Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sabda Hidup

masbembeng

Suka Semprot
Daftar
19 Sep 2014
Post
10
Like diterima
21
Bimabet
Keringat Ray jatuh menetes ke punggung Amelia, 7 menit yang lalu Ray meminta Amelia untuk berganti posisi, Ray mengarahkan Amelia yang berada diatasnya untuk telungkup di kasur dan menunggingkan pantatnya sehingga Ia bisa men-doggy Amelia dari belakang. Meskipun sudah bercinta hampir setengah jam lamanya, Ray masih sempat-sempatnya menggoda Amelia ketika Ia mau memasukkan kembali penisnya, penis yang berdiri keras itu Ia gesek-gesekkan pada bibir vagina Amelia. Amelia yang merasa jengah dengan permainan menyebalkan itu pun menggerakkan tangannya untuk meraih penis Ray, Ia berusaha sendiri memasukkan penis Ray sembari merengek,

‘Aaaaaah .. Ini Amel udah mau nyampe tau, masih sempet-sempetnya, ayo dong, masukin, cepetan!’, merasa puas dengan permainan kecilnya itu, akhirnya penis itu pun dimasukkan dalam-dalam ke liang vagina Amelia.

Semakin kencang Ray memompa Amelia, semakin kencang jerit keenakan Amelia.

‘Ray ..aah … aah, terusin, jangan berhenti dulu, Amel udah mau nyampe .. bentar lagi … bentar lagi …’ Amelia mendesah dan meracau dalam kenikmatan, Ray terus memompa penisnya dalam-dalam ke liang vagina Amelia,

Ray seolah acuh mendengar jerit kenikmatan Amelia, Ia tahu momen ketika Ia kehilangan konsentrasinya, spermanya akan langsung meluncur masuk kedalam vagina Amelia, dan Ia tak mau ini terjadi. Penis Ray terus masuk dan keluar dari vagina Amelia secara cepat, sampai akhirnya pinggul Amel menghentak dengan kencang dan cairan vagina Amelia keluar dari vaginanya.

Sekarang giliran Ray untuk menyelesaikan sesi bercinta ini. Ray pun menarik penisnya keluar dari vagina Amelia dan dengan sigap membalikkan tubuh Amel, memposisikan penisnya tepat di bibir Amelia yang secara otomatis membuka dan mengulum penis Ray secara keseluruhan. Amelia terus memainkan lidahnya di ujung penis Ray, sembari secara halus memainkan testisnya. Ray yang sudah menahan spermanya dari tadi akhirnya menembakkan sperma hangat miliknya langsung kedalam mulut Amelia. Ketika Ray menarik penisnya keluar dari mulut Amelia, sperma yang kental dan hangat itu ikut meleleh keluar dari mulut kakak sepupunya yang cantik. Mengakhiri sesi percintaan panas mereka pada malam itu.

---

Ingatan pertamaku tentang Kak Amel,.. Waktu itu aku berusia 8 tahun, Kak Amel dan kedua orang tuanya datang dari Jakarta, Ayahnya ingin bersantai sejenak di kediaman masa kecilnya. Rumah nenek memang cocok untuk menjadi tempat pelarian dari beban hidup sehari-hari, kota kecil dan sunyi di kaki gunung, sepi dari kebisingan hidup. Angin sejuk yang turun dari gunung dan hijaunya lingkungan sekitar rumah, sangat cocok untuk menghilangkan kesumpekan manusia-manusia yang terperangkap hutan beton Ibu Kota.

Masih ingat betul ketika pertama kali aku melihat Kak Amel. Waktu itu Kak Amel mengenakan potongan rambut sebahu yang sedang digemari kalangan muda Jakarta. Modis, begitu kata Kak Amel ketika Nenek bertanya kenapa Ia memotong rambutnya menjadi pendek. Nenek cuma tertawa senang saja mendengar jawaban cucu perempuan satu-satunya itu. Sementara aku? Aku hanya bisa bersembunyi di belakang daster nenek, mengamati orang-orang yang asing ini. Sepertinya Kak Amel menyadari keberadaanku, tiba-tiba saja
ia membungkukkan badannya dan menatap mataku dengan tajam, ‘Oh ini toh yang namanya Ray . Udah gede ya. Tambah ganteng lagi’. Sekejap pipiku terasa membara, semakin aku menenggelamkan mukaku ke dalam daster yang nenek kenakan.

Selang beberapa hari dari pertemuan pertama itu, Aku mulai terbuka dengan kehadiran Kak Amel. Seringkali Ia membantuku dalam mengerjakan PR dari Sekolah, bermain PS denganku, bahkan mengajakku untuk mandi bersama dengan dia. Selama ini aku yang tinggal sendiri bersama nenek, tidak punya sosok kakak yang memanjakan aku. Tentu saja nenek memberikan perhatian yang lebih kepadaku, tapi ini berbeda. Rasa kasih sayang yang Kak Amel berikan kepadaku terasa berbeda, dan aku menyukainya. Dari detik itu juga aku tahu, kalau dialah cinta pertamaku.

Seperti kata peribahasa, tidak ada pesta yang tak usai, kebersamaanku dengan Kak Amel harus berakhir pada suatu hari. Ayahnya harus kembali ke Jakarta untuk kembali bekerja, sementara Kak Amel juga harus masuk ke Sekolah setelah masa liburan telah usai. Perpisahan itu menyakitkan sekali, mungkin itu pertama kalinya dalam hidupku yang baru 8 tahun aku merasa sesedih itu, ‘Ray jangan nangis dong, masa dah gede nangis, ntar deh Kakak dateng lagi kesini, main sama kamu’,

‘Janji ya kak?’

‘Janji ..’, Pelukan erat yang Kak Amel berikan padaku waktu itu terpatri selamanya dalam hidupku.

Janji itu Kak Amel genapi dalam waktu 8 tahun.

Baru saja aku buka pintu rumah sehabis bermain di lapangan bola dekat rumah ketika nenek berkata, ‘Besok subuh Amel dateng dari Jakarta, kamu temanin Nenek jemput di stasiun ya, bangun loh?!’

‘Ada apa kok tiba-tiba datang?’, aku bertanya kepada nenek.

‘Katanya pingin cari udara segar, istirahat sebentar dari skripsinya’

‘Ok, nek, Ray mau mandi dulu’, jawabku datar sambil berlalu masuk ke kamar dan bergegas mandi. Tentu saja aku tidak bisa menunjukkan kebahagiaanku di depan Nenek. Padahal jantungku sudah berdegup kencang, bahagia akhirnya bertemu lagi dengan Kak Amel.

Delapan tahun berselang, sekarang seperti apa rupa Kak Amel? Apakah dia masih cantik seperti dulu? Ah,.. itu pasti. Bodoh sekali pikirku. Apakah rambutnya masih pendek seperti dulu? Apakah dia masih mengingatku?,.. Seribu pertanyaan berputar di kepalaku, tak sabar aku menunggu esok pagi datang menjelang dan menjemput dia di stasiun.
 
Terakhir diubah:
Coba-coba menulis cerita, ini cerita pertama gw, kalau ada banyak salah mohon bantuan dan koreksinya. Terimakasih.

Diusahakan update paling tidak satu minggu sekali.

Mohon maaf untuk kurangnya ilustrasi, gw percaya lebih nikmat membaca kalau kita membayangkan sendiri siapa-siapa yang cocok jadi tokoh pemerannya. Bisa teman dekat, dambaan hati, atau artis di TV.

Index Update :
 
Ijin nyimak bos....
Kalau ada mulustrasi minimal yang dibayangkan sesuai yang ditampilkan...
 
II

Pagi-pagi sekali nenek sudah membangunkanku dari tidur, jam setengah empat ketika aku lihat
jam di dinding.

‘Ray bangun, mandi cepetan, habis ini kita ke stasiun, kereta Amel jam setengah
5 sudah sampai, kasihan kalau dia harus menunggu di stasiun sendirian’,

‘Iya, nek. Bentar lagi ya, 5 menit aja’, masih terus saja memainkan drama teatrikal-ku dari
kemarin.

‘Bangun loh, Nenek sudah siap kamu cepetan loh’, kata nenek sambil membuka pintu kamar

Begitu nenek keluar dari kamarku, langsung saja aku melompat dari kasur, cepat-cepat mandi,
sampai lupa kalau air yang berada di dalam bak itu dingin seperti air es.

Perjalanan dari rumah ke stasiun sebenarnya tidak memakan waktu lama, kota kecil seperti ini, tidak bisa disamakan dengan Jakarta, jarak dari satu tempat ke tempat lain sangatlah dekat, tidak ada hambatan jalan yang berarti juga.

Tetapi, aku bisa memahami alasan kenapa nenek memaksa untuk berangkat hampir 1 jam sebelum kereta datang. Nenek akan bertemu dengan cucu perempuan satu-satunya setelah 6 tahun lamanya. Kebahagiaan secara jelas terpancar dari muka nenek, sambil ikut bersenandung lagu yang diputar radio, senyum kecil selalu tersimpul dari bibirnya. Tidak sampai 15 menit, mobil sudah aku parkirkan di parkiran stasiun,
nenek menuju ke gerbang kedatangan mencari tempat duduk sembari menunggu kereta Kak Amel.

Setelah mengantarkan nenek ke tempat duduk, aku pamit sebentar untuk mencarikan nenek teh hangat untuk melawan udara dingin pagi itu. Setengah jam lebih kami menunggu, hingga akhirnya ada pengumuman kalau kereta dari Jakarta telah masuk ke stasiun. Secara refleks nenek langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju ke gerbang, menunggu dibelakang tukang becak dan tukang ojek yang sudah memenuhi samping-samping gerbang, menunggu penumpang datang.

Tidak susah aku menemukan Kak Amel dari ratusan orang yang keluar dari gerbang sempit itu.

Jaket kuning menyala dan wajahnya yang cantik membedakan dia dengan ratusan orang lainnya.

Semuanya masih sama seperti dulu, kalaupun ada perbedaan, rambutnya sekarang agak lebih panjang sedikit. Nenek melambai-lambaikan tangannya, berusaha untuk menangkap
perhatian Kak Amel.

Beberapa saat berlalu, Kak Amel akhirnya mengetahui keberadaan aku
dan nenek yang datang menjemputnya. Dia berjalan ke arah kami, dengan tas koper yang
ditariknya.

‘Waaa .. nenek, dah lama banget loh gak ketemu, Amel kangeeen banget ama
nenek’, kata Kak Amel sembari memberikan pelukan hangat kepada nenek.

Ini pertemuan kedua kalinya dengan Kak Amel, dan masih seperti delapan tahun yang lalu, aku hanya bisa
berdiri kaku di samping nenek. Kali ini aku sudah tidak bersembunyi dibalik nenek.

‘Wah, Ray sekarang sudah gede ya,... beda sama dulu’, Kak Amel mengalihkan perhatiannya
kepadaku.

Kalau dulu Ia harus membungkuk ketika berbicara denganku, sekarang ia harus mendongakkan lehernya ke atas untuk menatap mataku. Sembilan tahun adalah waktu yang teramat lama, banyak hal yang telah berubah selama itu. Tapi sorot matanya masih sama seperti dulu. Tajam
tapi penuh dengan keramahan. Bola matanya yang coklat menatap tajam, menyihir aku. Bisu
tak berkata. Diam seperti patung.


‘Ray, diajak ngomong kok malah diem aja ya’, Kata nenek

‘Itu kopernya Kak Amel dibawain ke mobil’

‘I .. Iya nek, sini kak, kopernya dibawain’, ucapku ke Kak Amel

‘Makasih ya Ray, wah, sekarang dah bisa nyetir juga? Ntar Kak Amel diajak jalan-jalan ya’

Aku berjalan didepan menuju ke mobil membawakan barang bawaan Kak Amel, sementara Kak Amel menggandeng tangan nenek sambil menceritakan perjalanannya dari Jakarta. Sampai di
mobil, nenek menyarankan kita untuk pulang ke rumah saja, biar Kak Amel bisa beristirahat. Tapi, saran itu ditolak Kak Amel, katanya dia sudah tidur sepanjang perjalanan, sekalian aja cari sarapan, perutnya sudah lapar karena belum makan apa-apa dari semalam.

Dalam perjalanan aku berulang kali mencuri pandang untuk melihat wajah Kak Amel melalui kaca spion tengah, aku kagumi dalam diam rupanya yang sempurna. Berkali-kali aku lirik kaca
spion, hingga akhirnya mata kami bertemu melalui kaca spion itu, aku bisa melihat kedua tulang pipinya sedikit terangkat ke atas, pertanda kalau dia sedang tersenyum melihat tingkah lakuku.
Bisa kurasakan wajahku kembali membara, panas. Sama seperti dulu, 8 tahun yang lalu ketika mata kami pertama kali bertemu.

---

Setelah selesai sarapan aku harus segera bergegas untuk berangkat ke sekolah, sampai di rumah, aku langsung berganti pakaian seragam dan pamit kepada nenek dan Kak Amel untuk
pergi ke sekolah. Hari itu aku ada pelajaran tambahan karena aku sudah masuk kelas 3 dan ada persiapan untuk mengikuti Ujian Nasional. Sedikit disesalkan karena itu hari pertama
kedatangan Kak Amel, dan aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama dia, atau dalam kasus ini, menghabiskan lebih banyak waktu memandangi dia.

Bagaimana caranya mau dekat-dekat, diajak bicara saja aku langsung mematung.

Jam 5 sore aku baru sampai ke rumah, rumah dalam keadaan yang sangat sepi, biasanya jam segini nenek memang sedang istirahat sore. Dari pagi sampai sore biasanya nenek mengawasi
usaha batik tulisnya, usaha yang didirikan oleh kakek buyutku, masih terus berjalan dipegang oleh nenek.

Masuk ke rumah setelah memarkir motor, aku langsung buru-buru ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ketika pintu kamar mandi terbuka, pandanganku langsung terpaku kepada Kak Amel yang sedang duduk di atas kloset. Mata kami bertemu kembali.

Terang saja aku kaget, tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan, semua seolah berjalan dalam gerakan yang lambat, aku termangu, dan tanpa sadar aku memandangi badan Kak Amel yang telanjang bulat itu dari atas ke bawah, sampai akhirnya kesadaranku kembali ketika Kak Amel berteriak,

‘Ray, tutup pintunya!!!!!’

‘Ah iya kak, maaf-maaf’

‘Cepetan!! Tutup!’

Langsung saja pintu aku tutup dan cepat-cepat aku ke kamar, takut kalau nenek ikut terbangun dan bertanya ada ribut-ribut apa. Sampai di kamar aku hanya bisa berbaring kaku di kasur, masih membayangkan tubuh telanjang Kak Amel yang baru saja aku saksikan.

Payudaranya cukup besar tapi kencang, masih memenangi pertarungan melawan gravitasi, areolanya yang kecil berwarna
kecoklatan, dihiasi dengan puting yang berwarna kemerahan. Perutnya yang dihiasi sedikit lipatan lemak. Bulu-bulu hitam yang berada di pangkal pahanya kontras dengan warna kulitnya yang seputih pualam italia. Kecantikan yang sempurna tiada tara.

Padahal ini bukan pertama kalinya aku melihat tubuh wanita telanjang, sudah sering aku melihat tubuh telanjang Rania, pacarku. Sudah berkali-kali aku jelajahi tiap jengkal tubuh Rania. Dari ujung kepala, hingga ke
ujung kaki.

Tapi, kali ini berbeda.

Kak Amel memang selalu berbeda, dia selalu punya kemampuan sihir yang sepertinya hanya manjur kepadaku.

Aku terbangun ketika nenek memanggilku untuk makan malam bersama, rupanya aku tertidur, masih lengkap dengan seragam SMA ku. Kali ini aku akan menghadapi Kak Amel, pikirku
dalam batin, semoga saja dia tidak melaporkan hal yang tadi kepada nenek.

‘Iya, Nek. Bentar Ray mandi dulu, tadi ketiduran’

Keluar kamar aku pelan-pelan, berharap tidak bertemu Kak Amel, berusaha menunda-nunda datangnya penghakiman yang cepat atau lambat
pasti datang.

Seusai mandi, akhirnya aku duduk di meja makan, Nenek dan Kak Amel sudah memulai makan malamnya.

Malam itu aku duduk di seberang Kak Amel, berusaha sebisa mungkin
menundukkan kepalaku agar tidak menangkap pandangannya. Baru saja aku duduk, Kak Amel berkata, ‘Ray ayo cepetan, ntar ayamnya keburu abis loh’.

Terang saja aku kaget mendengar
nada bicara Kak Amel yang seperti biasa, tidak ada kemarahan dari suaranya, ‘Apakah aku
bebas malam ini? Apakah dia tidak marah tentang kejadian tadi? Bagaimana kalau dia melapor ke nenek, atau lebih buruk ke kedua orang tuanya?’, ribuan skenario berputar dalam kepalaku.

‘Ray, makan kok nunduk terus, lihat apa kamu di lantai? Ayok yang bener’, sergah nenek mengingatkan perilaku anehku

‘Aaah apa yang terjadi, terjadilah’, begitu pikirku dalam batin, tidak ada lagi yang bisa kuhindari.

Ternyata skenario buruk yang aku pikirkan tidak terjadi, Kak Amel sibuk bercerita tentang kehidupan kampusnya, tentang skripsinya dan tidak berkata satu kata apapun tentang kejadian
tadi.

Walaupun begitu tetap saja aku tidak berani memandangnya langsung, aku takut ia menangkap pandangan mataku lagi.

Tapi aku tahu beberapa kali ia mencuri pandangan ke arahku sembari tersenyum kecil. Setelah makan malam usai aku langsung pamit untuk masuk ke kamar, waktu aku bangkit berdiri dari kursi makan, Kak Amel memanggil namaku,

‘Ray, besok pagi temenin kakak jalan-jalan ya, bosen kan seharian ini sudah di rumah. Lagian besok kan kamu libur, atau uda ada rencana sama pacar nih?’

‘Eng .. gak kok, besok jam berapa?’

‘Hmmm sebangunnya aja deh hehe’

‘Oke, kak’, jawabku singkat menyudahi pembicaraan ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd