Part 8 Sudah Terlanjur
Bahkan sampai saat inipun, percakapanku semalam dengan suami masih saja berputar-putar jelas dalam benakku.
"Paha Umi gatel Bi! Makanya tadi Umi garuk" jawabku pada saat dia bertanya.
"Tapi kok Umi kayak nyebut nama Mang Dedi gitu deh?" Selidik suamiku.
Hampir saja jantungku copot saat itu juga, "Ah cuma perasaan Abi aja kali!! Lagian Umi ngapain nyebut-nyebut nama Mang Dedi segala??" Jawabku dengan mantap.
Beruntung, setelahnya Suamiku mengiyakan saja alasanku tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.
Namun ketika pagi hari saat semua gairah dan birahiku itu menghilang, aku jadi sedikit malu menghadapi suamiku karena telah berbohong secara terang-terangan di depannya.
Seharian aku melamun dan
bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Kenapa setalah semua hal buruk yang aku lakukan bersama Mang Dedi itu, tetap saja masih belum dapat memenuhi hasrat terpendam dalam diriku.
Aku masih saja menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang setidaknya dapat mengusir kekosongan dalam bilik hatiku seperti saat aku bercerita maupun bertukar pesan bersama Mang Dedi.
Sadar rasanya aku tidak bisa bermain-main, statusku sebagai seorang istri dan seorang Ibu saja, sudah cukup menjelaskan bahwa aku sudah tak dapat melangkah lebih jauh untuk melanggar batas itu.
Tapi apa daya, sekarang aku menyadari betapa pentingnya peran dan sosok Mang Dedi dalam mengisi kekosongan hatiku tersebut. Jadi sekali lagi, tak dapat aku pungkiri bahwa aku sudah mulai tertarik pada sosok penjual sayur itu.
"Kangen sama kamu Mas" ketikku pada keyboard smartphone yang ku genggam. Tapi dengan cepat aku menghapus kata-kata itu dan menggantinya dengan sebuah sapaan.
"Sore Mas" kirimku pada Mang Dedi.
Tak perlu menunggu lama, Mang Dedipun langsung membalas, "Sore juga Dek Liya"
"Mas lagi ngapain?" Tanyaku berbasa basi.
"Lagi nongkrong nih di warungnya Haji Naim" balasnya padaku.
"Yang deket Masjid bukan?"
"Iya Dek Liya" balasnya singkat.
Aku tersenyun sumringah, ternyata Mang Dedi kebetulan berada tak jauh dari rumahku. "Mas ngapain disana?" Tanyaku lagi.
"Mau bayar utang Dek Liya. Kemaren saya pinjam duit sama Pak Haji" terang Mang Dedi secara gamblang.
"Ohh gitu.. tapi Mas bawa jas hujan kan?" Balasku khawatir.
"Gak bawa sih Dek. Tadi niatnya cuma sebentar aja. Tapi Pak Haji nya malah ngajakin ngobrol"
"Yaudah kalau gitu Mas pulang sekarang aja. Nanti kehujanan" balasku lagi.
"Gak enak sama Pak Haji Dek!! Dek Liya gak punya jas hujan??" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.
Aku teringat kalau suamiku biasanya punya jas hujan cadangan yang di letakkannya di bawah lemari sepatu. "Ada nih Mas" balasku setelah aku dengan cepat mengeceknya ke dalam.
"Yaudah nanti saya mampir ke rumah Dek Liya sebelum pulang" balasnya lagi.
Pucuk dicinta, ulampun tiba. Aku yang seharian tak bertemu dengan Mang Dedi itu akhirnya punya kesempatan untuk bertatap muka lagi.
Suasana hatiku seketika berubah menjadi senang dan bahagia.
Aku mengajak anakku Tasha untuk masuk ke dalam rumah. Sebentar lagi Mang Dedi akan mampir kesini dan aku lagi-lagi merasa punya keinginan untuk tampil cantik di depannya.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengganti baju daster yang tengah kugunakan dengan pakaian gamis yang lebih bagus. Tak lupa juga, aku sedikit merias wajahku dengan berdandan natural serta memakai parfum.
Saat semua sudah selesai, aku kemudian mematut diriku didepan kaca untuk memastikan bahwa penampilanku sudah sempurna.
Aku tersenyum sumringah, Tampak dari pantulan kaca itu wajahku bersemu merah menantikan kedatangan Mang Dedi layaknya seorang remaja yang menunggu kekasihnya.
Tapi tak dipungkiri, ada rasa takut sekaligus berdebar saat membayangkan kalau Mang Dedi benar-benar datang berkunjung ke rumahku seorang diri.
Rentetan perbuatan "gila" yang pernah aku lakukan dengan Mang Dedipun kembali terputar-putar dalam benakku saat aku sadar kalau aku dan penjual sayur langgananku itu akan berdua untuk sementara waktu.
Sontak badanku jadi lemas dibarengi rasa panas dingin dibuatnya. Aku bertanya dalam hati, adakah kebenaran yang aku lakukan ketika dengan sadarnya aku mengundang pria lain untuk berkunjung ke rumah tanpa sepengetahuan suamiku.
Namun semuanya seakan terlambat untuk dibatalkan karena aku mendengar pintu depanku di ketuk oleh seseorang. Dan tentu saja itu adalah suara Mang Dedi.
"Sore Dek Liya" sapanya tersenyum saat aku membukakan pintu.
Aku membalas senyumnya, "Sore juga Mas" ucapku merasa senang. Rasa kangenku itu telah terobati.
"Anaknya kemana?" Tanya Mang Dedi celingak-celinguk melihat kebelakangku.
"Ada di kamar Mas. Mari masuk dulu!" Ajakku mempersilahkan.
Mang Dedipun dengan terkekeh kemudian masuk ke dalam rumahku yang tidak terlalu besar ini. Aku mengajaknya duduk diruang tamu dengan perasaan yang semakin berdebar-debar.
"Bentar ya Mas aku ambilin minum" ucapku beralasan untuk pergi menenangkan diri.
Rupayanya memang benar apa yang dikatakan oleh orang banyak, kenyataan
akan selalu lebih menakutkan dari yang aku bayangkan.
Aku tadinya sempat berpikir bahwa aku tidak punya niatan lain saat mengundang Mang Dedi selain untuk meminjamkan jas hujan kepadanya.
Akan tetapi setelah sosoknya datang, aku malah dibuat sadar kalau apa yang aku lakukan ini benar-benar sebuah kesalahan besar. Terlebih ketika hubungan kami yang begitu dekat tersebut, bisa saja membuat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di rumah ini.
"Aku telah mengundang serigala ke kandang kelinci." Ucapku mengutuk dalam hati.
Dengan pelan aku kemudian menyiapkan minuman berupa teh manis hangat untuk aku hidangkan sambil terus berusaha membenarkan degub jantungku.
Aku menarik nafas dalam-dalam berulang kali sebelum akhirnya aku berjalan balik ke arah ruang tamu.
Ketika aku sampai, aku terkejut melihat Tasha anakku sudah berada dengan Mang Dedi disana, "Itu mah ayam om, bukan bebek" ucap Tasha berbicara lantang.
Mang Dedi melirik ke arahku sambil tersenyum, "Om kira itu bebek tadi" balasnya pada Tasha.
"Kalau bebek itu kakinya pendek Om. Kayak gini" balas Tasha nampak bersemangat.
Aku tersenyum menghampiri mereka berdua yang tampak tengah asik berbincang sambil menggambar gambar hewan di buku gambar kesukaan Tasha.
"Caca gak jadi tidur sayang?" Tanyaku meletakkan nampan.
Anakku itu menggeleng dengan manja, "Gak jadi Mi! Aku mau menggambar sama Om ini" ucapnya terlihat begitu fokus.
"Nah kalau yang ini namanya bebek Om" lanjut Tasha menunjukkan hasil gambarnya pada Mang Dedi.
Mang Dedipun tampak antusias mengimbangi Tasha yang masih berumur 5 tahun itu. "Ohhh kalau kakinya pendek berarti bebek ya" balasnya yang lagi-lagi tersenyum ke arahku.
Seketika rasa was-was yang ada dalam hatiku tadi menghilang setelah aku melihat kedekatan anakku dengan Mang Dedi. Aku tidak menyangka kalau Mang Dedi juga cukup pandai dengan anak-anak kecil.
"Diminum Mas" ucapku menawarkan
minum yang telah aku siapkan.
Mang Dedi terlihat mengangguk sambil kemudian menyeruput cangkir yang berisi air teh tersebut. Namun dia masih saja fokus berbincang-bincang dengan anakku Tasha.
"Ini bebeknya punya anak Om. Anaknya banyak" ucap Tasha mendominasi percakapan.
Mang Dedi memangut-mangut melihat gambar yang dibuat oleh Tasha tersebut, "Kok anaknya banyak banget?" Tanya Mang Dedi.
"lya. Biar temennya juga banyak" jawab Tasha tiba-tiba.
"Kalau Caca gimana? Banyak temennya juga gak?" Tanya Mang Dedi sekali lagi.
Tasha kemudian menggeleng, "Caca
gak ada temennya" jawab putriku tersebut begitu polos.
"Loh? Kok gapunya temen?" Tanya Mang Dedi penasaran.
"Iyalah. Caca kan belum punya adek Om" Ucap Tasha dengan analogi lucunya.
Sontak tawa Mang Dedipun pecah mendengar jawaban polos anakku tersebut. "Minta dong dedeknya sama Umi" ucapnya melirikku.
"Udah aku minta Om. Tapi belum jadi-jadi" balas Tasha cemberut.
Akupun menjadi tak tega mendengar jawaban anakku tersebut dan langsung memeluknya, "Nanti Umi bilangin sama Abi" ucapku pelan.
"Tapi kan Abi kerja Mi" balas Tasha dengan polosnya.
Lalu tanpa kuduga, Mang Dedi ikut mendekat kepadaku sambil mengelus kepala Tasha, "Ntar Om yang bantuin deh" ucapnya dengan berani.
Aku menatap tajam pada Mang Dedi yang terkekeh senang dengan candaannya yang memang sudah kelewat itu. Tapi tampaknya kata-kata itu sudah cukup membuat Tasha terhibur dan kembali ceria.
Om gambarin caca kambing dong!" Pinta Tasha kembali bersemangat.
"Mau kambingnya berapa??" Tanya Mang Dedi bersiap mengambil pensilnya.
Tasha berpikir sebentar memegang dagunya, "Mau empat aja Om" ucapnya mengacungkan jari.
"Kok empat?" Tanya Mang Dedi.
"Iya, biar ada mama kambing, anak
kambing, adik kambing dan Om kambing" jelasnya.
Mang Dedi melihat ke arahku sebentar sebelum akhirnya bertanya kembali pada Tasha, "Papa kambingnya kemana?"
"Papa kambingnya kan harus kerja Om" balas Tasha dengan amat polosnya.
Aku terhenyak mendengar jawaban anakku tersebut. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan Abinya yang selalu sibuk dengan pekerjaan.
Tapi ternyata, diam-diam anakku itu juga merasakan hal yang sama denganku. Semakin hari semakin kesepian karena terlalu sering di tinggal oleh Abinya.
"Om. Caca jadi ngantuk nih. Gambar Om jelek" ucap Tasha dengan gamblangnya mengomentari hasil karya Mang Dedi.
Aku berbalik tertawa meledek, "lya nih. Umi kira Omnya mau gambar kambing. Kok malah jadi kebo gitu ya Ca" ucapku memanas-manasi.
"Ini kambingnya lagi hamil sayang. Makanya jadi gede" jawab Mang Dedi menjelaskan.
"Hamil itu gimana?" Tanya Tasha dengan polos.
"Hamil itu kalau mau punya Adek" balas Mang Dedi tak kalah polosnya.
Tasha begitu antusias ketika mendengar kata "Adek" tersebut, "Berarti kalau Tasha mau punya Adek, tunggu Umi hamil dulu Om?" Tanyanya lagi.
"Woiya dong sayang. Pinter banget kamu" ucap Mang Dedi mengelus kepala Tasha.
Sikap Mang Dedi tersebut mengingatkanku kepada suamiku yang dulu juga begitu lengket dan dekat dengan Tasha. Namun karena pekerjaan, waktu untuk berduaan dan bermain seperti ini benar-benar jadi berkurang.
Aku jadi sedikit bersyukur karena lagi-lagi ada sosok Mang Dedi yang bisa mengisi kekosongan itu. Walau memang hanya sebentar, tapi aku ikut merasa senang ketika Tasha dapat bermain dan menjalin hubungan dengan sosok "Ayah" sementaranya itu.
Tanpa disadari, Tasha akhirnya tertidur dalam pelukan Mang Dedi disaat hujan lebat juga ikut turun mengguyur bumi.
"Kamarnya dimana?" Tanya Mang Dedi padaku.
Aku menuntun menunjukkan jalan, "
Sebelah sini Mas" Ucapku mempersilahkan Mang Dedi masuk ke dalam kamar pengantinku.
Kamar kamu Dek?" Tanya Mang Dedi melihat sekitar.
Aku mengangguk, "lya Mas" balasku singkat.
Kemudian Mang Dedi meletakkan Tasha dengan penuh kehati-hatian diatas ranjang. Dia begitu memastikan kalau posisi Tasha sudah pas dan bisa tidur dengan nyenyak sambil tak lupa memberi sebuah kecupan di kening anakku itu dengan lembut.
Hatiku merasa begitu hangat menyaksikan sisi lain dari Mang Dedi. Tak menyangka kalau sosok yang biasanya selalu bercanda hal-hal mesum itu juga dapat bersikap serius penuh dengan jiwa kebapak-bapakannya.
"Yuk" ajak Mang Dedi menarik tanganku keluar dari kamar.
Kami kembali berjalan ke ruang tamu sambil sedikit berbincang tentang kelucuan Tasha dan tingkah lakunya yang imut. Mang Dedi juga tak kalah senangnya mengetahui kalau anakku tersebut bisa dengan cepat akrab dengan dirinya.
Kami kemudian mengobrol panjang lebar sambil sesekali dibarengi dengan candaan dan gombalan. Suasanapun menjadi sudah cair karena Mang Dedi lagi-lagi menunjukkan keahliannya dalam menarik lawan jenis
"Jadi pengen punya anak" ungkap Mang Dedi tertawa.
Aku tau kemana arah dari becandanya itu, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, "Cari istri Mas" balasku berdehem.
"Gak ada yang mau sama penjual sayur kayak saya. Apalagi udah tua begini" balasnya merendah.
"45 masih belum terlalu tua kali Mas" jawabku tidak setuju.
"Tetep saja Dek Liya. Lagian saya ini minoritas, susah kalau nyari pasangan. Ada yang pas, tapi ga seiman. Ada yang seiman, tapi gamau sama saya." Tawa Mang Dedi pecah.
"Ah Mas bisa aja merendahnya" ucapku meledek.
Mang Dedi masih saja tertawa, " Untung saya ketemu sama Dek Liya" ucapnya lagi.
"Kok gitu?" Tanyaku penasaran.
"Iyalah. Dek Liya orangnya baik. Ga pernah mandang rendah ke saya" jawabnya memujiku.
lidahku tersenyum karenanya," Gombal banget" balasku singkat.
Saat itu, ku mendapati kalau sesekali mata Mang Dedi melirik ke arah dadaku. Malu rasanya di tatap seperti itu oleh laki-laki lain selain suamiku. Namun kupilih membiarkannya saja karena sebetulnya kami sudah pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar pandang memandang.
"Emangnya Mas pengen punya istri yang kayak gimana?" Lanjutku bertanya.
Mang Dedi tampak diam sejenak sebelum akhirnya dia memberanikan diri menjawab, "Maaf kalau saya lancang, tapi saya pengen punya istri yang seperti Dek Liya. Wajahnya, sifatnya, badannya, suaranya. Semuanya saya pengen" ucapnya berterus terang.
Aku tertegun oleh jawaban Mang Dedi,
rasa malu yang amat sangat tiba-tiba timbul dalam diriku.
Terasa wajahku tebal dan panas seketika itu juga. Akan tetapi tak dapat di pungkiri, perasaan bangga juga ikut menyeruak dalam hatiku.
Aku diam sejenak, menatap ke arah Mang Dedi yang juga menatapku dalam diam. Dalam tatapannya itu, tersirat dengan sangat jelas kalau dia benar-benar jujur menginginkan aku.
Tapi akalku sadar, "Ini salah Mas" ucapku menunduk saat dia beranjak mendekat padaku.
Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas saat itu juga. Bukan karena aku kena guna-guna atau semacamnya. Tapi karena aku sadar kalau aku sudah tak dapat menghindar lagi.
Aku berniat menolak. Tak mau kembali mengkhianati suamiku lebih dari sebelumnya. Namun perasaanku untuk menghalangi semua ini terhalang oleh perasaan aneh yang sukar untuk aku jelaskan dengan kata-kata.
"Dek Liya" panggil Mang Dedi setengah berbisik menghampiriku.
Seolah terpanggil, aku mengangkat wajahku perlahan-lahan menghadapnya. Wajah kami berada begitu dekat hingga terlihat jelas keseriusan dalam raut Mang Dedi.
Mataku kian terasa berat saat wajah Mang Dedi semakin mendekat kearahku. Aku akhirnya memejamkan mata, menandakan bahwa aku telah merelakan segala tindakan yang ingin Mang Dedi lakukan kepada ku.
Saat itulah, Bibir kamipun kemudian
bersatu saling menemukan dengan mesra. Meski dalam perasaan yang tak jelas dan keliru dengan tindakan ku itu, naluri dengan cepat mengambil alih tubuhku untuk melangkah maju.
"Masshhh..." ucapku dengan lirih.
Nafas ku semakin tidak teratur akibat perbuatan Mang Dedi. Aku membiarkan tubuhku itu di peluk dan diraba olehnya tanpa ada tindakan untuk memprotes sama sekali.
Aku hanya merasa kalau saat ini tubuhku seperti berada di awang-awang ketidakpercayaan karena merasa suka di dekap dengan lembut oleh laki-laki lain selain suamiku.
Tangan Mang Dedi juga tak melepaskan peluang untuk terus meraba-raba ke arah punggungku seperti sedang mencari sesuatu disana. Dalam
keadaan bersandar itu, Tanganku pun tanpa disuruh memeluk leher Mang Dedi dengan kuatnya seakan tak mau lepas dari sana.
Agak lama juga rasanya kami berciuman penuh gairah saling melumat satu sama lain. Ditambah dengan suasana dingin dan hujan yang begitu lebat diluar sana, semakin membuatku bernafsu dan lupa diri dengan statusku.
"Drrrttttttttttt...." suara resleting gamisku terdengar berbunyi. Ternyata sedari tadi, benda itulah yang dicari oleh Mang Dedi dibagian punggungku.
Dengan penuh kehati-hatian, Mang Dedi terus mencium keningku, hidungku, pipiku, sebelum akhirnya dia berhenti sejenak.
"Mas buka ya sayang??" ijinnya berkata lembut padaku.
Aku terdiam sebentar, detak jantungku berdegup sangat kencang. Perasaanku tidak karuan. Antara takut dan menginginkannya.
Tapi aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berkata kalau semua sudah terlanjur. Pilihannya hanya tinggal menikmati saja.
Mang Dedipun tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan penuh nafsu hingga seluruh bulu kudukku terasa berdiri.
Seiring dengan tatapannya yang tajam itu, dia menarik sedikit demi sedikit pinggiran gamisku ke arah bawah melewati pundakku.
Aku memajamkan mata tak berani melihat bagaimana saat ini aku tengah dilucuti oleh pria yang bukan suamiku tersebut.
"Very beautiful," said Mang Dedi commenting.
Bersambung