Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sandra

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
It is a very nice story om. Background nya kuat dan berasa kayak cerita asli. Is it based on true story om?
 
psti nysek banget nih, kalo penghianat d perusahaan adalah sandra, n sepak terjang sandra buat ngehancurin evan.

penampakan yg baju merah apa nggak ketuaan bg cewek usia 18 suhu?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terimakasih suhu-suhu semua berkenan menunggu lanjutan cerita ini. lanjut!

A REVELATION

Lisa memandangku lama-lama setelah pintu tertutup rapat.

"Lisa ..."

"Do I make you nervous, Om?"

Aku menaikkan alisku. Dia tersenyum lebar dan kemudian duduk di sofa.

"Ndak kok Om, tapi gue cuman pengen ngobrol aja, karena kayanya kita udah jarang ngobrol dan lebih banyak, ehhhmm, ..."

Aku tahu maksudnya.

"di kantor ini? ga ada tempat yang lebih nyaman?"

"Di sini cukup. Sepi, adem, hanya ada kita berdua."

"Tapi nanti ada yang curiga?"

"Siapa? security? bilang aja lagi meeting."

Aku menggeleng, dan kemudian menggandeng tangannya menuju pintu darurat setelah sebelumnya menelpon security bahwa aku akan menggunakan rooftop.

Jaman dulu, aku sering sekali merokok di rooftop. Iya, kebiasaan yang sudah kuhentikan dua tahun yang lalu, sejak Richard, adik iparku, adik yang disayang sekali oleh Dewi, meninggal karena kanker paru-paru. Dia pula teman ngerokokku, dan bahkan kami punya selera rokok yang sama. Aku meraih jasku.

Ketika kami sampai di rooftop, Lisa berlari menuju helipad yang ada di tengah lantai tertinggi gedung itu. Dia berputar-putar sambil mengembangkan tangannya.

"balingggg balingggg bambuuuuuuuuu," teriaknya. Aku tertawa saja melihat tingkahnya. Sampai akhirnya dia pusing sendiri, dan goyah memegang bahuku, memelukku erat. Bibirnya mencium dadaku. Aku mencium ujung kepalanya. Dadanya mendekap dadaku, dan aku merasakan kekenyalan payudaranya yang padat menggoda itu.

"Hmmmmm enakkk," katanya di dadaku.

"Om sering ke sini?"

"Dulu kalo lagi ngrokok apa suntuk," jawabku. Hanya ada angin sepoi-sepoi malam itu. Malam yang panas, tak ada hujan. Bulan sabit mengintip di balik awan bergerak perlahan. Lampu-lampu jalan dan gedung masih cukup terang. Banyak orang lembur mungkin.

"Iya, gue masih inget Om merokok," kata Lisa. Kami berdua kemudian duduk berdampingan di kursi besi yang memang sengaja ditaruh dari dulu di situ atas permintaanku. Kursinya tampak berkarat, lusuh, tampaknya karena tak pernah ada manusia yang menjejakkan kaki di situ lagi sejak aku.

"Kotor Lis,"

"It's ok, Om," dan dengan begitu, tangannya menyelinap di lenganku, kepalanya ia senderkan ke bahuku. Kami duduk begitu dekat, dan aku mencium bau rambutnya yang harum. Harumnya menenangkan.

"Dingin?"

Dia mengangguk. Kuserahkan jasku untuk dia pake. Aku terus terang kepanasan gara-gara dia. Too much heat!

"Nah, lo pengen ngobrol apa?"

Dia terkikik.

"Ga tahu, tapi rasanya begini saja cukup sama Om."

Kami duduk terdiam dalam keheningan, menikmati kelap kelip lampu gedung bertingkat yang mulai padam, dan jalanan yang masih saja padat.

"How's Ezra? sudah lama kalian kenal?"

"Ga. Sebelum mama ke UK, Tante Widya bawa dia ke rumah, terus dikenalin deh. Abis itu ya sering ngobrol basa-basi gitu. Tau gue kenal baik sama Om, dia mulai deketin gue lagi. Kayanya udah semingguan kita jalan bareng. tapi he's ok. Smart, baik, rendah hati sepertinya,"

"Sepertinya cocok sama lo," kataku serak. Entah kenapa, aku merasa bahwa hubunganku dengan Lisa takbakal bisa bertahan lama. Tapi, hatiku juga berkata bahwa ada rasa cemburu yang kuat ketika membayangkan dia bersama orang lain.

"Kalo belum ada Om, mungkin aku bakal jalan sama dia ..."

"Tapi gue sudah terlanjur ...," katanya sambil memandangku. Dia membawa bibirnya mendekati bibirku, dan kami pun berciuman. Aku merasakan ciuman yang berbeda kali ini. Bukan nafsu yang menggebu, tapi lebih ke ciuman penuh cinta. Pelan, tapi lama.

"Damn, you're a good kisser," kata Lisa. Aku tertawa kecil.

"Mau lagi....," dan bibirnya kembali menciumku. Lidahnya bermain mengulik rongga mulutku, dan demikian pula aku. Sampai kami berdua berhenti terengah-engah.

"Kita ga punya masa depan Lis," kataku setelah ciuman dahsyat itu, kembali memandang kejauhan.

"Karena kak Sandra? Do you love her Om?"

"Verymuch,"

"Can I win you Om?"

"I don't know Lis. I don't know. Gue bahkan ga bisa membayangkan seandainya Andi dan Okta tahu kita berhubungan. Mungkin gue bakal ditendang dari daftar sahabat mereka, or worst, Andi might kill me."

"Dalam hidup gue, tak pernah pula gue bayangkan bahwa ada dua orang perempuan yang bakal sangat dekat dengan gue,"

Secara bersamaan, kami menghela nafas panjang.

"Carilah laki-laki lain, Lis. Ezra seems a good guy. Dia juga lebih tepat jadi pasanganmu," kataku sambil mencium puncak kepalanya.

"Later Om. Saat ini gue lagi pengen sama Om."

"Om tau bahwa gue baru dua kali jatuh cinta? Yang pertama sama si brengsek itu, dan yang kedua tau sama siapa?"

Aku tak menjawab, tapi kurasa aku tahu betul jawabannya.

"Gue rasa gue orang yang susah sekali jatuh cinta. Setiap orang yang mendekati gue, selalu gue bandingin dengan satu orang laki-laki yang bikin jatuh cinta sejak kecil. Ketika Om menangis karena tante Dewi meninggal, hati gue bener-bener sedih. Mama bahkan harus memaksa gue untuk makan, mandi, dan pergi sekolah. Gue maunya di kamar terus Om."

Dia tertawa kecil.

"boong ah," dia tertawa.

"Norak ya Om?"

"Untuk anak kecil sih engga," dan lalu aku ikut tertawa.

"Om tahu Mama juga nangis berhari-hari setelah itu? mama selalu menyembunyikan tangisannya dari gue dan Papa, tapi gue tahu, karena gue pernah ngintip dia menangis di dapur."

"Dia sahabat Dewi," kataku.

"Sepertinya alasannya bukan karena itu. Iya kan?"

Aku diam saja.

"She was in love with you?"

"can we talk anything else please?"

"Bahkan waktu malam gala dinner itu, gue ngelihat tatapan mama berbeda banget sama Om. Gue perempuan Om, dan gue tahu arti tatapan seperti itu. Kagum, cinta ..."

"Lis,"

"Ok, I'll stop."

Kami berdua kembali diam.

"Andai saja mama tahu anaknya diapain sama Om....," katanya nyengir. Aku terbahak.

"Om pasti penasaran kenapa gue bisa kenal sama kak Sandra?"

"karena lo deket sama Mia?"

"Dulu, terus kami lanjutin kuliah ke tempat yang beda."

"benar Sandra kakak angkat Mia?"

"Iya. kak Sandra diangkat anak sama papa mamanya Mia. Ceritanya sebenarnya cukup tragis Om ..."

"Oya?"

"Om ga tahu?"

Aku menggeleng.

"Jadi, mama papanya kak Sandra meninggal waktu kerusuhan Mei 98. Mereka terjebak di gedung mereka sendiri yang sedang terbakar Om, dan akhirnya meninggal. Waktu itu papanya Mia sempat jemput kak Sandra di sekolah, disuruh sama papanya kak Sandra. Akhirnya ya gitu lah, kak Sandra jadi anak angkat. Papa Mia itu om sepupu mamanya kak Sandra," kata Lisa panjang lebar.

Aku masih berusaha mencerna apa yang dikatakan Lisa barusan. Kenapa Sandra tak pernah cerita tentang hal ini?

"Tapi papanya Mia sayang banget sama kak Sandra, bahkan sampai disekolahin ke US Om, dan emang kak Sandra pinter banget. Mia, dia ga sepinter kakak-kakaknya. Dia suka jadi semacam dianaktirikan sama papa mamanya."

"Mia punya kakak kandung?"

"Ada kakak laki-laki, tapi jaraknya jauh umurnya, sekitar 13 tahun. Seingetku dia juga yang bantuin kak Sandra waktu di US."

Angin malam mulai menusuk, aku melihat ke Piagetku, Polo 45 Chronograph Titanium, dan jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Lisa pun melihat jam tanganku.

"Papa pakai Piaget juga," katanya.

"Berarti kita satu selera."

Tentu saja, karena dulu Oktalah yang bilang bahwa Piaget itu jam yang cocok banget buat laki. Berkat dia, aku mulai menyukai dan akhirnya memakai merk tersebut sampai sekarang. Andi tentunya terinspirasi dari wanita yang sama. Tapi itu cerita lain.

"Pulang sekarang yuk," kataku menarik lengannya.

"Ga ngapa-ngapain kita nih?" dia tersenyum nakal.

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Kita baru saja ngobrol lama Lisa," kataku mengucek rambutnya.

"Awwww ..."

"You know what? Gue udah copot celana dalam tadi lho Om," katanya berbisik di telingaku.

Aku tersenyum, tapi mengumpat dalam hati. I'm too old for this sex-crazed teenager! Dia masih 18 tahun!

"Mau apa sih?"

"Ena ena, hahahaha."

Aku pura-pura berpikir. Dia menunggu, tapi aku mendengar nafasnya mulai cepat.

"Sit tight and enjoy then," kataku sambil mendorong bahu Lisa kembali duduk, dan kemudian bersimpuh di depannya.

"Open your legs," kataku sambil membuka roknya. Ternyata benar. Dia tak memakai celana dalam, dan memperlihatkan kepadaku belahan vagina yang sudah tercukur rapi. Sayangnya tak begitu jelas aku melihatnya karena cahaya lampu di rooftop remang-remang.

"Jadi gue bakal dapet ...,"

"Reward for a beautiful princess, a perfected cunnilingus," kataku sambil memulai jilatanku ke vaginanya.

"ooohhhhhhhh," teriaknya tertahan sambil meremas rambutku.

Cunnilingus, entah kenapa, selalu memuaskan untukku. Melihat seorang perempuan menikmati dijilati vaginanya, bahkan sampai orgasme, benar-benar membuatku puas. Dulu, sewaktu Dewi masih ada, bahkan dia bisa orgasme dua kali hanya dengan cunnilingus. Tentu setelahnya rahangku kram, hahaha.

Aku meneruskan jilatanku, menyusuri lembah vaginanya, juga belahan labia mayoranya. Sesekali kuemut pelan klitorisnya, membuat kakinya terkejat.

"Mmmmmm,"

Kedua jariku membuka kedua bibir vaginanya, untuk menemukan betapa basahnya bagian dalam vagina Lisa. Kembali aku mengecup, menjilat, bahkan sedikit menghisap. Satu jariku memainkan klitorisnya yang makin menonjol.

"Ommm, masukin ....," pinta Lisa, mendesah.

Aku menggeleng.

"it's all about you now, not me," kataku sambil terus menyerang vaginanya.

Lisa seperti tak sabar hendak menjangkau orgasmenya, dan mengarahkan kepalaku, bibirku benar-benar menyatu sekarang dengan bibir vaginanya, dan gesekan brewokku di labia mayoranya sepertinya membuat dia keenakan.

"OMMMMMMMM!!!" teriakan tertahannya menandakan orgasmenya. Aku memelankan jilatan dan gesekan tanganku di klitorisnya. Pahanya mengapit erat kepalaku, kakinya ada di bahuku, vaginanya kurasakan berkedut beraturan, dan terlihat sangat basah oleh lendir.

Aku tersenyum puas melihat eskpresi orgasmenya.

"Is it good?"

"Beyond good," katanya dan meraih kepalaku, menciumku dengan gemas.

"Ewwww, bau,"

"Baumu tapi kan?"

"Thank you my big boy. Tapi Om ..."

"Seperti gue bilang, it's about you, not me. Gue happy liat lo dapet," kataku sambil kemudian meraih tubuhnya, dan menggendongnya menuju pintu darurat.

"Oh, Gue mau setiap hari seperti ini sama Om, like two or three times a day. Bikin sakaw ..."

Aku hanya tertawa menanggapinya.

*****

+Gimana? sudah mulai kerasa goyah?

pesan BB itu masuk di pagi hari sekitar jam sembilan. Aku sudah di kantor karena ada janji ketemuan dengan Grup Amanah.

Daniel. Ternyata aku belum block dia.

-Is that a threat?

+Hahaha, lo belum liat semua, Van. Lo bakal liat ntar, siapa yang terakhir tertawa.

Aku menahan amarah luar biasa melihat pesan BB ini, tapi aku takboleh memperlihatkan itu kepada siapapun.

-Go ahead and try your best

+Lotsa surprise awaits

-I'll be ready

+Hahahaha. Really? c u @ Amanah.

Aku tak menjawab. Jadi dia ikut tender Amanah juga.

Aku mendengar ketukan pintu.

"Masuk."

Diana, sekretaris kami yang baru, masuk membawa buku catatan kecil.

"Maaf pak, pak Roberto dan direksi Amanah minta meetingnya dipindah ke resto xxxxxxx, karena dia mau sekalian ke bandara setelah itu."

"Jam?"

"Tetap sama pak, jam 12."

"Ok, kita Ok aja selama meetingnya tetap jalan. Amin udah tau?"

"Sudah pak."

Namanya Islami, Amanah Group, tetapi pemiliknya bernama Roberto, nama unik yang tidak terasosiasi dengan nama muslim. Nama lengkapnya Roberto Hartanto, marga Tan atau Chen kalau di Tiongkok sana. Cerita di belakang bisnisnya sungguh unik. Dulu Roberto punya grup bisnis properti juga, namanya Singa Mas. Rupanya bisnisnya tidak berkembang dengan baik, justru sering banget gali lobang tutup lobang. Setelah itu, konon katanya dia pergi ke seorang penasihat spiritual, seorang suhu Tiongkok, dan disarankan untuk mengganti nama perusahaannya menjadi nama Islam, karena nama Singa Mas dianggap tidak hoki, kesannya marah, garang, buas, tidak cocok untuk bisnis properti di Indonesia yang mayoritas muslim. Saran keduanya, meminta Roberto menikahi seorang perempuan muslim. Sebegitu absurdnya nasihat itu, Roberto rupanya percaya dan menikahi seorang perempuan muslim yang waktu itu menjadi karyawannya dan mengganti nama perusahannya menjadi Amanah Group. Anyway, nyata bahwa saran yang absurd itu terbukti mendongkrak usahanya sampai dengan saat ini. Properti komersialnya ada di seluruh pulau besar di Indonesia. Kapitalisasi pasarnya saat ini ada di angka 15 trilyunan, beda tipis dengan grup properti yang amat terkenal itu. Aku dengar juga, suhu Tiongkok itu menjadi sangat kaya-raya sekarang karena Roberto. Bahkan katanya buka cabang di Jakarta.

Sekitar jam 10 kami berangkat menuju restoran yang masih masuk Jakarta pusat hampir coret itu, dan sampai sekitar jam 11.30. Kami memarkir mobil, bergegas menuju lantai dua, tempat meeting.

"Hei,"

Kami berdua menengok ke arah suara.

Daniel.

Wajahnya tetap seperti dulu. Bibir yang selalu tersenyum sinis. Melihat wajahnya lagi bikin aku muak.

Amin melambaikan tangan, aku melengos.

"Jangan kaget nanti Van,"

Aku berhenti melangkah, dan kemudian berbalik mendekati dia dengan cepat.

"Maksud lo?"

"Tristar bakalan dapet Amanah," katanya yakin. Teman di sampingnya tersenyum mengejek.

"They don't want losers like you guys," tambahnya kemudian. Aku mengepalkan tangan, tapi sepertinya Amin tahu. Dia memegang bahuku. Daniel hanya setinggi hidungku, tubuhnya agak tambun. Jelas bukan kelasku jika aku memutuskan untuk menghajar dia.

"Enjoy your surprise guys," katanya melenggang.

"Sudah Van," Amin menahan bahuku.

Kami berdua disambut oleh direktur investasi Amanah, Hasan Tamimi, anak habib Hadramaut yang nyasar di Investment Banking. Kebetulan kami berdua kenal dia waktu di Seattle. Tidak akrab, tapi kenal. Sekali saja kami pernah dia ajak makan di Saffron Grill, gara-gara dia seneng banget ada yang ngobrol bahasa Indonesia sama dia di Piper Jaffray.

"Tristar ikut tender, San?"

"Yup, Roberto yang minta."

"Van ...," Hasan menarik lenganku.

"doesn't look good on your part," sambungnya. Aku mengerutkan keningku, tapi Hasan sudah berjalan masuk ruang meeting.

"Ok, Van, gue udah dapat angka dari Tristar. Giliran lo sekarang," kata Roberto ketika kami sudah masuk ruang meeting.

"Perlu kita lihat figure lagi?"

"Shoot," kata Roberto, dan kami pun segera memulai presentasi kami. Biasanya ini kerjaan Amin dan Manajer analystnya, tapi aku ingin betul hadir di sini. Sesekali Hasan dan Roberto menimpali dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Got it. do you think you can beat this?"

Roberto menyorongkan sebendel kertas kepadaku dan Amin. Aku membaca kertas itu bersama Amin, dan sangat terkejut membaca proposal dari Tristar.

Formatnya, cara berhitungnya, bahkan portfolio yang dia tawarkan bisa sama persis dengan kami. Dia ubah porsi portfolionya sedikit lebih rendah dari kami. Cara berpikirnya pun sama! Taksusah mengenali bahwa di mata orang lain, salah satu pasti mencontek yang lain.

"Hebat kan Tristar? Dia duluan atau lo yang bikin?"

Aku terdiam, marah sekali. Amin tahu betul itu, dan kemudian mencoba bernegosiasi dengan Roberto. Harus diakui, masalah negosiasi, jualan, Amin jagonya. I'm good, tapi masih beda kelas sama Amin.

Kesimpulannya? mereka mau mikir-mikir dulu. Kami berdua pulang dengan tangan hampa.

"Liat Daniel tadi, jadi keinget waktu kasus Marco ga sih?" kata Amin di mobil.

"Marco Tan ...?"

"... diyono. Iya, that Marco. Inget dia dulu dipecat gara-gara laporan kita?"

"Iya, yang insider trading itu ya? dia mau hajar lo kan Min?"

"yeah, tapi lo jotos dia duluan di parkiran, hahaha. Geblek bener tuh orang," dan kami pun tertawa terbahak-bahak.

"Terus hubungannya apa dengan Daniel?"

"Dia waktu itu kan bilang, bakal balas dendam kan? Abis lo jotos ampe darah-darah. Mirip Daniel sekarang kan?"

"Heeh juga. Tadi kalo ga lo tahan, mungkin Daniel udah ketemuan sama tangan. Dimana Marco sekarang ya? Kayanya dendamnya bakal tak terbalas ...,"

"Kayanya pulang dia ke Indo, tapi gue juga ga tau dimana,"

"Coba gue Google,"

Marco Tandiyono waktu itu adalah junior analyst, sama dengan kami. Secara intelegensi, Marco terlihat jauh lebih cerdas dari kami, makanya kariernya cukup cepat menanjak. Sayangnya cuman satu, mata duitan banget. Dua tahun bekerja, dia terjebak dalam kasus insider trading, walaupun lewat tangan temannya. Dia meminta temannya waktu itu untuk membeli saham Triton, sebuah perusahaan renewable energy, dengan dana yang cukup besar, sekitar USD 750,000. Padahal pada waktu yang sama, Triton sedang dalam proses due dilligence untuk diakuisi oleh TNB company, perusahaan energi juga, dan Marco adalah satu analyst yang terlibat dalam proses due dilligence. Setelah akuisisi selesai dilakukan, maka saham yang dia telah beli lewat temannya dia jual dan dia untung sangat besar dari transaksi itu. Kami yang pertama kali melaporkan ke firm tentang transaksi aneh itu, dan akhirnya SEC (Securities and Exchange Commission, semacam OJK kalo di Indonesia) pun mengendus transaksinya. Seingat kami waktu itu, Marco dan temannya akhirnya bebas dengan membayar denda lumayan gede, sekitar USD 100,000.

Nama Marco tak muncul di media manapun, kecuali publikasi dari SEC di websitenya. Ternyata dia low profile di dunia maya. Bahkan namanya pun takmuncul di Linkedin.

"Van, mau ikut gue relaksasi?"

Alis matanya dinaikkan.

"Hahaha, ga ah, ga maen lagi begituan."

"Yakin? gue mau ke Supark, nih, ada yang baru."

Aku menggeleng. I have Sandra and Lisa, buat apa cari-cari lagi? More than enough. Bahkan kewalahan.

"Oklah, lo turun di xxxxxxxxxx, ya, biar gue cepet mau puter balik,"

Geblek Amin. itu masih sekitar 500an meter dari kantor. Tapi aku tak mau berdebat dengan dia. Mungkin dia butuh "pelepasan" setelah meeting menyebalkan tadi.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, akhirnya aku sampai kantor lagi. Aku yang masih penasaran dengan Tristar mulai mencari mereka di dunia maya. Tak banyak yang aku temukan, selain fakta yang didapat dari website company profile mereka. Nama-nama direksinya aku cukup kenal, pun nama Daniel masuk di sana. Siapa pemilik Tristar?

Sebuah pesan masuk ke BBku.

+Nanti malam jadi?

-Jadi dong, udah gue book.

+iya deh, tapi beneran makan yaa

-Iya, beneran makan, abis itu makan kamu

+hahaha


*****

Mengejutkan bahwa resto itu sepi sekali jam 8. Enak juga bisa ngobrol lebih tenang di sana.

"I brought you something," kataku sambil menyerahkan sesuatu dalam kotak kecil kepadanya.

"Dalam rangka apa nih ngasih? pasti ada maunya," katanya sambil membuka kotak itu. Aku tertawa.

"Itu cincin perak," kataku melihat dia heran dengan bentuk cincin itu.

"Temanku di Jogja buatin khusus untuk kamu, my precious, " kataku melihat dia tersenyum lebar.

"Cantik banget cincinnya," katanya dan kemudian memakainya. Ada ukiran daun pakis di mata cincinnya.

"ini daun apa?"

"Fern."

"Why Fern?" dahinya berkerut.

"Jangan ketawa tapi ya kalo gue terangin."

"Apaan sih sok misterius gitu ..."

"Itu lambang negara Selandia Baru," kataku. Alis matanya terangkat tanda takmengerti.

"Trus?"

"Gue punya mimpi, lima tahun dari sekarang, kita berdua duduk di depan danau Wakatipu, sambil ngobrol tentang kita, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi dan pemandangan the Remarkables jauh di belakang. Cincin itu buat ingetin kita," aku berkata seperti itu sambil menunjukkan cincin yang mirip berwarna agak gelap.

"Sama kan?"

Dia memegang tanganku dan membandingkan kedua cincin yang kami pakai.

"Dimana Danau Wakatipu itu?"

"Queenstown, itu di pulau Selatan Selandia Baru."

"Pasti cantik banget ya," katanya, matanya seperti menerawang. Aku mengangguk.

"Deal, 5 tahun dari hari ini, tanggal 25 Januari."

"Serius, San?"

Dia mengangguk dan memegang tanganku. Oh, betapa aku mencintai perempuan ini.

Aku bergerak mencium tangannya.

"jangan ah, norak," katanya sambil menarik tangannnya. Kami tertawa.

"Beb, udah ketemuan sama Lisa abis gala dinner waktu itu?"

Dia agak terkejut mendengar pertanyaanku.

"Udah sih. udah beberapa kali malah. Kenapa mas?"

"Ga, penasaran aja,"

"Dia keponakanmu beneran mas?"

"Bisa dibilang begitu, gue dan Okta, ibunya, udah deket dari dulu, dari Lisa TK," kataku hati-hati, takut salah.

"Kayanya akrab banget sama lo, mas," katanya. Jantungku mulai berdegup kencang. Seperti ada nada cemburu dalam suaranya.

"Biasalah, manjanya anak-anak," kataku menetralisir.

"Ati-ati, ntar seneng lho sama lo mas," katanya. Gila ya, perempuan punya insting jauh lebih kuat daripada lelaki!

"Kenapa gitu mikirnya?"

"I don't know. Dari ketemuan gue sama dia, banyak banget dia cerita tentang lo, kesannya lo heeebaaat banget," katanya sambil memandangku penuh cinta.

"Oya? dia cerita apa aja emangnya?"

"Banyak ih, sampai gue heran, nih anak sama Omnya akrab bener ya,"

Aku mulai deg-degan.

"Dan gue heran, dia bilang bahwa gue sama mas pacaran. Mas ga bilang sama dia kan kalo kita pacaran?"

"Ya enggalah,"

"Aneh bener ya,"

"Gue ga heran kalo dia beneran suka sama lo, mas ...,"

Aku tertawa pura-pura.

"Aneh, lo ah, dia masih kecil gitu ...,"

"Cara dia ceritain lo mas, beda banget sama perempuan yang biasa. Mirip kaya perempuan lagi jatuh cinta,"

"Ini kenapa jadi ngomongin Lisa ya? Ga asik ah,"

Dia tertawa.

"Entah ya. Anaknya asik sih diajak ngobrol. Gue nyambung banget sama dia. Akhirnya gue terpaksa ngaku sama dia mas kalo kita pacaran. Abis itu kita kayanya ketemu beberapa kali deh, shopping juga."

"Really? Kok ga pernah cerita ke gue?'

"Urusan perempuan mas. Rahasia ..."

Pesanan kami datang, dan kami berdua pun makan malam beneran juga akhirnya. Selama makan itu, kami bercerita banyak hal, terutama mengenai aku dan hubunganku dulu dengan Dewi. Sandra pun sedikit-sedikit saja menceritakan tentang keluarganya, tentang Mia, dan pertemuannya dulu dengan Lisa. Tapi agak aneh bahwa dia tak menyebutkan anggota keluarganya yang lain, kakak laki-laki Mia. Lagian Aku tak mau terlalu kepo dengan itu. Ada batasan privacy yang selalu aku jaga, mungkin karena dari dulu terbiasa takkepo dengan urusan orang lain.

"Enak?"

Dia mengangguk semangat.

Kami melanjutkan obrolan, kesana-kesini. Tampaknya malam ini bakalan jadi malam yang amat menyenangkan buat aku dan Sandra. Aku dan dia ternyata butuh momen-momen seperti ini, dimana kami bisa berbicara berjam-jam tanpa gangguan, dan mengenal satu sama lain lebih dekat. Lagian, baru empat bulan hubungan "gelap" kami.

"San ...,"

"Ya mas?"

"Sudah lo pikirin tentang pilihanmu?"

Dia memandangku lekat, tapi tak menjawab.

"Bolehkah kita ga bicara itu dulu mas?"

Aku mengangguk. Tak baik memaksa perempuan bicara. Mereka tahu saat yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu.

"Your place or my place?"

Aku bertanya setelah kami selesai makan, dan membayar billnya.

Dia pura-pura berpikir sambil tersenyum.

"Emangnya mau ngapain?"

Aku nyengir saja. Senyumnya manis sekali.

"Ga capek?"

Aku menggeleng.

"My place? I have surprise for you," katanya.

"What kind of surprise?"

"The one that will blow you away ...," bisiknya berjingkat, dan kemudian mencium cuping telingaku.

_________

Sampai jumpa minggu depan hu. Maaf agak pendek, mohon maklum
 
dimaklumi om, dilema cinta yg berat antara realita kenyataan dan harapan yg mash blm yakin, .... ada apa dengan sandra apa mash ada hutang budi kah dg kluarga, ortu angkat nya sehingga tdk bisa menentukan sikap.
dilemanya di sandra yg blm diketahui c om, dan sandra g mau terus terang.
nunggu lanjutanya aja smoga di jelaskan ada apa yg di sembunyikan sandra
 
Apa kakaknya Mia adalah tunangan Sandra?
Ditunggu lanjutannya hu
 
Apakah ada plot yang seperti ini
Sandra penyusup yang menghancurkan perusahaan
Sementara Lisa penyelamat yang muncul dengan ide Start up nya
 
Bimabet
Marco kakak angkat Sandra?
Hmm makin menarik
Layak ditunggu, walau seminggu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd