secara langsung kepadanya?

"Gapapa kan kita tinggal mas?"

"Emangnya harus ditemenin kaya anak kecil?"

"yakali mau lanjut ..."

Mereka berdua kembali tertawa untuk kesekian kalinya, dan akupun kembali salah tingkah untuk kesekian kalinya.

Aku memutuskan untuk menelpon Mitha setelah Sandra dan Lisa pergi. Untungnya saja mereka tak mengajak yang aneh-aneh lagi. I don't think I can handle more of that!

"Mit, hanya tentang internship itu saja?"

"Hanya Sandra yang CVnya tercela Van, yang lain bersih. I'm getting suspicious about her, really."

"Iya, memang agak mencurigakan sih, walaupun itu bisa jadi tak berarti apa-apa juga sih."

"Listen to me, beberapa hari lalu, gue ga sengaja mendengar Dibyo cerita sama Jen bahwa dia ketemu Sandra di BSD, makan di resto, sama siapa coba?"

"Siapa Mit?"

"Daniel Van."

"Mana mungkin?"

"Well, gue ga terlalu jelas dengernya sih, tapi ..."

"Assumption. Sandra ketemu Daniel kan bisa diitung dengan jari berapa kali."

"Iya juga sih."

"Lagian lo percaya sama Dibyo yang naksir sama Sandra?"

"Yang jelas kita perlu hati-hati Van sama Sandra. OK?"

"OK."

Sandra ketemuan sama Daniel? sebuah skenario yang bahkan tak pernah terpikir di benakku. Ngapain dia ketemu sama Daniel, jika berita itu memang bener?

Cruze. I need my Cruze.

Sudah sejak aku tinggal di US, aku suka sekali dengan merk Chevy. Bagiku merk itu Amerika sekali. Kokoh, bertenaga, desain ga aneh-aneh. Dan lebar, lega. Jaman di US sana, aku punya Chevy Impala bekas tahun 2008 yang aku beli dengan harga yang sangat murah. Sedan yang luar biasa aku bilang, dan aku suka sekali dengan kabinnya yang lapang, plus mesinnya yang boros tapi bertenaga. Anyway, setelah kembali ke Indo, aku beli Chevy Cruze bekas, baru dipakai setahun, harganya sudah jatuh banget, padahal kilometer baru sekitar 10ribu.

Sekitar jam dua belas malam aku keluar dari apartemen, segera aku masuk ke Tol Dalam kota dan melaju. Karena toh jalan sudah sepi, aku bisa menggeber Cruze ku sepuasnya, paling tidak sampai 160 km/jam. Kemana? Tak tentu arah. Muter-muter tol menghabiskan bensin. Terapi kecepatan, begitu Amin biasa menyebutnya, memang cocok untuk meredakan buntu otak. Amin dulu yang pertama kali memperkenalkan padaku, dan entah kenapa, dia benar untuk urusan satu ini. Well, paling tidak terapi ini aman dari STD (Sexually Transmitted Disease).

Aku pulang dini hari masih dengan pikiran yang riuh dan penuh tandatanya. Tidurku tak nyenyak malam itu.

******

"So?"

Mitha duduk di depanku, mengusik pagi tenangku di kantor ditemani oleh espresso (bukan, lebih mirip kopi tubruk) dan Satriani.

"So what?"

"Apakah sudah lo tanyakan ke Sandra tentang CVnya?"

Aku menggeleng.

"Lo lagi ga kasmaran kan Van?"

Tak ada yang bisa aku sembunyikan dari Mitha. Aku mengangkat bahuku.

"I knew it."

"How?"

"Bahasa tubuh kalian ...."

Aku diam saja, seakan merasa dihakimi karena jatuh cinta dengan teman sekantor. Tak ada kebijakan kantor yang melarang memang, tapi kami selama ini cukup nyaman dengan keadaan incognito, tiada seorang pun yang tahu hubungan kami. Sampai dengan saat ini.

"Bahasa tubuh kalian kentara banget Van. Gue ngelihat waktu kita bertiga lembur ngerjain handover waktu itu .... Bener kan?"

Aku mengangguk lemah.

"Jadi?"

"Maksudnya?"

"Informasi dari gue kemarin ..."

"It's Ok Mit. Go on with your research."

Mitha berdiri, dan kemudian mendekatiku, menepuk bahuku pelan. Tangannya diam di sana beberapa saat.

"Be careful OK?"

"I will."

"We care about you ..."

"I know. Thanks."

Siang itu berjalan amat lambat. Dua kali terdengar suara notifikasi BBM, tapi tak kulihat sama sekali pesannya.

Sampai ada telepon ....

"Hey"

Lisa.

"Hey juga ..."

"Kaya lemes gitu suaranya. di BBM ga nyaut lagi."

Aku mendengus saja mendengar omongannya.

"Whassup? I'm kinda busy right now"

"Ga sih, cuman ..."

"Cuman apaa?"

"Kinda miss you lately."

Lagi-lagi aku mendengus. Tapi dia benar. Seberapapun usaha aku menghindarinya karena kesibukan kantor, tak bisa aku menolak kenyataan bahwa aku juga kangen dia. Beda dengan Sandra. Setiap hari aku melihatnya di kantor. Kami bahkan sering makan siang berdua.

"Yeah, miss you too."

"ah, di chat ga langsung bales ih,"

"Ngapain chat, kan bisa telpon langsung?"

"Iya, tapi kan kalo kangen pas lagi ga bisa telpon gimana? emang gue bakal telpon kangen Om waktu ada Papa?"

Aku tertawa, dia juga. Bener juga.

"Can we meet today?"

"Dimana?"

"Jadi gue dan Ezra udah janjian untuk liat-liat kantor baru buat startup kita, sama ketemuan GM kami yang baru. Om bisa kesana? kali bisa kasih masukan. Kita udah hiring juga beberapa."

"Kangen tapi kasih kerjaan ..."

"ya daripada di kantor bete kan? mending ngerjain sesuatu yang lebih bermanfaat, hahahaha."

"Jadi gue kerja ga ada manfaatnya gitu?"

Kami berdua tertawa.

"Ok, kasih gue alamatnya, tapi gue bakalan agak telat ya, mau ketemuan sama temen dulu."

".... kak Sandra? ... cemburu nih gue ..."

"Bukan, a friend from the past."

Paling tidak bisa keluar dari penjara sore yang lambat dan menyebalkan. Aku menengok ke cubicle Sandra pada saat keluar ruangan, tapi kulihat dia tak di tempat. Mejanya bersih, tasnya tak di tempat. Tumben banget dia pulang sebelum aku. Biasanya dia lebih sering pulang malam ketimbang aku (tentunya kalau kami tidak bareng). Kami berdua tetaplah profesional di kantor, dan dia pun tak perlu minta ijin kepadaku seandainya dia mau pulang sendirian. Begitu juga denganku.

Aku membuat janji dengan salah seorang teman lama yang aku rasa bakal membantuku dalam urusan mencari kebocoran informasi di dalam perusahaan. Namanya Vivian. Seorang mantan jurnalis desk Ekopol di sebuah harian bisnis, dia banting setir beserta tiga orang temannya untuk bikin jasa detektif. Iya, detektif. PI atau Private Investigator istilah kerennya. "Capek Van jadi wartawan. Duit kecil, sampingan susah, kudu maintain integrity, sering ditelantarin pula," katanya.

Sebagai seorang jurnalis, kemampuannya untuk mendapatkan informasi, dengan cara apapun juga, sudah tak perlu dibantah. Itu sebabnya jasa detektif dia cukup laris. Kebetulan kami dipertemukan di sebuah event yang diselenggarakan OJK. Vivian pernah membantuku sebelumnya ketika aku melakukan background check terhadap owner calon perusahaan yang akan kugarap IPOnya. Kami akhirnya batal menggarap IPOnya karena owner punya kehidupan lain yang bisa dikatakan sangat beresiko. Gambling. Dia boleh saja main wanita, hobi golf, tapi tidak dengan judi. Dan bagaimana cara Vivian bisa mendapatkan info itu? dia mengirim seorang staf perempuannya ke salah satu surga judi di Asia, Genting. Susah payah dia mendapatkan info tiket keberangkatan si owner, dan membuntuti dia dan gundiknya melancong ke Genting Highlands. Di sana dia lihat si owner dengan cepatnya membakar hampir dua juta dollar Amerika di meja judi. Kami mundur teratur setelah itu. Belakangan terbukti. IPO mereka digoreng habis-habisan, dan take a huge flops.

"Hi handsome," seorang perempuan yang sudah cukup berumur menghampiriku di meja restoran kecil itu. Vivian. Aku mengecup pipinya kiri dan kanan. Tak ada yang mengira bahwa seorang ibu berumur seperti Vivian adalah seorang penyelidik yang handal. Penampilannya benar-benar seperti orang kebanyakan, tidak menonjol, non-assuming. Tapi ada satu yang menonjol. Matanya. Matanya tajam menusuk, menggambarkan kecerdasannya. Aneh bahwa aku tak bisa berlama-lama menatap matanya yang tajam. Ada sesuatu di matanya yang membuat dia seperti tahu segalanya.

"Hi, Viv. Long time no see. sori minta ketemuan mendadak."

"It's Ok. So, ada sesuatu yang sangat serius pastinya?"

"Yeah, need your favor."

Dia memanggil pelayan dan memesan minuman dan makanan kecil. Memang resto kecil yang sedikit tersembunyi di belantara beton Jakarta ini adalah pilihannya untuk tetap low profile. Mungkin hanya sekitar 7x5 meter, dengan dekorasi ruangan sederhana, country-look.

Mengalirlah kemudian ceritaku dari awal aku bertemu dengan Sandra, hubunganku dengannya, kejadian pemberhentian karyawanku, sampai dengan kejadian kekalahan tender. Selama itu pula dia tak henti mencatat. Tak lupa sedikit saja kuceritakan tentang hubunganku dengan Lisa. Dia mengangkat alisnya ketika kuceritakan hal itu. Aku tersenyum malu. Tapi dia tak berkata apa-apa.

"That's it?"

Aku mengangguk. Aku harus bercerita semuanya kepadanya. Tanpa kuberi tahupun, dia pasti akan mengetahuinya suatu saat. Yang aku suka dari Vivian adalah, dia tak akan menghakimi. Sama sekali.

"Gue pengen lo selidiki semua manager analyst gue, termasuk Sandra. Terutama Sandra. Gue yakin lo bisa lebih dalam daripada yang dilakukan Mitha. Gue pengen tahu latar belakang setiap mereka, apa yang mereka lakukan di luar kantor, siapa saja yang mereka temui ..."

"Kira-kira lo bisa kasih gue hasilnya dalam waktu Satu minggu?"

Dia kembali mengangkat alis, tanda tak terlalu setuju dengan deadline itu.

"Dua minggu?"

"Tiga minggu?"

Dia akhirnya mengangguk.

"Kirim ke aku langsung invoicenya. Jangan lewat kantor, OK?"

Aku tak berlama-lama dengan Vivian karena aku harus segera menuju kantor Ezra yang baru.

Aku bertemu dengan Ezra, Lisa, dan GM mereka. Namanya unik. Jose Arcadio. Dan ga boleh salah pula nyebutnya. Hose. bukan Jose.

"Tunggu sebentar ..."

Aku menggenggam tangannya sebentar. Wajahnya tampak bertanya-tanya.

"Namamu unik sekali."

"Iya pak, Bapak saya ..."

"bentar aku tebak ........suka baca novel?"

"Iya pak, dia mem..."

"One hundred Years of Solitude?"

"Betul sekali pak, Gabriel García Márquez."

"Hahaha, tapi aneh juga bapakmu kasih nama seseorang yang, ehm, skizofrenic."

"Hehehe, iya pak, setelah saya baca novelnya, saya marah besar sama bapak. Tapi dia bilang, Itu buku bagus, namamu mengingatkanku pada buku bagus. Lagian Jose Arcadio itu pemimpi agung, kaya bapakmu."

Jose adalah jebolan salah satu perusahaan pembiayaan mikro milik salah satu bank terbesar di Indonesia. Pengalamannya sudah lebih dari 5 tahun, dan dia jauh lebih senior daripada Ezra maupun Lisa. Kami rasa kami bisa memanfaatkan jaringannya di Jawa, terutama Jawa tengah dan Jawa Timur, target market kami. Kami pun cepat menjadi akrab, dan setelahnya kami berempat, beserta dengan 4 karyawan pertama mereka (beberapa dihijack oleh Jose dari tempat kerjanya yang lama), ngobrol sampai malam membicarakan planning untuk satu tahun ke depan. Harus kuakui, Ezra bekerja sangat cepat, dan demikian juga dengan Lisa. Ezra bertindak sebagai CEO, dan menangani mulai dari pendaftaran perusahaan sampai dengan business processnya. Lisa menyiapkan publikasi dan promosi sambil jalan karena dia masih kuliah, mulai dari website, press release, dan media sosial (walaupun masa itu belum heboh seperti sekarang). Aku rasa aku menempatkan investasiku di tempat yang tepat. Still long way to go, but at least I see some progress.

"Om, ini lho Mia, temenku dulu, adiknya kak Sandra,"

Oh, jadi gadis malu-malu yang tadi di meeting tampak diam sambil banyak mencatat itu adiknya Sandra. Berkacamata, sedikit gempal, berkulit putih, aku tak melihat garis kemiripan apapun antara dia dan Sandra. Tentu saja, dia bukan adik kandungnya.

"Hai Mia, gue Evan, teman sekantornya Sandra."

"Hai Om, eh, pak," katanya malu-malu.

"Jadi Mia ini nanti yang akan bantuin Lisa sebagai admin kantor Om. "

"Ok, good. Oya, masih tinggal di xxxxxxxxx?"

Iseng saja aku menyebutkan nama kompleks perumahan tempat tinggal Sandra.

"Oh, saya sudah tidak tinggal di situ lama Om, eh, pak. Sejak 3 tahun yang lalu."

"Iya Om, dia tinggal ternyata ga jauh dari rumah gue. Tau gitu gue samperin mulu ya Mi."

"Oh," jadi dia sudah lama tak tinggal dengan kakaknya? berarti waktu itu Sandra ...

"Lho kok Mia bisa tahu lo buka lowongan?"

"Kebetulan, gue pasang lowongan di grup BBM, Om, dia yang nyaut duluan, hehehe, jadi sekalian reuni."

Tiba-tiba Lisa mendekatiku dan menarik lenganku.

"Eh om, bisa minta tolong?"

"Apalagi?"

Dia meringis.

"Anu, jadi Ezra ngajak gue jalan malam ini,"

"Terus?" Terbersit rasa cemburu. Mungkin memang sudah tak pantas lagi aku cemburu. Bagaimanapun dia manusia merdeka. Dia pun bebas berjalan dengan siapa saja.

"Boleh?"

"Ya bolehlah, kenapa enggak?"

"Kirain Om ..."

"Kayanya ga pantes ngobrolin itu sekarang di sini, tapi lo ga perlu minta ijin sama gue masalah gituan Lis," aku melirik ke arah team Ezra yang masih berbincang serius di meja meeting. Lisa nyengir, tapi matanya menyorotkan sedikit rasa bersalah. Mungkin aku salah.

Segera saja aku berpamitan kepada mereka supaya keadaan tak bertambah canggung, dan bergegas menuju lift.

"Pak, bisa tolong tahan liftnya?"

Langkah-langkah pendek terdengar, dan muncul wajah Mia di depan lift.

"Udah mau balik Mia?"

"Iya pak, sudah selesai juga."

"Tinggal dimana sekarang Mia?"

"di daerah ******* pak. Bapak dimana?"

"Oh, deket gue dong, gue di Senopati."

"Wah iya pak, deket ternyata."

"Naik apa Mia?"

"Angkot pak, atau taksi kayanya, udah agak malem soalnya. Takut,"

Wow, aku tak menyangka bahwa dia menggunakan angkutan umum. Kesan itu tak kudapat dari cerita yang pernah disampaikan Lisa.

"Hei, gue mau pulang ke rumah juga dan lewat daerah situ. Mau bareng?"

Dia memandangku ragu. Seakan menimbang apakah ajakanku tulus atau tidak. Aku mengerti kekhawatirannya.

"Sumpah gue ga gigit,"

Dia tertawa kecil, dan kemudian mengangguk.

Canggung di dalam mobil itu sudah biasa. Kami diam di mobil sambil mengarungi lalulintas yang tak terlalu lancar. Jakarta memang aneh. Jam 8 masih saja macet.

"Macet ya pak?"

Dia bertanya sesuatu yang sudah jelas.

"Iya, padahal sudah malam. Mia sudah makan?"

"Sudah pak, tadi ditraktir Ezra."

"Oh, ok."

Aku terdiam lagi dan kembali fokus ke jalanan yang macet.

"Bapak satu kantor sama kak Sandra sudah lama?"

"Belum setahun."

"Oh ..."

"Kamu nanya seperti itu emang udah lama ga ketemu Sandra?"

"Ehm, iya pak. Sudah sejak dia berangkat ke US."

"Oh ..."

Sudah lama berarti. Kami kembali terdiam dalam situasi yang canggung ini. Jalanan pun seakan tak bersahabat dengan kami yang ada di mobil. Begitu macet. Begitu lama.

"Mia, aku pernah dengar dari Lisa kalo Sandra punya kakak laki-laki, kakakmu juga, yang tinggal di US?"

"Iya pak, betul."

"kerja di Finance?"

"Iya, pak," tapi dia menjawab agak ragu.

"Cuman saya sudah tak pernah kontak sama dia lagi. Sudah sejak lama."

"Oh."

Diam lagi, canggung lagi.

"kak Sandra dulu waktu kuliah seingat saya tinggal di rumah kak Marco, pak."

"MARCO?"

"Iya pak, nama kakak laki-laki saya Marco ..."

"...Mar...co...Tan...diyono?"

"Tandiyono nama papa saya, tapi hanya kak Marco yang pakai namanya ....Saya dan kak Sandra tidak. Om kenal sama kak Marco?"

"Aku sempat kenal dia sebentar banget, tapi dia dan aku sekantor dulu di US walaupun beda branch," kataku berbohong.

"Oh."

"Gimana kabarnya sekarang?"

Aku kembali pura-pura tidak tahu. Dia menggeleng.

"Saya tidak tahu pak, maaf," dia menundukkan kepala sekarang, seolah malu membicarakan kakaknya. Aku tak memaksanya lebih jauh lagi.

----------------

Sampai jumpa minggu depan!
 
wuo:cool:hoho nunggu kabar dari bu Vivian...
ha:sendirian:duchh segala yang terlalu manis itu mengandung resiko dan efek samping... selalu saja tak sadari hingga terlanjur terjadi..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Good job .Tapi kelamaan hampir lupa ama nih cerita ss tetep harus ada dong
 
Damn, the truth slowly revealed....
 
The plan is broke the company and break his heart...bitter sweet revenge..;)
 
Sandra jadi mata2 musuh ?
Ko kagak ngangka
Mudah2an kagak ya
Btw makasih atas updateny
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd