Part 3
Rindiani
Hampir jam sepuluh malam, akhirnya aku sampai dirumahku, dikota pelajar. Ketika memasuki rumah, aku mendapati Pram tengah mencuci piring dan gelas di dapur.
“Sayang.” sapaku.
“Baru selesai makan?” tanyaku sambil membantunya membilas cucian tersebut.
“Iya bu. Ibu sudah makan?”
“Sudah. Tadi makan malam dulu baru pulang.”
“Nova sehat?”
“Sehat. Sekarang dia sudah bisa ngomong lhooo.”
Pram tersenyum sambil terus melanjutkan mencuci piring dan perabot dapur yang telah ia gunakan untuk memasak.
“Pasti makin lucu, makin menggemaskan.” katanya sambil mengajakku ke kamar tidur setelah selesai membereskan dapur.
“Tadi juga udah makan sendiri, walaupun masih belepotan. Lucu banget.”
Pram kembali tersenyum, pandangan matanya tertuju pada bingkai foto berukuran besar yang terpajang didinding dikamar. Foto Nova yang diambil saat ia masih berusia satu tahun tersebut membuatnya tertegun.
“Bener-bener gak terasa ya bu, tau-tau Nova udah gede.” gumannya.
Aku beralih, berdiri disampingnya dan ikut memandangi foto tersebut.
“Rasanya sedih harus hidup seperti ini, harus terpisah dari anak. Bisa ketemu cuman seminggu sekali.” kataku.
Terdengar, Pram menghela nafas lalu meraih jemariku dan menggengamnya dengan erat.
“Tapi ibu gak punya pilihan lain. Untuk saat ini, keadaannya memang seperti itu.” kata Pram.
“Ibu bener-bener gak menyangka, kalo akhirnya hidup harus seperti sekarang ini. Harus terpisah dari Nova.” gumanku lirih.
“Jangan disesali bu. Yang sudah terjadi, ya sudah, jangan diinget lagi.”
Aku memandangnya sejenak, lalu kembali menatap foto Nova dihadapan kami.
“Itu sebabnya saya selalu meminta ibu untuk semangat. Jangan menyerah. Semua untuk Nova.” sambungnya.
“Pasti.. ibu akan menjalaninya dengan sekuat tenaga, dengan semua kemampuan ibu.” balasku.
Pram beralih, berdiri dibelakangku, lantas mendekapku dengan penuh kelembutan.
“Tapi jangan lupa akan satu hal, ibu juga harus bisa menikmati hidup, membahagiakan diri ibu sendiri.”
Kuusap lengannya yang melingkar didepan dadaku, lalu mengecup pipinya yang bersandar di bahuku.
“Ibu bahagia kok.. ada kamu, ada Nova. Kalian penyemangat ibu.” kataku.
Setelah mengecup pipiku, Pram melepaskan pelukannya, lalu beralih dan duduk di tepian ranjang, sementara aku beranjak kedepan meja rias, melepaskan jilbab yang menutupi kepalaku.
“Kok senyum-senyum gitu sih?” tanyaku, setelah mendapatinya tersenyum melalui pantulan cermin di hadapanku.
“Gapapa kok bu.” jawabnya sambil kembali mendekatiku, berdiri dibelakangku.
“Sekarang ganti pakaiannya, kita istirahat.” sambungnya sambil memegang kedua bahuku.
Pram kembali mengecup kepalaku, sesaat sebelum kembali duduk ditepian ranjang. Ia selalu memandangiku, seolah belum pernah melihatku sebelumnya.
“Kok ngelihatin terus sih? Ada yang aneh sama ibu??” tanyaku.
Pram hanya menggelengkan kepala. “Daripada saya liatin cicak itu, mending lihat ibu kan?” katanya sambil menunjuk beberapa ekor cicak yang ada di dinding kamarku.
“……”
Aku hanya bisa tertawa mendengar jawabannya yang aneh.
“Kirain ngelihatin karena kangen.” gumanku sambil melucuri pakaian yang melekat di tubuh.
“Iya.. kangen.. seharian gak lihat ibu.”
Aku sedang membuka pintu lemari pakaian ketika ia mengatakan hal itu.
“Mau bilang kangen aja kok sulit banget sih sayang?” tanyaku sambil berdiri dihadapannya, diantara kedua pahanya yang terbuka.
Pram segera melingkarkan tangan dipinggangku dan memelukku dengan sangat erat. Dengan lembut, kuusap kepalanya dan merapatkan tubuhku.
Pram menyambutnya dengan beberapa kecupan, tepat diperutku.
“Ibu juga kangen..” gumanku pelan.
Pram melonggarkan pelukannya lantas menengadah, menatapku.
Segera kutundukkan kepala, membungkuk, dan melumat bibirnya dengan penuh rasa. Aku bisa merasakan bahwa Pram benar-benar merindukanku. Ia berkata jujur padaku.
“Bajunya gak usah dipakai lagi..” bisiknya.
Aku hanya mengangguk pelan, lalu melucuti bra dan celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Pram pun melakukan hal yang sama, lalu menuntunku untuk naik keatas ranjang dan berbaring disisinya.
“Tadi ibu nunggu Nova tidur dulu, baru pulang. Kalo dia belum tidur, takutnya nangis.” kataku.
“Iya, gapapa kok bu. Lagian, Nova juga pasti kangen sama ibu.”
“Rasanya, baru kemarin ibu lahirin dia, tau-tau udah gede. Bener-bener gak terasa.”
“Yang penting ibu harus mulai menyiapkan segala sesuatunya dari sekarang. Buat perencanaan untuk masa depannya. Jangan ditunda bu.” Kata Pram sambil meraih selimut dan menutupi tubuh telanjang kami.
Sejenak, mataku menerawang, memandangi langit-langit kamar sambil menghela nafas.
“Kadang, ibu takut kalo sampe ibu sakit atau kenapa-napa. Kasihan Nova.”
“Ibu jangan mikir sampai jauh seperti itu.”
“Yang penting ibu berusaha semaksimal mungkin, jaga kesehatan. Urusan hidup dan mati itu ada ditangan Yang Maha Kuasa.” kata Pram sambil memelukku.
“Iya sih. Cuman ya tetap aja kepikiran. Takut. Kalo sampai hal itu terjadi, sayang mau merawat dan membesarkan Nova?” tanyaku.
Pram tersenyum, lantas mengusap pipiku dengan lembut.
“Gak perlu nunggu ibu gak ada, sekarang aja kalo diminta untuk jadiin Nova anak angkat, saya mau kok bu.”
“Yakin??” tanyaku. Pram mengangguk, lantas beralih, naik keatas tubuhku.
“Yakin bu.” jawabnya singkat, lalu mengecup ujung hidungku.
“Udah. Ibu gak perlu mikir macem-macem. Dijalani aja, biarkan mengalir. Yang penting tetap berusaha dan berdoa.”
Aku mengangguk pelan, lantas memeluknya dengan erat. Kedua kakiku mengunci pinggangnya dan menekannya kebawah, kearah pinggulku.
“Sayang.. itu udah pas.. tinggal dimasukin aja.” gumanku.
“Heh..?? Pas..?? Apanya??” tanyanya heran.
“Kontolnya.. udah pas posisinya. Tinggal dimasukin aja.” bisikku nakal.
Pram tertawa, lalu mencubit kedua belah pipiku. Pinggulnya pun mulai bergerak-gerak, menggesekkan penisnya dengan kemaluanku.
“Ibu pengen..?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan dan menjulurkan satu tanganku kebawah, meraih penisnya, lalu menggengamnya erat.
“Beneran..?” tanyanya lagi.
Sekali lagi aku mengangguk lalu menuntun penisnya kedepan liang vaginaku.
Pram tak menolak ketika aku mulai mengangkat perlahan pinggulku, seolah mengejar penisnya agar segera memasuki liang kenikmatanku.
Tepat saat bagian ujung penisnya telah memasuki liang vaginaku, Pram menarik mundur, mengangkat pinggulnya hingga penisnya pun tercabut dari pangkal pahaku. Ia tersenyum, karena berhasil mengerjaiku.
“Jahaaaaaaattttttt..” protesku sambil mencubit hidungnya dengan gemes.
Pram hanya tertawa dan berusaha melepaskan cubitanku, sementara pinggulnya meronta ingin membebaskan diri, namun aku membalas dengan mempererat kuncian tungkaiku.
Pram benar-benar berhasil mengerjaiku, karena aku telah dilanda birahi dan berharap ia menyetubuhiku.
Hampir tiga menit kami saling tertawa hingga akhirnya Pram mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Satu tangannya membelai lembut pipiku dengan mesra. Perlahan, ia mendekatkan wajah dan akhirnya bibir kami pun bertemu, menyatu dalam sebuah ciuman yang romantis.
Lumatan bibirnya terasa begitu lembut, sangat pelan, memanjakan sekaligus menghanyutkanku dalam kenyamanan.
Sesaat setelah ciuman kami berakhir, Pram kembali beralih, turun dari atas tubuhku. Ia mengajakku untuk bangkit dari tidur.
“Ayooo..” katanya sambil menggengam jemariku.
Aku pun segera mengikuti langkahnya, keluar dari kanar tidur. Entah apa yang ingin ia lakukan, namun aku percaya padanya dan terus berada disampingnya.
Dengan tubuh telanjang, akhirnya kami keluar dari kamarku dan Pram membawaku ke kamar tidur lainnya, yang tak pernah kami gunakan sebelumnya.
“Sayang mau kita tidur disini?” tanyaku saat ia membuka pintu kamar tersebut.
Pram hanya tersenyum, lantas menghidupkan lampu untuk menerangi kamar tersebut.
Mataku terbelalak, terperanjat dengan pemandangan baru yang berada disudut kamar itu.
Sebuah komputer diatas meja kerja, sebuah laptop, dan kursi terpajang rapi.
“Untuk ibu..” gumannya pelan sambil beralih kebelakangku dan menyentuh pundakku.
Aku masih tertegun dengan pemandangan tersebut, karena tak menyangka bahwa Pram, lelakiku akan memberikan barang-barang yang sangat aku butuhkan tersebut.
Ia kembali menggandengku dan mengajakku mendekat kearah meja terdebut.
“Biar kerjaannya lancar dan makin semangat.” katanya.
Aku tak mampu berkata-kata, lantas memeluk erat tubuhnya. Pram pun membalasnya, sambil mengusap rambutku dengan penuh kelembutan.
Aku benar-benar terharu dengan kebaikan dan kepeduliannya padaku hingga meneteskan air mata.
“Ibu suka?” tanyanya sambil berbisik.
Aku hanya bisa menghela nafas dan mempererat pelukanku.
“Kalo ibu gak suka, nanti saya ganti dengan yang lain.” katanya lagi.
“Ibu suka.. ini aja udah lebih dari cukup.” kataku sambil melepaskan pelukan dan menyeka air mata yang menetes melalui sudut mataku.
“Nanti ibu ganti uangnya kalo ibu udah gajian.”
Pram menggelengkan kepala, kedua tangannya memegang pinggangku dengan lembut.
“Nanti kalo ibu udah gajian, ibu harus buat rekening bank lagi, khusus untuk Nova. Semua ini buat ibu, gak perlu diganti. Uangnya disimpan untuk Nova.” katanya lagi, lalu menyeka air mata di pipiku yang kembali mengalir karena rasa haru yang tak tertahankan.
Aku sangat yakin, Pram telah mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli semua barang-barang ini. Ia benar-benar serius dengan ucapannya, dengan niatnya untuk membantuku mempersiapkan masa depan bagi Nova.
Aku tak menyangka dengan semua ini, dengan semua kebaikan dan kepeduliannya terhadapku. Ia menunjukkan tanggung jawabnya, menunjukkan empati, dan simpati yang besar terhadapku dan Nova.
Lantas, apa yang ia peroleh dariku? Tidak ada. Aku tak pernah merasa memberikan sesuatu, atau melakukan kebaikan terhadapnya. Justru sebaliknya, segala sesuatu yang ada padaku, berasal dari dirinya.
Hidupku yang baru terbentuk berkat kehadirannya, berkat campur tangan dan dorongan darinya. Sejujurnya, aku pun tahu bagaimana cara membalas semua kebaikannya. Bahkan, apa yang telah ia lakukan padaku telah sangat lebih dari cukup.
“Yuk.. kita istirahat bu.. udah larut malam.” katanya sambil kembali meraih jemariku.
Aku masih tak percaya dengan semua ini, sehingga aku hanya bisa diam membisu, bahkan ketika kami telah kembali berbaring diranjangku.
“Kenapa harus ibu?” tanyaku, sambil meletakkan satu lengannya dibelakang leherku.
“Maksudnya..??”
“Kenapa kamu memilih ibu?” tanyaku lagi.
“Maksud ibu gimana? Memilih apa?”
Aku beringsut naik keatas tubuhnya, menindihnya dan menopang rubuh bagian atas dengan kedua siku berpijak di sisi kepalanya.
“Kenapa kamu begitu baik dan sangat peduli sama ibu, sama Nova?” tanyaku, sambil menatap matanya.
Pram tersenyum, kedua tapak tangannya diletakkannya dikedua sisi pipiku. Dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.
“Saya tidak perlu alasan apapun untuk melakukannya bu. Saya tahu dan sangat yakin, ibu sangat menyayangi Nova, dan saya hanya membantu ibu untuk melakukannya.”
“Kamu sayang Nova?”
Pram mengangguk pelan sambil mengusap pipiku.
“Mengapa? Dia bukan darah dagingmu. Bukan anakmu.”
“Buat saya, sama saja bu. Setiap manusia selalu membutuhkan perhatian, membutuhkan kasih sayang, terutama anak-anak. Sekarang, dia sudah kehilangan ayahnya, karena itu, saya ingin belajar, mencoba memberinya perhatian dan kasih sayang.”
Aku tersenyum, bahagia dan terharu dengan jawabannya. Dan lagi-lagi, Pram membuatku kagum, membuatku tersentuh dengan sikapnya yang dewasa.
Tanpa ia sadari, ia telah membuktikan bahwa apa yang ada diantara jalinan hati kami bukan sekedar kesenangan dan canda tawa, tetapi sekaligus tanggung jawab dan menjadi pemimpin bagiku dan Nova.
Tanpa ia sadari pula, ia telah menjalankan peran sebagai kepala keluarga, sebagai seorang suami.
“Ibu masih gak habis mikir, rasanya seperti mimpi.” gumanku pelan sambil kembali berbaring disisinya dan membenahi selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami.
“Apanya yang mimpi bu?”
“Kamu itu lhooo.. kok baik banget sama ibu. Padahal ibu gak ngasih kamu apapun.”
“Ibu jadi gak enak. Malu.”
Pram, lelakiku, menatap mataku dalam-dalam sambil membenahi rambut yang terserak di kening dan menyisipkannya di telingaku.
“Gak perlu merasa seperti itu bu. Justru saya yang harus berterima kasih sama ibu, karena dari ibu, saya bisa belajar menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dan dari ibu, saya bisa mengenal Nova.”
“Tapi tetap aja gak enak..” balasku.
“Saya mohon, jangan seperti itu, merasa malu terhadap saya, karena apa yang lakukan, apa yang kita lakukan sekarang untuk Nova. Semua ini untuk masa depannya bu.”
Hati wanita manapun akan luluh dan jatuh dalam pelukan lelaki seperti Pram, terutama bagi mereka yang bernasib sama sepertiku.
Ia membuatku terdiam dan tak mampu menolak semua kebaikannya, karena ia menjadikan Nova sebagai alasan utama.
Sedikit banyak, ia ikut memikul beban berat yang harus kutanggung, ikut merasakan kegetiran dan pahit takdir hidupku.
Bukankah itulah esensi dari jalinan hati? Dan Pram melakukannya dengan begitu mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Ia tak pernah menuntut sesuatu, atau meminta apapun dariku.
Dan dalam berbagai hal, ia adalah keberuntungan bagi mereka yang telah mengenalnya.
“Dulu, saya pernah ketemu sama orang asing. Namanya Michelle. Dia wanita karir.”
“Cantik, cerdas, wawasannya luas. Dia pernah nanya ke saya: ‘
apa yang kamu cari?’ “
Orang dari negara mana?” tanyaku.
“Belgia.”
“Sampai sekarang, saya belum bisa menjawab pertanyaan itu bu.”
“Sekarang Michelle dimana?”
“Mungkin ada di negaranya, atau mungkin sedang berkelana ke berbagai negara. Dia berkelana untuk menjawab pertanyaan yang sama, yang dia tanyakan ke saya.”
Aku pun termenung dengan pertanyaan yang terdengar sederhana dan mudah tersebut.
‘
Apa yang kamu cari?’
Jika hanya sekedar menjawab berdasarkan kebutuhan, maka ribuan jawaban telah tersedia, sesuai pilihan masing-masing individu.
Namun, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan sederhana, terutama bagi Pram, dan juga mungkin bagi Michelle. Tentu bukanlah materi ataupun bentuk kesenangan apapun yang menjadi jawabannya, sehingga Pram belum bisa menenukan jawaban yang tepat.
“Iya yaaa.. pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya sulit.” gumanku.
Pram mengangguk lalu menoleh ke arahku.
“Kalo asal jawab, gampang aja bu. Tapi kalo pertanyaannya direnungkan terlebih dahulu, jawabannya bakal sulit.”
Aku mengangguk pelan, setuju dengan apa yang ia katakan.
“Udah, gak perlu dipikirin bu..” katanya ketika melihatku termenung sambil menatap langit-langit kamarku.
“Mending sekarang kita tidur..” sambungnya sambil mendekapku.
Kumiringkan tubuh, lalu menatap sambil mengusap pipinya.
“Terima kasih untuk hadiahnya. Terima kasih untuk dorongan semangat dan dukungannya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang telah kamu lakukan untuk ibu dan Nova.” gumanku.
Pram hanya tersenyum, lantas mendekatkan wajahnya sambil balas mengusap lembut pipiku. Dan akhirnya, bibir kami pun kembali menyatu dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh rasa.
Aku sadar, semua yang terjadi padaku akan berakhir saat Pram lulus kuliah dan melanjutkan perjalanan hidupnya. Atau mungkin saja, keberuntunganku akan terus berlanjut, dengan tetap hadirnya Pram disisiku, walaupun hal tersebut sangatlah tidak mungkin.
Ia akan pergi, berkelana, untuk memulai perjuangan hidup yang sesungguhnya, sekaligus untuk berusaha mencari jawaban dari pertanyaan ‘
Apa yang kamu cari’.
Selama aku dekat dan mengenalnya lebih dalam, Sedikit banyak, aku mulai belajar untuk memandang kehidupan melalui matanya, walaupun terasa sangat sulit dan membosankan.
Ditengah putaran roda waktu yang bergerak cepat, Pram tampak seperti sedang berjalan pelan, menikmati jalan hidupnya dengan kesederhanaan.
Dan sebagai seorang wanita dewasa yang tengah dalam proses menuju perceraian, kesendirianku lenyap berkat kehadirannya. Jika ia sedang belajar untuk menjadi pria dewasa melalui jalinan kedekatan kami, maka, aku pun sedang belajar bagaimana cara menjalani kehidupan seperti yang ia lakukan.
Tidaklah mudah bagiku untuk mengerti dan memahami keunikan yang kutemukan dalam dirinya. Mungkin, bukan hanya aku saja yang mengalaminya, tetapi bagi mereka yang telah mengenalnya pun merasakan hal yang sama.
Ditengah hiruk pikuk kehidupan kota yang gemerlap, godaan kenikmatan duniawi tak pernah berhenti menyapa. Deretan kafe, diskotik, mall dengan bergam tawaran materi yang memanjakan mata, dan semua itu hanya terlewatkan begitu saja olehnya.
Saat lelaki muda lainnya menenggelamkan diri mereka dalam kesenangan dan hura-hura, Pram justru memilih menjalani kehidupannya dengan tenang. Yang paling membuatku terkagum-kagum adalah kekuatan mental dan kedewasaannya dalam menghadapi godaan kenikmatan seks yang datang.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum dan melewatkannya begitu saja.
Hampir lewat tengah malam, aku masih belum memejamkan mata, sementara Pram, lelakiku, telah terhanyut dalam mimpi indah.
Pikiranku masih berkelana, melayang jauh, menembus dimensi waktu. Ingatan tentang masa mudaku, tentang perkenalakanku dengan suamiku, pernikahanku, hingga akhirnya aku bertemu dengan Pram, diatas puing-puing kehancuran rumah tanggaku.
Terasa seperti mimpi, mimpi yang sangat aneh, dimana air mata kesedihan berganti canda tawa dan rona kebahagiaan sempurna untukku.
Aku tahu, Pram menyayangiku, menyayangi putri kecilku, Nova, dan ia telah membuktikannya. Dalam hangat dekapannya, kupandangi wajahnya yang tampak tenang dan nyaman terlelap.
Apakah ada beban di hatinya? Atau ada kebimbangan disana? Aku tak pernah mengetahuinya karena ia selalu menunjukkan ketenangan dalam kesehariannya, seolah segala sesuatunya berjalan baik. Pram adalah keajaiban, keberuntunganku.
Sebelum memejamkan mata, kusempatkan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta, karena memberiku keindahan dalam jalan takdir.
Kukecup lembut permukaan bibirnya, sebelum akhirnya memejamkan mata dalam damai, dalam hangat pelukannya.
= = =
Hampir pukul lima pagi aku terjaga dari tidur dan tak menemukan Pram disampingku. Buru-buru aku menggosok gigi dan melangkah ke dapur.
Pram lelakiku tengah duduk di meja makan, dengan sarapan yang telah tersaji dan laptop dihadapannya.
“Sayang bangun jam berapa??” tanyaku heran.
“Jam setengah empat bu..” jawabnya sambil menggeser segelas kopi ke arahku.
Sejenak kupandangi layar laptopnya sambil menyeruput kopi buatannya.
“Ngerjain Skripsi?” tanyaku.
Pram mengangguk pelan sambil menarik pinggangku untuk berdiri didekatnya, disamping kursi yang ia duduki.
“Ini ada
typo.” kataku sembari meletakkan gelas kopi lalu menunjukkan sebuah kata yang salah penulisannya.
Bukannya melihat layar laptop, Pram justru memandangi payudaraku yang sedikit tersingkap dibalik kimo handuk yang kukenakan.
Tentu saja tingkahnya membuatku tertawa, apalagi ia dengan santainya semakin membuka lebar kimonoku di bagian dada, sehingga membuat seluruh bagian payudaraku terlihat jelas.
“Nanti aja dibenerin typonya.” katanya sambil meremas lembut payudaraku.
“Ini skripsi lhooo.. penting banget sayang..”
“Iyaaaa.. tapi nanti aja.. ini juga penting kok.” balasnya sambil menuntun tubuhku untuk duduk diatas pangkuannya.
Pram segera melingkarkan tangan dipinggangku, sementara aku melingkarkan tangan di lehernya. Ikatan tali kimono handuk yang melingkar di pinggangku pun terlepas dengan sendirinya, sehingga menampakkan tubuh telanjangku yang tak tertutupi oleh pakaian dalam.
“Kalo sayang capek, biar ibu yang edit skripsinya, benerin typonya.”
Pram hanya menggelengkan kepala, lantas memelukku dengan sangat erat. Tentu saja aku balas memeluknya dengan segenap rasa.
Dalam keheningan pagi, tubuh kami menyatu dalam kehangatan, tanpa ada satu kata pun yang terucap.
Darinya, aku belajar bagaimana menikmati hidup, menikmati momen kebersamaan kami tanpa harus dicemari oleh nafsu birahi.
Sangatlah sulit bagiku, namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai mengikuti arus pemikirannya, mengikuti irama dan ritme dalam kedekatan kami.
Sentuhan-sentuhan lembut di tubuhku, seperti yang ia lakukan beberapa saat yang lalu, berhasil memantik gelora nafsuku, namun aku tahu, ia tak bermaksud untuk menggodaku agar kami bersetubuh, namun hanya sekedar sentuhan biasa, sebagai ungkapan rasa di hatinya.
Di masa lalu, saat masih menjalani rumah tangga, belum pernah sekalipun aku mengalami hal seperti ini. Hal-hal kecil, romantisme dalam kesederhanaan seperti inilah yang semakin merekatkan hati kami.
Aku merasa jauh terikat lebih kuat pada Pram, dibandingkan pada suamiku sendiri, bahkan ketika aku belum mengetahui perselingkuhannya.
Lantas, apa yang mendasari perasaan yang semakin kuat ini?
Terlepas dari fakta bahwa Pram adalah seorang pemuda yang berasal dari keluarga berada, aku merasa jauh lebih nyaman, dan merasa menjadi perempuan yang istimewa.
Ketika sebagian besar lelaki seusianya memilih untuk berburu kenikmatan duniawi, Pram justru melawan arus. Ia hanya memfokuskan perhatiannya padaku.
Godaan dan tawaran kenikmatan dariku pun terkadang dilewatkannya begitu saja.
Dalam bahasa sederhana, Nina telah mengisyaratkan ajakan unruk melakukan salah satu fantasi seks yang panas dan cukup menegangkan, namun, lagi-lagi lelakiku hanya melewatkannya begitu saja.
Pram adalah tipe lelaki yang hanya ingin menjalin hubungan cinta eksklusif, dimana aku adalah satu-satunya perempuan yang bersemayam di hatinya, dan begitu pula sebaliknya.
Sama halnya denganku, menginginkan dia adala milikku seorang. Namun, pengalaman pahit kehilangan suami akibat perselingkuhan, sedikit banyak memberiku pelajaran bahwa godaan kenikmatan yang selalu datang dapat meluluhkan keteguhan hati seorang pria.
Itulah salah satu alasan, mengapa aku membebaskan Pram untuk bercinta dengan wanita lain, terutama Nina, namun harus dengan sepengetahuanku.
Aku tak ingin mengekang kebebasannya, namun tak ingin pula kehilangannya, walaupun sebenarnya hubungan kami tanpa didasari oleh komitmen apapun.
Namun, Pram tetaplah Pram. Tawaran itu akhirnya terlewatkan begitu saja. Berdasarkan cerita Nina, dan pengakuannya sendiri, bagiku, ia seolah telah ditempa oleh realita dan menjadi semakin matang dan kuat karenanya.
Namun, apakah keteguhan hatinya akan terus bertahan, atau, apakah Pram akan jatuh dalam godaan tersebut?
♡♡♡bersambung♡♡♡
Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
Terima kasih