Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ku12ku0ku177ku1ruyuk

Semprot Baru
Daftar
14 Mar 2021
Post
32
Like diterima
1.601
Bimabet
Sejak selesai meeting jam satu siang tadi, aku tidak sabaran selalu mengecek jam tangan. Ragaku masih di kantor, tetapi pikiranku sudah melesat ke suatu tempat. Atau lebih tepatnya ke sosok seseorang.

umi sdh boarding

Kubaca berulang-ulang pesan di ponselku itu. Jam 12 tepat pesan itu masuk. Inginku langsung melesat saja ke airport.

"Pak, ini rekap analisis Q2 yang kita bahas tadi." Inggrid, sekretarisku, nyelonong masuk ke dalam ruanganku dan menyodorkan beberapa berkas. Harus kutandatangani katanya.

Segera saja kubereskan dan kuminta dia pergi. Aku sudah tidak ada mood dan motivasi untuk mengurus pekerjaan.

Inggrid agak kaget ketika ia melihatku menyusulnya keluar. "Ada apa, Pak?" Ia bertanya sambil agak tersenyum. Mungkin dikiranya aku ada perlu dengan dia.

"Kalau ada yang tanya saya, bilang sedang survei lapangan, ya." Kuucapkan dengan nada se-persuasif mungkin sambil kusentuh sedikit pundaknya. Inggrid segera mengangguk-angguk.

Aku bergegas ke basement parkir. Kunyalakan mobilku. Tidak ada dua menit aku sudah meluncur di jalan raya, tidak sabaran. Kuklakson setiap mobil yang kurasa melaju terlalu lambat. Tepat ketika aku memasuki gerbang tol, ponselku bergetar lagi.

umi sdh landing

Aku tersenyum sumringah, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.

Pesan masuk lagi: km msh di kantor kan? biar umi naik taksi aja ke apart

Segera kunyalakan voice recognition agar aku bisa membalas pesan itu tanpa perlu mengetik. "Aku udah beres kok. Aku udah di jalan tol nih, jemput Umi."

Aku hampir menangis karena bahagia. Selalu begitu setiap dia datang ke Jakarta. Perasaanku seperti meluap-luap. Bagaimana tidak, dialah sosok penyelamat hidupku. Dialah sosok yang telah berkorban begitu banyak demi aku. Dia adalah cahayaku. Dan, di atas segalanya, hanya dialah alasanku terlahir ke dunia ini.

Dunia yang sempat kukecam, kusumpah dengan dendam. Dunia yang sempat ingin kutinggalkan sepenuhnya. Namun, semua menjelma menjadi indah, ya karena dia.

Karena ngebut seperti orang sinting, tepat 35 menit kemudian aku tiba di Cengkareng. Umi menunggu di sebuah kedai kopi di dalam bandara.

Begitu bertemu, langsung kami berpelukan erat. Umi mengusap-usap punggungku. Rapat sekali kedua tubuh kami menempel. Aku bisa menghirup puas aroma tubuhnya. Umi lalu mengecupi pipiku, juga keningku. Aku balas menciumi pipinya tanpa ragu. Tidak ada rasa risih sedikitpun. Orang yang melihat kami paling-paling akan berpikir, 'Oh, ada seorang ibu yang sudah lama tidak ketemu anaknya'.

"Maafin aku, Umi nunggu lama, ya?"
"Nggak kok, Sayang. Umi sambil ngopi-ngopi. Jadi nggak apa-apa. Kamu tumben jam segini udah beres kantor?"
"Hehehe..."
"Eh? Kok malah ketawa. Kamu bolos ya?" Umi menjawil hidungku.
"Nggak lah. Aku ini lagi survei lapangan."
"Ah, bisa aja kamu cari alasan."
"Ya, habis gimana dong, aku kan kangen banget sama Umi."

Di sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen, Umi menggenggam tanganku. Sambil dia bercerita soal kondisi di rumah. Mengupdate informasi soal saudara-saudaraku. Ada tentang mas-ku, Umi bilang dia semakin giat menjalankan bisnisnya yang beberapa waktu lalu kusuntik modal untuk pengembangan. Ada juga soal adik perempuanku yang sedang sibuk mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Umi juga menceritakan soal beberapa tetangga yang melangsungkan hajatan. Umi senang masih sering diminta bantu-bantu oleh mereka.

“Abah gimana, Umi?”
Umi diam sejenak. Aku memperhatikan raut wajahnya yang sedikit berubah.
“Ya, biasa aja. Makin sibuk ngurus jamaah.”

Setelah itu giliran Umi yang bertanya soal kegiatanku di kantor. Aku pun menceritakan soal proyek terbaruku yang mengharuskanku untuk berkoordinasi dengan lintas divisi. Detailnya tidak terlalu penting sih, tetapi yang jelas Umi senang mendengarku semakin pandai bersosialisasi dan berbaur dengan orang lain. Suatu hal yang sempat menjadi momok serius dalam hidupku.

Umi lalu nyeletuk bertanya soal perempuan.
“Ada tuh, si Inggrid, sekretaris-ku, Mi. Kayaknya sih dia naksir.”
Umi langsung tertawa.
“Ya udah, tunggu apa lagi?”
“Tunggu apaan?”
“Ya udah, jadian aja sama yang namanya si Inggrid itu.”
Aku nyengir sebelum melanjutkan, “Ah, nanti ada yang cemburu.”
“Hah? Cemburu? Siapa yang cemburu? Umi nggak cemburu tuh.”
“Lho, siapa yang bilang Umi cemburu?”
“Terus siapa? Pacar simpenan?!” Suara Umi agak sedikit naik.
Aku jawab saja dengan tertawa. Eh, dia malah penasaran.
“Ih, serius. Kamu punya cewek simpenan ya?”
Sungguh asik membuat Umi-ku ini salah tingkah.
“Ya, nggak dong, Umi sayang… Ngapain aku punya cewek simpenan.”
“Atau kamu suka itu ya, apa tuh namanya, open BO. Iya kan?”
“Dih. Ada-ada aja. Emang Umi pikir aku cowok apaan?”

Tak lama kami tiba di apartemenku. Setelah menaruh koper dan barang-barang, aku lanjut mengajak Umi makan di mall. Kebetulan apartemenku ini satu gedung dengan sebuah mall besar. Jadi kami tidak perlu pakai mobil lagi, tinggal turun lantai saja.

Setelah makan, kami lanjut menonton film. Selepas matahari terbenam, baru kami kembali ke apartemen.

“Umi mandi duluan ya. Apa kamu dulu?”
“Umi aja duluan.”
“Apa mau mandi bareng?”

Aku hanya nyengir lebar, lantas menyalakan layar TV. Beberapa kali ganti-ganti channel, aku sebetulnya tidak peduli. Pikiranku sudah tidak karu-karuan menahan sesuatu. Tapi aku memutuskan untuk tetap bersabar.

Umi keluar kamar mandi sekitar 20 menit kemudian. Ia mengenakan gamis berwarna kren, tapi tidak memakai kerudungnya seperti tadi. Rambut hitamnya tergerai sampai ke bahu. Gamis yang dipakainya kali ini bahannya sangat tipis sehingga aku bisa melihat siluet tubuh yang terbungkus di dalamnya.

Aku sempat terkesiap. Aku sudah tahu bahwa dia itu cantik, tapi selalu saja sedikit terkejut ketika melihatnya.
Wangi parfum menyengat hidungku.

“Umi wangi banget sih.”
“Namanya juga orang baru mandi. Udah gih, sana, kamu juga mandi.”
“Mandiin dong…”
“Idih, kayak anak kecil aja. Sana cepetan mandi. Umi tunggu di kamar.”
“Tunggu di kamar, emangnya mau ngapain?”
“Jangan sok polos deh.”

Aku langsung melesat ke kamar mandi. Sayup terdengar Umi berkata, “Jangan kesusu mandinya. Itunya dibersihin yang bener.”

Di kamar mandi, kusabuni dan kubasuh berkali-kali bagian kemaluanku. Dia sudah tegang sedari tadi. Rasanya ingin segera kusudahi dan berlari telanjang bulat ke kamarku. Tapi kini aku sudah lebih dewasa, tidak seperti beberapa tahun lalu ketika kami pertama kali sering melakukannya. Saat di rumah sedang tidak ada siapa-siapa selain kami berdua, dulu, aku sering bertelangjang bulat di depan Umi tanpa hirau apapun. Tak jarang Umi pun kuminta untuk melakukan hal yang sama. Saat ini, padahal hanya ada kami berdua di dalam apartemen ekslusif ini, tetapi entah mengapa seiring dengan bertambahnya kedewasaanku, ada perubahan yang terjadi dalam caraku mengeskpresikan hasratku kepada Umi.

Setelah kupastikan setiap inci tubuhku bersih dan kesat, aku pun bergegas pakai handuk. Aku tidak pakai baju di kamar mandi karena memang bajuku ada di dalam kamar. Setengah berlari aku menuju kamar.

Kulihat Umi duduk di atas kasur, berpangku lutut. Ketika aku masuk, mata kami bertatapan. Mata itu, tatapan itu, aku tak pernah bisa tidak berpasrah dan memujanya. Tatapan seorang wanita yang penuh luapan rasa cinta bercampur nafsu yang membara.

“Kok gak pakai baju?”
“Ya, bajuku kan di dalem lemari.”

Aku berjalan pelan menuju lemari. Aku bisa merasakan ekor mata Umi mengikuti pergerakanku.

Kalau dipikir-pikir memang sedikit konyol sih kegiatanku hendak pakai baju ini. Sebab aku meyakini, tidak ada lima menit, kemungkinan besar baju itu akan tanggal. Dengan otak yang seperti nge-blank mataku menjalari tumpukan baju tanpa ada sedikit pun keputusan ingin ambil baju yang mana. Sungguh aku sudah tidak sanggup berpikir lagi. Tonjolan di balik handuk semakin mengeras.

Umi beranjak dan menghampiriku. Segera, bisa kurasakan napasnya hangat menghembus di tengkuk leherku.

“Lama banget sih pilih baju doang juga.” Ucapnya seraya memelukku dari belakang.
Bisa kurasakan kenyal payudaranya menempel di punggungku.
Detak jantungku sudah tidak karuan. Kuusapi tangan Umi yang memelukku.
“Umi kangen banget sama kamu, Sayang.” Pelan, Umi mengecup bagian samping leherku.
Sinyal kejut langsung menjalar ke seluruh tubuhku.
“Aku juga kangen sama Umi.”
“Kangen Umi atau memek Umi?”
Jantungku seperti mau copot.

Tangan Umi mulai menggerayangi sekujur tubuhku. Awalnya memeluk bagian perutku, kemudian satu tangannya turun perlahan, menangkap tonjolan dari balik handuk. Penisku yang sudah sejak tadi ereksi seperti mendapat sambutan yang diidam-idamkannya.
Tangan Umi yang satunya mengusap-usap pentilku. Umi tahu itu salah satu titik lemahku.

“Umi juga kangen kok sama burung kamu.” Dengan cepat Umi melepas belitan handuk yang kukenakan. Tanpa tunggu apa-apa, langsung digenggamnya penisku yang sudah tak tahan. Umi lantas mengecupi leherku. Menjilatinya. Sesekali menggigit pelan telingaku—titik lemahku yang lain.

Umi mulai mengocok pelan penisku.

“Enak, Umi. Uhhhhh….” Aku menyerocos tanpa sadar.

Tanganku satu menggenggam pergelangan tangan Umi yang sedang mengocok penisku. Satu lagi mengusap-usap paha Umi dari balik gamis tipisnya.

Kurang lebih lima menit kami dalam posisi itu. Lalu tiba-tiba aku berbalik. Mata kami bertatapan begitu lekat. Dalam jarak rengkuh yang sedemikian dekat, aku bisa merasakan daya tarik alami dari tubuhku dan tubuhnya.

Kami berpelukan. Bersamaan dengan bibir kami bersentuhan. Sebuah ciuman yang lembut dan khidmat. Ciuman yang menyampaikan rindu, tak terkira megahnya. Ciuman yang melumat seluruh kata-kata.



Umi sayang, aku seperti gila rasanya menanti untuk bersatu kembali denganmu.
Anakku sayang, Umi pun sama gilanya denganmu. Ingin segera bertemu dan dicumbu kamu.

Dari ciuman penuh rasa dan kekhusyukkan, kami beranjak semakin dalam. Lidahku mulai menelusup ke mulutnya, MERENGKUH lidahnya. Mulai terdengar lenguhan tertahan.

“Mhhh…”
“Mhhh…”

Tangan Umi membimbing satu tanganku untuk menyentuh payudaranya. Aku berbakti dan menuruti. Kuremas pelan payudara ranum itu. Sejak mulai berhubungan intim denganku, Umi rutin mengikuti kelas kebugaran.

“Toket Umi makin kenceng.”
“Iya dong. Umi kan rajin olahraga.”
“Aku juga, Umi. Biar kuat.”
“Biar kuat apa?”
“Biar kuat gini.” Kutusuk-tusuk bagian selangkangan Umi dengan penis tegangku.
Umi terkikik geli. “Aduh, mana bisa masuk burung kamu. Kehalangan baju dong, sayang…” Umi lalu menyingkap gamisnya. Sudah kuduga ia tidak memakai celana dalam. “Nih.”
Aku menatap tak berkedip. Rambut-rambut kemaluan itu sedang saja, tak tipis, tak juga lebat. Tapi rapi.

“Ayo, kok cuma dilihatin aja memek Umi?”

Aku pun mendorong pelan Umi supaya mundur ke belakang. Hingga kakinya mentok bagian pinggir ranjang. Lalu kuminta dia berbaring, lantas kuangkat kedua kakinya, memampangkan dengan amat jelas labia mayor-nya yang indah merekah.

“Umi, aku mau jilat memek Umi ya.”
“Boleh dong sayang. Mau kamu jilat, mau kamu usap, mau kamu masukin juga boleh.”

Aku segera memajukan wajahku mendekati selangkangan Umi. Tanpa ragu kujulurkan lidahku dan kujilat penuh bagian depan kemaluannya. Otomatis Umi langsung menjambak rambutku, yang sedikit masih basah karena habis mandi.

“Ahh… enak, sayang.”
Aku lanjut menjilati dengan ritme teratur. Sesekali kusedot, yang dibalas dengan jenggutan pelan di rambutku.
“Ahhh… Ridwan…”

Hatiku berbunga-bunga mendengar Umi menyebut namaku. Aku lalu beranjak dari selangkangan. Aku merayap di atas tubuh Umi yang dibalut gamis setengah terbuka, menindih sambil menciumi lehernya, lalu naik ke bibir, dan kami pun bercipokan lagi. Lebih ganas dari sebelumnya.

Penis tegangku bergesekan dengan rambut kemaluan Umi.

Satu tanganku meremas gemas payudara Umi. Sementara tangan Umi melingkar di leherku. Cukup lama kami bercipokan karena memang sungguh luar biasa nikmat. Hingga akhirnya kami berdua tidak lagi kuat.

“Ridwan, ayo masukin burung kamu ke memek Umi, Nak. Umi udah nggak tahan.”
“Iya, Umi. Ridwan juga udah nggak kuat.”
“Ayo cepet, Nak.” Umi sedikit mendorong bahuku, tak sabaran.
“Aku ambil kondom dulu.”
Segera tangan Umi mencegah lenganku yang hendak beranjak.
“Umi nggak mau.” Umi tegas menggelengkan kepala. “Ayo masukin aja nggak usah pake kondom. Umi udah nggak tahan,” lanjutnya. Umi merengek seperti anak kecil yang merajuk. Maka secara alami tidak mungkin aku tidak menuruti perkataanya.

Kuarahkan penis tegangku ke hadapan kemaluan Umi yang sudah sangat berlendir. Tanpa hambatan sedikit pun, kepala penisku berhasil menerobos masuk ke dalam lubang vaginanya.

Umi seketika merem-melek. Ia menahan lenguhannya. Satu tangannya memegang tanganku yang menyangga tubuhku, satu lagi memegang leherku.

Perlahan, kubenamkan seluruh batang penisku ke dalam vagina Umi. Giliranku merem-melek. Dinding vagina Umi meremas batang penisku. Rasanya… kepalaku ingin melayang.

“Ridwan… kamu enak banget, sayang.”

Tatapan Umi seperti sedang memuja wajahku. Dan seketika aku pun tergerak untuk menciumnya lagi, Umi-ku yang manis dan penuh kasih sayang itu, dengan cekatan menangkap ciumanku sepenuh hatinya.

Seraya kami berciuman mesra, kugerakkan pinggulku perlahan.
Kujamahi lubang tempat kelahiranku lagi.
Keluar masuk. Perhalan dan penuh ungkapan sayang.

Selain kugerakkan naik turun, ada juga kugoyangkan melingkar, sehingga batang penisku menggesek seluruh sisi lubang vagina itu. Umi melenguh tertahan setiap kali kulakukan.

Pada titik tertenu, ritme genjotanku semakin meningkat secara teratur. Terus meningkat. Semakin cepat dan menghujam tajam. Mulai terdengar suara peraduan selangkangan kami.

Umi melepas cipokannya, lalu menatap wajahku. Tangan satunya membelai-belai pipiku.

“Enak sayang? Enak memek Umi?”
Sambil mendesah tertahan, kujawab, “Mhh… enak banget Umi sayang.”
“Umi juga enak sayang… ayo terusin…”

Pok! Pok!

Pok!


Pok! Pok!


Pok!
Pok! Pok!

Pok!!


“Umi…”
“Iya, sayang?”
“Umi kok cantik banget sih?”
Senyum Umi merekah seketika. Semakin cantik saja jadinya.
“Aku berjasa apa sih di kehidupan sebelumnya bisa dapet ibu secantik Umi?”
“Kamu ini… mana ada kehidupan sebelumnya, sayang.”

Satu ibu jari Umi bermain-main di tepi bibirku. Kukecup lalu kuhisap. Umi suka sekali ketika aku mengisap ibu jarinya. Atau jari yang manapun.

“Umi yang beruntung banget punya anak kamu.” Umi membelai lembut pelipisku.
Aku tersipu. Tersenyum malu-malu.

Kami lantas bercipokan lagi untuk beberapa saat. Lalu aku menawari Umi untuk ganti posisi.

“Umi mau di atas? Atau mau aku masukin dari belakang?”
“Umi mau sambil duduk, boleh gak?”
“Boleh dong, Umi sayang. Gimana? Akunya ke ujung kasur ya?”
“Iya. Pinter deh anak Umi.”

Aku mencabut penisku, lantas tiduran terlentang di tepi kasur dengan kaki menjuntai. Umi turun dari ranjang, kemudian mengambil posisi menduduki penisku.

Setelah beberapa kali mengepaskan posisi, penisku pun ambles lagi memasuki vagina Umi.

"Umi, gamisnya ngehalangin. Aku jadi gak bisa lihat.”
“Ya udah, Umi buka ya gamisnya.”

Akhirnya kami berdua pun sama-sama telanjang bulat. Umi menggenjot penisku dengan penuh keyakinan.

“Enak nggak, Umi, sambil duduk?”
“Enak, sayang. Udah lama Umi pengen nyoba gini.”
“Kok baru sekarang Umi minta?”
“Kan yang sebelum-sebelumnya juga Umi pengen coba.”

Aku memegang pinggul Umi yang naik turun mengentotku.

Suara desahan Umi mulai terdengar jelas.

“Ahh! Ahh! Ahhhh! Mhhhh… Ahhh!!”
Umi memegangi payudaranya sendiri. “Ahhh…!!! Mmmh…!!!”

Aku berinisiatif. Tanpa mengubah posisi selangkangan, aku bangkit duduk sehingga kepalaku tepat di belakang punggung Umi. Lalu kujilati saja punggung mulus itu. Kuhisap juga.

“Ahhh!!! Ridwann…!!! Mmmmhhh!!! Enak sayang..!!”

Masih ada, Umi. Kudelegasikan kedua tanganku untuk melayani kedua payudara Umi. Kuremas-remas dengan sedikit tambahan tenaga karena kutahu Umi sedang menuju puncaknya.

"Ridwaannn..!!! Ahhhh!!! Kamu apain Umi sayang!! Enak bangettthh!!! Ahhhh..!!”

Aku tekun menjilat dan meremas.

“Sayannggghhhh!!! Ahhhh!!!”

Genjotan Umi semakin intens. Semakin kuat menghentak penisku.

“Ahhh…!!! Terus sayang..!! Terusin entot Umi..!!! Ahhh..!!!”

“Ahhh!! Mhhh!!!!! Ahhhh!!!”

Gara-gara mendengar desahannya, aku merasa diriku pun semakin mendekati muncrat.

“Umi..!!”
“Iya, sayangnya Umi? Ahhh!!! Kenapa sayang?! Ahh!!! Mhhh!!!”
“Aku kayaknya mau sampe.”
“Ayo sampe bareng, sayang. Umi juga mau.”
“Di dalem, Umi?”
“Iya, sayang. Keluarin di memek Umi aja.”
“Nggak apa-apa, Umi?”
“Nggak apa-apa, sayang. Umi baru selesai haid kemarin. Nanti Umi minum obat juga.”

Sip! Ini sih rezeki nomplok namanya.

Aku kembali mengenyoti punggung telanjang Umi. Remasanku di dadanya semakin bertenaga. Selangkanganku pun ikut menyodok dari bawah, saling berlawanan arah.

Suara desahan Umi memenuhi ruangan kamarku.

Betapa bahagianya diriku bisa membuat wanita yang paling kucintai menggugah kenikmatan tubuhnya. Menyelami keindahan badan. Menggenapi persetubuhan dan pertalian jiwa berdua.

Selang beberapa saat Umi meneriakkan namaku berbarengan dengan dia mencapai puncak orgasme.

Aku yang tinggal selangkah lagi menyodok dengan semakin ganas. Penisku seperti ingin meringsek masuk ke dalam rahim Umi. Sodokanku semakin tidak karuan. Aku pun ikut mengerang menggantikan desahan Umi.

Dalam momen itu seluruh panca inderaku seakan-akan mati sementara, tertutup segalanya, kecuali saraf-saraf di saluran penisku. Membombardir otak dengan denyutan kenikmatan yang tak terhitung. Membawa raga dan jiwaku melayang. Menjadi daya hidup paling primordial di alam ini.

"Akkhhh!!"

Kumuntahkan sperma hangatku, penuh tenaga, dengan beberapa kali denyutan, memenuhi rongga vagina Umi.

Selang beberapa saat, yang tersisa hanya napas kami berdua yang masih terengah-engah.

Bulir-bulir keringat meluncur pelan, ada juga yang cepat, di punggung mulus Umi. Indah sekali, pikirku.

Umi menoleh ke belakang. Ia tersenyum lebar, wajahnya memancarkan bahagia sepenuh-penuhnya. Aku tak bisa menahan diri, sedikit tertawa.

Malu, kututpi wajahku dengan satu tangan.

LANJUTAN
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd