Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

RINDIANI The Series - Seri 9
Sosok-Sosok Luar Biasa

part 1



Rindiani

Pram menghempaskan tubuhnya diatas ranjangku setelah sebelumnya berganti pakaian dengan pakaian yang biasa ia gunakan dirumah. Aku memandanginya lewat pantulan cermin di meja riasku karena sedang membersihkan wajah, sebelum kami beristirahat.

“Mau ibu pijetin?” tanyaku, sambil mengusapkan kapas pembersih ke seluruh bagian wajahku.

“Enggak bu, gak capek kok.”

Setelah berganti pakaian, aku menyusul lelakiku diatas ranjang dan berbaring di sisinya.

“Mbak Aya kalo belanja boros banget yah.” gumanku.

“Dulu gak begitu bu. Sejak dia kerja aja jadi boros kayak gitu.”

“Oohhh, ya pantes aja. Soalnya udah bisa nyari duit sendiri.”

“Pakaiannya banyak banget. Dirumah kami aja ada dua lemari besar. Gak tau di apartmentnya di jakarta. Sepatunya juga banyak.” keluhnya.

“Namanya juga cewek, jadi wajar aja kalo gitu.”

Pram mendengus kesal.

“Tapi kan jadi boros banget bu. Kadang dia beli pakaian, cuman sekali dipakai, trus disimpen gitu aja sampe rusak, kadang dikasih ke orang lain.”

“Cewek ya emang begitu, sayang. Apalagi udah kerja, udah mapan, bisa nyari duit sendiri.”

“Emang tadi mbak Aya belanja apaan bu?”

“Banyak banget. Baju, celana, celana dalam, Bra, sepatu, tas..”

“Ibu juga di beliin kayak gitu.” sambungku.

Pram tertawa, lalu berbaring miring, menghadap ke arahku.

“Dulu, pas mbak Aya kesini, Nina juga dibelanjain kayak gitu, soalnya nemenin dia belanja. Mbak Aya itu royal bu, kalo sama temen gak perhitungan.”

“Iya, tadi belanja asal ambil aja, gak mikir harganya berapa.” timpalku.

“Ibu udah nolak, tapi Mbak Aya maksa banget, jadi ya ibu terima aja.”

“Ibu gak mungkin bisa menolak mbak Aya. Dia keras kepala banget bu.”

Aku mengangguk, menyetujui apa yang Pram katakan. Calya memang keras kepala, namun dalam hal yang baik. Ia hanya berusaha untuk menyenangkan hati orang yang ia kenal.

“Beruntung banget cowok yang bisa jadi suaminya nanti.” gumanku.

“Iya, sama kayak ibu, beruntung banget laki-laki yang bisa jadi suami ibu.”

Aku menatap Pram dengan sedikit keheranan.

“Kayaknya enggak. Suami ibu aja selingkuh, trus pergi.”

Pram tersenyum, lalu mengusap pipiku dengan lembut.

“Karena dia bukan laki-laki yang bisa melihat keindahan ibu.” katanya.

“Apanya yang indah? Maksud kamu gimana?”

Pram menatapku, lalu mendekatkan tubuh padaku.

“Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya. Itu wajar, hal yang manusiawi. Sebagai seorang wanita, seorang ibu, menurut saya, ibu sudah menjadi yang terbaik. Sempurna.”

“Lemah lembut, baik, pengertian, bisa mengurusi keluarga, tegar dan kuat.” sambungnya lagi sambil terus menempelkan telapak tangannya dipipiku.

“Menurut kamu, ibu udah sempurna sebagai seorang wanita? Seorang istri?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mengecup bibirku sesaat.

“Saya tidak tahu persis, apa yang menyebabkan suami ibu pergi. Kenapa dia selingkuh. Tapi saya sudah merasakan dan tahu bagaimana rasanya menjadi laki-laki disamping ibu. Mungkin masih ada hal yang belum saya ketahui tentang ibu, tapi saya yakin, ibu adalah seorang istri yang baik, istri yang sempurna.”

Sedikit banyak, apa yang Pram katakan membuatku bangga dan hatiku berbunga-bunga. Aku yakin, Pram tidak sedang merayuku. Ia berkata sesuai dengan apa yang ia rasakan dan ia lihat selama ini.

“Iya, ibu juga gak tahu penyebab kenapa suami ibu selingkuh.”

Kami terdiam sesaat, saling menatap wajah dengan mesra.

“Seharusnya sebagai suami, dia menjadi pelengkap kekurangan ibu, menjadi pembimbing dan penyempurna hidup ibu.”

“Tapi sudahlah, gak perlu dipikir lagi bu, semua sudah terjadi.” sambungnya.

Aku hanya mengangguk pelan, menatap dalam-dalam wajah lelakiku.

“Hidup ibu ya seperti ini, seperti yang kamu kenali dan lihat selama ini. Gak ada yang ibu sembunyikan atau ibu tutupi dari kamu.”

Pram tersenyum, lalu kembali mengusap pipiku.

“Mungkin ibu belum sempurna dimata orang lain. Hal itu wajar kok, manusiawi. Tapi, sebagai makhluk yang dilengkapi dengan akal budi, hati nurani, ibu telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi pribadi yang baik.”

“Haduuhhhh.. kamu ngomongnya kepinteran. Pakai bahasa yang biasa aja dong, bahasa sederhana aja biar ibu paham.”

Pram tertawa, lalu mencubit pipiku dengan gemes.

“Gini aja deh.”

“Ibu inget waktu kita ngobrol di halaman rumah ibu tempo hari? Waktu siang itu lho bu, sambil ngopi dibawah pohon.”

“Iya, ibu inget. Itu kan pertama kali kita ngobrol, kalo gak salah sih.” jawabku.

“Iya, ibu bener. Waktu itu ibu bilang kalo ibu sadar, bahwa apa yang kita lakukan sekarang, apa yang terjadi diantara kita adalah hal yang salah. Maksud ibu tentang hubungan seks kita. Iya kan?”

Aku mengangguk, dan mengenang kembali moment tersebut.

“Artinya, ibu masih punya hati nurani, punya kontrol yang baik atas prilaku ibu sendiri.”

Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan olehnya, karena bagiku, obrolan kami kali ini terbilang cukup serius dan berat bagiku.

“Kalo ibu gak punya hati, ibu gak akan ngomong seperti itu. Malah, mungkin saja ibu akan lebih liar dan gila dalam urusan seks.”

“Contoh lainnya lagi.” sambungnya.

“Ibu gak ingin kehilangan Nova, karena ibu merasa bertanggung jawab terhadapnya. Padahal, kalo mau ngelepas Nova biar diasuh suami ibu, mudah banget. Tapi ibu memilih untuk mempertahankan Nova, karena ibu memiliki hati nurani.”

Sedikit banyak, aku mulai memahami apa yang coba dijelaskan oleh Pram.

“Gimana ya Pram, hhmmm.. sebenernya ibu hanya menjalani semuanya sesuai dengan apa yang ibu rasakan.”

“Misalnya tentang Nova. Dia kan anak ibu. Ibu udah mengandung dia, menyusui dia, merawat dia. Dia bagian dari hidup ibu, dan ibu gak mau kehilangan dia.”

“Nah..! Itu maksud saya bu. Ibu memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang ibu. Padahal kalo ibu gak mau repot, gak mau pusing, ibu serahkan Nova ke suami ibu aja, bisa. Dan beban hidup ibu bisa berkurang. Tapi ibu gak melakukannya. Ibu memilih untuk tetap mempertahankan Nova.”

Aku mengangguk, dan mulai memahami apa yang coba Pram katakan.

“Memang sih, kadang kita gak selalu baik sepanjang waktu. Ada saat dimana cacat, atau kekurangan kita menjadi hal yang kurang menyenangkan, terutama bagi pasangan kita. Tapi, apapun itu, seharusnya bukan menjadi alasan untuk berselingkuh.”

“Iya, ibu setuju. Kamu bener.”

“Nah, dari semua hal itu, menurut saya, ibu adalah perempuan sempurna, seorang ibu dan istri yang sempurna.”

“Tapi ibu gak cantik, gak pinter seperti mbak Aya, gendut lagi…” gerutuku.

Pram menggelengkan kepala, lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku.

“Yang penting isi hati ibu, dan bagaimana cara ibu menjalani kehidupan. Fisik itu hanya bonus.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Seharusnya kamu jadi Motivator aja.” gumanku sambil mencubut pipinya.

Pram tertawa, lalu memelukku dengan sangat erat untuk beberapa saat.

“Gak mau. Jadi motivator itu harus pinter. Saya gak pantas bu.”

“Kamu pantes banget kok sayang. Kalo bukan karena kamu, mungkin ibu gak akan jadi seperti sekarang ini. Ibu bisa bangkit dan berjalan lagi karena kamu selalu membimbing ibu, menyemangati ibu.”

“Kemarin-kemarin ibu gak pede dengan fisik ibu, tapu kamu berhasil merubahnya.” sambungku lagi.

Selanjutnya kami hanya menghabiskan waktu dalam diam. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

“Kita nonton tv yuk bu.”

“Iya, boleh.. lagian masih sore, belum ngantuk juga.”

Pram terlebih dahulu menuju ke ruang tengah, sementara aku menyempatkan diri untuk ke kamar mandi, lalu berganti pakaian sebelum menyusulnya.

Ketika melihatku keluar dari kamar tidur, Pram tersenyum. Ia nampak senang dengan pakaian yang kukenakan.

“Seksi..” gumannya.

Aku tersenyum, lalu duduk disampingnya.

“Ini baju yang tadi di beliin mbak Aya. Sebenernya satu set sama pakaian dalamnya. Tapi dalemannya besok dicuci dulu deh, baru dipakai.”

“Pantes aja. Mbak Aya kan baju tidurnya selalu seksi kayak gini.”

“Oh ya?? Emang kamu sering lihat mbak Aya pakai pakaian seksi?”

Pram menghela nafas, lalu membaringkan tubuh dengan kepala beralaskan pahaku.

“Dia sih cuek aja. Masa bodoh. Saya yang risih, gak nyaman kalo lihat dia pakai pakaian seksi.”

“Namanya juga baju tidur, jadi ya biasanya kan emang seksi.” kataku.

“Iya sih, cuman saya aja yang gak nyaman lihat dia kayak gitu.”

“Kalo ibu yang pakai pakaian seksi gimana? Kamu risih?” tanyaku.

Pram tertawa sejenak, lalu meraih tanganku dan mengecupnya.

“Kalo ibu yang pakai, saya suka.” jawabnya.

Aku menunduk, lalu mengecup kening lelakiku.

Tujuan untuk menonton tv tak sepenuhnya tercapai, karena sesampainya di ruang tengah, kami kembali berbincang-bincang. Entah acara apa yang tersaji dilayar tv, kami tak memperdulikannya.

“Emang kalian akrab dari kecil ya? Deket dari kecil?” tanyaku.

“Iya bu. Dari kecil mbak Aya emang udah deket sama saya. Kalo tidur malam, pasti ditemenin sama dia. Tapi sejak dia masuk SMP, udah gak nemenin lagi.”

“Tuh kan, berarti mbak Aya sayang sama kamu. Bukan bawel.”

“Tapi dulu dia gak kayak sekarang ini kok bu. Dulu waktu masih kuliah, dia gak bawel, gak cerewet kayak sekarang.”

Aku tertawa mendengar keluhan lelakiku. “Haduuuhhhhh kamu ini yaaa. Wajar aja dia cerewet, karena mbak Aya itu punya adik cuman satu, ya kamu ini satu-satunya adiknya, saudaranya. Dia itu sebenernya perhatian dan sayang sama kamu. Dia kan kakak kamu, dia yang bertanggung jawab terhadap kamu sekarang.”

“Iya juga sih bu, bener begitu. Tapi saya kan bukan anak kecil lagi. Jadi kan gak perlu diatur harus begini, harus begitu, gak boleh begini, gak boleh begitu.”

“Kalo tentang mengatur hidup kamu, sebenernya itu hanya sekedar mengingatkan aja kok Pram. Dan ibu yakin, mbak Aya gak ada niat untuk mengatur hidup kamu.”

Sejenak, Pram tak melanjutkan obrolan kami. Tatapan matanya menerawang ke arah langit-langit rumah.

“Kalo sama bapak ibu, Pram juga deket?” tanyaku.

“Biasa aja sih bu, gak deket-deket amat.”

“Berarti lebih deket sama mbak Aya kan?”

“Iya..”

“Nah.. maka dari itu, sebagai seorang kakak, mbak Aya ingin supaya kamu hidup dengan baik, tidak kekurangan satu apapun.”

“Percaya deh sama ibu, mbak Aya gak bawel dan gak cerewet seperti yang kamu kira.”

“Kalo ibu berada di posisi mbak Aya, ibu pun akan bersikap sama seperti dia.”

Pram tersenyum sambil menatap wajahku.

“Kok ketawa?”

“Ibu gak cocok kalo jadi perempuan bawel dan cerewet.” gumannya.

“Kok bisa? Gak cocok gimana?” tanyaku heran.

“Ibu orangnya lemah lembut, gak banyak bicara. Saya udah ngerasain dan sedikit banyak memahami ibu. Jadi, rasanya gak cocok aja kalo ibu jadi bawel.”

Apa yang Pram katakan tentang aku, benar adanya. Aku tidak terbiasa mengatur kehidupan orang lain, hal itu bukanlah karakterku. Aku lebih memilih untuk mempercayai orang lain dalam menjalani kehidupannya, menyerahkan sepenuhnya semua keputusan tentang jalan hidup pada orang tersebut.

“Kalo misalnya ibu yang ngatur kamu gimana? Kamu mau dengerin?” tanyaku.

Pram tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku.

“Mau kok bu.”

“Sama mbak Aya juga saya selalu ndengerin kok bu, cuman kadang ya saya ngerasa terlalu berlebihan aja.”

“Berlebihan gimana sih sayang? Coba jelasin.”

“Misalnya saya dikontrakkan rumah selama kuliah. Itu kan gak penting banget, mending ngekost aja, lebih hemat. Saya mau di beliin mobil buat transport kuliah. Itu kan pemborosan, padahal pakai sepeda motor aja kan udah bisa, udah cukup.”

“Iya sih. Tapi mungkin mbak Aya emang ingin supaya hidupmu disini nyaman dan gak kekurangan satu apapun.” kataku.

“Justru dengan hidup seperti sekarang ini, saya nyaman bu. Saya gak perlu mobil buat kuliah. Saya lebih senang ngekost.”

“Jujur aja ya sayang. Ibu heran lho sama kamu. Kayaknya, Kamu ini anak orang kaya lho, dan mbak Aya mampu membiayai hidup kamu melebihi kebutuhan kamu. Tapi kamu lebih senang hidup sederhana, hidup seperti sekarang ini.”

Pram kembali tersenyum.

“Bu, yang kaya itu orang tua saya, Mbak Aya. Mereka yang punya uang. Sedangkan saya, masih kuliah, belum punya apa-apa.”

“Saya juga kepingin hidup seperti mbak Aya kok. Punya mobil, bisa beli rumah, beli apartment, punya tabungan, bisa senang-senang. Tapi belum saatnya, saya belum sampai di masa itu. Jadi, buat apa saya membanggakan hal itu, kalo sebenernya semua itu adalah hasil keringat orang tua saya, hasil keringat mbak Aya?”

Sebuah pemikiran yang realistis dan bijak dari lelakiku. Sedikit banyak, kepribadiannya menambah keunikan yang selama ini selalu kudapati dalam dirinya.

Pram bukan seorang pemuda biasa, tetapi luar biasa. Aku sangat yakin, kedua orangtuanya pasti sangat bangga padanya.

“Ibu bangga sama kamu. Dan ibu senang bisa kenal kamu. Ibu yakin, suatu saat nanti kamu akan jadi orang sukses.” gumanku sambil mengusap kepalanya.

“Amiinnnn..”

“Saya juga senang bisa kenal ibu, bisa dekat dengan ibu.”

Aku menundukkan kepala, lalu mengecup bibirnya. Ciumanku berbalas dengan lumatan lembut pada bibirku.

Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat ciuman itu. Aku yakin akan hal itu. Setelah kecupan itu berakhir, kuusap pipinya, lalu mengecup keningnya. Pram tersenyum, lalu mempererat pelukannya pada pinggangku.

“Oh iya, ibu mau nanya..”

“Ngomong-ngomong, kapan pertama kali Pram tahu kalo suami ibu selingkuh sama Anita.”

“Pertama kali lihat waktu fotokopi tugas kampus. Kebetulan Anita ada disitu, lagi fotokopi juga. Dia ditemenin sama suami ibu.”

“Selama ini, gosipnya emang Anita itu simpenan om-om, tapi belum pernah ada yang lihat orangnya. Waktu di tempat foto kopi itu, saya yakin, suami ibu gak mengenali saya, mungkin karena saya baru aja ngekost disini, jadi belum hafal dengan wajah saya.”

“Kalo ibu nanya, kapan mereka mulai selingkuh, saya gak tau bu.”

“Ya udah, gapapa, ibu cuman pengen tau aja kok Pram”

“Emang sebelum ketahuan itu, ibu gak curiga? Atau mungkin suami ibu berubah.”

“Ibu gak curiga, soalnya semuanya berjalan normal. Dia juga gak berubah. Jadi, ibu sama sekali gak curiga.”

“Pinter banget nutupinnya.” guman Pram.

“Tapi akhirnya terbongkar juga.” timpalku.

“Waktu malam mau ke kantor polisi itu, kok ibu datengin saya? Kenapa ibu memilih saya untuk mengantar ke kantor polisi?” tanyanya.

“Malam itu, pikiran ibu benar-benar kacau. Ibu gak tau harus minta tolong sama siapa. Ya cuman kamu aja yang bisa ibu mintain tolong. Ibu gak mungkin pergi kesana sendirian sama Nova.”

“Ibu bener-bener kalut, kacau. Dan gak tau kenapa, yang dipikiran ibu muncul nama kamu.”

Pram mengangguk pelan,

“Saya udah mulai kerasa waktu itu. Waktu ibu bilang kita ke polsek. Pasti karena suami ibu.” jawabnya.

“Temen-temenmu yang lain tau? Kalo laki-laki itu suami ibu?” tanyaku lagi.

Pram menggelengkan kepala.

“Ya udah, biarin aja begitu. Biarin nanti mereka tau dengan sendirinya.”

“Iya bu.” jawabnya singkat.

Sejenak kami terdiam, sementara Pram memejamkan mata, menikmati pelukannya pada tubuhku dan usapanku di kepalanya.

Kadang, aku masih bertanya-tanya, mengapa aku bisa seberuntung ini. Setelah terpuruk dan jatuh dalan ujian hidup, aku bisa perlahan bangkit, dan menemukan kebahagiaan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Lelaki muda yang kini berbaring dipangkuanku, mengisi kekosongan, mengantikan tempat yang ditinggalkan oleh suamiku. Ia menggantikannya dengan penuh ketulusan, mengembalikan senyum diwajahku.

Kegilaan-kegilaan yang kami lakukan hanyalah sedikit bagian dari bumbu-bumbu yang melengkapi hubungan kami. Di lain pihak, lelaki muda ini memberiku kebebasan, memintaku untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus merasa malu, atau menutup-nutupi tentang diriku yang sebenarnya.

Dan kini, setelah berbulan-bulan kedekatan kami, inilah aku yang sekarang, seorang wanita yang berbahagia, wanita yang kian percaya pada diri sendiri.

Mungkin saja, Pram memang seperti itu adanya. Pribadi yang hangat dan mampu membawa keceriaan pada orang lain, namun fakta bahwa usia kami yang tidak ideal untuk menjadi sepasang kekasih, atau suami istri, sedikit banyak membuatku terganggu.

“Kalo emang kita beneran jadi pacaran, emang kamu gak malu?” tanyaku memecah keheningan.

“Enggak.” jawabnya singkat.

“Beneran??” tanyaku lagi. Pram mengangguk mantap.

“Soal hati, kenapa harus malu?” tanyanya.

“Ibu lebih tua lho sayang, udah punya anak lagi.” kataku.

“Iya, saya tau itu, saya sadar kok bu. Tapi gini, saya nyaman bersama ibu, dan saya bisa ngerasain kalo ibu pun nyaman bersama saya. Bagi saya, itu yang paling penting.”

“Tentang pendapat orang lain, omongan orang lain, biarkan aja. Mereka memang berhak untuk beropini, tapi tidak berhak untuk menentukan pilihan kehidupan saya.”

Jawabannya benar-benar membuatku tepana. Sungguh sangat dewasa dan matang dalam memikirkan kehidupan, terutama tentang jalan hidupnya.

“Ibu malu?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Ibu juga pengen tiduran” kataku.

Pram mengangkat kepalanya, membebaskan pahaku lalu memberiku ruang disisinya untukku berbaring.

Terasa lucu dan unik, bukannya menghabiskan waktu dengan bersantai diranjangku, kami malah memilih sofa ruang tengah sebagai gantinya.

Satu kakiku menumpang diatas pinggulnya, merangkulnya, dengan posisi membelakangi layar tv. Pahaku tersingkap, karena baju tidur yang kukenakan terlalu pendek, apalagi aku tidak mengenakan pakaian dalam.

“Ibu gak malu kok. Cuman ibu khawatir aja, sayang malu atau gimana gitu kalo misalnya mereka tau kita sedekat ini.”

Pram tersenyum, lalu dengan lembut melumat bibirku.

“Kamu disuruh mbak Aya nyari pacar lho..?”

Pram, lelakiku tersenyum sambil mengusap pipiku.

“Gak mau. Udah ada ibu.” jawabnya singkat.

“Kita kan bukan pacaran.”

“Iya, saya tau kok, kita memang bukan pacaran, tapi udah kayak suami istri.”

“Iya sih, kalo kamu mau cari pacar, gapapa kok Pram. Ibu ngerti.”

Pram menatapku dalam-dalam. Telapak tangannya menempel erat dipipiku. Ia mendekatkan wajahnya, lalu melumat bibirku dengan lembut. Aku tahu, Pram menolak usulanku lewat ciumannya yang mesra.

“Saya gak akan melakukan hal seperti itu bu. Sama aja saya menyakiti hati ibu. Saya gak mau.” jawabnya dengan suara pelan.”

Segera kuusap pipinya, lalu melumat bibirnya. Aku menciumnya sebagai ungkapan terima kasihku karena Pram selalu mampu menjaga perasaanku. Ia sangat mengormati dan menghargai kedekatan kami, walaupun sebenarnya, kami bukanlah sepasang kekasih maupun suami istri.

Aku tak pernah merasa tersakiti atau direndahkan, sebaliknya, ia membuatku semakin menyayangi dan mencintainya dengan perlakuannya terhadapku. Aku jauh lebih bahagia, melebihi kehidupan yang pernah kujalani dulu.

Penghargaannya terhadapku membuatku merasa menjadi perempuan istimewa, walaupun pada kenyataannya, aku bukanlah siapa-siapa dalam hidupnya. Pram menyempurnakan perjalanan hidupku.

“Nanti kalo kamu dijodohin sama bapak ibumu, gimana?”

Pram tertawa geli mendengar apa yang kukatakan.

“Ibu ini ada-ada aja..” gumannya.

“Lho, bisa aja begitu kan? Apalagi kamu anak laki-laki satu-satunya.”

“Iya, saya anak laki-laki satu-satunya. Tapi saya tahu, orang tua saya bukan orang tua seperti itu.”

“Ibu lihat mbak Calya. Sampai sekarang aja belum nikah, gak punya pacar juga. Tapi gak dicariin jodoh kan?” jawab Pram.

“Iya sih.” jawabku singkat.

“Kalaupun emang dijodohkan, pasti mereka akan ngomong dulu sama saya. Saya yakin begitu. Orang tua saya gak mungkin melakukannya diam-diam, tanpa sepengetahuan saya atau mbak Aya.”

Sedikit banyak, aku mulai memahami kehidupan Pram maupun keluarganya. Aku yakin, mereka adalah keluarga yang harmonis dan modern, saling menghormati satu dengan yang lain.

Namun , tetap saja ada kekhawatiran dalam hatiku tentang reaksi penolakan mereka, jika suatu saat aku dan Pram bisa menjalani hubungan kami lebih serius.

Aku pernah tersakiti oleh lelaki, suamiku sendiri. Namun aku yakin, Pram akan menjadi kebahagiaanku yang lain dan tidak akan pernah menyakitiku. Aku yakin akan hal tersebut.

Disisi lain, keluargaku, Nova putri kecilku, semuanya tampak menerima Pram dengan baik. Apakah keluarga Pram juga akan menerimaku dengan tangan terbuka?

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.

Terima kasih :rose:
 
Terima kasih untuk update nya...
Ini yang saya idam idamkan cerita seks yang gak melulu ngebahas perkelaminan... Biar meki rindi ama konti pram istirahat dulu..
Lanjut ke cerita pemahaman karakter ama kesungguhan hubungan ini mau di bawa kemana..
Pram.. Mumpung masih libur kuliah dan warung lagi sepi... Bolehlah ajak bu rindi ngejenguk adek nova.. Itung itung kasih perhatian ke nova serta ayah ibunya bu rindi..
Semangat pram.. Ukur dan status bukanlah hambatan untuk kisah kalian..
Salam buat adek nova
 
part 2



Rindiani


Di mataku, Calya adalah sosok pribadi yang baik, walaupun sangat keras kepala dan protektif terhadap Pram. Namun aku belum bisa menebak bagaimana reaksinya jika ia mengetahui kedekatanku dengan sang adik, Pram.

“Kamu udah ngantuk?” tanyaku.

“Belum bu.”

“Mau ibu buatin kopi? Atau teh?”

Pram menggeleng, lalu merapatkan tubuhnya padaku. Kami saling berpelukan, dengan kepalanya berada didadaku. Tangannya bergerak pelan, mengusap pahaku yang terbuka karena bajuku tersingkap.

“Sekarang, ibu kok jadi ketahihan gak pakai celana dalam sih?” tanyanya sambil mengusap lembut pahaku, hingga kebagian pinggul.

Aku tersenyum, lalu menyentuh ujung hidungnya dengan jari telunjukku.

“Bukan ketagihan, sayang. Tapi cuman pengen nyoba aja sih. Pengen tau gimana rasanya.”

“Trus gimana? Ibu suka?”

“Hhmmmm.. rasanya sih deg-degan, was-was kalo ada yang tau ibu gak pakai daleman. Tapi jadi gimana gitu, horni juga.”

Pram tertawa. Tanganya terus bergerak pelan, mengusap permukaan kulitku dengan lembut. Aku menikmatinya, membiarkan lelakiku menyentuhku sesuka hati, karena aku pun menyukainya.

“Tapi ibu gak boleh keseringan kayak gitu ya. Saya gak mau ibu jadi perempuan seperti itu.”

“Iya sayang. Ibu ngelakuin kayak gini kalo keluar sama kamu aja kok. Dan, kalo sayang gak ngijinin, ibu gak akan melakulannya.” jawabku sambil mengusap pipinya.

“Emang dulu, waktu sama suami, ibu gak pernah nyoba?”

“Gak pernah..”

“Ya sama sayang aja, ibu jadi ngerasa bebas gini. Bisa ngelakuin apa aja, nyobain apa aja. Gak tau kenapa, tapi rasanya ya karena sayang ngasih kebebasan dan terbuka sama ibu.”

Pram tersenyum, lalu mengecup bibirku. Sebuah kecupan cepat dan mesra, walaupun ia tak melumat bibirku.

“Karena saya ingin membahagiakan ibu dengan cara saya. Saya gak ingin mengekang ibu. Tapi saya juga gak ingin ibu berubah karena kebebasan itu.”

Aku mengangguk, memahami apa yang Pram sampaikan.

Selama ini, Pram selalu berupaya membahagiakanku dan dia berhasil. Ia tak pernah menuntut sesuatu dariku, mengatur atau memaksakan kehendaknya padaku. Dan dengan cara itu, Pram membahagiakanku, sekaligus menghargai dan mengormatiku sebagai perempuan istimewa baginya.

Kebebasan adalah hak dasar setiap individu. Namun dalam sebuah ikatan hubungan asmara, seperti yang terjalin selama ini, aku lebih memilih untuk menjalankan kebebasanku atas persetujuan Pram, demi menjaga dan mengormatinya, dan untuk kebaikan hubungan kami.

“Trus, apa lagi yang pingin ibu coba?” tanyanya.

Aku berpikir sejenak, memikirkan apa saja keinginanku yang selama ini belum sempat kulakukan.

“Kayaknya sih udah semua. Yang pengen ibu coba itu udah kejadian semua.” jawabku dengan ragu.

Pram tersenyum.

“Yakin? Udah gak ada lagi?” tanyanya.

Kembali aku terdiam, mencoba memikirkan apa saja fantasiku yang belum terwujud.

“Gak tau juga sih sayang. Biasanya kepikirannya pengen apa gitu tiba-tiba muncul aja sih. Kayak tadi sore itu, pengen nyobain jalan-jalan gak pakai celana dalam. Itu spontan aja kok.”

“Tadinya ibu mau ngomong dulu sama kamu, tapi takut kamu gak ngijinin.” sambungku.

Pram, lelakiku tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut. Aku membalas dengan melumat bibir bawahnya ketika ia menikmati bibir atasku.

Sambil bercumbu, kuselipkan tangan diantara himpitan tubuh kami, meraih dan menggengam kemaluannya. Pram mengehentikan sejenak ciumannya, lalu mengusap pipiku dengan lembut. Ditatapnya wajahku untuk beberapa saat, lalu perlahan memejamkan mata dan kembali melumat bibirku.

Perlahan, aku mulai merasakan birahiku kembali bergejolak, dan aku yakin, Pram pun merasakan hal yang sama, karena dibawah sana, penisnya mengeras setelah beberapa saat merasakan remasan jemariku.

Sebagai balasannya, Pram mulai menyentuh organ intimku. Jemarinya merayap melalui pinggulku, menuju ke bagian kemaluanku, dari arah belakang.

Ia mengusapnya, menyentuh setiap bagian kemaluanku sehingga aku mulai merasa kegelian sekaligus terangsang. Satu jarinya mulai memasuki vaginaku, hanya sedikit bagiannya, namun cukup untuk membuat tubuhku menggelinjang.


Sesaat berlalu, pinggulku mulai bergerak perlahan, seolah meminta tusukan jarinya agar bergerak masuk lebih dalam lagi, pada liang vaginaku.

Pram seolah sedang menguji kesabaranku karena ia tak kunjung melakukan hal yang kuinginkan, sementara dibagian atas, bibir kami telah menyatu, saling hisap, saling melumat dengan penuh rasa.

“Saaayyaanngg…” gumanku, setelah melepaskan ciuman kami.

Pram menatapku heran.

“Jarinya dimasukin lebih dalam lagi” pintaku dengan manja.

Pram tertawa, lantas mengecup keningku.

“Ibu gak sabar ya?”

“Hiiiiihhhh..” balasku sambil meremas penisnya dengan sedikit keras.

Pram tertawa, lalu berusaha melepaskan cengkraman tanganku di kemaluannya. Tingkahnya membuatku tertawa, membuyarkan alam kenikmatan yang hampir terbentuk.

“Nakal banget..!” protesku.

Pram lantas memelukku dengan sangat erat, menghujani kepalaku dengan kecupan-kecupan lembut dan mesra.

Kuurungkan niatku untuk merangsangnya, dan membalas pelukannya dengar erat pula.

Berbeda denganku yang telah berubah menjadi pecandu kenikmatan seks, Pram tetaplah seorang Pram yang kukenal sejak awal kedekatan kami. Baginya, seks bukanlah hal utama dalam ikatan hati kami, namun kenyamanan, dan bagaimana kami mengisi ruang diantara dua hati, dengan kasih sayang dan cinta.

Aku telah menyadari hal ini sejak awal kedekatan kami, dan mencoba mengikuti irama yang ia mainkan dalam perjalanan hati kami. Sedikit sulit bagiku, karena entah mengapa, gairaku terhadapnya, nafsuku, selalu saja menggebu-gebu.

Aku seolah tak pernah terpuaskan olehnya, walaupun dalam sekali bercinta, ia mampu membuatku orgasme minimal satu kali.

Jika saja Pram selalu mengikuti kemauanku, menuruti segala jalan pikiranku, aku yakin, hibungan kami akan selalu diwarnai dengan kegiatan seks, percintaan yang tiada habisnya.

Namun, hal sebaliknya yang terjadi.

Malam ini, aku menghidangkan tubuhku untuknya, namun Pram melewatkannya dengan begitu saja. Ia justru memilih untuk menggodaku, lalu menghujaniku dengan kecupan-kecupan mesra sebagai tanda rasa hatinya.

“Ibu harus belajar menahan hawa nafsu..” bisiknya.

Aku hanya mengangguk pelan, sambil memandangi wajahnya.

“Saya tidak ingin pikiran ibu terganggu karena seks, karena masih banyak hal lain yang harus kita pikirkan. Ada hal lain yang harus kita lakukan.”

“Iya sayang, makasih ya..” gumanku, lalu melumat bibirnya dengan lembut.

Pram tersenyum, membenahi beberapa helai rambut di keningku, lalu kembali memeluk erat tubuhku.

“Saya harap ibu jangan berprasangka buruk, atau marah terhadap saya ya bu. Saya hanya ingin agar hubungan kita bukan hanya sekedar seks. Saya ingin, ibu mengajarkan kepada saya tentang bagaimana menjalani hubungan ini dengan cara yang dewasa.”

Pram, lelakiku yang usianya jauh lebih muda, membuatku terpana dengan kalimatnya. Sekali lagi, ia membuatku takjub dan hatiku terenyuh.

“Ibu gak marah kok sayang. Justru ibu senang kamu bisa ngingetin ibu, bisa mengarahkan ibu untuk jadi perempuan yang lebih baik.”

“Jangan sungkan untuk menegur ibu, atau mengingatkan ibu. Karena bagi ibu, kamu satu-satunya laki-laki yang dekat dan mengenal ibu.”

Pram menatapku dalam-dalam.

Jemarinya dengan lembut mengusap kepalaku. Perlahan, ia memdekatkan wajahnya, lalu mengecup keningku.

Jauh di lubuk hatiku, aku berharap bahwa jika kelak aku bisa mendapatkan laki-laki sebagai penganri suamiku, kuharap laki-laki itu adalah Pram, atau setidaknya mampu membahagiakanku seperti yang telah dilakukan oleh Pram.

Mungkin saja selama ini aku sedang bermimpi, atau saja sedang berada di alam lain, karena bertemu dan mengenal Pram. Hanya bahagia dan tawa yang kudapati sepanjang hari. Bagiku, hari-hari selama ini adalah jalan setapak diantara taman bunga. Semuanya indah, dan terlalu manis untukku.

“Bu, kita istirahat yuk.” katanya kemudian.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya menuju ke kamar tidurku.

“Berarti, kalo mau bercinta, harus diatur ya? Kayak pakai jadwal gitu?” tanyaku sambil menutupi tubuh kami dengan sehelai selimut.

Pram memelukku, meletakkan satu lengannya dibelakang leherku, lantas mengecup keningku.

“Gak juga sih bu, maksud saya, jangan sampai ibu tunduk dan mengalah pada nafsu, tapi harus bisa mengendalikannya.”

“gak perlu pakai jadwal kok, yang penting jangan sampai hubungan kita didominasi oleh seks.” sambungnya.

Aku mengangguk pelan, memahami niat baik Pram. Mungkin saja ia ingin memulai untuk menjalani hubungan kami dengan lebih serius, atau sekedar untuk mengingatkanku tentang prilakuku yang kian menggilai seks. Aku memahami sepenuhnya.

“Kamu tau? Ibu beruntung dekat sama kamu. Coba kalo sama laki-laki lain, mungkin ibu udah jadi pecandu seks yang parah.”

Pram, lelakiku tersenyum, menuntun tubuhku untuk naik keatasnya, menindihnya.

“Saya juga beruntung.” timpalnya, sambil meletakkan kedua tapak tangan di pipiku.

“Karena ibu sangat menyayangi saya. Ibu melakukan semua ini untuk saya.” sambungnya, lalu mengecup keningku.

“Karena ibu sayang kamu, dan ibu menganggap, diri ibu milikmu sepenuhnya.”

Pram menarik naik baju yang kukenakan, lalu mengusap punggungku dengan lembut. Kurebahkan kepalaku didadanya dan menikmati curahan kasih sayang lewat sentuhannya.

“Bagi saya, kedekatan kita ini jauh lebih besar. Jauh lebih penting daripada hanya sekedar seks.”

“Saya juga sambil belajar, bagaimana caranya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan belajar menjadi seorang kepala keluarga.”

Aku tersenyum, lalu mengecup ujung hidungnya.

“Kamu sudah siap untuk menjadi seorang suami. Sudah siap untuk menjadi seorang kepala keluarga.” jawabku.

“Jangan khawatir. Selama kamu tetap bersikap dan berpikiran seperti ini, kamu adalah calon suami yang ideal. Dan ibu yakin, istrimu pasti akan sangat bahagia seperti yang ibu rasakan selama ini.”

Pram kembali menatapku, lalu memelukku dengan sangat erat.

“Terima kasih…” bisiknya lembut sambil mengusap punggungku.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya usapan dipunggungku terhenti. Pram telah terlelap dalam mimpi indahnya.

Kupandangi wajahnya, wajah lelaki muda yang selama ini telah menemani perjalanan hidupku. Didalam hati, aku mengucap syukur karena telah dipertemukan dengannya.

Malam itu kami tertidur pulas, tanpa diwarnai oleh persetubuhan maupun kegiatan seks apapun. Aku terlelap dalam pelukannya hingga pagi menyapa.

♡♡♡

Seperti biasanya, aku terjaga saat suara adzan subuh berkumandang. Pram tidak ada disampingku, ia terlebih dulu bangun dan sepertinya sedang mandi karena samar-samar kudengar suara gemercik air dari arah kamar mandi. Kulucuti pakaianku, dan segera menyusul lelakiku ke kamar mandi.

“Pagi..” sapanya, sambil mengusap tubuh telanjangnya dengan sabun.

“Pagi sayang..” balasku.

“Mandi..?”

Aku mengangguk, lalu memelukknya dari arah belakang.

“Dinginn…” gumanku saat tubuh kami menyatu dalam pelukan erat.

Pram melepaskan lingkaran tanganku di perutnya, memutar tubuh, lalu menghidupkan shower diatas kami.

Setelah tubuhku basah, dituangkannya sabun cair di dada, di punggung, dan di kedua pahaku. Seperti yang sudah-sudah, Pram selalu memandikanku, memanjakanku dengan usapan-usapannya yang lembut.

Saat ia sibuk menyabuniku, kusempatkan diri untuk menyikat gigi, sambil sesekali menggodanya dengan menyentuh penisnya yang mengeras. Pram hanya tertawa, lalu menggelengkan kepala seperti biasanya.

“Sini.., gantian ibu yang sabunin kamu.”

Pram menggeleng,

“Saya udah hampir selesai mandi kok bu.”

Aku mengabaikannya, lalu kembali mengusapi tubuhnya. Ia hanya tersenyum melihat tingkahku.

Beberapa saat sesudahnya, kami kembali berpelukan dalam diam. Tak ada lagi rasa dingin ditubuhku, melainkan kehangatan dan kenyamanan karena pelukannya.

Hampir beberapa menit berlalu, akhirnya bibir kami kembali bertemu dalam sebuah ciuman yang lembut dan pelan. Kedua telapak tangannya menempel erat dipipiku. Ia benar-benar memanjakanku, menghadiahkan kebahagiaan di awal hari.

“Wahhh.. ibu bener-bener dimanjain hari ini.” gumanku saat melihat sarapan pagi untuk kami telah terhidang diatas meja riasku.

“Tapi ibu maunya minum kopi aja..” sambungku setelah melihat segelas teh yang biasanya menjadi minuman pembuka hari.

“ya udah, ibu minum kopinya, saya yang minum tehnya.”

Aku tersenyum, lantas mencubit pipinya dengan gemes. Ia meraih cangkir berisi teh, lalu menyeruput sedikit isinya.

“Nanti sore kita anterin mbak Aya ya bu.”

“Iya, boleh kok. Lagian kayaknya selama libur kampus, warung selalu tutup lebih awal kok.”

“Besok ibu pulang gak? Mau nengokin Nova?”

“Iya dong, udah kangen sama dia. Kamu ikut?”

Pram mengangguk senang.

“Ya udah, besok kita berangkat pagi-pagi aja, dan moga aja gak hujan.” sambungku.

Kuraih roti tawar yang telah diolesi selai dan menggigit sedikit bagiannya, lalu menyodorkannya pada Pram. Ia pun ikut memakannya

Sungguh, awal hari yang indah bagi kami.

“Trus, hari ini, mbak Aya mau ngapain?” tanyaku.

“Belum tau bu, tapi nanti habis anterin ibu, saya ke hotel dulu.”

“Ya udah, kalo gitu, nanti kalo ibu pulang lebih awal, ibu nyusul kamu ke hotel aja. Gimana?”

“Enggak, nanti saya jemput ibu. Ibu tunggu di warung aja. Saya khawatir ibu kenapa-kenapa, soalnya area belakang kampus itu sepi banget.”

Aku tersenyum, sambil kembali menyuapi potongan roti yang masih ada di tanganku.

“Iya, makasih ya sayang.”

Pram mengecup keningku, lalu beralih ketepian ranjang dan duduk disana.

“Seumur-umur, ibu belum pernah lho sarapan kayak gini.” gumanku.

“Maksudnya belum pernah makan roti dan minum kopi?” tanyanya.

“Bukan sayang.. tapi pagi-pagi dibuatin sarapan, terus dinikmati sama-sama sambil telanjang kayak gini. Sama suami ibu belum pernah, tapi sama kamu malah udah dua kali." jawabku, lalu menyeruput kopi.

“Semalam saya duluan tidur, trus tadi bangunnya kepagian. Makanya sempet buat sarapan trus mandi.”

“Iya, mungkin kecapekan nemenin belanja.”

Pram melirik jam di dinding.

“Jam lima.” gumannya, lalu beringsut keatas ranjang dan kembali merebahkan tubuhnya disana.

Ia menepuk ruang kosong disamping tubuhnya, mengajakku untuk kembali berbaring.

“Saya membayangkan, dulu, kehidupan ibu sebagai seorang istri, pasti membosankan ya bu?” tanyanya.

“Kalo dulu waktu ngejalaninnya sih gak terasa membosankan. Nah, setelah kenal dan dekat dengan sayang, baru sadar, kalo dulu itu hidup ibu membosankan banget. Monoton, datar banget.”

“Emang dulu, kalo pagi, ibu bangun jam berapa?”

“Ya sama aja seperti sekarang ini. Bangun, mandi, siapin sarapan, siapin pakaian buat suami, ngerjain kerjaan rumah. Siangnya istirahat. Sore, ngerjain kerjaan rumah lagi, kadang nyuci, atau nyapu, atau ngerjain apa gitu. Kalo suami ibu pulang, buatin minum. Malamnya ya makan malam, trus tidur.”

Pram menggelengkan kepala.

“Mulai besok, saya yang siapin sarapan buat ibu. Malamnya kita masak sama-sama.” katanya sambil berbaring menyamping, menghadap kearahku.

“Ya gak perlu seperti itu juga sih. Cuman, ibu seneng aja kalo kamu selalu bersikap seperti ini.”

“Mungkin kelihatannya spele lho, tapi hal kecil seperti ini berharga banget. Kalo menurut ibu sih, romantis banget.”

Pram terdiam, namun aku yakin, ia memahami apa yang telah kusampaikan.

“Dulu, sebelum dia ketahuan selingkuh, ibu gak curiga?”

Aku menggelengkan kepala, lalu menuntun tubuhnya untuk naik keatas tubuhku dan menutupi tubuh telanjang kami dengan selimut.

“Ibu sama sekali gak curiga. Suami ibu pun gak ada tanda-tanda mencurigakan.”

“Emang sih, kalo urusan seks, intensitasnya berkurang banget, tapi ibu mikir hal itu wajar, karena mungkin dia capek dengan pekerjaannya, stres, jadi ya ibu maklumi.”

“Kamu tau? Sekarang Anita sudah mengandung lhooo, udah hamil tiga bulan.” sambungku.

Pram terdiam, menyandarkan dagunya tepat dibagian tengah dadaku.

“Berarti sebentar lagi, dia pasti akan menceraikan ibu, karena ibu gak mau menerima dia lagi.”

Aku mengangguk pelan.

“Ibu siap bercerai?” tanyanya.


♡♡♡ bersambung ♡♡♡

part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.

Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd