Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Part 3



Rindiani

Hampir jam sepuluh malam, akhirnya aku sampai dirumahku, dikota pelajar. Ketika memasuki rumah, aku mendapati Pram tengah mencuci piring dan gelas di dapur.

“Sayang.” sapaku.

“Baru selesai makan?” tanyaku sambil membantunya membilas cucian tersebut.

“Iya bu. Ibu sudah makan?”

“Sudah. Tadi makan malam dulu baru pulang.”

“Nova sehat?”

“Sehat. Sekarang dia sudah bisa ngomong lhooo.”

Pram tersenyum sambil terus melanjutkan mencuci piring dan perabot dapur yang telah ia gunakan untuk memasak.

“Pasti makin lucu, makin menggemaskan.” katanya sambil mengajakku ke kamar tidur setelah selesai membereskan dapur.

“Tadi juga udah makan sendiri, walaupun masih belepotan. Lucu banget.”

Pram kembali tersenyum, pandangan matanya tertuju pada bingkai foto berukuran besar yang terpajang didinding dikamar. Foto Nova yang diambil saat ia masih berusia satu tahun tersebut membuatnya tertegun.

“Bener-bener gak terasa ya bu, tau-tau Nova udah gede.” gumannya.

Aku beralih, berdiri disampingnya dan ikut memandangi foto tersebut.

“Rasanya sedih harus hidup seperti ini, harus terpisah dari anak. Bisa ketemu cuman seminggu sekali.” kataku.

Terdengar, Pram menghela nafas lalu meraih jemariku dan menggengamnya dengan erat.

“Tapi ibu gak punya pilihan lain. Untuk saat ini, keadaannya memang seperti itu.” kata Pram.

“Ibu bener-bener gak menyangka, kalo akhirnya hidup harus seperti sekarang ini. Harus terpisah dari Nova.” gumanku lirih.

“Jangan disesali bu. Yang sudah terjadi, ya sudah, jangan diinget lagi.”

Aku memandangnya sejenak, lalu kembali menatap foto Nova dihadapan kami.

“Itu sebabnya saya selalu meminta ibu untuk semangat. Jangan menyerah. Semua untuk Nova.” sambungnya.

“Pasti.. ibu akan menjalaninya dengan sekuat tenaga, dengan semua kemampuan ibu.” balasku.

Pram beralih, berdiri dibelakangku, lantas mendekapku dengan penuh kelembutan.

“Tapi jangan lupa akan satu hal, ibu juga harus bisa menikmati hidup, membahagiakan diri ibu sendiri.”

Kuusap lengannya yang melingkar didepan dadaku, lalu mengecup pipinya yang bersandar di bahuku.

“Ibu bahagia kok.. ada kamu, ada Nova. Kalian penyemangat ibu.” kataku.

Setelah mengecup pipiku, Pram melepaskan pelukannya, lalu beralih dan duduk di tepian ranjang, sementara aku beranjak kedepan meja rias, melepaskan jilbab yang menutupi kepalaku.

“Kok senyum-senyum gitu sih?” tanyaku, setelah mendapatinya tersenyum melalui pantulan cermin di hadapanku.

“Gapapa kok bu.” jawabnya sambil kembali mendekatiku, berdiri dibelakangku.

“Sekarang ganti pakaiannya, kita istirahat.” sambungnya sambil memegang kedua bahuku.

Pram kembali mengecup kepalaku, sesaat sebelum kembali duduk ditepian ranjang. Ia selalu memandangiku, seolah belum pernah melihatku sebelumnya.

“Kok ngelihatin terus sih? Ada yang aneh sama ibu??” tanyaku.

Pram hanya menggelengkan kepala. “Daripada saya liatin cicak itu, mending lihat ibu kan?” katanya sambil menunjuk beberapa ekor cicak yang ada di dinding kamarku.

“……”

Aku hanya bisa tertawa mendengar jawabannya yang aneh.

“Kirain ngelihatin karena kangen.” gumanku sambil melucuri pakaian yang melekat di tubuh.

“Iya.. kangen.. seharian gak lihat ibu.”

Aku sedang membuka pintu lemari pakaian ketika ia mengatakan hal itu.

“Mau bilang kangen aja kok sulit banget sih sayang?” tanyaku sambil berdiri dihadapannya, diantara kedua pahanya yang terbuka.

Pram segera melingkarkan tangan dipinggangku dan memelukku dengan sangat erat. Dengan lembut, kuusap kepalanya dan merapatkan tubuhku.

Pram menyambutnya dengan beberapa kecupan, tepat diperutku.

“Ibu juga kangen..” gumanku pelan.

Pram melonggarkan pelukannya lantas menengadah, menatapku.

Segera kutundukkan kepala, membungkuk, dan melumat bibirnya dengan penuh rasa. Aku bisa merasakan bahwa Pram benar-benar merindukanku. Ia berkata jujur padaku.

“Bajunya gak usah dipakai lagi..” bisiknya.

Aku hanya mengangguk pelan, lalu melucuti bra dan celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Pram pun melakukan hal yang sama, lalu menuntunku untuk naik keatas ranjang dan berbaring disisinya.

“Tadi ibu nunggu Nova tidur dulu, baru pulang. Kalo dia belum tidur, takutnya nangis.” kataku.

“Iya, gapapa kok bu. Lagian, Nova juga pasti kangen sama ibu.”

“Rasanya, baru kemarin ibu lahirin dia, tau-tau udah gede. Bener-bener gak terasa.”

“Yang penting ibu harus mulai menyiapkan segala sesuatunya dari sekarang. Buat perencanaan untuk masa depannya. Jangan ditunda bu.” Kata Pram sambil meraih selimut dan menutupi tubuh telanjang kami.

Sejenak, mataku menerawang, memandangi langit-langit kamar sambil menghela nafas.

“Kadang, ibu takut kalo sampe ibu sakit atau kenapa-napa. Kasihan Nova.”

“Ibu jangan mikir sampai jauh seperti itu.”

“Yang penting ibu berusaha semaksimal mungkin, jaga kesehatan. Urusan hidup dan mati itu ada ditangan Yang Maha Kuasa.” kata Pram sambil memelukku.

“Iya sih. Cuman ya tetap aja kepikiran. Takut. Kalo sampai hal itu terjadi, sayang mau merawat dan membesarkan Nova?” tanyaku.

Pram tersenyum, lantas mengusap pipiku dengan lembut.

“Gak perlu nunggu ibu gak ada, sekarang aja kalo diminta untuk jadiin Nova anak angkat, saya mau kok bu.”

“Yakin??” tanyaku. Pram mengangguk, lantas beralih, naik keatas tubuhku.

“Yakin bu.” jawabnya singkat, lalu mengecup ujung hidungku.

“Udah. Ibu gak perlu mikir macem-macem. Dijalani aja, biarkan mengalir. Yang penting tetap berusaha dan berdoa.”

Aku mengangguk pelan, lantas memeluknya dengan erat. Kedua kakiku mengunci pinggangnya dan menekannya kebawah, kearah pinggulku.

“Sayang.. itu udah pas.. tinggal dimasukin aja.” gumanku.

“Heh..?? Pas..?? Apanya??” tanyanya heran.

“Kontolnya.. udah pas posisinya. Tinggal dimasukin aja.” bisikku nakal.

Pram tertawa, lalu mencubit kedua belah pipiku. Pinggulnya pun mulai bergerak-gerak, menggesekkan penisnya dengan kemaluanku.

“Ibu pengen..?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk pelan dan menjulurkan satu tanganku kebawah, meraih penisnya, lalu menggengamnya erat.

“Beneran..?” tanyanya lagi.

Sekali lagi aku mengangguk lalu menuntun penisnya kedepan liang vaginaku.

Pram tak menolak ketika aku mulai mengangkat perlahan pinggulku, seolah mengejar penisnya agar segera memasuki liang kenikmatanku.

Tepat saat bagian ujung penisnya telah memasuki liang vaginaku, Pram menarik mundur, mengangkat pinggulnya hingga penisnya pun tercabut dari pangkal pahaku. Ia tersenyum, karena berhasil mengerjaiku.

“Jahaaaaaaattttttt..” protesku sambil mencubit hidungnya dengan gemes.

Pram hanya tertawa dan berusaha melepaskan cubitanku, sementara pinggulnya meronta ingin membebaskan diri, namun aku membalas dengan mempererat kuncian tungkaiku.

Pram benar-benar berhasil mengerjaiku, karena aku telah dilanda birahi dan berharap ia menyetubuhiku.

Hampir tiga menit kami saling tertawa hingga akhirnya Pram mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Satu tangannya membelai lembut pipiku dengan mesra. Perlahan, ia mendekatkan wajah dan akhirnya bibir kami pun bertemu, menyatu dalam sebuah ciuman yang romantis.

Lumatan bibirnya terasa begitu lembut, sangat pelan, memanjakan sekaligus menghanyutkanku dalam kenyamanan.

Sesaat setelah ciuman kami berakhir, Pram kembali beralih, turun dari atas tubuhku. Ia mengajakku untuk bangkit dari tidur.

“Ayooo..” katanya sambil menggengam jemariku.

Aku pun segera mengikuti langkahnya, keluar dari kanar tidur. Entah apa yang ingin ia lakukan, namun aku percaya padanya dan terus berada disampingnya.

Dengan tubuh telanjang, akhirnya kami keluar dari kamarku dan Pram membawaku ke kamar tidur lainnya, yang tak pernah kami gunakan sebelumnya.

“Sayang mau kita tidur disini?” tanyaku saat ia membuka pintu kamar tersebut.

Pram hanya tersenyum, lantas menghidupkan lampu untuk menerangi kamar tersebut.

Mataku terbelalak, terperanjat dengan pemandangan baru yang berada disudut kamar itu.

Sebuah komputer diatas meja kerja, sebuah laptop, dan kursi terpajang rapi.


“Untuk ibu..” gumannya pelan sambil beralih kebelakangku dan menyentuh pundakku.

Aku masih tertegun dengan pemandangan tersebut, karena tak menyangka bahwa Pram, lelakiku akan memberikan barang-barang yang sangat aku butuhkan tersebut.

Ia kembali menggandengku dan mengajakku mendekat kearah meja terdebut.

“Biar kerjaannya lancar dan makin semangat.” katanya.

Aku tak mampu berkata-kata, lantas memeluk erat tubuhnya. Pram pun membalasnya, sambil mengusap rambutku dengan penuh kelembutan.

Aku benar-benar terharu dengan kebaikan dan kepeduliannya padaku hingga meneteskan air mata.

“Ibu suka?” tanyanya sambil berbisik.

Aku hanya bisa menghela nafas dan mempererat pelukanku.

“Kalo ibu gak suka, nanti saya ganti dengan yang lain.” katanya lagi.

“Ibu suka.. ini aja udah lebih dari cukup.” kataku sambil melepaskan pelukan dan menyeka air mata yang menetes melalui sudut mataku.

“Nanti ibu ganti uangnya kalo ibu udah gajian.”

Pram menggelengkan kepala, kedua tangannya memegang pinggangku dengan lembut.

“Nanti kalo ibu udah gajian, ibu harus buat rekening bank lagi, khusus untuk Nova. Semua ini buat ibu, gak perlu diganti. Uangnya disimpan untuk Nova.” katanya lagi, lalu menyeka air mata di pipiku yang kembali mengalir karena rasa haru yang tak tertahankan.

Aku sangat yakin, Pram telah mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli semua barang-barang ini. Ia benar-benar serius dengan ucapannya, dengan niatnya untuk membantuku mempersiapkan masa depan bagi Nova.

Aku tak menyangka dengan semua ini, dengan semua kebaikan dan kepeduliannya terhadapku. Ia menunjukkan tanggung jawabnya, menunjukkan empati, dan simpati yang besar terhadapku dan Nova.

Lantas, apa yang ia peroleh dariku? Tidak ada. Aku tak pernah merasa memberikan sesuatu, atau melakukan kebaikan terhadapnya. Justru sebaliknya, segala sesuatu yang ada padaku, berasal dari dirinya.

Hidupku yang baru terbentuk berkat kehadirannya, berkat campur tangan dan dorongan darinya. Sejujurnya, aku pun tahu bagaimana cara membalas semua kebaikannya. Bahkan, apa yang telah ia lakukan padaku telah sangat lebih dari cukup.

“Yuk.. kita istirahat bu.. udah larut malam.” katanya sambil kembali meraih jemariku.

Aku masih tak percaya dengan semua ini, sehingga aku hanya bisa diam membisu, bahkan ketika kami telah kembali berbaring diranjangku.

“Kenapa harus ibu?” tanyaku, sambil meletakkan satu lengannya dibelakang leherku.

“Maksudnya..??”

“Kenapa kamu memilih ibu?” tanyaku lagi.

“Maksud ibu gimana? Memilih apa?”

Aku beringsut naik keatas tubuhnya, menindihnya dan menopang rubuh bagian atas dengan kedua siku berpijak di sisi kepalanya.

“Kenapa kamu begitu baik dan sangat peduli sama ibu, sama Nova?” tanyaku, sambil menatap matanya.

Pram tersenyum, kedua tapak tangannya diletakkannya dikedua sisi pipiku. Dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

“Saya tidak perlu alasan apapun untuk melakukannya bu. Saya tahu dan sangat yakin, ibu sangat menyayangi Nova, dan saya hanya membantu ibu untuk melakukannya.”

“Kamu sayang Nova?”

Pram mengangguk pelan sambil mengusap pipiku.

“Mengapa? Dia bukan darah dagingmu. Bukan anakmu.”

“Buat saya, sama saja bu. Setiap manusia selalu membutuhkan perhatian, membutuhkan kasih sayang, terutama anak-anak. Sekarang, dia sudah kehilangan ayahnya, karena itu, saya ingin belajar, mencoba memberinya perhatian dan kasih sayang.”

Aku tersenyum, bahagia dan terharu dengan jawabannya. Dan lagi-lagi, Pram membuatku kagum, membuatku tersentuh dengan sikapnya yang dewasa.

Tanpa ia sadari, ia telah membuktikan bahwa apa yang ada diantara jalinan hati kami bukan sekedar kesenangan dan canda tawa, tetapi sekaligus tanggung jawab dan menjadi pemimpin bagiku dan Nova.

Tanpa ia sadari pula, ia telah menjalankan peran sebagai kepala keluarga, sebagai seorang suami.

“Ibu masih gak habis mikir, rasanya seperti mimpi.” gumanku pelan sambil kembali berbaring disisinya dan membenahi selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami.

“Apanya yang mimpi bu?”

“Kamu itu lhooo.. kok baik banget sama ibu. Padahal ibu gak ngasih kamu apapun.”

“Ibu jadi gak enak. Malu.”

Pram, lelakiku, menatap mataku dalam-dalam sambil membenahi rambut yang terserak di kening dan menyisipkannya di telingaku.

“Gak perlu merasa seperti itu bu. Justru saya yang harus berterima kasih sama ibu, karena dari ibu, saya bisa belajar menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dan dari ibu, saya bisa mengenal Nova.”

“Tapi tetap aja gak enak..” balasku.

“Saya mohon, jangan seperti itu, merasa malu terhadap saya, karena apa yang lakukan, apa yang kita lakukan sekarang untuk Nova. Semua ini untuk masa depannya bu.”

Hati wanita manapun akan luluh dan jatuh dalam pelukan lelaki seperti Pram, terutama bagi mereka yang bernasib sama sepertiku.

Ia membuatku terdiam dan tak mampu menolak semua kebaikannya, karena ia menjadikan Nova sebagai alasan utama.

Sedikit banyak, ia ikut memikul beban berat yang harus kutanggung, ikut merasakan kegetiran dan pahit takdir hidupku.

Bukankah itulah esensi dari jalinan hati? Dan Pram melakukannya dengan begitu mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Ia tak pernah menuntut sesuatu, atau meminta apapun dariku.

Dan dalam berbagai hal, ia adalah keberuntungan bagi mereka yang telah mengenalnya.

“Dulu, saya pernah ketemu sama orang asing. Namanya Michelle. Dia wanita karir.”

“Cantik, cerdas, wawasannya luas. Dia pernah nanya ke saya: ‘apa yang kamu cari?’ “

Orang dari negara mana?” tanyaku.

“Belgia.”

“Sampai sekarang, saya belum bisa menjawab pertanyaan itu bu.”

“Sekarang Michelle dimana?”

“Mungkin ada di negaranya, atau mungkin sedang berkelana ke berbagai negara. Dia berkelana untuk menjawab pertanyaan yang sama, yang dia tanyakan ke saya.”

Aku pun termenung dengan pertanyaan yang terdengar sederhana dan mudah tersebut.

Apa yang kamu cari?’

Jika hanya sekedar menjawab berdasarkan kebutuhan, maka ribuan jawaban telah tersedia, sesuai pilihan masing-masing individu.

Namun, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan sederhana, terutama bagi Pram, dan juga mungkin bagi Michelle. Tentu bukanlah materi ataupun bentuk kesenangan apapun yang menjadi jawabannya, sehingga Pram belum bisa menenukan jawaban yang tepat.

“Iya yaaa.. pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya sulit.” gumanku.

Pram mengangguk lalu menoleh ke arahku.

“Kalo asal jawab, gampang aja bu. Tapi kalo pertanyaannya direnungkan terlebih dahulu, jawabannya bakal sulit.”

Aku mengangguk pelan, setuju dengan apa yang ia katakan.

“Udah, gak perlu dipikirin bu..” katanya ketika melihatku termenung sambil menatap langit-langit kamarku.

“Mending sekarang kita tidur..” sambungnya sambil mendekapku.

Kumiringkan tubuh, lalu menatap sambil mengusap pipinya.

“Terima kasih untuk hadiahnya. Terima kasih untuk dorongan semangat dan dukungannya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang telah kamu lakukan untuk ibu dan Nova.” gumanku.

Pram hanya tersenyum, lantas mendekatkan wajahnya sambil balas mengusap lembut pipiku. Dan akhirnya, bibir kami pun kembali menyatu dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh rasa.

Aku sadar, semua yang terjadi padaku akan berakhir saat Pram lulus kuliah dan melanjutkan perjalanan hidupnya. Atau mungkin saja, keberuntunganku akan terus berlanjut, dengan tetap hadirnya Pram disisiku, walaupun hal tersebut sangatlah tidak mungkin.

Ia akan pergi, berkelana, untuk memulai perjuangan hidup yang sesungguhnya, sekaligus untuk berusaha mencari jawaban dari pertanyaan ‘Apa yang kamu cari’.

Selama aku dekat dan mengenalnya lebih dalam, Sedikit banyak, aku mulai belajar untuk memandang kehidupan melalui matanya, walaupun terasa sangat sulit dan membosankan.

Ditengah putaran roda waktu yang bergerak cepat, Pram tampak seperti sedang berjalan pelan, menikmati jalan hidupnya dengan kesederhanaan.

Dan sebagai seorang wanita dewasa yang tengah dalam proses menuju perceraian, kesendirianku lenyap berkat kehadirannya. Jika ia sedang belajar untuk menjadi pria dewasa melalui jalinan kedekatan kami, maka, aku pun sedang belajar bagaimana cara menjalani kehidupan seperti yang ia lakukan.

Tidaklah mudah bagiku untuk mengerti dan memahami keunikan yang kutemukan dalam dirinya. Mungkin, bukan hanya aku saja yang mengalaminya, tetapi bagi mereka yang telah mengenalnya pun merasakan hal yang sama.

Ditengah hiruk pikuk kehidupan kota yang gemerlap, godaan kenikmatan duniawi tak pernah berhenti menyapa. Deretan kafe, diskotik, mall dengan bergam tawaran materi yang memanjakan mata, dan semua itu hanya terlewatkan begitu saja olehnya.

Saat lelaki muda lainnya menenggelamkan diri mereka dalam kesenangan dan hura-hura, Pram justru memilih menjalani kehidupannya dengan tenang. Yang paling membuatku terkagum-kagum adalah kekuatan mental dan kedewasaannya dalam menghadapi godaan kenikmatan seks yang datang.

Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum dan melewatkannya begitu saja.


Hampir lewat tengah malam, aku masih belum memejamkan mata, sementara Pram, lelakiku, telah terhanyut dalam mimpi indah.

Pikiranku masih berkelana, melayang jauh, menembus dimensi waktu. Ingatan tentang masa mudaku, tentang perkenalakanku dengan suamiku, pernikahanku, hingga akhirnya aku bertemu dengan Pram, diatas puing-puing kehancuran rumah tanggaku.

Terasa seperti mimpi, mimpi yang sangat aneh, dimana air mata kesedihan berganti canda tawa dan rona kebahagiaan sempurna untukku.

Aku tahu, Pram menyayangiku, menyayangi putri kecilku, Nova, dan ia telah membuktikannya. Dalam hangat dekapannya, kupandangi wajahnya yang tampak tenang dan nyaman terlelap.

Apakah ada beban di hatinya? Atau ada kebimbangan disana? Aku tak pernah mengetahuinya karena ia selalu menunjukkan ketenangan dalam kesehariannya, seolah segala sesuatunya berjalan baik. Pram adalah keajaiban, keberuntunganku.

Sebelum memejamkan mata, kusempatkan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta, karena memberiku keindahan dalam jalan takdir.

Kukecup lembut permukaan bibirnya, sebelum akhirnya memejamkan mata dalam damai, dalam hangat pelukannya.

= = =

Hampir pukul lima pagi aku terjaga dari tidur dan tak menemukan Pram disampingku. Buru-buru aku menggosok gigi dan melangkah ke dapur.

Pram lelakiku tengah duduk di meja makan, dengan sarapan yang telah tersaji dan laptop dihadapannya.

“Sayang bangun jam berapa??” tanyaku heran.

“Jam setengah empat bu..” jawabnya sambil menggeser segelas kopi ke arahku.

Sejenak kupandangi layar laptopnya sambil menyeruput kopi buatannya.

“Ngerjain Skripsi?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan sambil menarik pinggangku untuk berdiri didekatnya, disamping kursi yang ia duduki.

“Ini ada typo.” kataku sembari meletakkan gelas kopi lalu menunjukkan sebuah kata yang salah penulisannya.

Bukannya melihat layar laptop, Pram justru memandangi payudaraku yang sedikit tersingkap dibalik kimo handuk yang kukenakan.

Tentu saja tingkahnya membuatku tertawa, apalagi ia dengan santainya semakin membuka lebar kimonoku di bagian dada, sehingga membuat seluruh bagian payudaraku terlihat jelas.

“Nanti aja dibenerin typonya.” katanya sambil meremas lembut payudaraku.

“Ini skripsi lhooo.. penting banget sayang..”

“Iyaaaa.. tapi nanti aja.. ini juga penting kok.” balasnya sambil menuntun tubuhku untuk duduk diatas pangkuannya.

Pram segera melingkarkan tangan dipinggangku, sementara aku melingkarkan tangan di lehernya. Ikatan tali kimono handuk yang melingkar di pinggangku pun terlepas dengan sendirinya, sehingga menampakkan tubuh telanjangku yang tak tertutupi oleh pakaian dalam.

“Kalo sayang capek, biar ibu yang edit skripsinya, benerin typonya.”

Pram hanya menggelengkan kepala, lantas memelukku dengan sangat erat. Tentu saja aku balas memeluknya dengan segenap rasa.

Dalam keheningan pagi, tubuh kami menyatu dalam kehangatan, tanpa ada satu kata pun yang terucap.

Darinya, aku belajar bagaimana menikmati hidup, menikmati momen kebersamaan kami tanpa harus dicemari oleh nafsu birahi.

Sangatlah sulit bagiku, namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai mengikuti arus pemikirannya, mengikuti irama dan ritme dalam kedekatan kami.

Sentuhan-sentuhan lembut di tubuhku, seperti yang ia lakukan beberapa saat yang lalu, berhasil memantik gelora nafsuku, namun aku tahu, ia tak bermaksud untuk menggodaku agar kami bersetubuh, namun hanya sekedar sentuhan biasa, sebagai ungkapan rasa di hatinya.

Di masa lalu, saat masih menjalani rumah tangga, belum pernah sekalipun aku mengalami hal seperti ini. Hal-hal kecil, romantisme dalam kesederhanaan seperti inilah yang semakin merekatkan hati kami.

Aku merasa jauh terikat lebih kuat pada Pram, dibandingkan pada suamiku sendiri, bahkan ketika aku belum mengetahui perselingkuhannya.

Lantas, apa yang mendasari perasaan yang semakin kuat ini?

Terlepas dari fakta bahwa Pram adalah seorang pemuda yang berasal dari keluarga berada, aku merasa jauh lebih nyaman, dan merasa menjadi perempuan yang istimewa.

Ketika sebagian besar lelaki seusianya memilih untuk berburu kenikmatan duniawi, Pram justru melawan arus. Ia hanya memfokuskan perhatiannya padaku.

Godaan dan tawaran kenikmatan dariku pun terkadang dilewatkannya begitu saja.

Dalam bahasa sederhana, Nina telah mengisyaratkan ajakan unruk melakukan salah satu fantasi seks yang panas dan cukup menegangkan, namun, lagi-lagi lelakiku hanya melewatkannya begitu saja.

Pram adalah tipe lelaki yang hanya ingin menjalin hubungan cinta eksklusif, dimana aku adalah satu-satunya perempuan yang bersemayam di hatinya, dan begitu pula sebaliknya.

Sama halnya denganku, menginginkan dia adala milikku seorang. Namun, pengalaman pahit kehilangan suami akibat perselingkuhan, sedikit banyak memberiku pelajaran bahwa godaan kenikmatan yang selalu datang dapat meluluhkan keteguhan hati seorang pria.

Itulah salah satu alasan, mengapa aku membebaskan Pram untuk bercinta dengan wanita lain, terutama Nina, namun harus dengan sepengetahuanku.

Aku tak ingin mengekang kebebasannya, namun tak ingin pula kehilangannya, walaupun sebenarnya hubungan kami tanpa didasari oleh komitmen apapun.

Namun, Pram tetaplah Pram. Tawaran itu akhirnya terlewatkan begitu saja. Berdasarkan cerita Nina, dan pengakuannya sendiri, bagiku, ia seolah telah ditempa oleh realita dan menjadi semakin matang dan kuat karenanya.

Namun, apakah keteguhan hatinya akan terus bertahan, atau, apakah Pram akan jatuh dalam godaan tersebut?


♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
Senantiasa mantappp selalu sistaaa
 
Part 4



Rindiani


Hampir satu jam lamanya aku tertidur pulas diatas pangkuan lelakiku, dalam dekapannya yang hangat.

“Bu, berat..” guman Pram sambil menepuk pelan punggungku.

Dengan pandangan sayu, kuperhatikan jam di dinding. Hampir jam lima subuh.

Kulihat wajahnya sekilas, lantas kembali memeluknya dan merebahkan kepala dipundaknya.

“Bukan cuman Nova yang manja, minta digendong kalo bobo. Ternyata ibu juga sama.” gumannya.

Aku tertawa sambil mencubit pinggangnya hingga ia meringis.

“Habisnya enak banget dipeluk, pas lagi dingin gini.” balasku sambil mempererat pelukan.

“kita sarapan dulu, habis itu mandi. Udah hampir jam lima lho bu.”

Rasa-rasanya, aku masih ingin memejamkan mata, masih ingin terlelap dalam dekapannya.

Tubuhku terasa sedikit lelah karena menempuh perjalanan jauh, kemarin. Akhirnya, aku pun mengikuti sarannya, dan kembali menyeruput kopi yang sudah dingin. Pram pun melakukan hal yang sama, dan sedikit mengalami kesulitan karena aku masih berada di pangkuannya, dengan duduk menyamping dan satu tangan melingkar di pundaknya.

“Kayaknya kalo tiap pagi ibu sarapannya kayak gini, bakalan asik deh.” kataku.

“Minum kopi??”

“Iya.. tapi dipangku sayang kayak sekarang ini.”

“……”

Aku hanya tertawa melihat ekspresi wajah Pram yang keheranan dengan ideku.

“Makin lama, ibu makin manja.” gumannya.

“Soalnya ibu gak pernah ngerasain dimanjain kayak gini.”

“Semalaman tidurnya dipeluk, bangun pagi sarapan udah siap.. sarapannya bareng sayang, sambil dipeluk, sambil di pangku..hhmmmm.. rasanya itu asik banget. Enak.” sambungku.

Pram menatapku dalam-dalam sambil memegang lembut pipiku dengan satu tangannya.

“Saya senang, ibu bisa menikmati kebersamaan kita.”

“Iyaaa.. ibu bener-bener menikmati kok. Kamu tau?? Ibu ngerasa jadi ratu lhooo.. karena kamu itu manjain ibu banget. Semua yang ibu mau, kamu turutin, bener-bener ngerasa kayak ratu.”

“Saya ngerasa biasa aja sih bu. Buatin sarapan, nganterin ibu kerja, masak, manjain ibu kayak ini, kayaknya sih gak ada yang istimewa.”

“Kalo kamu selalu bersikap begini, siapapun perempuan yang nanti jadi istrimu, pasti bakal bahagia seumur hidupnya.” balasku.

“Sebenernya sih, ibu juga udah melakukan hal yang sama. Masak buat saya, nyuci, buatin sarapan.. jadi ya kita sama-sama saling mengerti dan berbagi tugas.”

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Bukan.. bukan kayak gitu. Tugas ibu sebagai perempuan, sebagai ibu rumah tangga, memang seperti itu. Itu semua tanggung jawab ibu. Beda dengan kamu. Memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, buat sarapan, memasak, itu semua bagian dari tugas dan tanggung jawab ibu.”

“Enggak.. gak boleh seperti itu bu. Saling pengertian dan saling berbagi tugas dalam rumah itu penting. Pekerjaan dapur dan sebagainya itu gak mutlak jadi tanggung jawab ibu. Ibu kan kerja, pasti capek, jadi ya seharusnya saya membantu sebisa mungkin.” bantahnya.

“Nah, itu yang ibu maksudkan. Saling pengertian.” kataku, lalu menyeruput kembali kopiku.

“kamu bener-bener mendukung ibu, membantu ibu. Yang kamu lakukan itu bener-bener meringankan beban tanggung jawab ibu lhooo.” sambungku.

“Saya senang kalo ngelihat ibu tersenyum, ceria, menikmati hidup. Karena memang sudah seharusnya seperti itu. Saya hanya berusaha untuk mewujudkan hal itu.”

“Dan kamu berhasil. Sangat berhasil.” balasku cepat.

Semua yang ia lakukan telah membuatku semakin jatuh hati dan terikat. Setiap sentuhannya, setiap perlakuannya, membuatku merasa nyaman dan bahagia.

Dan setiap detik yang berlalu, setiap harinya, semakin menyadarkanku bahwa Pram adalah lelaki yang memiliki karakteristik sempurna, jika dilihat dari sudut pandangku sebagai perempuan.

Layaknya sepasang suami istri yang baru menikah, kami belajar dengan cepat untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain, saling mendukung dan memberi semangat.

Hubungan seks yang kami lakukan hanyalah sebagian kecil dari unsur-unsur yang berfungsi sebagai pengikat.

“Mandi yuk.” kataku, setelah melihat jam di dinding menunjukkan hampir pukul setengah enam pagi.

Kusempatkan untuk menyeruput sedikit bagian kopiku sebelum beranjak dari pangkuan lelakiku.

“Hhhiiihhhhhh.. mulai nakal lagiiiii.”

Protesku ketika ia memilin kedua putingku saat aku menyeruput minumanku.

Pram tertawa, laku mengecup pipiku.

“Kayaknya ibu kecapekan, tadi sempet tidur lagi didapur.” katanya saat kami melangkah ke kamar mandi.

“Iya.. dikit. Tapi gapapa kok.” balasku, sambil membantunya melucuti pakaiannya.

Sambil mengusap tubuhku dengan sabun, Pram pun memijet punggng, lengan dan pahaku. Sentuhan-sentuhannya membuat otot-ototku sedikit rileks sekaligus terangsang.

Licin permukaan kulitku, saat sentuhan jemarinya memanjakan sekitar pahaku, terutama paha bagian atas, membuaiku, membuatku terlena, apalagi, berkali-kali, secara tak sengaja ujung jemarinya menyentuh kemaluanku.

“Enak banget..” gumanku pelan sembari menghela nafas.

“Nanti malam saya pijetin lagi bu..”

“Iya, ibu mau kok, enak banget..”

Sambil tersenyum, aku memandangi wajah lelakiku, merapatkan tubuhku dengannya dan melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Sayang gak pengen pijetin yang lain?”

Sejenak, Pram nampak bingung dengan pertanyaanku, namun dengan segera memahaminya saat aku menuntun satu tangannya ke bagian pangkal pahaku.

Pram tertawa sambil mempermainkan jemarinya disana, mengusapnya dan menenggelamkan jemarinya diantara bibir kemaluanku.

“Nah.. gitu dong..” kataku lagi, lalu tersenyum.

“Tapi nanti bisa telat ke kantor lho bu.” balasnya lalu menjauhkan tangannya dari pangkal pahaku.

“Bentar aja kok..”

Pram hanya menghela nafas, lantas melanjutkan mengusap tubuhku dengan sabun.

= = =

“Hari ini sayang ke kampus?” tanyaku sambil merias wajah didepan meja riasku.

“Iya bu, cuman bentar aja, ke perpus aja.”

“Mau anterin ibu?”

Pram mengangguk, dan dari pantulan cermin di hadapanku, aku bisa melihat ia melangkah mendekatiku dengan tubuh telanjangnya.

“Nanti saya anter bu, sorenya saya jemput.” katanya, lalu mengecup kepalaku.

Kutumpangkan kedua tapak tanganku diatas punggung tangannya yang memegang kedua belah pundakku.

Ada rasa haru yang menggelayut dalam batinku, mengingat semua kebaikan yang telah ia lakukan untukku. Apakah Pram melakukan semua ini hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan dariku? Tentu saja dengan penuh keyakinan, aku akan menjawab ‘tidak’.

Dibandingan dengan Nina yang cantik jelita dan dan dari keluarga berada, sudah pasti, aku akan kalah bersaing. Dewi, Rita, dan entah siapa lagi, sudah tentu jauh lebih menarik jika dibandingkan denganku.

Dengan status sebagai ibu rumah tangga, maka untuk lelaki seperti Pram, sudah sewajarnya ia akan memilih satu diantara nama-nama tersebut.

Namun, sepertinya keberuntunganku belum berakhir. Pram justru memilih menjalin kedekatan denganku.

Hanya tinggal menunggu waktu saja, sebelum akhirnya aku akan menyandang status janda, dan setelah itu, apakah Pram akan tetap setia menemaniku melewati hari-hari kelam tersebut?

Hati kecilku berkata ‘ya’, ia akan selalu setia disampingku. Namun aku tak mungkin menggantungkan harapan hatiku sepenuhnya pada Pram, karena pada dasarnya hati dan jiwanya masih bebas, masih bisa memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Sejauh ini, garis takdir masih mempertemukan kami, menyatukan langkah kami, sehingga aku semakin kuat dan bersemangat dalam menjalani hari.

“Sudah siap untuk berangkat?” tanya Pram saat kami berada di dapur.

Aku mengangguk pelan, menegguk tetes kopi terakhirku.

“Hari senin, awal pekan. Ibu harus tetap semangat..”

“Iyaaa.. sayang juga, harus semangat.” balasku sambil memegang jemarinya.

Pram melingkarkan satu tangannya di pinggangku, sementara satu tangannya yang lain mengusap pipiku dengan lembut. Perlahan, ia mendekatkan wajah, lantas mengecup keningku. Sungguh, awal hari yang indah bagiku.

= = =

Hampir jam delapan pagi, aku telah berada di ruangan kerja, sementara Pram melanjutkan perjalanan menuju ke kampus.

Baru saja aku menghidupkan laptop pemberian lelakiku, dan tampilan layar utamanya kembali membuatku tersenyum.

Disana, gambar putri kecilku, Nova Andria tersenyum manis. Aku ingat, foto ini diambil saat ia berusia satu tahun. Di bagian bawah foto tersebut, sebuah tulisan berwarna putih ikut menghiasinya. ‘I’m happy’.

Senyumanku pun berakhir ketika terdengar suara ketukan dari arah pintu, dan ketika aku mempersilahkan memasuki ruanganku, Bayu berdiri disana dengan dua buah gelas ditangannya.

“kopi?” tanyanya, sambil sedikit mengangkat gelas di tangan kanannya sambil berdiri didepan pintu

Aku hanya mengangguk, dan mempersilahkannya memasuki ruanganku.

Diletakkannya kopi itu diatas meja, sementara ia menyerahkan segelas yang lain padaku.

“Ada satu hal yang masih sedikit menggangu saya.” katanya sambil meletakkan minuman di mejaku.

“Apa itu?”

“Saya masih menunggu gebrakan dari bu Rindi, tentang bagaimana cara meningkatkan omset hotel.”

“Jujur saja ya mas Bayu. Saya gak punya pengalaman kerja sedikitpun dan saya belum menemukan satupun cara untuk hal itu.”

“Kita sedang berkejaran dengan waktu, karena telah berada di penghujung tahun. Sebaiknya kita mulai memikirkannya dan menjalankan planing tersebut mulai awal tahun.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengamini perkataan Bayu. Inilah kesempatan bagiku untuk membuktikan diri, untuk membayar kepercayaan yang diberikan padaku.

“Saya yakin, bos kita, ibu Carrina tidak hanya asal memilih bu Rindi untuk mengisi posisi ini. Saya yakin, ada pertimbangan khusus, ada insting yang membuatnya memilih bu Rindi.”

“Nanti ibu bicarakan lagi dengan mbak Dinda. Lebih cepat, lebih baik.” kata Bayu lagi.

“Dinda bagian dapur?” tanyaku heran.

Bayu tertawa lalu menyeruput kopinya.

“Bagian dapur itu namanya Dinda Kumala. Bagian pemasaran itu namanya Melinda, biasa dipanggil Dinda juga.”

Aku hanya bisa tertawa pelan menanggapi kekonyolanku.

“Okey, saya pamit bu, mau melanjutkan kerja.”

Aku mengangguk pelan, dan mempersilahkannya pergi.

“Makasih mas Bayu.” kataku saat ia telah berada dipintu dan hendak melangkah pergi.

Tugasku kini adalah.mencari segmen pasar potensial, atau melakukan Promo dan diskon untuk menarik konsumen.

Benar-benar memusingkanku. Kubuka laci meja kerjaku dan kembali menghanyutkan diri dengan membaca buku ilmu pemasaran yang dibelikan oleh Pram.

Semangat..’ gumanku dalam hati sambil menghembuskan nafas sebelum akhirnya mulai membaca, mempelajari isi buku tersebut.

Hampir tiga jam lamanya aku larut dalam keheningan, menenggelamkan pikiranku kedalam buku tersebut, berusaha memahami dan menyerap ilmunya.

Pikiranku benar-benar buntu, tak ada bayangan sedikitpun untuk memecahkan persoalan ini. Aku bahkan tak memiliki teman, atau seorang yang aku kenal, yang berhubungan dengan dunia marketing yang bisa menjadi teman berdiskusi atau sekedar berbincang.

Kusandarkan punggung dibelakang kursi sambil meregangkan lengan. Kepalaku menengadah sambil menutup mata, mencoba untuk menenangkan pikiran, walaupun hanya sekejap.

Dan saat membuka mata, pandangan pertamaku jatuh pada wallpaper laptop dihadapanku. Nova Andria yang sedang tersenyum.

Segera kusentuh permukaan layar laptop tersebut, sekedar untuk mengurangi rasa rindu pada putri kecilku.

Waktu hampir menunjukkan pukul setengah duabelas siang ketika aku meninggalkan ruang kerjaku.

Aku ingin mengajak Dinda, kepala bagian marketing untuk makan siang bersama, sekaligus berdiskusi tentang rencanaku untuk menaikkan omset hotel.

Sesampainya di ruangan kerja Dinda, aku mendapatinya tengah sibuk membuka tumpukan file-file yang terletak di sisi kanan ruang tersebut.

“Siang Dinda..” sapaku ramah.

“Siang bu.. mari silahkan masuk.” katanya seraya meninggalkan tumpukan file tersebut dan menyambutku.

“Lagi sibuk?”

“Enggak juga bu, cuman mau merapikan file-file itu aja bu.”

“Kita makan siang sekalian ngobrol-ngobrol, bisa?” tanyaku.

“Bisa.. tunggu sebentar ya bu.”

Ia segera mematikan komputer dimeja kerja lalu mengikuti langkahku menuju ke rooftop.

Suasana cukup sepi karena hanya ada beberapa pengunjung disana, dan beberapa tamu hotel yang kebetulan tengah menikmati makan siang dengan pemandangan kota pelajar dibawahnya.

“Mau makan apa?” tanyaku.

“Apa aja bu.. saya ngikut.”

“Gudeg..?”

“Boleh.”

Seorang pelayan wanita segera menghampiri kami, ketika aku telah menutup lembaran daftar menu.

“Mbak, gudeg dua, es lemon tea dua.” kataku.

Segera setelah si pelayan meninggalkan kami, aku pun memfokuskan pikiranku pada Dinda, wanita muda yang kini menjadi rekan kerjaku.

“Gimana, kerjaannya lancar?” tanyaku.

Dinda mengangguk sambil tersenyum.

“Lancar bu, sejauh ini baik-baik aja.”

“Ada ide untuk mencari segmen pasar baru. Sekedar wacana aja sih Din, untuk meningkatkan omset hotel.” kataku.

“Saya kerja disini baru empat bulan bu, dan saya sudah melihat hampir semua file laporan marketing selama beberapa waktu belakangan. Dan saya akui, orang yang saya gantikan telah melakukan semua upaya untuk hal itu.”

“Oohhhh.. Dinda baru empat bulan kerja disini? Saya kira sudah lama.”

“Iya bu, belum lama kok.”

Tak berapa lama kemudian, nasi gudeg pesanan kami pun tiba, dan untuk sejenak, kami menikmati sajian khas kota pelajar tersebut, melupakan sejenak beban pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kami.

Semilir angin dan langit teduh kota pelajar menambah kenyamanan suasana rooftop, dan seiring waktu berputar, beberapa tamu hotel pun mulai berdatangan, sekedar bersantai dengan ditemani oleh aneka minuman dan makanan ringan yang tersedia.

Kami tengah bersantai sambil menikmati pemandangan kota pelajar ketika Dinda, kepala bagian dapur menghampiri.

“Wah.. duo dinda bertemu..” kataku sambil memandangi kedua perempuan dihadapanku.

“Kok nama panggilan kalian bisa sama?” tanyaku, sekedar berbasa basi.

“Kalo saya biasa dipanggil ‘Nda’. “Kalo mbak Dinda ini, biasa dipanggil ‘Din’. Tapi bukan Udin lhoo..” sambung Dinda dari bagian dapur, yang nama sebenarnya adalah Melinda.

Untuk pertama kalinya, aku bisa meluangkan waktu sejenak bersama kedua perempuan ini dan melihat semangat semangat kerja yang mereka tunjukkan membuatku semakin kagum dan bangga bisa bekerja ditempat ini.

“Jadi gini Nda, kita lagi ngobrolin tentang target, rencana kita untuk tahun depan. Mungkin kamu sudah tahu, kalo selama ini, omset hotel kita cenderung stagnan. Nah, kita lagi mikirin, gimana caranya meningkatkan omset tersebut.”

“Kamu ada ide?” tanyaku.

“Sebenernya sih ada bu, tapi saya ragu untuk mencobanya.”

“Lhoooo.. kenapa ragu?? Ayoooo.. coba kita diskusikan.”

Sejenak, ia menatapku dengan keraguan, namun akhirnya keraguan itu pun perlahan luntur ketika aku menganggukan kepala.

“Coba lihat daftar menu ini?” katanya sambil menyerahkan lembaran daftar menu padaku.”

Hampir lima menit aku melihat isi lembaran tersebut, kemudian kembali meletakkannya diatas meja.

“Okey.. ada yang salah atau kurang dari menu-menu yang kita sediakan disini? Atau harganya terlalu mahal? Atau ada hal lain yang kurang?”

“Ada yang kurang.. disini gak ada sambel terasi.” sahut Dinda dari bagian marketing sambil melihat deretan daftar menu tersebut.

Tentu saja aku tertawa geli mendengar celotehnya. Tentu bukan sesuatu yang wajar jika menu tersebut disajikan di hotel berbintang seperti ini.

“Betul.. atau dengan kata lain, belum ada menu tradisional khas negara kita. Yang ada hanyalah Gudeg. Itu saja.” jawab Dinda, kepala bagian dapur.

Aku terdiam sejenak, dan kembali memperhatikan isi daftar menu tersebut.

“Boleh juga. Coba teruskan.” kataku sambil kembali meletakkan daftar menu tersebut.

“Jadi, saya punya ide untuk menambah menu masakan tradisional khas nusantara.” katanya.

“Termasuk sambel terasi.” sambungnya sambil menatap Dinda dari bagian marketing.

“Teruskan,..” kataku lagi.

“Mungkin gak perlu menjadi menu reguler, tetapi hanya beberapa hari dalam seminggu. Kita bisa atur jadwalnya. Mungkin hari ini menu khas dari daerah A, besok dari daerah B, dan seterusnya.”

“Saya setuju dengan ide ini. Ide kreatif. Dan memang rada aneh juga sih kalo ada menu sambel terasi atau sambel teri di hotel seperti ini. Tapi layak untuk dicoba.” kata Dinda dari bagian pemasaran.

“Okey.. saya setuju, dan memang patut untuk dicoba.” kataku.

“Kalian koordinasikan segala sesuatunya, kalo semuanya sudah fix, sudah siap, silahkan di promosikan.” sambungku.

Duo Dinda dihadapanku mengangguk bersamaan.

“Kenapa gak ngomong dari kemarin-kemarin sih?” tanya Dinda.

“Ragu.. takut aja sih mbak, soalnya idenya aneh gitu. Gak elit banget ada sambel terasi di hotel berbintang.”

“Kita perlu ide-ide gila, ide kreatif, dan keberanian untuk bersaing dengan lainnya.” jawabku.

“Lain kali, kalo ada ide, atau apa gitu, ngomong dong, biar kita diskusikan.” sahut Dinda.

Tak berapa lama berselang, Bayu dan Resti pun muncul disana, ikut bergabung bersama kami.

“Empat Srikandi telah berkumpul.” kata Bayu sambil meraih kursi dan duduk disamping Melinda.

“Lagi ada rapat atau gimana? Kok pada ngumpul disini?” tanya Resti.

“Enggak sih, cuman sekedar ngobrol-ngobrol aja.”

Melinda pun menjelaskan tentang ide yang telah kami bahas, bahkan jauh lebih detail dan lengkap.

Setelah mendengarkan penuturan Melinda, Bayu dan Resti pun tampak setuju dengan usulan tersebut.

“Tamu kita memang di dominasi oleh pelancong domestik, dan saya kira, ide ini akan berhasil.” kata Bayu.

“Saya lahir di desa, familiar banget dengan makanan-makanan sederhana, makanan tradisional. Kadang, rasanya kangen dengan menu-menu tersebut.” kata Melinda kemudian.

“Bener lho.. ini bukan tentang gengsi atau rasa kenyangnya. Tapi tentang kepuasan aja, tentang nostalgia dengan cita rasa masakan tradisional.” kata Dinda.

“Nah, kira-kira, ada ide lain lagi yang bisa dibagikan?” tanyaku.

Semua nampak memikirkannya untuk sejenak, hingga akhirnya, satu persatu mulai menggelengkan kepala.

“Okey, sekiranya ada usulan, atau ide, bisa dibicarakan bersama-sama, seperti sekarang ini. Jangan ragu, jangan sungkan untuk berbicara, saling berbagi. Saya masih baru disini, jadi saya minta dukungan dan kerja sama dari kalian.” kataku.

“Kayaknya kita harus sering-sering ngumpul kayak gini, ngobrol-ngobrol.” kata Resti.

“Bolehhhhh.. dan gak harus saat jam kerja aja.” balasku.

“Kayaknya kapan-kapan kita bisa hangout bareng, makan bareng, atau ngopi bareng, biar makin kompak.” kata Dinda.

“Khusus cewek aja, atau saya boleh ikutan?” tanya Bayu.

“Ya boleh lah pak, biar bisa makin akrab, makin enak kerjasama dalam tim.” jawab Dinda.

“Yang penting istrinya gak cemburu aja lho pak, soalnya kita kan cewek semua.” sambung Resti.

Bayu hanya tertawa, begitu juga kami.

Setelah membahas usulan dari bagian dapur tersebut, praktis tak ada lagi hal-hal penting yang kami bahas, hanya sekedar berbincang-bincang ringan seputar kehidupan diluar dunia pekerjaan.

Mungkin, inilah kenyataan dunia kerja yang sebenarnya, dan dalam pandanganku, tidaklah terlalu berat, apalagi dibantu oleh insan-insan muda yang enerjik dan kreatif.

Sekali lagi, aku cukup beruntung diterima bekerja ditempat ini. Lingkungan kerja yang nyaman dan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja membuat segala sesuatunya tampak semakin mudah.

Sepanjang sisa hari, aku hanya menghabiskan waktu dengan kembali mempelajari tumpukan file laporan dari bagian pemasaran, sekedar mencari gambaran dan celah lain untuk dijadikan jalan meningkatkan omset hotel.

Pukul lima lewat sepuluh menit, kutinggalkan ruang kerjaku dengan perasaan lega, karrna sepanjang hari ini telah kulalui dengan sangat baik, setelah ada sedikit celah sebagai jalan keluar untuk ambisi meningkatkan omset hotel.

Saat melangkah keluar dari pintu lobi, dari kejauhan, aku melihat pemandangan yang cukup membahagiakanku, sangat menyenangkan hingga membuat hari ini terasa semakin sempurna.

Sebuah hadiah yang cukup membuat hatiku berbunga-bunga ditengah sore nan mendung.

Senyum kedua insan yang sangat berarti dalam hidupku menyambutku, mengiringi langkahku dalam menutup lembaran hari.

Inilah kejutan lain darinya, dan sekali lagi, ia berhasil membuatku terpesona.


♡♡♡Bersambung♡♡♡

Seri 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
 
Part 4



Rindiani


Hampir satu jam lamanya aku tertidur pulas diatas pangkuan lelakiku, dalam dekapannya yang hangat.

“Bu, berat..” guman Pram sambil menepuk pelan punggungku.

Dengan pandangan sayu, kuperhatikan jam di dinding. Hampir jam lima subuh.

Kulihat wajahnya sekilas, lantas kembali memeluknya dan merebahkan kepala dipundaknya.

“Bukan cuman Nova yang manja, minta digendong kalo bobo. Ternyata ibu juga sama.” gumannya.

Aku tertawa sambil mencubit pinggangnya hingga ia meringis.

“Habisnya enak banget dipeluk, pas lagi dingin gini.” balasku sambil mempererat pelukan.

“kita sarapan dulu, habis itu mandi. Udah hampir jam lima lho bu.”

Rasa-rasanya, aku masih ingin memejamkan mata, masih ingin terlelap dalam dekapannya.

Tubuhku terasa sedikit lelah karena menempuh perjalanan jauh, kemarin. Akhirnya, aku pun mengikuti sarannya, dan kembali menyeruput kopi yang sudah dingin. Pram pun melakukan hal yang sama, dan sedikit mengalami kesulitan karena aku masih berada di pangkuannya, dengan duduk menyamping dan satu tangan melingkar di pundaknya.

“Kayaknya kalo tiap pagi ibu sarapannya kayak gini, bakalan asik deh.” kataku.

“Minum kopi??”

“Iya.. tapi dipangku sayang kayak sekarang ini.”

“……”

Aku hanya tertawa melihat ekspresi wajah Pram yang keheranan dengan ideku.

“Makin lama, ibu makin manja.” gumannya.

“Soalnya ibu gak pernah ngerasain dimanjain kayak gini.”

“Semalaman tidurnya dipeluk, bangun pagi sarapan udah siap.. sarapannya bareng sayang, sambil dipeluk, sambil di pangku..hhmmmm.. rasanya itu asik banget. Enak.” sambungku.

Pram menatapku dalam-dalam sambil memegang lembut pipiku dengan satu tangannya.

“Saya senang, ibu bisa menikmati kebersamaan kita.”

“Iyaaa.. ibu bener-bener menikmati kok. Kamu tau?? Ibu ngerasa jadi ratu lhooo.. karena kamu itu manjain ibu banget. Semua yang ibu mau, kamu turutin, bener-bener ngerasa kayak ratu.”

“Saya ngerasa biasa aja sih bu. Buatin sarapan, nganterin ibu kerja, masak, manjain ibu kayak ini, kayaknya sih gak ada yang istimewa.”

“Kalo kamu selalu bersikap begini, siapapun perempuan yang nanti jadi istrimu, pasti bakal bahagia seumur hidupnya.” balasku.

“Sebenernya sih, ibu juga udah melakukan hal yang sama. Masak buat saya, nyuci, buatin sarapan.. jadi ya kita sama-sama saling mengerti dan berbagi tugas.”

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Bukan.. bukan kayak gitu. Tugas ibu sebagai perempuan, sebagai ibu rumah tangga, memang seperti itu. Itu semua tanggung jawab ibu. Beda dengan kamu. Memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, buat sarapan, memasak, itu semua bagian dari tugas dan tanggung jawab ibu.”

“Enggak.. gak boleh seperti itu bu. Saling pengertian dan saling berbagi tugas dalam rumah itu penting. Pekerjaan dapur dan sebagainya itu gak mutlak jadi tanggung jawab ibu. Ibu kan kerja, pasti capek, jadi ya seharusnya saya membantu sebisa mungkin.” bantahnya.

“Nah, itu yang ibu maksudkan. Saling pengertian.” kataku, lalu menyeruput kembali kopiku.

“kamu bener-bener mendukung ibu, membantu ibu. Yang kamu lakukan itu bener-bener meringankan beban tanggung jawab ibu lhooo.” sambungku.

“Saya senang kalo ngelihat ibu tersenyum, ceria, menikmati hidup. Karena memang sudah seharusnya seperti itu. Saya hanya berusaha untuk mewujudkan hal itu.”

“Dan kamu berhasil. Sangat berhasil.” balasku cepat.

Semua yang ia lakukan telah membuatku semakin jatuh hati dan terikat. Setiap sentuhannya, setiap perlakuannya, membuatku merasa nyaman dan bahagia.

Dan setiap detik yang berlalu, setiap harinya, semakin menyadarkanku bahwa Pram adalah lelaki yang memiliki karakteristik sempurna, jika dilihat dari sudut pandangku sebagai perempuan.

Layaknya sepasang suami istri yang baru menikah, kami belajar dengan cepat untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain, saling mendukung dan memberi semangat.

Hubungan seks yang kami lakukan hanyalah sebagian kecil dari unsur-unsur yang berfungsi sebagai pengikat.

“Mandi yuk.” kataku, setelah melihat jam di dinding menunjukkan hampir pukul setengah enam pagi.

Kusempatkan untuk menyeruput sedikit bagian kopiku sebelum beranjak dari pangkuan lelakiku.

“Hhhiiihhhhhh.. mulai nakal lagiiiii.”

Protesku ketika ia memilin kedua putingku saat aku menyeruput minumanku.

Pram tertawa, laku mengecup pipiku.

“Kayaknya ibu kecapekan, tadi sempet tidur lagi didapur.” katanya saat kami melangkah ke kamar mandi.

“Iya.. dikit. Tapi gapapa kok.” balasku, sambil membantunya melucuti pakaiannya.

Sambil mengusap tubuhku dengan sabun, Pram pun memijet punggng, lengan dan pahaku. Sentuhan-sentuhannya membuat otot-ototku sedikit rileks sekaligus terangsang.

Licin permukaan kulitku, saat sentuhan jemarinya memanjakan sekitar pahaku, terutama paha bagian atas, membuaiku, membuatku terlena, apalagi, berkali-kali, secara tak sengaja ujung jemarinya menyentuh kemaluanku.

“Enak banget..” gumanku pelan sembari menghela nafas.

“Nanti malam saya pijetin lagi bu..”

“Iya, ibu mau kok, enak banget..”

Sambil tersenyum, aku memandangi wajah lelakiku, merapatkan tubuhku dengannya dan melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Sayang gak pengen pijetin yang lain?”

Sejenak, Pram nampak bingung dengan pertanyaanku, namun dengan segera memahaminya saat aku menuntun satu tangannya ke bagian pangkal pahaku.

Pram tertawa sambil mempermainkan jemarinya disana, mengusapnya dan menenggelamkan jemarinya diantara bibir kemaluanku.

“Nah.. gitu dong..” kataku lagi, lalu tersenyum.

“Tapi nanti bisa telat ke kantor lho bu.” balasnya lalu menjauhkan tangannya dari pangkal pahaku.

“Bentar aja kok..”

Pram hanya menghela nafas, lantas melanjutkan mengusap tubuhku dengan sabun.

= = =

“Hari ini sayang ke kampus?” tanyaku sambil merias wajah didepan meja riasku.

“Iya bu, cuman bentar aja, ke perpus aja.”

“Mau anterin ibu?”

Pram mengangguk, dan dari pantulan cermin di hadapanku, aku bisa melihat ia melangkah mendekatiku dengan tubuh telanjangnya.

“Nanti saya anter bu, sorenya saya jemput.” katanya, lalu mengecup kepalaku.

Kutumpangkan kedua tapak tanganku diatas punggung tangannya yang memegang kedua belah pundakku.

Ada rasa haru yang menggelayut dalam batinku, mengingat semua kebaikan yang telah ia lakukan untukku. Apakah Pram melakukan semua ini hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan dariku? Tentu saja dengan penuh keyakinan, aku akan menjawab ‘tidak’.

Dibandingan dengan Nina yang cantik jelita dan dan dari keluarga berada, sudah pasti, aku akan kalah bersaing. Dewi, Rita, dan entah siapa lagi, sudah tentu jauh lebih menarik jika dibandingkan denganku.

Dengan status sebagai ibu rumah tangga, maka untuk lelaki seperti Pram, sudah sewajarnya ia akan memilih satu diantara nama-nama tersebut.

Namun, sepertinya keberuntunganku belum berakhir. Pram justru memilih menjalin kedekatan denganku.

Hanya tinggal menunggu waktu saja, sebelum akhirnya aku akan menyandang status janda, dan setelah itu, apakah Pram akan tetap setia menemaniku melewati hari-hari kelam tersebut?

Hati kecilku berkata ‘ya’, ia akan selalu setia disampingku. Namun aku tak mungkin menggantungkan harapan hatiku sepenuhnya pada Pram, karena pada dasarnya hati dan jiwanya masih bebas, masih bisa memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Sejauh ini, garis takdir masih mempertemukan kami, menyatukan langkah kami, sehingga aku semakin kuat dan bersemangat dalam menjalani hari.

“Sudah siap untuk berangkat?” tanya Pram saat kami berada di dapur.

Aku mengangguk pelan, menegguk tetes kopi terakhirku.

“Hari senin, awal pekan. Ibu harus tetap semangat..”

“Iyaaa.. sayang juga, harus semangat.” balasku sambil memegang jemarinya.

Pram melingkarkan satu tangannya di pinggangku, sementara satu tangannya yang lain mengusap pipiku dengan lembut. Perlahan, ia mendekatkan wajah, lantas mengecup keningku. Sungguh, awal hari yang indah bagiku.

= = =

Hampir jam delapan pagi, aku telah berada di ruangan kerja, sementara Pram melanjutkan perjalanan menuju ke kampus.

Baru saja aku menghidupkan laptop pemberian lelakiku, dan tampilan layar utamanya kembali membuatku tersenyum.

Disana, gambar putri kecilku, Nova Andria tersenyum manis. Aku ingat, foto ini diambil saat ia berusia satu tahun. Di bagian bawah foto tersebut, sebuah tulisan berwarna putih ikut menghiasinya. ‘I’m happy’.

Senyumanku pun berakhir ketika terdengar suara ketukan dari arah pintu, dan ketika aku mempersilahkan memasuki ruanganku, Bayu berdiri disana dengan dua buah gelas ditangannya.

“kopi?” tanyanya, sambil sedikit mengangkat gelas di tangan kanannya sambil berdiri didepan pintu

Aku hanya mengangguk, dan mempersilahkannya memasuki ruanganku.

Diletakkannya kopi itu diatas meja, sementara ia menyerahkan segelas yang lain padaku.

“Ada satu hal yang masih sedikit menggangu saya.” katanya sambil meletakkan minuman di mejaku.

“Apa itu?”

“Saya masih menunggu gebrakan dari bu Rindi, tentang bagaimana cara meningkatkan omset hotel.”

“Jujur saja ya mas Bayu. Saya gak punya pengalaman kerja sedikitpun dan saya belum menemukan satupun cara untuk hal itu.”

“Kita sedang berkejaran dengan waktu, karena telah berada di penghujung tahun. Sebaiknya kita mulai memikirkannya dan menjalankan planing tersebut mulai awal tahun.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan, mengamini perkataan Bayu. Inilah kesempatan bagiku untuk membuktikan diri, untuk membayar kepercayaan yang diberikan padaku.

“Saya yakin, bos kita, ibu Carrina tidak hanya asal memilih bu Rindi untuk mengisi posisi ini. Saya yakin, ada pertimbangan khusus, ada insting yang membuatnya memilih bu Rindi.”

“Nanti ibu bicarakan lagi dengan mbak Dinda. Lebih cepat, lebih baik.” kata Bayu lagi.

“Dinda bagian dapur?” tanyaku heran.

Bayu tertawa lalu menyeruput kopinya.

“Bagian dapur itu namanya Dinda Kumala. Bagian pemasaran itu namanya Melinda, biasa dipanggil Dinda juga.”

Aku hanya bisa tertawa pelan menanggapi kekonyolanku.

“Okey, saya pamit bu, mau melanjutkan kerja.”

Aku mengangguk pelan, dan mempersilahkannya pergi.

“Makasih mas Bayu.” kataku saat ia telah berada dipintu dan hendak melangkah pergi.

Tugasku kini adalah.mencari segmen pasar potensial, atau melakukan Promo dan diskon untuk menarik konsumen.

Benar-benar memusingkanku. Kubuka laci meja kerjaku dan kembali menghanyutkan diri dengan membaca buku ilmu pemasaran yang dibelikan oleh Pram.

Semangat..’ gumanku dalam hati sambil menghembuskan nafas sebelum akhirnya mulai membaca, mempelajari isi buku tersebut.

Hampir tiga jam lamanya aku larut dalam keheningan, menenggelamkan pikiranku kedalam buku tersebut, berusaha memahami dan menyerap ilmunya.

Pikiranku benar-benar buntu, tak ada bayangan sedikitpun untuk memecahkan persoalan ini. Aku bahkan tak memiliki teman, atau seorang yang aku kenal, yang berhubungan dengan dunia marketing yang bisa menjadi teman berdiskusi atau sekedar berbincang.

Kusandarkan punggung dibelakang kursi sambil meregangkan lengan. Kepalaku menengadah sambil menutup mata, mencoba untuk menenangkan pikiran, walaupun hanya sekejap.

Dan saat membuka mata, pandangan pertamaku jatuh pada wallpaper laptop dihadapanku. Nova Andria yang sedang tersenyum.

Segera kusentuh permukaan layar laptop tersebut, sekedar untuk mengurangi rasa rindu pada putri kecilku.

Waktu hampir menunjukkan pukul setengah duabelas siang ketika aku meninggalkan ruang kerjaku.

Aku ingin mengajak Dinda, kepala bagian marketing untuk makan siang bersama, sekaligus berdiskusi tentang rencanaku untuk menaikkan omset hotel.

Sesampainya di ruangan kerja Dinda, aku mendapatinya tengah sibuk membuka tumpukan file-file yang terletak di sisi kanan ruang tersebut.

“Siang Dinda..” sapaku ramah.

“Siang bu.. mari silahkan masuk.” katanya seraya meninggalkan tumpukan file tersebut dan menyambutku.

“Lagi sibuk?”

“Enggak juga bu, cuman mau merapikan file-file itu aja bu.”

“Kita makan siang sekalian ngobrol-ngobrol, bisa?” tanyaku.

“Bisa.. tunggu sebentar ya bu.”

Ia segera mematikan komputer dimeja kerja lalu mengikuti langkahku menuju ke rooftop.

Suasana cukup sepi karena hanya ada beberapa pengunjung disana, dan beberapa tamu hotel yang kebetulan tengah menikmati makan siang dengan pemandangan kota pelajar dibawahnya.

“Mau makan apa?” tanyaku.

“Apa aja bu.. saya ngikut.”

“Gudeg..?”

“Boleh.”

Seorang pelayan wanita segera menghampiri kami, ketika aku telah menutup lembaran daftar menu.

“Mbak, gudeg dua, es lemon tea dua.” kataku.

Segera setelah si pelayan meninggalkan kami, aku pun memfokuskan pikiranku pada Dinda, wanita muda yang kini menjadi rekan kerjaku.

“Gimana, kerjaannya lancar?” tanyaku.

Dinda mengangguk sambil tersenyum.

“Lancar bu, sejauh ini baik-baik aja.”

“Ada ide untuk mencari segmen pasar baru. Sekedar wacana aja sih Din, untuk meningkatkan omset hotel.” kataku.

“Saya kerja disini baru empat bulan bu, dan saya sudah melihat hampir semua file laporan marketing selama beberapa waktu belakangan. Dan saya akui, orang yang saya gantikan telah melakukan semua upaya untuk hal itu.”

“Oohhhh.. Dinda baru empat bulan kerja disini? Saya kira sudah lama.”

“Iya bu, belum lama kok.”

Tak berapa lama kemudian, nasi gudeg pesanan kami pun tiba, dan untuk sejenak, kami menikmati sajian khas kota pelajar tersebut, melupakan sejenak beban pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kami.

Semilir angin dan langit teduh kota pelajar menambah kenyamanan suasana rooftop, dan seiring waktu berputar, beberapa tamu hotel pun mulai berdatangan, sekedar bersantai dengan ditemani oleh aneka minuman dan makanan ringan yang tersedia.

Kami tengah bersantai sambil menikmati pemandangan kota pelajar ketika Dinda, kepala bagian dapur menghampiri.

“Wah.. duo dinda bertemu..” kataku sambil memandangi kedua perempuan dihadapanku.

“Kok nama panggilan kalian bisa sama?” tanyaku, sekedar berbasa basi.

“Kalo saya biasa dipanggil ‘Nda’. “Kalo mbak Dinda ini, biasa dipanggil ‘Din’. Tapi bukan Udin lhoo..” sambung Dinda dari bagian dapur, yang nama sebenarnya adalah Melinda.

Untuk pertama kalinya, aku bisa meluangkan waktu sejenak bersama kedua perempuan ini dan melihat semangat semangat kerja yang mereka tunjukkan membuatku semakin kagum dan bangga bisa bekerja ditempat ini.

“Jadi gini Nda, kita lagi ngobrolin tentang target, rencana kita untuk tahun depan. Mungkin kamu sudah tahu, kalo selama ini, omset hotel kita cenderung stagnan. Nah, kita lagi mikirin, gimana caranya meningkatkan omset tersebut.”

“Kamu ada ide?” tanyaku.

“Sebenernya sih ada bu, tapi saya ragu untuk mencobanya.”

“Lhoooo.. kenapa ragu?? Ayoooo.. coba kita diskusikan.”

Sejenak, ia menatapku dengan keraguan, namun akhirnya keraguan itu pun perlahan luntur ketika aku menganggukan kepala.

“Coba lihat daftar menu ini?” katanya sambil menyerahkan lembaran daftar menu padaku.”

Hampir lima menit aku melihat isi lembaran tersebut, kemudian kembali meletakkannya diatas meja.

“Okey.. ada yang salah atau kurang dari menu-menu yang kita sediakan disini? Atau harganya terlalu mahal? Atau ada hal lain yang kurang?”

“Ada yang kurang.. disini gak ada sambel terasi.” sahut Dinda dari bagian marketing sambil melihat deretan daftar menu tersebut.

Tentu saja aku tertawa geli mendengar celotehnya. Tentu bukan sesuatu yang wajar jika menu tersebut disajikan di hotel berbintang seperti ini.

“Betul.. atau dengan kata lain, belum ada menu tradisional khas negara kita. Yang ada hanyalah Gudeg. Itu saja.” jawab Dinda, kepala bagian dapur.

Aku terdiam sejenak, dan kembali memperhatikan isi daftar menu tersebut.

“Boleh juga. Coba teruskan.” kataku sambil kembali meletakkan daftar menu tersebut.

“Jadi, saya punya ide untuk menambah menu masakan tradisional khas nusantara.” katanya.

“Termasuk sambel terasi.” sambungnya sambil menatap Dinda dari bagian marketing.

“Teruskan,..” kataku lagi.

“Mungkin gak perlu menjadi menu reguler, tetapi hanya beberapa hari dalam seminggu. Kita bisa atur jadwalnya. Mungkin hari ini menu khas dari daerah A, besok dari daerah B, dan seterusnya.”

“Saya setuju dengan ide ini. Ide kreatif. Dan memang rada aneh juga sih kalo ada menu sambel terasi atau sambel teri di hotel seperti ini. Tapi layak untuk dicoba.” kata Dinda dari bagian pemasaran.

“Okey.. saya setuju, dan memang patut untuk dicoba.” kataku.

“Kalian koordinasikan segala sesuatunya, kalo semuanya sudah fix, sudah siap, silahkan di promosikan.” sambungku.

Duo Dinda dihadapanku mengangguk bersamaan.

“Kenapa gak ngomong dari kemarin-kemarin sih?” tanya Dinda.

“Ragu.. takut aja sih mbak, soalnya idenya aneh gitu. Gak elit banget ada sambel terasi di hotel berbintang.”

“Kita perlu ide-ide gila, ide kreatif, dan keberanian untuk bersaing dengan lainnya.” jawabku.

“Lain kali, kalo ada ide, atau apa gitu, ngomong dong, biar kita diskusikan.” sahut Dinda.

Tak berapa lama berselang, Bayu dan Resti pun muncul disana, ikut bergabung bersama kami.

“Empat Srikandi telah berkumpul.” kata Bayu sambil meraih kursi dan duduk disamping Melinda.

“Lagi ada rapat atau gimana? Kok pada ngumpul disini?” tanya Resti.

“Enggak sih, cuman sekedar ngobrol-ngobrol aja.”

Melinda pun menjelaskan tentang ide yang telah kami bahas, bahkan jauh lebih detail dan lengkap.

Setelah mendengarkan penuturan Melinda, Bayu dan Resti pun tampak setuju dengan usulan tersebut.

“Tamu kita memang di dominasi oleh pelancong domestik, dan saya kira, ide ini akan berhasil.” kata Bayu.

“Saya lahir di desa, familiar banget dengan makanan-makanan sederhana, makanan tradisional. Kadang, rasanya kangen dengan menu-menu tersebut.” kata Melinda kemudian.

“Bener lho.. ini bukan tentang gengsi atau rasa kenyangnya. Tapi tentang kepuasan aja, tentang nostalgia dengan cita rasa masakan tradisional.” kata Dinda.

“Nah, kira-kira, ada ide lain lagi yang bisa dibagikan?” tanyaku.

Semua nampak memikirkannya untuk sejenak, hingga akhirnya, satu persatu mulai menggelengkan kepala.

“Okey, sekiranya ada usulan, atau ide, bisa dibicarakan bersama-sama, seperti sekarang ini. Jangan ragu, jangan sungkan untuk berbicara, saling berbagi. Saya masih baru disini, jadi saya minta dukungan dan kerja sama dari kalian.” kataku.

“Kayaknya kita harus sering-sering ngumpul kayak gini, ngobrol-ngobrol.” kata Resti.

“Bolehhhhh.. dan gak harus saat jam kerja aja.” balasku.

“Kayaknya kapan-kapan kita bisa hangout bareng, makan bareng, atau ngopi bareng, biar makin kompak.” kata Dinda.

“Khusus cewek aja, atau saya boleh ikutan?” tanya Bayu.

“Ya boleh lah pak, biar bisa makin akrab, makin enak kerjasama dalam tim.” jawab Dinda.

“Yang penting istrinya gak cemburu aja lho pak, soalnya kita kan cewek semua.” sambung Resti.

Bayu hanya tertawa, begitu juga kami.

Setelah membahas usulan dari bagian dapur tersebut, praktis tak ada lagi hal-hal penting yang kami bahas, hanya sekedar berbincang-bincang ringan seputar kehidupan diluar dunia pekerjaan.

Mungkin, inilah kenyataan dunia kerja yang sebenarnya, dan dalam pandanganku, tidaklah terlalu berat, apalagi dibantu oleh insan-insan muda yang enerjik dan kreatif.

Sekali lagi, aku cukup beruntung diterima bekerja ditempat ini. Lingkungan kerja yang nyaman dan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja membuat segala sesuatunya tampak semakin mudah.

Sepanjang sisa hari, aku hanya menghabiskan waktu dengan kembali mempelajari tumpukan file laporan dari bagian pemasaran, sekedar mencari gambaran dan celah lain untuk dijadikan jalan meningkatkan omset hotel.

Pukul lima lewat sepuluh menit, kutinggalkan ruang kerjaku dengan perasaan lega, karrna sepanjang hari ini telah kulalui dengan sangat baik, setelah ada sedikit celah sebagai jalan keluar untuk ambisi meningkatkan omset hotel.

Saat melangkah keluar dari pintu lobi, dari kejauhan, aku melihat pemandangan yang cukup membahagiakanku, sangat menyenangkan hingga membuat hari ini terasa semakin sempurna.

Sebuah hadiah yang cukup membuat hatiku berbunga-bunga ditengah sore nan mendung.

Senyum kedua insan yang sangat berarti dalam hidupku menyambutku, mengiringi langkahku dalam menutup lembaran hari.

Inilah kejutan lain darinya, dan sekali lagi, ia berhasil membuatku terpesona.


♡♡♡Bersambung♡♡♡

Seri 5 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih :rose:
Cakeppp nih alurnya sistaa
 
sepertinya ada 'bau-bau' empat srikandi + bayu akan di explore lebih jauh nih.....,
Juga sayang banget kalo Bayu hamya sekedar cameo....
 
Mengikuti cerita ini seakan tidak sabar untuk cepat2 sampai di ujungnya. Tetapi seperti pelajaran yang ditunjukkan Pram, nikmati alurnya. Seperti ide sambel terasi sebagai menu kreatif, sepertinya menu sex kreatif juga perlu ditambahkan.....kalau itu mungkin sedikit berbeda dari kenyataan, tetapi sebagai sebuah cerita perlu juga ditambahkan, kayanya banyak juga yang menunggu Pram menghadapi dua wanita.......asal jangan Mba Rind yang menghadapi dua pria.....Heee. Hadeeeh kok malah aku yang jadi deg2an.....
 
Semakin menarik. Banyak pelajaran tentang hidup yang secara gak sadar ada dalam penuturan cerita ini.
Luar biasa... Semangat Sis MD.
 
Para laki2 dan suami harus mau belajar dari bagaimana Pram bertindak, bersikap dan berkontribusi dalam suatu hubungan. Keren nih ceritanya. Belajar banyak sama Pram.
 
Part 5



Rindiani


Setelah melihat Nova, putri kecilku, aku pun melangkah cepat, bergegas menghampiri kedua insan yang sangat berarti dalam hidupku itu.

Nova, putri kecilku, menjulurkan kedua tangan ke arahku saat langkahku semakin mendekat. Pelukan dan ciuman segera kuberikan pada buah hatiku, hingga ia merasa kegelian dan mulai meronta-ronta dalam pelukanku.

Tak sampai satu menit kemudian, Nova pun meminta kembali kedalam pelukan lelakiku, Pram.

“Deeeeee… mama mamah masih kangen lhoooo..” protesku sambil berusaha menahannya agar tetap dalam gendonganku.

Tentu saja Nova tak menghiraukan apa yang kukatakan dan terus meronta, menjulurkan kedua tangannya kearah Pram.

Dengan senang hati, Pram segera menyambut uluran tangan putriku dan mendekapnya dengan erat.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sembari menghembuskan nafas panjang.

“Biar ibu yang nyetir..” kataku setelah melihat Pram sibuk dengan dunianya bersama Nova.

Lagi-lagi, kedua insan itu mengabaikanku karena terlalu asik dengan candaan dan saling menggoda.

Sekali lagi, aku mendapat kejutan yang hebat.

“Kok dedek bisa ada disini??” tanyaku sambil berkonsentrai dibelakang stir mobil.

“Tadi, setelah dari kampus, saya langsung pulang ke rumah ibu. Saya kangen sama Nova waktu ibu cerita tentang Nova yang udah bisa ngomong, udah bisa makan sendiri. Penasaran, pengen lihat dia."

Aku menggelengkan kepala dan merasa terharu dengan apa yang kudengar.

“Waktu saya mau pulang tadi, Nova nangis, mau ikut saya terus. Akhirnya bapak dan ibu mengijinkan saya pulang sama Nova.” sambungnya.

“Besok kan ibu kerja, dan kamu harus kerjain skripsi..” kataku.

“Iya.. tapi seminggu ini saya gak ke kampus bu, mau ngerjain skripsi di rumah aja.”

“Beneran gak menganggu sayang??” tanyaku lagi.

Pram menggelengkan kepala sambil mengusap rambut putri kecilku dengan penuh kelembutan.

“Justru Nova bisa menghibur saya, biar rumah kita gak sepi kalo ibu lagi kerja.”

Pram benar-benar telah merebut hatiku seutuhnya dan berhasil menempatkan dirinya dalam kehidupan Nova, putri kecilku.

Kedekatan dan keakraban yang mereka jalin seolah terbentuk dengan cepat dan semakin menyatu.

Segera kuulurkan tangan dan mengusap lembut pipinya. Pram menyambut tanganku, lantas mengecupnya dengan mesra. Lagi-lagi, ia mengungkapkan perasaannya padaku dalam bahasa diamnya, dalam tindakannya yang romantis.

Nova tampak antusias menghabiskan waktunya dalam perjalanan. Tatapannya melayang ke kanan dan kiri, menyaksikan pemandangan hiruk pikuk kota pelajar yang mungkin nampak asing baginya. Pram pun setia memangkunya, mendekapnya sembari memanjakannya dengan dengan usapan lembut.

“Dedek udah mandi?” tanyaku.

“Udah dong.. udah wangi..” jawab Pram.

“Sayang yang mandiin?” Pram mengangguk sambil tersenyum.

“Emang bisa? Soalnya, kadang Nova rewel kalo mau dimandiin.”

“Tadi gak rewel, malah betah dimandiin, kalo gak saya paksa udahan, pasti tadi telat jemput ibu, dia maunya mainan air terus.”

Aku menggelengkan kepala, takjub dengan caranya menangani Nova. Aku sebagai ibunya terkadang harus ekstra sabar jika memandikan Nova, namun Pram justru melakukannya dengan mudah, menaklukan putri kecilku dengan mudah.

“Emang gimana caranya??” tanyaku heran.

“Harus sambil diajak bercanda, diajak ngobrol, jangan di omelin, apalagi sampai dimarahin.”

“Ibu gak pernah marahin Nova lhoo. Apalagi sampai kasar sama dia. Tapi emang Nova aja yang rewel, susah banget sama urusan mandi.”

Pram tersenyum sambil memandangku.

“Enggak.. sebenernya mudah kok.. ya kayak yang saya bilang itu. Sambil ngobrol, bercanda.”

Semudah itu?’ tanyaku dalam hati. Selama ini, aku tak pernah melakukannya, dan Pram, lelaki muda yang belum memiliki pengalaman sebagai seorang ayah dapat dengan mudah melakukannya.

Ia mampu menangani Nova dengan sangat baik, bahkan seolah telah menjalin ikatan hati layaknya seorang anak dengan ayah. Mungkin saja Nova mengira, Pram adalah ayahnya, sosok yang kelak akan selalu mendampinginya dalam perjalanan hidup.

Sesampainya dirumah, Mereka tetap saja disibukkan dengan beragam permainan dan senda gurau. Sesekali terdengar tawa dari putriku saat aku sedang memasak makan malam untuk kami. Entah apa yang mereka lakukan sehingga Nova tampak sangat senang dan nyaman.

“Yuk.. kita makan..” kataku sambil menghampiri mereka di ruang tengah. Nova menjulurkan tangan ke arahku, memintaku untuk menggendongnya.

“Tumben anak mamah minta digendong? Biasanya kalo udah sama mas Pram, lupa sama mama.” kataku padanya.

“Mama..” jawab Nova sambil memegang wajahku dengan kedua tangannya yang mungil.

Sikapnya yang menggemaskan dan lucu adalah pemandangan yang menyejukkan hatiku. Betapa beruntungnya aku memiliki Nova ditengah jalan kelam yang tengah kulewati. Ia adalah sumber semangat dan pelangi bagiku.

“Mungkin sebaiknya Nova tinggal sama ibu disini.” Kata Pram sambil menyantap makan malam sementara Nova duduk dipangkuannya.

“Ibu juga maunya begitu, tapi kasihan bapak ibu dirumah, mereka pasti kesepian.”

Pram hanya bisa menghela nafas, sambil sesekali memperhatikan Nova yang tengah asik menikmati makan malamnya.

Mereka sudah terbiasa dengan kehadiran Nova..” gumannya pelan.

Sebagai seorang ibu, aku tak ingin hidup terpisah dengan buah hatiku, namun aku tak bisa memungkiri bahwa untuk saat ini, aku belum bisa mewujudkan keinginanku tersebut.

Aku telah melewatkan beberapa moment penting, yang bagi seorang ibu merupakan moment istimewa dan mengharukan. Aku tak berada disana, saat untuk pertama kalinya, Nova mengucapkan kata pertamanya. Begitu juga saat ia mampu melangkahkan kakinya.

Berbeda dengan anak-anak lainnya seusianya yang telah mampu berjalan dan berbicara dengan lancar, Nova sedikit lambat dalam proses tumbuh kembangnya, sama seperti saat aku masih balita. Namun aku bersyukur karena ia selalu sehat dan menikmati dunianya, walaupun ia belum mengerti dan memahami bahwa ayahnya telah meninggalkannya.

Pram terlebih dahulu meninggalkan meja makan, membawa serta Nova menuju ke ruang tengah sementara aku membereskan beragam perabot dapur yang telah kami gunakan.

Sisa malam itu kami habiskan dengan bermain dan bercengkrama bersama, layaknya sebuah keluarga kecil bahagia. Tawa ria silih berganti memecah keheningan malam, memberikan makna tersendiri bagiku, dan Pram.

Sesekali, aku memandangi Pram, lelakiku yang benar-benar mencurahkan perhatian penuh pada putri kecilku. Mereka bermain, bercanda, menikmati kebersamaan dalam suasana yang hangat.

Layaknya seorang ayah yang tengah memanjakan putrinya, Pram berhasil membuat putriku selalu tertawa, tersenyum dengan beragam caranya. Aku benar-benar mengaguminya.

Hampir pukul sepuluh malam, Nova pun mulai tampak lelah dan mengantuk, sehingga akhirnya Pram memutuskan untuk menggendongnya, berusaha menidurkan Nova dalam pelukannya.

Tak butuh waktu lama, tak sampai limabelas menit kemudian, Nova pun terlelap dengan nyaman. Dengan perlahan, Pram membaringkan putriku diatas kasur, menutupi tubuhnya dengan selimut, lalu mengecup keningnya. Aku memandanginya sambil tersenyum dari depan pintu kamar tidurku.

“Sayang udah ngantuk?” tanyaku saat ia melangkah ke arahku.

“Belum bu.. ibu mau istirahat?”

Aku hanya menggelengkan kepala, lalu merangkul pinggangnya sambil bejalan menuju ke ruang tengah.

“Mau minum teh panas?” tanyanya.

“Boleh..” jawabku singkat.

“Ya udah, saya buatkan sebentar, ibu tunggu disini aja.”

Tepat saat ia melangkah menuju dapur, aku pun kembali memasuki kamar tidur, sekedar melihat keadaan Nova dan memastikannya telah tertidur. Kuusap lembut rambutnya dan memberinya sebuah kecupan di pipi. Nova telah tertidur pulas setelah seharian menghabiskan waktu bersama Pram.

Segera kuganti pakaian yang melekat ditubuhku, agar lebih nyaman dan santai bersama Pram.

“Makasih sayang..”bisikku sambil memeluknya dari arah belakang.

Pram mengecup pipiku yang bersandar diatas bahunya, sambil mengaduk minuman yang telah ia buat.

“Saya senang, Nova bisa sama-sama kita disini.” katanya, lalu menggeser segelas minuman ke arah samping, untukku.

“Iya, ibu juga senang. Tapi ibu khawatir nanti ngerjain skripsinya jadi terganggu..”

“Enggak kok bu.. gapapa, gak menggangu. Ibu tenang aja.” balasnya sambil menepuk pelan lenganku yang melingkar di pinggangnya.

Sejenak, ia berdiam diri, membiarkan aku memeluknya. Sesekali kukecup pipinya sambil memanjakan diri dengan merebahkan kepala di pundaknya.

Hampir lima menit berlalu hingga akhirnya kami memutuskan untuk kembali duduk di meja makan, menikmati malam dengan segelas teh hangat.

Pram pun melanjutkan ceritanya tentang kunjungan ke rumahku, tentang pertemuannya dengan kedua orang tuaku dan Nova.

“Bapak ibu sehat kan?” tanyaku.

“Iya, mereka sehat.. tadi kami makan siang bersama, trus saya pulang sama Nova.”

“Kok sayang kepikiran jenguk Nova sih?” tanyaku lagi setelah menyeruput sedikit teh yang masih panas.

Pram hanya tersenyum, lantas ikut menyeruput teh miliknya. Ia pun beralih tempat duduk, memilih kursi tepat disampingku dan mendudukinya.

“Kemarin, waktu ibu cerita tentang Nova, saya jadi kangen. Rasanya nyesel gak ikut ibu pulang. Makanya setelah dari kampus, saya langsung kerumah ibu.”

“Kangen sama Nova.” sambungnya.

Suasana malam semakin bertambah romantis saat hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi bumi kota pelajar.

“Nova pasti senang lihat sayang datang..” gumanku sambil membayangkan reaksi putriku ketika melihat Pram.

“Dia langsung minta digrndong..” balas Pram, lalu tersenyum.

Sejenak, kami kembali terdiam, larut dalam pikiran masing-masing hingga beberapa saat lamanya. Aku pun kembali menyeruput minumanku, sebelum akhirnya Pram mengajakku untuk berpindah ke ruang tengah.

“Sebentar, saya lihat dedek dulu bu.” katanya, lalu meletakkan gelas minumannya dan beralih ke kamar tidur.

Tak sampai semenit kemudian, ia kembali dan langsung merebahkan tubuh diatas sofa, dengan menjadikan pahaku sebagai alas kepalanya.

“Bajunya bagus..” katanya sambil mengusap permukaan lingerie berbahan satin yang kukenakan.

“Ini kan yang beliin mbak Aya..” jawabku sambil memandangi tubuhku.

“Seksi..” gumannya pelan sambil menatap payudaraku yang kedua putingnya mengeras dan tercetak jelas dibalik lingerie.

Aku tersenyum sembari mencubit ujung hidungnya.

“Apanya yang seksi, udah ibu-ibu gini, udah melar badannya.” balasku.

“Tapi tetap menarik.” jawab Pram sambil melingkarkan tangan di pinggangku.

“Kamu ini..”

“Bisaaaaa aja bikin hati ibu seneng.” sambungku.

Pram hanya tertawa lantas membenamkan wajahnya diperutku.

Sambil menyaksikan acara di televisi, kubelai lembut kepala lelakiku, memanjakannya dengan sepenuh hati, seperti yang telah ia lakukan padaku dan Nova, putri kecilku.

“Kainnya halus banget..” gumannya sambil mengusapkan wajah di perutku.

“Tapi lebih halus ini..” sambungnya sambil menyibak ujung lingeriku hingga nyaris ke pangkal pahaku.

Aku hanya tersenyum sambil terus mengusap rambutnya. Tingkahnya yang manja selalu menghadirkan suasana hangat, menunjukkan sisi kekanak-kanakan yang tak pernah ia perlihatkan dihadapan orang lain.

Dua sisi berbeda yang tunjukkan padaku menandakan keterbukaannya, kepercayaannya yang tinggi terhadapku. Aku senang dengan kebebasannya dalam mengekspresikan diri dihadapanku, karena dengan hal ini, aku semakin tahu, dan mengenalnya lebih dalam.

Setiap harinya, setiap waktu yang telah berlalu, ia membawa kemajuan dalam kedekatan kami, walaupun aku sadar, hibungan kami bukanlah hubungan resmi layaknya sepasang insan yang berpacaran atau bertunangan, atau bahkan suami istri.

Entah bagaimana aku menjelaskan situasi ini, namun aku sangat yakin, ada cinta dan kasih sayang yang murni dibalik semua ini. Sebuah jalinan hubungan, kedekatan hati yang saling menguntungkan, saling membantu dan saling melengkapi.

Lantas, apa yang kuharapkan darinya? Sebagai wanita, tentu saja aku berharap ia adalah milikku seutuhnya, suamiku. Aku tahu dan sangat yakin, aku akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna jika hal itu terjadi.

Namun, tentu saja aku harus bisa menahan segala rasaku, tetap membumi dan berusaha meredam angan-angan tersebut. Realita yang kuhadapi berbanding terbalik, seolah melawan mimpi-mimpiku. Melawan stigma negatif, pandangan miring yang mungkin bakal terjadi merupakan hal berat lainnya jika hubungan kami benar-benar menjurus kearah yang lebih serius.

Hanya soal waktu saja tentang statusku yang akan menjadi janda, dan itulah fakta yang sangat memberatkan.

Lantas, bagaimana aku harus menyikapinya? Aku tahu, Pram tidak akan memperdulikan hal tersebut. Namun disisi lain, tentu saja kami tak bisa mengelak dari pandangan miring, pendapat miring orang disekitar kami.

Sejauh mana kami akan tetap bersama menghadapi semua rintangan itu? Entahlah.. semua itu masih berupa mimpi, berupa angan-angan indah bak pelangi.


Hampir sepuluh menit berlalu, akhirnya Pram bangkit dari tidurnya dan kembali duduk disisiku.

“Gantian..” kataku sambil merebahkan tubuh dengan kepala beralaskan pahanya.

Pram hanya mengangguk lalu mulai mengusap rambutku.

“Ibu belum ngantuk?”

“Belum kok, masih pengen manja-manja dulu sebelum bobok.”

“Sayang udah ngantuk? Mau istirahat sekarang?”

Pram menggelengkan kepala sambil menatapku, sementara tangannya masih terus setia mengusap kepalaku.

Aku tak memperdulikan acara yang tersaji di layar tv, karena hanya ingin menghabiskan waktu bersama lelakiku, menikmati kebersamaan walaupun hanya dalam diam.

Pram bukanlah tipe lelaki yang banyak bicara, bahkan terhadapku yang telah dekat dan sangat terbuka padanya. Namun, dibalik hal tersebut, ia memiliki sifat penyayang, dan perhatian yang luar biasa.

Aku tersenyum sambil memandangi wajahnya sementara Pram memandang lurus kedepan, kearah televisi.

“Ciumm….” gumanku sambil mengusap pipinya.

Pram menatapku sekilas, lantas menundukkan wajahnya. Dengan lembut, Pram mengecup keningku, sementara kedua tapak tanganku memegang pipinya.

Sebuah kecupan mesra, disertai usapan lembut dikepala, cukup membuatku terlena dan berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan dan menerima perlakuan seperti ini.

Pram telah mendapatkan semua dariku, ia memilikiku, memiliki hati dan tubuhku, walaupun pada kenyataannya, ia bukanlah suamiku. Namun, sikapnya tak pernah berubah sedikitpun. Ia tak pernah merasa bosan ataupun jenuh terhadapku, namun justru sebaliknya, aku bisa merasakan perasaannya terhadapku semakin bertumbuh.

Setelah mengecup keningku, ia menatapku dalam-dalam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sementara jarak wajah kami sangat dekat hingga aku bisa merasakan hangat hembusan nafasnya.

Perlahan, kupejamkan mata sambil menuntun wajahnya untuk lebih mendekat ke arahku. Dan sebuah kecupan pun mendarat di bibirku.

Lumatan-lumatan lembut yang ia berikan pada bibirku cukup membuaiku, membuatku terlena.

Hampir satu menit kami saling bercumbu, saling melumat bibir, saling bertautan lidah, hingga akhirnya satu tangannya menyelinap kedalam lingeriku dan meremas lembut payudaraku.

Sentuhan dititik sensitif itu berhasil membangkitkan gairahku, membakar nafsu birahiku perlahan.

Sambil meremas, sesekali jemarinya mempermainkan kedua putingku secara bergantian hingga akhirnya mengeras sempurna. Pram berhasil membuatku terlena, membawaku kedalam dunia fantasi hingga secara tak sadar, tanganku mulai bergerak, mempermainkan kemaluanku sendiri.

Permainan kami semakin bertambah panas ketika bibirnya mulai beralih, menelusuri leher hingga kebagian dadaku. Kecupan-kecupan dan jilatan hangat lidahnya menjalar, memanjakanku, membuatku merinding dan mulai mendesah pelan.

Pram seolah sedang mempermainkanku ketika lidahnya menjelajahi payudaraku, bergerak liar menyapu setiap jengkalnya namun tanpa menyentuh kedua putingku. Ia membuatku penasaran dan semakin tak sabar untuk merasakan hisapannya pada putingku.

Hampir tiga menit berlalu ketika akhirnya keinginanku terkabulkan. Sambil menahan nafas, kunikmati hisapannya di putingku. Desahan dan rintihan nikmat segera terdengar pelan, bersanding dengan suara televisi, memecah keheningan malam.

Dan dibagian pangkal pahaku, bukan lagi usapan dan belaian yang kuberi pada kemaluanku, melainkan tusukan pelan satu jariku, menerobos celah liang vaginaku sendiri.

Semua itu membuatku semakin terangsang, membuat pinggulkuku mulai bergerak pelan mengikuti irama permainan jemariku.

Setiap detik yang berlalu seolah menjadi bahan pembakar yang sempurna bagi lelakiku. Sesekali ia menggigit putingku dengan sedikit keras hingga aku menjerit, di lain waktu, ia menghisapnya dengan pelan, lalu secepat kilat berubah menjadi hisapan yang sangat kuat.

Tentu saja ia membuatku menggelinjang hebat dengan aksinya. Aku bahkan mengangkat punggungku demi mengejar bibirnya agar tak melepaskan dan meninggalkan payudaraku.

Aku benar-benar terlena dan larut dalam gelora birahi yang membara. Posisinya yang sedang menunduk saat mengerjai payudaraku memudahkanku untuk membalas permainannya dengan melahap lehernya. Jilatan dan kecupan pun kulayangkan, demi mengimbangi permainannya yang liar dan panas.

Tak berapa lama setelah kami bercumbu, kemaluanku pun akhirnya basah, dibabjiri oleh cairan yang keluar dari vaginaku, akibat permainanku sendiri. Sofa yang berada dibawah pinggulku pun kembali basah.

Sambil terus bercumbu, saling melumat bibir, aku bangkit dari tidur, lantas naik ke pangkuannya. Kedua tanganku melingkar di lehernya sementara temali di bahuku, yang menyangga lingeriku telah terlepas sehingga payudaraku pun terpampang bebas dihadapan lelakiku.

Dengan buas kulumat bibir Pram, sementara ia sibuk menjamah payudaraku, dan satu tangannya yang lain mulai menjamah pangkal pahaku, mengusap vaginaku yang telah basah sempurna.

Pinggulku mulai kembali bergerak liar saat kurasakan satu jarinya mulai menyeruak masuk, mengisi celah sempit diantara bibir kemaluanku yang merekah.

Rintihan nikmat pun kembali mengalun lembut saat ia mulai memasukkan satu jarinya tersebut kedalam liang vaginaku. Ia membuatku semakin terbakar birahi sehingga sekujur lehernya pun kujilat dan kukecup, bahkan, sesekali kuhisap dengan sangat keras hingga membuat kulitnya kemerahan.

Desahan dan rintihan pun mulai keluar dari bibirnya karena permainanku. Dengan kasar kulucuti bajunya dan langsung menjelajahi dadanya dengan lidahku. Dalam dalam beberapa saat, hampir seluruh bagiannya dipenuhi oleh jejak air liurku. Di beberapa tempat, tanda kemerahan akibat hisapanku pun mulai terlihat.

Nafsu yang bergejolak dalam diriku membuatku semakin liar dan bergairah, hingga Pram sedikit kewalahan menghadapiku.

Sapuan lidahku terus bergerak liar, menjelajahi setiap jengkalnya dan terus bergerak kebawah, seiring tubuhku yang perlahan beringsut hingga akhirnya berlutut dihadapannya, sementara lidah dan bibirku terus menari, melahap bagian perutnya.

Permainanku benar-benar membuat lelakiku terlena dan terbuai. Tubuhnya bersandar sepenuhnya pada sandaran sofa dengan kepala menengadah dan mata terpejam. Kedua tangannya dengan lembut kepalaku dan mengarahkannya kebagian bawah, pangkal pahanya.

Aku tahu dan mengerti, ia ingin agar aku segera mengerjai kemaluannya.

Dan benar saja, seperti yang kuinginkan, Pram menurunkan celana pendek yang ia kenakan, berikut celana dalamnya, hingga ke bagian paha sehingga kemaluannya yang terlah mengeras itu terbebas dan terpampang jelas dihadapanku.

Ia lantas memegang pangkal penisnya dan mengarahkannya padaku. Tanpa membuang waktu, segera saja lidahku menjulur dan menjilati sekujur batang penisnya, mulai dari bagian pangkal hingga ke ujung, berkali-kali hingga penisnya pun basah dan licin oleh air liurku.

Nafasnya terdengar berat, sementara matanya terpejam, menikmati tarian lidahku yang terus bergerak liar memanjakan kemaluannya.

Sesaat setelahnya, kumasukan ujung penisnya kedalam mulutku, menghisapnya dengan pelan, sementara jermariku bergerak, mengocok bagian batangnya dengan irama pelan.


Sekali lagi , Pram mendesah, merintih nikmat karenanya.

Sambil mengerjai kemaluannya, satu tanganku yang lain kembali bermain di pangkal pahaku, mempermainkan klitorisku sendiri, demi mencari kenikmatan yang lebih besar.

Hampir lima menit berlalu, akhirnya Pram menuntun kepalaku untuk menjauh dari pangkal pahanya. Ia segera berdiri dan melucuti celananya, lantas mengajakku ke kamar, yang kini beralih fungsi menjadi ruang kerjaku.

“Sebentar..” bisikku mesra sesaat kami tiba didepan pintu.

Dengan langkah cepat, aku memasuki kamar tidurku dan mendapati Nova tengah tertidur pulas. Kubuka laci meja riasku dan meraih sekantong sex toys pemberian Nina.

Ketika kembali, Pram tengah berdiri didepan ranjang. Ia segera memelukku dan kembali melumat bibirku dengan rakus.

Aku tahu, lelakiku tengah dilanda gejolak birahi, sama sepertiku. Kami saling melumat bibir, saling menghisap lidah, saling meraba dan meremas.

Liang kemaluanku kembali dipermainkannya, dikocok dengan sedikit kasar hingga menimbulkan suara kecipak akibat basah dan banyaknya cairan lubrikasi yang kembali keluar dari tubuhku.

Hampir sepuluh menit berlalu aksi saling cumbu kami lakukan, hingga akhirnya ia menuntunku untuk merebahkan diri diatas kasur.

Pram segera bersimpuh dihadapanku, diantara kedua pahaku yang terbuka lebar. Tanpa membuang waktu, ia segera menghisap klitorisku dengan sangat kuat hingga tubuhku bergetar hebat, sementara dua jarinya menerobis masuk kedalam liang kenikmatanku.


Kedua tungkaiku segera kurapatkan dan menghimpit kepalanya secara reflek. Lagi-lagi, Pram membuatku menggelinjang ketika dua jarinya mulai bergerak, mengocok liang vaginaku sementara ujung lidahnya mempermainkan klitorisku.

Hanya dalam waktu singkat, kasur yang menjadi ajang tempat kami memadu birahi pun basah oleh cairan yang keluar dari vaginaku.

Seiring detik berlalu, kocokannya pun semakin cepat dan kenikmatan yang kurasakan pun semakin besar. Aku bahkan harus menggigit bibirku sendiri demi menahan rintihan nikmat yang seakan hendak meledak dari mulutku.

Ingin rasanya aku berteriak ketika akhirnya Pram memberiku orgasme pertamaku karena kocokan dan hisapannya pada klitorisku. Tubuhku bergetar hebat dan kedua pahaku semakin kuat menjepit kepalanya selama gelombang kenikmatan orgasme tersebut, namun ia tak memperdulikannya dan terus mengerjai kemaluanku hingga air seniku pun keluar.

Sekali lagi, Pram mampu memuaskan hasratku dan membuatku tak berdaya lewat permainannya yang liar dan panas. Ia bahkan belum menyetubuhiku, namun berhasil memberiku kepuasan seksual yang besar.

Beberapa saat berlalu, saat gelombang kenikmatan orgasme mereda, Pram beringsut, naik keatas ranjang dan menindihku. Satu tangannya membelai pipiku dengan lembut.

“Enak banget..” gumanku sambil berusaha mengatur nafas.

Pram hanya tersenyum, lantas melumat bibirku dengan lembut. Segera kulingkarkan tangan di lehernya, dan kedua tungkai mengunci pinggangnya. Aroma khas cairan orgasmeku tercium kuat dari bibirnya, namun aku telah terbiasa dengan hal tersebut sehingga tak memperdulikannya.

Aku benar-benar menikmati ciumannya yang lembut dan penuh rasa, melupakan rasa lelah yang biasa terjadi pasca orgasme.

Hampir satu menit lamanya kunikmati ciumannya, tanpa sedikitpun aku balas melumat bibirnya. Aku hanya ingin menikmati, meresapi ciumannya, suatu hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Setelah beberapa saat, setelah puas menikmati kuluman bibirnya, tubuh telanjang kami berguling diatas kasur hingga berganti posisi, tubuhku yang menindinya.

Kukecup lembut kedua pipinya, sambil mengusap rambutnya.

“Lagi..?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum, tersipu malu.

Pram lantas melumat bibirku, sambil menuntun tubuhku untuk beralih, turun dari dari tubuhnya dan berbaring disisinya.

Berkali-kali dikecupnya leherku, sekujur pundak dan dadaku hingga aku merinding, merasa geli bercampur nikmat dan perlahan membangkitan kembali gairahku pasca orgasme hebat yang kurasakan beberapa menit lalu.

Setelah menghentikan kecupan-kecupannya, ia melirik kearah sekantong sex toys yang tergeletak tak jauh dari kami. Diraihnya kantong tersebut dan menumpahkan isinya disisiku.

Ia meraih sebuah dildo dan menunjukkannya padaku. Aku tersenyum sambil mengangguk, lantas melumat bibirnya dengan lembut.

“Ibu pengen nyobain ini..” bisikku nakal.

Pram tersenyum dan perlahan beringsut kebawah, ke pangkal pahaku. Segera saja kubuka lebar pahaku demi memberinya ruang gerak agar lebih leluasa disana, agar lebih bebas dalam mengerjai vaginaku.

Aku benar-benar tidak sabar untuk merasakan kenikmatan selanjutnya, merasakan untuk pertama kalinya kenikmatan seks dengan alat bantu sex.



♡♡♡bersambung♡♡♡

Part 6 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd