Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (REPOST) Istriku dan Mang Tukang Sayur

Status
Please reply by conversation.
Part 16
Sudah tak malu

Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati.

Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari bahkan membuatku menggerutu dengan kesal sambil berbolak-balik menatap pada layar hp, menunggu balasan chat darinya.

"Apa dia marah karena ku tampar tempo hari??" tanyaku dalam hati.

Perlahan-lahan akupun mulai menjadi munafik, ikut mensugesti diri bahwa inilah
waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan terlarang ini. Padahal, hampir setiap putaran waktuku dalam dua hari ini selalu memunculkan nama Mang Dedi dan Mang Dedi.

Bahkan terkadang ada bisikan dalam hati yang menyadarkanku agar tidak berlebihan menenggelamkan diri dalam perasaan terlarang ini. Tapi aku selalu tidak bisa. Atau mungkin, tak mau.

Entahlah, rasanya sekuat apapun aku mencoba menipu diri dan perasaanku, aku seakan menyadari bahwa aku memang akan selalu merindukan sosoknya yang mengundang tawa dan birahi itu.

"TING!!!"

"Maaf Dek Liya. Aku lagi sakit.." Pesan Mang Dedi datang merekahkan senyuman di bibirku.


Tapi kemudian aku malah khawatir mendengar kabarnya, "Mas sakit apa??" tanyaku membalas pesan.

"Cuma panas doang Dek" balasnya lagi.

"Mas sudah makan?? udah berobat??? yang jagain di rumah siapa??" balasku balik penuh dengan pertanyaan.

Namun Mang Dedi hanya menjawabnya singkat, "Di rumah sendirian .." ucapnya membalas.

Tiba-tiba saja, muncul keinginan dalam hatiku untuk bertemu dengan Mang Dedi yang sedang sakit itu. Entah karena merasa khawatir atau mungkin diam-diam karena aku merindukannya, tapi yang pasti hatiku menggebu-gebu membayangkan pertemuan kami di rumahnya tersebut.


Tanpa berpikir panjang, aku kemudian bertanya. "Rumah Mas dimana?? biar aku kesana.." Balasku lagi.

Selang beberapa menit kemudian, Mang Dedipun membalas pesanku dengan membagikan lokasi rumah miliknya. Aku lalu tersenyum dengan singkat, karena ternyata alamat tersebut tidak terlalu jauh dari rumahku dan dapat di tempuh dengan angkutan umum selama kurang lebih 10 menit perjalanan.

"Tunggu aku, aku mau kesana Mas.." ucapku kembali membalas pesannya.

Dengan segera aku kemudian berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan yang ingin ku bawa ke rumah Mang Dedi. Beruntung tadi pagi aku sempat memasak sup ayam yang secara kebetulan juga bagus untuk dimakan dalam keadaan sakit. Sambil juga menyiapkan sedikit
makanan kecil seperti tahu dan tempe goreng untuk membantu menambah nutrisi dan mengisi perut Mang Dedi yang pasti tengah kekosongan karena sedang sakit seperti ini.

Dari ruang tamu, suamiku tampak sedikit heran melihatku yang siang-siang berada di dapur tersebut. "Tumben masaknya jam segini" tanya suamiku terheran.

"Iya, Umi mau pergi keluar sebentar gapapa kan Bi??" tanyaku sambil meminta izin dengan cepat.

Suamiku menghampiri dengan heran, "Emangnya Umi mau kemana siang-siang begini???" tanyanya penasaran.

"Mau ke pasarlah Bi!, udah dua hari ini gak ada Mang Dedi jadi Umi gak belanja. Kalau gak masak sekarang nanti keburu capek pulang dari pasarnya.." balasku menjelaskan.


Entah darimana alasan yang tiba-tiba saja terbesit dari dalam kepalaku itu. Namun penjelasanku tersebut cukup meyakinkan sebagai alasan bagi suamiku untuk mengizinkanku pergi. Memang iblis selalu punya cara untuk menggoda dan memberikan kesempatan untuk siapa saja yang ingin berbuat kemaksiatan.

"Mau Abi anter??" tanya suamiku menawarkan bantuan.

Aku lalu menggeleng singkat, "Gausah kalau Abi ikut nanti yang jagain Caca siapa??" balasku lagi.

"Tinggal bawa Caca juga beres!" jawab suamiku santai.

Namun tentu saja aku tidak bisa membiarkan mereka ikut karena aku tidak berencana pergi ke pasar, "Kalau Caca ikut, yang ada dia minta jajan terus. Umi jadi
repot belanjanya" ucapku beralasan.

"Oh iya ya! Kalau Caca ikut mah bukan Umi yang belanja, tapi Caca.." balas suamiku terkekeh pergi meninggalkanku.

Tanpa perlu berlama-lama kemudian aku akhirnya selesai memasak dan menatanya kedalam kotak makanan yang sudah kusiapkan. Tak lupa pula aku memasukkan kotak makanan tersebut ke dalam totebag belanjaanku agar nantinya suamiku tidak terlalu curiga.

Aku lalu beranjak ke dalam kamar mengganti baju dan merias penampilanku. Layaknya seorang kekasih yang ingin berkunjung ke rumah pacarnya, akupun berniat ingin tampil secantik mungkin untuk bertemu dengan Mang Dedi.

Sengaja ku pakai gamis favoritku yang berwarna merah muda dengan hijab lebar yang sewarna pula. Beberapa aksesoris
seperti kalung dan jam tangan pun aku pakai untuk menambah penampilanku. Tak lupa pula aku merias wajah dengan make up yang agak tebal, ditambah pilihan lipstick yang sedikit merah menyala.

"Kesukaan Mas Dedi..." ucapku dalam hati saat ku patut wajahku dari cermin.

Memang dulu saat awal-awal kami berkenalan, Mang Dedi selalu bilang kalau dia ingin melihatku sedikit berdandan dan memakai lipstick merah menyala. Dia memuji kalau aku pasti akan tambah cantik jika rajin merawat diri dan berdandan sehari-hari untuknya. Dan kini, aku berencana mengabulkan keinginannya tersebut.

"Wuidihh.. ini mau ke pasar atau kondangan Mi?? Rapi bener..!!" ledek suamiku saat aku menghampirinya di ruang tamu.

Aku tersenyum dan memutar badanku, "Gimana?? Umi udah cantik belum Bi??" tanyaku meminta pendapatnya.

"Cantik banget Mi!! Cantik gak ada duanya" jawab suamiku mengacungkan kedua jempolnya.

Aku mengulum senyum sedikit tersipu malu di puji suamiku tersebut. Namun yang terbayang kemudian justru wajah Mang Dedi yang pasti akan sangat senang melihat penampilanku sesuai dengan apa yang dia inginkan.

"Yaudah Umi jalan ya Bi!! jangan lupa jagain Caca.." ucapku menyalami suamiku.

Dalam hati ada sedikit perasaan yang bergetar saat aku dengan berani dan kurang ajarnya berpamitan sekaligus bersalaman dengan suamiku sebelum pergi kerumah selingkuhanku sendiri. Aku
merasakan diriku sedikit hina melakukan hal seperti ini, namun jantungku tak dapat berbohong kalau akupun sebenarnya menantikan momen untuk bertemu Mang Dedi di rumahnya.

Di perjalanan singkat menuju rumah Mang Dedi tersebut, beberapa kali aku mencoba mengatur nafasku untuk menghilangkan rasa grogi dan cemasku. Baru kali pertama juga untukku bertandang ke rumah orang lain setelah aku pindah ke jakarta. Apalagi yang akan aku datangi justru adalah rumah laki-laki yang bisa dikatakan sebagai selingkuhanku itu. Jadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berdebar-debar dibuatnya.

Sesuai prediksi sebelumnya, hanya butuh waktu 10 menit perjalanan ke rumah Mang Dedi yang ku tempuh dengan menaiki angkot. Cukup membingungkan
juga karena ternyata rumah Mang Dedi berada cukup dalam di pojokan gang sehingga aku harus berjalan dengan kaki.

Dengan arahan dan petunjuk dari Mang Dedi, akhirnya akupun sampai di sebuah kontrakan yang berdiri berjejer tiga buah pintu dan memilik cat oranye. Dipaling ujung sebelah kiri terdapat tanda " Kontrakan Kosong." Sedangkan yang di tengah-tengahnya nampak memiliki penghuni ditandai dengan sebuah sepeda motor yang parkir di terasnya.

Rumah Mang Dedi sendiri berada di bagian paling kanan kontrakan tersebut, nampak sebuah salib besar berwarna sedikit keemasan bertengger di daun pintunya. Di depan kontrakannya juga di tumbuhi sebuah pohon mangga cukup besar dengan adanya lesehan dari bambu di bawahnya.

"Assalamualai--" reflek salamku
terhenti saat aku teringat kalau Mang Dedi bukanlah seorang muslim.

Namun seketika daun pintu rumah itupun terbuka dan menampakkan sosok Mang Dedi hanya memakai celana pendek saja, "Sudah datang kamu Dek!" sapanya tersenyum ke arahku.

"Ihh.. Mas nakal ga pake baju" ucapku pura-pura menutup wajahku dengan tangan.

Mang Dedi nampak sedikit memaksakan senyumnya, "Mari masuk Dek" ucapnya mempersilahkanku. Terlihat wajah Mang Dedi sedikit pucat dan bibirnya memutih karena sedang dalam keadaan sakit.

"Permisiiii!!" ucapku setengah berbisik sambil reflek celingak-celinguk kearah sekitar. Takut ada yang melihat aku sebagai perempuan sedang bertamu
ke rumah lelaki bujangan disiang bolong begini.

"Masuk aja! Gak ada orang kok" kata Mang Dedi tersenyum melihatku.

Aku kemudian mengangguk pelan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya sambil kemudian Mang Dedi mengunci pintu. "Kok di kunci??" tanyaku sedikit kaget.

"Biar gak ada yang gangguin kitalah.." jawab Mang Dedi santai memegang tanganku dan menuntun melewati ruang tamu kontrakannya.

Dari belakang aku hanya mengikuti saja langkah Mang Dedi sambil melihat-lihat keadaan sekitar rumahnya. Satu yang membuatku kagum, karena meskipun Mang Dedi hanya hidup seorang diri, rumahnya terlihat sangat terawat begitu bersih dan wangi.


"Maaf gak ada tempat duduk.." Ucap Mang Dedi menarik tanganku duduk diatas kasur springbed tanpa dipan itu.

Kupandangi sekali lagi sekitar kamar tersebut seolah masih terasa asing, "Rapi banget. Mas udah punya istri??" Ucapku bertanya seakan masih tidak percaya.

"Ini istri aku baru dateng.." Ucap Mang Dedi memeluk tubuhku secara tiba-tiba. Badannya terasa hangat dan nafasnya tampak tak begitu beraturan.

Dengan sigap aku kemudian melepaskan pelukannya tersebut. "Jangan macem-macem!! lagi sakit juga!!" ucapku dengan nada ketus lalu berdiri.

"Aku bawa makanan buat Mas.. Mas pasti belum makan kan??" lanjutku mengeluarkan kotak makanan yang sudah aku bawa dari rumah.

"Wahh... dibawain makanan segala. Baik banget istriku" ucap Mang Dedi yang lagi-lagi memanggil aku sebagai istrinya.

Namun entah kenapa aku tidak merasa risih dan memprotes panggilannya tersebut seolah-olah akupun juga suka dipanggil seperti itu olehnya. Lagipula Mang Dedi sedang sakit dan tak punya tenaga, sehingga aku mencoba memaklumi saja perkataannya tersebut.

"Nih dimakan Mas!" ucapku membuka satu-persatu kotak makanan yang ku bawa di dekatnya.

Mang Dedi lalu merengek manja, " Suapin dong Dek!" pintanya membuka mulut.

"Makan sendiri!! udah gede juga" balasku tetap ketus dan gemas dengan gayanya yang lebay itu.

"Tapi kan aku sakit Dek. Kemaren aja aku di tampar dua kali sama kamu" ucapnya mengungkit-ungkit kejadian dua hari yang lalu.

Aku mencubit tangannya pelan, " 66 Salah Mas yang sembarangan aja buang cairan!" kataku ketus.

"Abisnya Mas ga bisa nahan Dek. Mulut kamu enak banget" balasnya terkekeh.

Kukepalkan tanganku di wajahnya, " Ini bogem aku juga enak loh!!" ucapku dengan gemas.

Kami lalu tertawa berbarengan seperti pasangan kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak peduli bahwa saat ini aku berada di rumah laki-laki lain sedangkan statusku saja adalah seorang istri, ibu dan perempuan baik-baik.

Tapi yang terpikirkan olehku justru hanyalah rasa senang dan berbunga saat kami berdua larut dalam tawa dan canda itu. Entah apa yang akan terjadi besok, namun kupilih untuk menikmati momen saat ini dengan sepenuh hati.

"Suapin ayo Dek!!" pinta Mang Dedi merengek-rengek.

Aku menggeleng-geleng tidak karuan melihat sikapnya yang seperti anak kecil tersebut, "Dasar ABG tua!" ucapku mengambil sendok dan menyuap nasi.

Terpaksa akhirnya akupun mulai menyuapi Mang Dedi sedikit demi sedikit makanan yang ku bawa dari rumah itu. Sambil ku tahan perasaan senang dan menggebu dalam hatiku karena aku tidak pernah memperlakukan seseorang se spesial ini. Bahkan untuk suamiku sekalipun.


"Mmmm... enak banget masakan kamu sayang!" ucap Mang Dedi pelan mengunyah makanannya.

"Yaiyalah, Uni-uni minang loh ini!!" jawabku berbangga dengan asalku.

Sambil terus mengunyah makanan, Mang Dedi bertanya. "Di padang ada gereja gak sih Dek??" tanyanya penasaran.

"Ada, tapi cuma dikota doang. Kalau di kabupaten aku gak ada. Jangankan gereja, non muslim aja gak ada" ucapku menjelaskan sedikit tentang daerahku.

Memang sampai saat ini di kabupaten tempat aku berasal belum pernah tercatat warga atau pendatang yang menetap beragama lain selain islam. Karena itu aku pun tidak pernah bertemu dengan orang yang berbeda agama sebelumnya.

"Berarti aku yang pertama kamu
kenal dong??" tanya Mang Dedi tampak sumringah.

Kuanggukkan kepalaku sedikit mengiyakannya, "Mas yang pertama" ucapku tersenyum.

"Asikk.. yang pertama tuh biasanya berkesan loh Dek" ucapnya dengan nada penuh kesoktahuan.

Aku menyuapkan dia lagi sambil mencibir, "Berkesan apaan? Biasa aja tuh!" jawabku meledeknya.

"Yakin aku kalau kamu bakal inget aku terus" ucap Mang Dedi dengan percaya diri. "Apalagi sama yang gak disunat gini" lanjutnya mengelus selangkangan.

"Mas matanya udah pernah di colok sama sendok belum??" tanyaku mengancam.

Tapi mataku tak dapat menahan untuk tidak melirik ke arah selangkangan Mang Dedi yang tampak membokong seperti tak memakai celana dalam itu. Aku yakin di dalam sana batang penis besar itu tengah menegang.

"Hehehe.. Ampun istriku" ucapnya terkekeh mengangkat kedua tangannya. Lalu kemudian dia tersenyum melanjutkan, "Tapi coba sekali jujur deh Dek. Kamu suka kan sama kontolku ini??" tanyanya sekali lagi.

Entah kenapa jantungku tiba-tiba merasa berdegub sangat kencang diberikan pertanyaan yang kotor tersebut. Tak kusadari bawah alasannya memang karena apa yang dibilang oleh Mang Dedi tersebut adalah benar. Aku menyukai penis besarnya itu, penis perkasa tak di sunat yang mampu membuatku seperti panas dingin hanya dengan melihat siluet
dibalik celananya saja.

"Kalau diem berarti bener.." celetuk Mang Dedi dengan senangnya.

Tapi lagi-lagi aku masih mencoba menjaga harga diriku, "Sok tau!" balasku merasakan kalau wajahku ikut memanas akibat kebohongan dan kemunafikanku sendiri.

"Udah buru abisin makanannya!!" sambungku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kalau marah berarti bener..." ucap Mang Dedi merayuku.

Aku lalu menggeleng menahan senyum, "Enggak marah tuh!! aku seneng begini!" balasku meledeknya.

"Kalau seneng lebih bener lagi Dek.." jawab Mang Dedi seperti tak mau kalah.


Aku kemudian mengambil botol minuman dan memberikannya pada Mang Dedi, "Ah curang!" balasku melongos dari hadapannya.

"Ya berarti kamu emang suka sama kontolku.." sengir Mang Dedi.

"Apaan sih kontal kontol terus!" balasku menutup kotak makanan yang telah habis dilahap Mang Dedi saat kami dengan asyiknya mengobrol.

"Udah kamu ngaku aja Dek.." rayu Mang Dedi terkekeh.

Karena merasa sedikit kesal dengan pertanyaannya, akupun kemudian mengangguk-angguk terpaksa, "lya-iya.. Suka-suka.. benar-benar" balasku bercanda meledeknya.

"Dih.. kok jawabnya begitu banget??" ucap Mang Dedi tidak terima.
"Ya abis mau gimana lagi??" balasku menjulurkan lidah.

Tiba-tiba saja Mang Dedi meraih pinggangku dan menarik badanku jatuh diatas kasur, "Ngomong gini coba.. Aku suka kontolmu Mas!!" pinta Mang Dedi padaku.

"Ogah!!" teriakku meledeknya.

"Kamu mah begitu. Jahat sama aku" balas Mang Dedi merajuk.

Kusunggingkan senyum membalikkan badan ke arahnya, "Jahat gimana??"

tanyaku berpura-pura.

"Iyalah.. aku aja sampai di tampar dua kali" jawabnya kembali mengungkit-ungkit tamparan itu.

"Sebentar lagi tiga kali kalau Mas ngungkit-ngungkit terus" ucapku mengancamnya.

Kami kemudian sama-sama kembali tertawa diatas kasur ini dengan perasaanku yang sudah sangat nyaman dipeluk dan dirangkul oleh Mang Dedi. Seperti biasa, Mang Dedi mencairkan suasana dengan begitu mudah hingga membuatku lupa waktu ketika berlama-lama dengannya.

"Kamu cantik banget hari ini. Lipsticknya merah pula" Puji Mang Dedi padaku.

Sontak hatiku langsung berbunga-bunga dibuatnya karena merasa usahaku berdandan untuk Mang Dedi mendapat pujian yang aku harapkan.

Aku mengulum senyum bahagia, " Buat siapa coba??" ucapku memonyongkan bibir.

"Hehehe. Pengertiannya istriku" balas Mang Dedi terkekeh memanggil aku
sebagai istrinya lagi.

Tapi kemudian aku pun masih saja tidak keberatan dan malah semakin senang ketika mendengarnya memanggilku dengan sebuatan "Istri”-nya tersebut. Entah mungkin ada yang salah dalam diriku saat seharusnya aku marah mendengar sebutan itu, namun aku memilih untuk membiarkan telingaku manja oleh kata itu.

"Boleh aku cium gak nih??" lanjut Mang Dedi bertanya padaku.

Kuanggukkan kepala dengan pelan, Boleh" ucapku singkat dan tersenyum.

Seketika Mang Dedi mendekatkan mukanya ke arah wajahku dan mengecup pelan bibirku, "Manis" ucapnya berkomentar sebentar.

Lalu bibir Mang Dedi memaut bibirku kembali namun dalam tempo yang cukup
lama. Bibir kami hanya menempel hangat, tak ada pagutan tak ada gerakan. Hanya saling bertukar nafas yang sudah mulai tidak beraturan karena sudah didatangi birahi dan syahwat.

Dengan lembut, Mang Dedi meraihku ke dalam pelukannya. Lama dibiarkannya tubuhku dan tubuhnya bersatu sambil ciuman kami mulai sedikit bergerak saling menaut dan mengejar bibir masing-masing.

Dengusan nafas Mang Dedi terdengar memburu didaun telingaku, entah karena dia sedang sakit atau sedang bernafsu. Akan tetapi dapat kurasakan ciumannya pada bibirku mulai agresif. Kecupan-kecupan ringannya sudah mulai menjadi pagutan dan lumayan yang seolah menghisap bibirku masuk ke dalam bibirnya.

"Oohh.. Masshh.." ucapku mulai mengeluarkan desahan lirih.
Mang Dedi kembali mencoba menciumku. Kali ini lebih rekat dengan dekapannya yang sangat erat tak mau melepas. Akupun juga tak mau menghindar, tempatku bergerak hanya bila aku membalas menyosor ciumanya itu.

Tangannya menempel di bagian tengkukku yang masih terbalut hijab, bibir kami bertemu, sementara lidah kami saling mengisi rongga kosong yang ada di mulut masing-masing.

Perlakuan Mang Dedi itu semakin membuatku lemas terbuai kenikmatan. Selama beberapa menit lamanya kami bercumbu dengan penuh gairah, lidah kami saling belit dan saling jilat, air liur kami saling bertukar dan nafas kami bersahut-sahutan.

"Eeemmm...mmmhh....ssllkk... ssssllrrp!" suara desahan tertahan
terdengar dari mulutku saat berpagutan dengannya.

Selama ciumannya itu pula, tangan Mang Dedi tidak pernah diam menjelajahi tubuhku, tangan kirinya yang terhimpit oleh kepalaku masih dapat mengelus bagian leher, sedang tangan kanannya berada di bagian belakang dan meremasi bongkahan pantatku dengan gemasnya.

Perasaan aneh yang nikmat mulai terasa seiring dengan remasan-remasan Mang Dedi pada pantatku tersebut. Aku mencoba menggeliat menggerakkan diriku tapi benar-benar tidak mampu karena dekapan Mang Dedi begitu kuat mengunci tubuhku.

"Dek Liya.. aku sayang sama kamu.. aku cinta sama kamu" Ucap Mang Dedi berkata lirih menatap mataku dalam.

Aku tersipu malu karena ungkapan
cintanya yang bertubi-tubi itu., "Sayangi aku semaumu Mas..." ucapku mengelus pipinya yang terasa hangat.

"Tapi untuk sekarang saja ya?! Di rumah sudah ada suamiku yang menunggu .." Lanjutku tersenyum mengingatkannya kalau aku adalah istri dari orang lain.

Namun Mang Dedi justru mengendurkan pelukannya, "Aku mau kamu seutuhnya Dek Liya" Ucapnya tiba-tiba serius.

"Ga bisa Mas! Aku masih mencintai suamiku.." jawabku tak kalah serius padanya.

"Kalau begitu kasih aku perhatian yang sama!" Pinta Mang Dedi cemberut menuntutku.

Tiba-tiba hatiku bimbang merasa bingung dan kasihan. Entah bagaimana caranya aku memberikan perlakuan yang

sama kepada Mang Dedi sedangkan dia hanyalah selingkuhanku.

Tak mungkin aku akan memperlakukannya sama dengan caraku memperlakukan dan melayani suamiku sendiri. Namun melihat dia seakan cemburu dengan suamiku tersebut, tak pelak membuat hatiku luluh dan sadar bahwa dia memang benar-benar telah jatuh hati padaku.

"Aku akan kasih Mas sesuatu, belum pernah aku kasih sama siapapun termasuk suamiku sendiri" ucapku tiba-tiba teringat dengan tontonan di youtube yang pernah kulihat tempo hari.

Mang Dedi tersenyum merekah mendengarnya, "Wah.. sesuatu apaan tuh ?" Ucapnya bertanya nanar penuh dengan rasa penasaran.

Aku lalu tersenyum menggodanya
sambil kemudian bangkit dari kasur untuk menjangkau smartphone yang berada di dalam tas yang kubawa. Dengan secepat kilat aku mungusap layarnya untuk mencari pemutar musik yang sebelumnya sudah ku isi dengan beberapa lagu dangdut tersebut.

"Mas tunggu aja!" Ucapku merasa sangat nakal membayangkan apa yang akan kulakukan di depannya.

Begitu suara musik mulai terdengar, aku kemudian menjauhkan badanku dari hadapan Mang Dedi dan mulai menggerakkan sedikit pinggulku untuk berjoget mengikuti alunan ritme musik dangdut yang aku putar.

"Wow.." kata Mang Dedi menganga melihatku meliukkan badan di depan matanya.

Sebenarnya cara ini tak sengaja
kulihat di youtube sebagai referensi dalam memuaskan suami di ranjang. Dan akupun sudah beberapa kali melatih diri agar gerakanku tidak terlalu kaku saat aku mempersembahkannya pada suamiku nanti.

Namun pada akhirnya, ternyata bukan kepada suamikulah aku mempersembahkannya. Melainkan kepada tukang sayur yang juga berstatus sebagai selingkuhanku.

"Suka gak?" Tanyaku penasaran masih bergoyang pelan di hadapan Mang Dedi.

Mang Dedi mengangguk girang menandakan kalau dia benar-benar menyukainya. Sedangkan aku merasa gemetar menahan malu merasakan detak jantungku berdebar dengan kencang melakukan goyangan-goyang erotis.
"Kamu sudah gila Liya!" Batinku berteriak menolak segala perbuatanku ini.

Rasanya begitu tabu dan penuh pelecehan, Aku yang harusnya menjadi perempuan yang menjaga iman agama itu justru malah berubah bak seorang biduan dangdut yang mengundang hasrat birahi. Aku yang harusnya menjadi seorang istri yang baik itu, justru malah menari-nari di depan lelaki lain selain suamiku sendiri.

Namun anehnya mukaku malah terasa semakin memanas dan seluruh bulu kudukku seketika merinding, tanda kegembiraan dan gairah seksualku yang sudah mulai meninggi. Ditambah lagi dengan perasaan hina pada tubuhku yang seolah bangga dan tak mau berhenti di tatap nanar oleh mata Mang Dedi.

Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku mulai

menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri menampakkan lekuk tubuhku yang sedari tadi tersembunyi di balik gamis dan hijab yang ku pakai.

"Seksinya kamu Dek Liya" komentar Mang Dedi masih terpana mengelus penis yang masih tersembunyi dibalik celana pendeknya.

Aku kemudian semakin bersemangat melihat reaksi serta mendengar pujian Mang Dedi itu.

Dengan kedua tangan, aku tangkap bongkahan daging payudaraku dan memijit mereka bersama-sama dari balik gamis yang masih menutupi badanku. Di dalamnya, Puttingku ikut mengeras seolah tak mau ketinggalan merasakan sensasi seperti ingin dipertontonkan juga.

"Ougghh.. Mashh..Akuu nakall.." bisikku lirih sambil terus memainkan payudaraku diiringi muskin dangdut yang semakin menambah panasnya suasana.

Kulirik sejenak Mang Dedi yang bersandar pasrah di atas kasur sambil jakunnya naik turun menelan ludah, dengankan tangan kanannya tidak henti-henti mengelus dan meremas batang kejantanannya yang sudah semakin terlihat menonjol.

"Iyahh.. emang nakal kamu Dek.. kamu benar-benar binal.." Ucap Mang Dedi dengan kotornya.

Akan tetapi kata-kata itu justru malah membuatku semakin bernafsu dan liar. Melakukan adegan menggairahkan seperti ini saja sudah membuat aku merasa tubuhku menjadi begitu panas dan keringatku mengucur dengan derasnya.

Apalagi di tambah dengan komentar-komentar lucah Mang Dedi itu.

"Lihat pantatku juga Mass.." ucapku lalu membalikkan tubuhku. Masih sambil bergoyang-goyang membelakangi Mang Dedi.

Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum nan mengundang itu. Tapi yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika mengucapkannya di depan Mang Dedi.

Saat ini pula, aku sangat yakin kalau Mang Dedi menginginkan tubuhku untuk direngkuhnya segera. Dan akupun juga sangat menginginkan itu darinya. Namun persembahan ini baru saja dimulai, karena selanjutnya aku membuka perlahan resleting gamisku dan menurunkannya dengan gerakan yang begitu pelan.
Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat dengan jelas arah mata Mang Dedi yang mengikuti gerakanku tengah melucuti diri dari gamis yang aku pakai. Aku merasa jika dadaku seolah mau meledak karena perasaan senang, bangga, bingung, malu, dan semua emosi lain yang bercampur menjadi satu.

Seharusnya, seorang wanita alim tak pantas berbuat seperti ini. Seorang istri sholehah juga tak sepatutnya memamerkan tubuh miliknya kepada orang lain selain suami.

Namun disinilah aku sekarang, bertelanjang diri hanya memakai dalaman di depan laki-laki lain dan merasa tersanjung karena tatapan nakalnya.

"Ayo tunjukan kenakalanmu Dek Liya" pinta Mang Dedi menyemangatiku. "Aku tau kalau sebenarnya kamu adalah wanita

nakal" seringainya melanjutkan.

Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, hina tapi bernafsu. Itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat dan perkataan Mang Dedi padaku.

Dan masa bodoh dengan semua itu karena aku sudah sangat terangsang. Sudah tak peduli dengan image seorang perempuan alim dan istri setia. Yang jelas, saat ini aku ingin segera digumuli oleh Mang Dedi untuk mengarungi kenikmatan birahi bersama-sama sampai ke tepian samudera syahwat yang memberikan kenikmatan duniawi yang luar biasa.

"Mashh.. aku sangeee..." Ucapku merengek menahan gesekan birahi makin menyambangi badanku yang terbuka di depan mata Mang Dedi.

Masih dalam balutan lagu dangdut yang berdurasi panjang itu, aku terus
melucuti diri dengan gaya yang lambat penuh godaan. Sengaja kubuat ekspresi sebinal mungkin sambil menjulurkan lidah dan menggigit bibir bawahku saat aku bergoyang meliuk-liuk.

Kali ini giliran penutup dadaku yang meluncur jatuh dengan cepat. Membuka dan mempertontonkan bongkahan daging payudara kecilku yang ikut-ikutan terbebas, melompat dengan indahnya dari sana.

Mendadak, aku merasa hembusan angin yang ada dikamar tidur Mang Dedi itu begitu dingin membangkitkan bulu kudukku dan membuat puting payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku makin terasa basah.

"Cantik sekali kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi masih mengomentariku. "Ayo sini Dek.. sudah gak sabar aku pengen ngentotin kamu.." pinta Mang Dedi sambil

melambaikan tangannya kearahku.

Namun aku menggeleng pelan dan manja, "Belum saatnya Mas" Ucapku semakin menggodanya.

Kutangkap bongkahan daging pipi pantatku dan mulai kuremas gemas di depan matanya. Kugoyangkan pinggulku dengan sangat genit sembari terus meliuk dan bergoyang erotis.

"ASTAGA..." batinku berteriak.

Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan laki-laki lain seperti ini seolah memberikan sensasi birahi yang sangat menggebu. Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan.

Akupun sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah perbuatan dosa, sebuah dosa yang
akan membawa kenikmatan bagi diriku, dan Mang Dedi selingkuhanku. Tapi birahiku sendiri sudah menghipnotis alam bawah sadarku untuk tetap bergerak memberikan tontonan-tontonan erotis pada Mang Dedi.

"Jangan dibuka hijabnya sayang" tahan Mang Dedi saat aku akan bergerak membuka hijabku.

"Kamu lebih cantik pakai hijab seperti itu.. lebih seksi.. lebih menggairahkan.." lanjutnya mendengus-dengus meremas penisnya sendiri.

Aku tidak mengerti kenapa Mang Dedi tetap memintaku memakai hijab lebar ini. Bukankah rasanya lebih seksi kalau aku bertelanjang bulat di hadapannya tanpa tertutupi sehelai benangpun?

Namun karena ini adalah persembahan untuk Mang Dedi, jadi aku

akan memenuhi permintaannya tersebut tanpa berpikir lebih panjang.

Dari yang tadinya aku ingin membuka hijabku, kini aku malah beralih meraih kedua pinggiran celana dalamku yang berada di pinggang.

"Yang ini dibuka gak Mas??" Tanya tersenyum nakal menggodanya.

Mang Dedi tercekat sebentar menelan ludah, "Oh pastinya dong sayang" jawabnya penuh kegirangan.

Perlahan-lahan kemudian akupun menggoyangkan badanku ke kiri dan ke kanan sambil sedikit demi sedikit kuturunkan balutan celana dalamku dari bagian selangkangan.

"Oughhhh..." aku bergetar. Merasakan semilir angin menyapu bagian vagina dan pantatku yang mulai terbuka di hadapan
Mang Dedi sambil menengadahkan kepala dan memejamkan mata menahan nikmat.

Seketika aku sudah bertelanjang di hadapan Mang Dedi. Telanjang di depan mata lelaki lain selain suamiku. Dan telanjang di hadapan pria yang sebentar lagi akan menikmati tubuhku ini.

Tiba-tiba aku merasa tertantang. Ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanitaku itu kepada Mang Dedi. Ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang berkedut membasah karena menantikan sodokan dan tusukan penis besarnya di vaginaku, lalu menumpahkan sperma panasnya di dalam rahimku.

"Ngangkang dong Dek.." perintah Mang Dedi memiringkan kepalanya.

Seolah mendapat hipnotis, entah kenapa aku kemudian menarik lebar-lebar kedua kakiku untuk mengangkang begitu

lebar sambil berdiri di hadapan Mang Dedi.

"Woooww... becekkk..." komentarnya sekali lagi.

Aku mengangguk pasrah, "I--iya Massh Sudah becekkhh...." ucapku menahan diri sangat malu.

Sengaja tak kuliah wajah Mang Dedi yang tengah memperhatikan selangkanganku yang ternyata sudah melelehkan cairan begitu banyak sampai terasa hangat di pahaku.

"Kamu benar-benar wanita nakal Dek Liya. Gak cocok sama hijabmu itu." Ucap Mang Dedi tersenyum melecehkanku.

"Taa--tapi Mas suka kan?? Ouugghhh. ." balasku melenguh mempertahankan posisiku yang mengangkang sambil berdiri itu.

Mang Dedi tertawa sedikit, "Suka

banget sayang. Ayo lanjutin lagi jogetnya" sambungnya kembali bersandar di pinggiran kasur.

Mendapat perintah dari Mang Dedi, aku kembali berusaha menggoda Mang Dedi sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku. Namun sekarang dengan objektif yang berbeda karena aku merasakan gatal di beberapa bagian sensitifku.

Sekarang rasanya bukan lagi untuk memuaskan Mang Dedi dengan persembahan erotisku, namun justru untuk memuaskan hasratku sendiri yang sudah berada di ubun-ubun.

Aku meremas payudara dan pantatku beberapa kali seperti seorang pelacur yang sedang memberikan undangan gratis kepada lelaki lain untuk dapat menidurinya.

"Entotin aku Masshh... entotin akuuhhhh...." ucapku membatin dalam hati sembari terus bergoyang erotis.

Aku seperti cacing yang kepanasan. Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk bermain-main dengan puting payudaraku, aku berani untuk meremas pantatku, dan aku berani untuk mengobel liang vaginaku sendiri di hadapan Mang Dedi.

"Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh.. .." desahku pelan sambil menggelinjang-gelinjang keenakan.

Kutusuk vagina basahku dengan jemari-jemari tanganku sambil sesekali ku gosok bagian bibirnya. Dibagian dada, kupilin-pilin puting payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak.

Tapi kemudian aku tersadar, kulihat Mang Dedi bengong tidak percaya melihatku memainkan diri sendiri di depannya. Sungguh akupun ikut merasa malu karena aku sampai-sampai terbawa suasana oleh sentuhan-sentuhan ku sendiri.

"Memang binal kamu Dek.." Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng.
 
Part 17 Tujuan dan Harapan Kah ?

"Memang binal kamu Dek" Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng melihatku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tersentak dari ilusi birahiku sendiri sambil tertunduk malu mendengar perkataan Mang Dedi. Tak kusadari di sebelah tempat ku berdiri terdapat sebuah cermin yang memperlihatkan tubuhku dalam ketelanjangan dan ekspresi yang begitu bernafsu.

"Itu aku??" tanyaku dalam hati.

Aku tiba-tiba memandang diri seperti orang yang kehilangan akal sehat. Rasanya sungguh tak percaya bagaimana aku menjadi binal dan senakal ini.

Wajahku yang tampak memerah, nafasku yang naik turun terengah, dan badanku yang mengkilat oleh keringat gairah, seolah memberitahu bahwa aku benar-benar sudah bertransformasi menjadi wanita pengejar syahwat dan birahi. Bukan yang baik-baik dan alim lagi.

Dalam keheningan tatapku ke arah cermin itu kurasakan ada semacam aliran listrik yang menggelitik badanku hingga menggigil kehilangan tenaga. Rasa malu itu pula membuatku secara reflek menutupi bagian-bagian tubuhku yang sedari tadi sudah aku pamerkan secara gratis kepada Mang Dedi.

"Kenapa ditutup??" tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku menggeleng pelan tak berani menatapnya balik, "Gapapa" jawabku singkat menahan malu.

Dari sudut mataku, aku kemudian melihat Mang Dedi beranjak mendekat. Dia meraih telapak tanganku dan memegangnya dengan erat. Sejenak Mang Dedi menghembuskan nafas lirih seolah ingin memberitahukan sesuatu padaku.

"Dia akan merayu lagi.." batinku seolah bisa menebak apa yang akan dia lakukan.

Namun betapa kagetnya aku saat Mang Dedi malah membawa tanganku ke bagian bibirnya dengan begitu cepat. Mang Dedi menciumi punggung tanganku tersebut dengan mesra dan begitu hangat sedemikian rupa hingga aku bisa merasakannya sampai sejauh lututku.

Untuk sesaat Mang Dedi tak berkata-kata, dia menarik daguku dan memandangi wajahku. Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup
hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu.

"Kamu tidak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, dan sudah seharusnya kamu perlihatkan itu semua padaku" ucapnya melayangkan pujian.

Spontan aku mengulum senyum, " Bisa gak sih gak gombal terus??” ucapku memprotes.

Tapi dari dalam lubuk hati, aku begitu senang dan melayang mendengar pujian Mang Dedi yang tak pernah berhenti itu. Seolah tersihir oleh kata-kata manis yang secara tidak langsung membuatku merasa bahwa aku adalah wanita paling beruntung di dunia ini.

"Wanita cantik seperti kamu gak boleh menyentuh diri sendiri kayak tadi Dek Liya.." ucap Mang Dedi tersenyum menoel hidungku.


"Lain kali kalau sange bilang aja..." lanjutnya mengeluarkan candaan.

Aku tepuk dadanya pelan sambil tersenyum malu mendengar gurauan Mang Dedi tersebut. Rasa hangat menyebar dalam hatiku seiring perlakuan manis dan candaannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum renyah. Rasanya, karena hal-hal kecil seperti ini pula kenapa aku selalu bisa dengan mudah mabuk dan hanyut kedalam pelukannya.

"Sini Dek Liya, rebahan sama aku! Kamu pasti capek" ucap Mang Dedi merebahkan diri diatas kasur dan menepuk bagian kosong disampingnya.

Disaat Mang Dedi telentang itu, mataku tak sengaja memandang ke arah paha dan celana pendek Mang Dedi yang terlihat agak mengembung karena isi didalamnya. Beberapa kali ku teguk ludahku sendiri karena tiba-tiba saja pikiranku jadi nakal, ingin merasakan kembali batang penis besar dan tak disunat itu di dalam mulutku sendiri.

Entah darimana datangnya keberanianku, tiba-tiba saja aku berucap, Ma--mas mau aku kulum gak??" tanyaku sedikit gugup.

Dadaku tiba-tiba berdesir kencang, merasa sangat nakal dan sexy disaat bersamaan ketika dengan penuh sukarela ku tawarkan mulutku sendiri untuk memberikan kenikmatan. Belum lagi rasanya hatiku semakin gugup ketika Mang Dedi hanya diam menatap tak percaya padaku belum memberikan jawaban.

"Ihh.. malah diem!!" ucapku ketus menghilangkan malu.

Tapi Mang Dedi dengan santai menahan senyumnya, "Coba, kamu bilang apa tadi Dek??" tanyanya terlihat senang.

"Kamu mau ngulum ini??" Sambungnya berpura-pura mengelus penisnya di balik celana.

Ku anggukan kepalaku pelan merasa diriku sungguh amat berani saat itu. Dengan hati yang berdebar aku kemudian merangkak menghampiri Mang Dedi yang terduduk dan bersandar di tembok kontrakannya dengan selangkangannya yang terbuka mengangkang.

Tanpa berbasa basi lagi, Kuraih pinggiran karet celana pendek Mang Dedi dan ku tarik turun melewati selangkangannya. Seketika itu juga, batang penisnya yang masih nampak tertidur itu mencuat keluar seperti melambai-lambai menyapa birahiku.

Aku meneguk ludahku berkali-kali. Seketika menjadi begitu bernafsu, rasanya kemaluan besar milik penjual sayur langgananku itu seperti magnet bagi gairahku.

"Gila besar sekali!!" Batinku berteriak tetap saja merasa kaget melihat kebesaran penis Mang Dedi.

Meski sudah sebanyak dua kali aku melihatnya, tetap saja aku masih dibuat kaget dan tidak percaya. Selama ini aku tidak terlalu sadar dan memperhatikan kalau ukuran penis Mang Dedi ternyata hampir sama dengan ukuran lenganku.

Walau dalam keadaan yang masih belum tegang saja, satu genggaman tanganku saja belum cukup untuk melingkar secara penuh disana.

"Hehehe....., kenapa sayang?? Masih kaget aja sama kontolku.." ucap MangDedi terkekeh.


Kuurut pelan batang tersebut sambil ku tatap mata Mang Dedi, "Kok bisa si Mas ?" Tanyaku sangat-sangat penasaran. Dalam genggaman tanganku tersebut, kurasakan penis Mang Dedi berdenyut dan sedikit mengangguk-angguk.

"Bisa apa Dek Liya?" Ucapnya malah menanya balik.

Kugoyangkan batang penisnya sekali, "Bisa besar kayak gini.." jawabku makin diburu nafsu.

"Hehehe. Itu emang anugerah dari tuhanku untuk bisa melaksanakan tugas memuaskan wanita-wanita kayak kamu sayang...," balasnya terkekeh mengelus kepalaku.

"Kayak aku gimana?" Tanyaku penasaran.
Kali ini Mang Dedi mengangkat bahunya, "Ya kayak kamu sayang.. terperangkap gak bisa bebas menikmati kenikmatan dunia sama sekali.." jawabnya semakin membuatku bingung.

"Ga ngerti aku Mas.." ucapku menggeleng.

Lagi-lagi Mang Dedi terkekeh, " Hehehe..., apa coba yang berubah setelah kamu kenal sama aku?" Tanyanya lagi.

"Banyak sih.." jawabku singkat tanpa berpikir.

"Pernah kepikiran gak kalau kamu bakalan kayak gini?"

Aku menggeleng, "Ga pernah, aku gapernah kepikiran jadi begini" jawabku singkat.

"Nah! Itulah tujuan aku datang ke kehidupanmu Dek Liya. Buat nyadarin

kalau selama ini kamu udah menjalani kehidupan yang salah..." balas Mang Dedi berbicara banyak.

"Apa sih Mas bikin orang pusing aja!!" Ucapku ketus dibuatnya berpikir. Gairah yang tadi sudah bangkit menggebu-gebu itu terpaksa harus padam kembali dengan terpaksa.

Untuk sesaat Mang Dedi hanya tersenyum, dia menarik daguku dan membelai pipiku. "Kamu tidak perlu mengerti sayang.. cukup jadi dirimu sekarang dan ikuti saja setiap prosesnya. Percayalah aku akan membawamu ke dalam jalan keselamatan." Ucap Mang Dedi tersenyum.

Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku sekali lagi yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu. Masih
belum kumengerti apa maksud dari perkatannya tersebut, namun masa bodoh denga hal itu karena aku sudah sangat terangsang.

"Yaudah ayo dilanjutin Dek..," senyum Mang Dedi nakal menggodaku.

Diarahkannya kepalaku yang masih tertutup hijab itu ke arah penisnya sementara tangan satunya lagi memegang pangkal batang kemaluannya. Aku tahu Mang Dedi menginginkan aku untuk mengulum batang kemaluannya sesegera mungkin.

Karena itu tanpa perasaan malu lagi kubuka mulutku dan kujilati batang kemaluan Mang Dedi yang masih dalam keadaan setengah menegang itu. Jari-jariku amat telaten mengurut pangkal penisnya agar kulit kulup yang menutupi bagian kepala jamurnya bisa turun ke bawah.

"Uugghh.. angetnya mulutmu Dek... sshhhhh...," Mang Dedi mendesis saat ku caplok dengan pelan ujung penisnya memakai mulutku.

Kujilati pelan kepala jamur Mang Dedi yang berwarna coklat itu sambil sesekali ujung lidahku bermain di lubang yang ada di ujung kepala penisnya hingga ia mendesis-desis seperti orang kepedasan.

Sambil mulut dan tanganku terus bekerja memanjakan penisnya, mataku senantiasa menatap mata Mang Dedi. Sesekali aku pun melempar senyum manisku padanya jika mulutku sedang tak dipenuhi oleh alat kemaluannya. Dengan begitu, aku seolah ingin memberitahunya kalau aku begitu menikmati kulumanku pada penis besarnya.

"Mmmmmppphhh.... emmmppp...,"

Mulutku bergumam tertahan layaknya
seorang anak kecil yang sedang menikmati sebuah es krim yang begitu lezat.

Sementara itu, kedua tangan Mang Dedi terus memegangi kepalaku yang berbalut hijab seolah takut aku akan melepas kulumanku dari selangkangannya. Dipeganginya kepalaku tersebut dengan agak kuat sehingga mau tak mau aku harus bisa mencuri-curi nafas di tengah kulumanku.

Ditambah lagi dengan bau kelelakian yang semakin semerbak menyentuh hidungku dari arah selangkangan dan batang Mang Dedi. Membuatku mau tak mau semakin bersemangat dibuat begitu melayang oleh baunya yang memabukkan itu.

Tidak puas hanya bermain-main dengan bagian batangnya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri pangkal penis Mang Dedi yang di tumbuhi bulu-bulu itu. Aku hanya bergerak secara naluri bertujuan untuk memuaskan nafsu Mang Dedi, hingga tanpa sadar mulutku bergerak semakin ke bawah sampai pada buah kemaluannya yang menggantung begitu penuh.

"Oouuuuch..., Yaahh..., bener disitu.., sayanggg!!" Desah Mang Dedi semakin blingsatan.

Aku pun semakin bersemangat nakal mendengarnya, bibirku kini tidak hanya mencium saja buah zakarnya itu, tetapi juga sesekali menyedot kantungnya ke dalam mulutku hingga Mang Dedi semakin membukakan kakinya lebar-lebar agar aku lebih leluasa memuaskannya.

Aku tahu aku telah bertindak sangat gila. Belum pernah aku menjilati kemaluan lelaki sebernafsu dan sesemangat seperti ini. Bahkan tak ada sedikitpun rasa jijik dalam diriku ketika tanpa sengaja lidahkuyang menari-nari di selangkangan Mang Dedi itu menyerempet mengenai lubang anusnya. Sangat yakin aku telah mengalahkan pelacur manapun saat memberikan layanan kepada pelanggannya.

"Oooohhh... gila.., ooohhh gilaa sekali mulutmu Dek Liyaa..," racau Mang Dedi terdengar lagi.

Tubuh Mang Dedi ku lihat bergetar-getar dalam kenikmatan sambil sesekali kepalanya menengadah memejamkan mata menahan nikmat. Kulirik dan kurekam setiap ekspresi keenakan si penjual sayur langgananku tersebut karena aku merasa sudah begitu hebat melayaninya.

Beberapa saat kemudian Mang Dedi tiba-tiba bangkit dari posisinya yang menyender di tembok. Seketika dia sudah terduduk dan menjangkau bagian

pantatku. Batang penisnya terdorong masuk cukup dalam hingga membuatku hampir tersedak karena menyentuh rongga kerongkonganku.

"Hehehe.. Maaf ya Dek..," ucap Mang Dedi saat melihatku terbatuk-batuk.

Tapi dengan sekuat tenaga tak kulepas kulumanku pada batang penisnya sehingga air liurku yang paling kental keluar membasahi setiap inci batangnya hingga mengkilat. Kurasakan juga air mataku sedikit menetes karena aku menahan diri untuk tidak tersedak oleh batang penis Mang Dedi.

"Mmmmpp.., emmmphhhh...," gumamku tertahan.

Sesaat Mang Dedi meraih paha dalamku dengan tangan dan membungkukkan badannya menuju ke arah selangkanganku. Posisi kamipun
seketika menjadi berubah miring, saling berhadapan-hadapan diatas kasur namun dengan letak kepala yang berada di selangkangan masing-masing.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, Mang Dedi mengalungkan tangannya di bagian pantatku, dibentangkannya kedua bongkahan daging semokku dengan lebar, lalu lidahnya mulai bekerja menjilat dan melumat gundukan kemaluanku.

"Ooouuchhhhmmmmppppp....," desahanku tertahan.

Aku semakin gelagapan karena merasa kegelian diselangkanganku sementara mulutku tersumpal batang penis Mang Dedi.

Aku ikut menyedot batang penis Mang Dedi disaat yang bersamaan dia juga menyedot dan menjilat vaginaku. Kami saling menjilat memberi kenikmatan pada
kemaluan kami masing-masing dengan posisi saling mengangkang di wajah masing-masing pula.

"Mmaashh.. ngiluh.." ucapku melepas kuluman mulutku di penis Mang Dedi saat merasakan lidahnya yang hangat menerobos masuk ke dalam liang vaginaku.

Sebagai balasan rangsangannya, kugunakan kedua tanganku untuk mengurut penis Mang Dedi karena ukurannya yang begitu besar dan amat panjang tak cukup tergenggam oleh satu tanganku.

Dengan penuh bernafsu, kukulum kembali penis Mang Dedi masuk sedalam mungkin ke dalam mulutku. Walau rasanya begitu penuh didesak oleh batangnya yang keras aku tetap saja berusaha memasukkannya makin dalam.

Sangat kusukai pula saat melihat benda kejantanan tak bersunat itu mulai mengkilat oleh ludahku sendiri dan begitu licin saat tanganku mengocok maju mundur batangnya yang sudah begitu menegang dengan amat keras.

Aku lagi-lagi menggelinjang liar, saat dengan tiba-tiba ku rasakan jemari-jemari Mang Dedi seperti mengais-ngais lubang anusku dengan menekuk kedua pahaku semakin dalam ke arah wajahnya. Aku begitu terangsang dengan perlakuannya itu karena seperti merasakan kegelian di dua lubangku sekaligus.

"Masshh.. jangannn...," protesku kaget merasakan ujung jari Mang Dedi menusuk lubang pantatku.

Namun belum sempat pikiranku bereaksi terlalu jauh, aku dibuat melenguh panjang saat merasakan ujung jari Mang
Dedi yang cukup besar telah tertancap sedikit dalam pada jepitan otot-otot anusku.

Tak dapat lagi kucegah tangan nakalnya itu, Apalagi saat lidah Mang Dedi masih saja bekerja menjilat dengan rakus seluruh wilayah vaginaku sambil sesekali lidah itu dimasukkannya dalam-dalam ke lubang vaginaku. Yang dapat kulakukan saat itu hanyalah menjerit tertahan sambil ku sumpal lagi mulutku dengan penis Mang Dedi untuk membalas perlakuannya padaku.

"Mmmmpphhh....., mmmmpppphhh... .,"

Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergapku. Mang Dedi dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil yang berada tepat diatas bibir lubang vaginaku sambil jari-jarinya terus menusuk keluar masuk lubang anusku.
Sedikit demi sedikit, jepitan kuat lubang pantatku itu mulai dapat menerima jari Mang Dedi masuk untuk lebih dalam lagi. Terasa lumayan perih pula saat jemarinya yang besar itu menyeruak masuk. Akan tetapi dengan begitu pintarnya, Mang Dedi sesekali melumasi jarinya dengan lendiri vaginaku dan membasahi lubang anusku agar semakin licin.

Disaat yang bersamaan pula, tubuhku mengejan dan berkelejat seperti cacing kepanasan. Kurasakan sapuan lidah Mang Dedi mengusap panjang pada bibir vaginaku yang kurasakan semakin ngilu. Sapuan itupun semakin berulang naik turun menjelajah, sehingga otot-otot pinggulku berkedut-kedut dan seakan membersitkan cairan dari dalam vaginaku.

"Kkkcllllaakkkk...., cklllaakkkkk...,, kklooooockkkk..., kkklllaaackkk.."

Suara dari hisapan mulutku pada penis Mang Dedi bergema sangat indah bersahutan dengan bunyi kecipak vaginaku yang tengah dijilatinya. Pun seiring dengan kelezatan yang menghantar pada seantero tubuhku tersebut, kurasakan buncah-buncah kelezatan dari dalam kewanitaanku bergelombang untuk menjebol pertahananku.

Aku tersentak, Ku pegang begitu erat penis Mang Dedi dan kukulum sedalam mungkin seolah itu adalah satu-satunya pegangan terakhirku untuk dapat selamat dari hantaman ombak orgasme besar yang akan melandaku. Ku benamkan wajahku di pangkal penisnya yang di tumbuhi bulu-bulu tipis itu sambil kemudian aku berteriak.

"Ooooooouughhhhhh.......,, akuuuuuhh...,, keluaaaaaaaaaarrrrrhh.." teriakku parau meledak dalam rintihan

yang keras dan begitu panjang.

Namun seperti tidak terganggu dengan hal tersebut, kurasakan lidah Mang Dedi masih saja bekerja mengorek-ngorek dinding kewanitaanku saat kukucurkan begitu banyak cairan yang keluar dari dalamnya.

Lezat nikmat, kuat melayang-layang, geli lalu ngilu, begitulah sekiranya sensasi campuran kenikmatan yang aku rasakan saat orgasmeku melanda bak sebuah ombak tsunami. Walau rasanya aku tidak punya tenaga untuk menahan tubuhku, tapi berkat penis dan badan Mang Dedi yang ada di wajahku membiay aku bisa berpegangan menikmati orgasmeku yang akhirnya berlalu dalam beberapa menit kemudian.

Setelah akhirnya puncak kenikmatan itu mereda, ku habiskan waktuku dengan mengatur nafas dan memejamkan mata
merasai sisa-sisa kenikmatannya. Mang Dedipun seakan membiarkan penisnya terus kukulum ringan dan kucium dengan penuh rasa sukacita terima kasih.

"Enak ya sayang??" tanya Mang Dedi tersenyum sudah bangkit terduduk lagi. Batang penisnya tiba-tiba terlepas dari mulutku mengikuti tubuhnya yang kini tengah bersila di samping kepalaku.

Sengaja tak kujawab pertanyaannya itu karena aku yakin dia hanya berniat menggodaiku saja. "Kayaknya sih enak banget ya??" sambungnya kemudian membelai wajahku yang masih terasa panas.

Tiba-tiba saja, kurasai bibir Mang Dedi menciumi keningku dengan lembut, beranjak ke mataku yang sedang terpejam, lalu pipi dan hidungku, hingga kemudian hinggap pada bibirku yang setengah terbuka.
"Masih kuatkan??" bisik Mang Dedi memancing-mancing kesadaranku yang juga sudah mulai pulih.

Ditekannya lembut bibirku dengan bibirnya. Kurasakan pula lidah Mang Dedi bergerak menyapu setiap inci bibirku untuk membasahi sebelum akhirnya dia melumat lembut sambil menekannya semakin dalam, menggodaku secara naluri mencium balik untuk membalasnya.

"Sabar ih Mas.., masih capeekkk..," rengekku begitu manja masih dengan mata yang ku pejamkan.

Pikirankupun masih melayang di awang-awang, mencoba mengingat-ngingat kembali apa yang barusan terjadi. Begitu nikmatnya perlakuan Mang Dedi hingga tanpa bersetubuhpun sudah dapat membuatku merakasan puncak kenikmatan.
Kudengar Mang Dedi terkekeh, "Oh iya sayang, maaf..., kamu istirahat aja dulu ." Ucapnya terdengar senang.

"Kamu kalau orgasme muncrat-muncrat kayak orang kencing gitu, gimana gak capek coba. Sampai basah muka aku...," sambung Mang Dedi mulai bercanda lagi.

"Oh iya, aku boleh nusuk pantat kamu pake kontol gak?" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.

Kali ini aku sangat kaget mendengarnya hingga aku membuka mata, "Apa? Ga boleh Mas!!" Ucapku amat sangat tidak menyetujuinya.

"Hahahhaa.. becanda sayang! Pake kaget segala mukanya.." balas Mang Dedi tertawa terbahak-bahak.

Kututup kembali mataku dan ku gulingkan badanku miring membelakanginya, "Bodo" ucapku dengan ketus.

Namun dari belakangku, Mang Dedi tiba-tiba saja merapatkan badannya ke punggungku dan mengalungkan tangannya memeluk.

"Jangan ngambek sekarang dong sayang. Aku kentang nih.." ucapnya sedikit memelas. Dielusnya pelan permukaan tanganku dan diciumnya bahuku.

"Bodo.." ucapku yang kali ini merasa senang mendengarnya merajuk.

Tapi kemudian Mang Dedi bertindak nekat dengan melompatkan badannya melewati badanku hingga kami jadinya berhadap-hadapan, "Ciluk Baaa!!"

Ucapnya terkekeh setelah menyadari bawah aku tersenyum.

"Paan sih gaje...," ketusku yang berusaha berbalik membelakanginya lagi.

Tapi dengan cepat Mang Dedi menahan pinggangku dan merapatkan tubuh kami. "I Love You Dek Liya" ucapnya tiba-tiba mengecup bibirku.

"Kamu cantik dan begitu alim. Wanita idaman dan tujuan hidupku" sambungnya tersenyum tanpa beban.

Tak dapat aku mengeluarkan kata-kata karena merasa sangat senang mendengar pengakuan Mang Dedi tersebut. Jantungku berdebar-debar begitu cepat layaknya seorang remaja yang baru saja mengenal cinta.

"Emangnya Mas mau ngapain kalau berhasil dapetin aku?" Tanyaku amat penasaran.

Mang Dedi lalu tersenyum merekah, "

Aku ingin menikahimu, membuatmu beranak pinak dan membawamu dalam keselamatan" jawabnya dengan mantap.

"Keselamatan?" Tanyaku heran.

"Keselamatan yang ma--mmmmpphhhh" ucapanku terpotong karena Mang Dedi tiba-tiba saja melumat bibirku.

"Sudah. Kamu tidak perlu tau sayang" ucapnya tersenyum. "Kamu percaya sama aku kan?" Lanjut Mang Dedi bertanya.

Tanpa mengerti apa maksud perkataannya tersebut, aku mengangguk pelan karena memang aku mempercayainya, "Iya Mas, aku percaya sama kamu..," jawabku dengan pelan.

"Good" Ucap Mang Dedi tersenyum sok berbahasa inggris.

Dia lalu mengecupku dengan ciuman

paling hangat yang pernah aku rasakan. Begitu lembut, pelan dan nikmat penuh dengan luapan emosi yang tak bisa aku gambarkan.

Kubuka mulutku sedikit untuk membiarkan lidah Mang Dedi menyapa lidahku. Kubiarkan dengan pasrah bibirnya membelit dan menukar air liur kami dalam mulutku. Terasa sedikit bau rokok dari bibirnya yang kasar itu, namun tetap saja membuatku terus membalas dan menciumnya balik.

Ciuman Mang Dedi bertahan di bibirku untuk sementara sebelum akhirnya merambat turun ke leherku yang tertutupi oleh hijab, menghisapnya sebentar dari luar hingga aku menggelinjang merasakan geli.

Lalu merosot lagi sampai akhirnya hinggap di salah satu puting payudaraku.

"Ughh.." Aku mendengus dengan lirih.

Pertama lidahnya tepat menyapu puting payudaraku yang mencuat begitu keras, lalu bergerak memutari seluruh daerah areolanya yang kecil berwarna pink bergantian sebelah kiri dan kanannya.

Dengan liar, diraihnya salah satu payudaraku dan dihisapnya dengan kuat kedalam mulutnya yang kasar dan basah itu.

Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri saat putingku bersentuhan dengan gigi Mang Dedi di dalam mulutnya.

"Hmmmppphh... Masshh..."

Aku menggelinjang, melenguh ketika Mang Dedi menggigit-gigit kecil putingku. Dipilin-pilinnya kesana kemari,

dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya semakin membenam di kedua payudaraku.

"Kamu merasa gatel lagi gak Dek Liya ??" bisik Mang Dedi tersenyum menggodaku.

Sedangkan aku hanya bisa pasrah menatapnya sayu dengan pandangan bernafsu sambil sesekali merintih, dan mengeluarkan racauan kenikmatan melawan gejolak yang mulai bangkit mengharubiru di seluruh tubuhku sekali lagi.

"Ouuughhh.. Mashhh.. dadakuuh.. geliihh.." ucapku terus mendesah.

Seperti seorang bayi yang kehausan, Mang Dedi menyusu pada puting payudaraku berganti-ganti kiri dan kanan. Tak bisa kutahan gejolak ini lantaran area

payudaraku adalah salah satu bagian tubuhku yang sangat sensitif apabila disentuh dan diberikan rangsangan.

Ditambah oleh rayuan manis dan kecupan-kecupannya, membuatku merasakan gairah sedikit demi sedikit bangkit dan meletup-letup keluar dari tubuhku melalui area vaginaku yang berkedut-kedut.

Tak puas dengan hanya bermain lidah dibagian payudaraku saja, ciuman Mang Dedi sesekali turun melata dikulit perutku yang ramping. Sengaja ku picingkan mata dan kurapatkan tubuhku ke bagian kepala Mang Dedi agar nafas hangatnya semakin terasa menghembusi kulit-kulit tubuhku.

Aku bahkan merasakan rasa basah dan gatal dibagian kewanitaanku seiring tak berapa lama kemudian Mang Dedi ikut menggigit-gigit kecil area dada dan perutku dengan lembut, meninggalkan tanda-tanda merah dikulitku yang putih.

"Duhh.." dalam hati aku membatin bagaimana jika suamiku nantinya melihat cupangan-cupangan semerah ini?

Akan tetapi sebelum sempat pikiranku melanglang buana dipenuhi rasa bersalah dan khawatir. Mang Dedi malah semakin merangsek turun sembari mulutnya yang kasar itu kurasakan malah menjilat-jilat pusarku beberapa saat.

"liihh gelihh.. jangan disituhh Masshh. .." protesku tertahan.

Mang Dedi berhenti sejenak dan membenamkan wajahnya di perutku. Nafas hangatnya yang berhembus tak beraturan itu sungguh terasa sangat nyaman. Dalam keadaan masih lemah, kuusap lembut kepalanya seakan menunjukkan bahwa aku begitu menyukai perlakuannya padaku.

"Tubuhmu sangat indah Dek Liya, rasanya aku tak pernah bosan mencicipinya..," rayu Mang Dedi dengan kata-kata.

Hatiku melambung jauh terbang ke angkasa dengan ucapannya tersebut, makin kuikuti kemaunnya saat kurasakan kalau pahaku di renggangkannya teramat pelan.

"Wanginya badanmu Dek..," ucapnya sekali lagi.

Mang Dedi lalu mengecup pelan pahaku di bagian pangkalnya, membuatku mengeluarkan sedikit desahan tertahan dalam tubuh yang ikut menggelinjang.

"Ahhh... sshhh..." Bagaikan keong, kurasakan bibir Mang Dedi merayap menelusuri setiap inci pahaku yang semakin jelas kemana arahnya.

Jantungku bergemuruh, berdetak seakan ingin meledak saat kurasakan denyutan vaginaku seperti berkedut merespon jilatan Mang Dedi yang sebentar lagi akan hinggap kembali disana.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi melepaskan ciumannya begitu saja. Kubuka mataku karena sedikit kecewa harus merasakan gejolak yang baru naik itu padam kembali saat mulutnya berhenti bergerak dari tubuhku.

"Balik badan Dek..," bisiknya pelan di telingaku.

Seperti sebuah perintah mutlak, otakku reflek merespon dan mengikuti bisikan Mang Dedi hingga aku membalik badan dan tengkurap di bawah badannya. Kurasakan jantungku berdegub-degub penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Mang Dedi di bagian

belakang tubuhku itu.


"Pinter banget kamu sayang..," Ucap Mang Dedi menyibak sedikit hijabku dan mengecupi bagian tengkukku dengan gigitan yang begitu pelan.

"Mmmnnghhh.. Mass.. aahhh.." desahku geli meremas desahku sprei.

Bibir Mang Dedi masih membuat cupang di tengkukku saat tangannya menyusup ke depan dan memilin putingku sekali lagi dari belakang. Dengan gerakan sedikit meramas, Mang Dedi bergerak memancing nafsuku dengan menggigiti bagian bahu, pundak dan punggungku bergantian.

Didaerah pantatku, aku bisa merakan penis besar milik Mang Dedi masih menegang basah menari-nari dan menggesek pelan selangkanganku seirama dengan gerakan tubuhnya. Aku dapat merasakan kebasahan dari vaginaku yang cairannya masih mengalir banyak dari bibir vagina ke selangkangan sampai pahaku bagian dalam

"Kamu sudah basah lagi Dek..," bisik Mang Dedi merayuku.

Ku tekuk kepalaku sedikit kebawah untuk melihat apa yang tengah di perbuat oleh Mang Dedi di bagian selangkanganku sana. Tampak pada saat itu dia sedang memegang batang kemaluannya sambil sesekali mengocoknya pelan.

Kemudian Mang Dedi memasang ujung batang penisnya tepat di celah-celah bibir kemaluanku sebelum akhirnya dia mencucukkan kepala penisnya yang besar itu ke dalam lubang vaginaku yang sudah sangat licin.

"Aku masukin ya sayang??" bisik Mang Dedi dengan napasnya yang mendengus-dengus. Pertanda kalau nafsunya juga sudah semakin meningkat.

Dengan sedikit pelan, aku kemudian mengangguk lemah mempersiapkan diriku untuk dinikmati oleh Mang Dedi. Pinggulku refleks bergetar dan terangkat-angkat tanpa kontrol sama sekali, seakan menyodor-nyodorkan diri untuk dinikmati segera oleh tusukan penis besar Mang Dedi. Rasanya aku sudah semakin tidak bisa sabar dengan perlakuannya yang memancing-mancing itu.

"Silahkan Mas.." jawabku semakin melebarkan selangkanganku.

Dengan pelan Mang Dedi mendorong pantatnya hingga ujung kemaluan penisnya berhasil menerobos bibir kemaluanku. Aku merasa gemetar luar biasa ketika merasakan kepala batangnya yang besar itu mulai perlahan-lahan membelah lubang vaginaku yang masih sangat sempit.


"Uughhhh... rapetnya memekmu Dek Liyaa.." ceracau Mang Dedi tak karuan.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.

Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.

Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya

maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

"Ugghhh... kegedean Mass..." ucapku memprotesnya seperti pertama kali saja aku di belah oleh penis besar itu.

Namun meskipun hanya masuk kepalanya saja, kenikmatan yang kurasa betul-betul membuatku hampir berteriak histeris. Sungguh batang kemaluan Mang Dedi itu luar biasa nikmatnya. Liang kemaluanku bahkan serasa berdenyut-denyut saat menjepit ujung kepala jamur Mang Dedi yang bergerak maju-mundur secara pelahan.

"Oughh... nikmatnyaa..." desah Mang Dedi di belakangku.

Dia terus menerus mengayunkan pantatnya maju-mundur walau hanya sebatas ujungnya saja yang terjepit dalam liang vaginaku. Keringatku pun mengucur semakin deras mengalir membasahi setiap kulit yang ada di tubuhku.

"Pe--Pelan-pelan Masssh..," Aku menjerit saat kurasakan betapa batang penis Mang Dedi menyeruak semakin dalam.

Entah karena vaginaku yang masih terlalu sempit, atau karena penis Mang Dedi yang terlalu besar.

Hingga aku menggelengkan kepala tak percaya kalau proses penetrasi ini masih saja terasa sulit meski aku dan Mang Dedi sudah pernah bersetubuh sebelumnya.

Namun rasa perih itu perlahan-lahan mulai menghilang saat Mang Dedi menghentikan gerakan penetrasinya yang begitu sesak memenuhi liang vaginaku. Rasa sakit itu mulai berubah menjadi nikmat karena batang kemaluannya

kurasakan berdenyut-denyut dalam jepitan liang vaginaku.

"Hmmppp... ennakk Mashh...," ucapku semakin mengawang.

Kurasakan bibir panas milik Mang Dedi mulai menyapu-nyapu seluruh area pundak dan punggungku dengan ganasnya. Bulu kudukku serasa merinding hingga tak sadar lagi saat Mang Dedi kembali mendorong pantatnya hingga batang penisnya yang terjepit erat dalam vaginaku semakin menyeruak masuk.

Aku yang sudah sangat terangsang pun tak sadar akhirnya menggoyangkan pantatku seolah-olah memperlancar gerakan dan tusukan penis Mang Dedi dalam lubang vaginaku.

Ku benamankan kepalaku kekasur dan ku remas kuat kain spreinya dengan liar merasakan sensasi hebat yang aku

rasakan kembali. Liang kemaluanku semakin berdenyut-denyut dan ada semacam gejolak yang meletup-letup hendak pecah di dalam diriku.

Dalam keadaanku yang sedang menungging itu, batang penis Mang Dedi akhirnya melesak jauh ke dalam vaginaku dengan utuh

"Ooggghhhhmmmmmmm....," lenguhku dan Mang Dedi berbarengan.

Vaginaku terasa penuh sesak oleh penisnya yang telah menancap seutuhnya. Ada rasa perih saat kurasakan kepala penisnya seperti menghunjam di pintu rahimku. Entah kenapa, tusukan penis Mang Dedi itu terasa semakin dalam saat berada pada posisi seperti ini.

Aku pun terdiam sejenak mengatur nafas dan membiasakan vaginaku di sesak oleh penis besar Mang Dedi. Dalam diamitu juga dapat ku rasakan kehangatan batang penis Mang Dedi yang hangat dalam jepitan liang kemaluanku.

"Masih kayak perawan kamu Dek Liya. ," bisik Mang Dedi manja di telingaku.

Kugerakkan kepalaku ke samping dan tersenyum mengarah padanya, "Masih perawan kalau punya Mas segede ini.." ucapku membalas.

"Emang suamimu segede apa Dek?" Tanya Mang Dedi menggodaku. "Segini ada gak?" Lanjutnya menunjukkan jari kelingkingnya di depan wajahku.

Ku tepis tangannya itu dengan gemas, "Enak aja! Itu mah kekecilan" ucapku gemas.

Kemudian dengan perlahan sekali Mang Dedi mulai mengayunkan pantatnya hingga kurasakan batang kemaluannya

"Aaaaccchhh.. Massh..,, enakkk...."

Aku pun mengerang dan tubuhku bergerak liar menyambut gesekan batang penis Mang Dedi. Pantatku semakin mundur seolah-olah membalas gerakan Mang Dedi yang memajukan batang kemaluannya dengan cara yang begitu memabukkan.

Saat Mang Dedi menarik penisnya dari vaginaku, yang tersisa hanyalah ujung kepala jamurnya yang masih terjepit dalam liang kemaluanku. Lalu setelah itu didorongnya dengan kuat hingga ujungnya seolah menumbuk bibir rahimku.

"Oohhhh.. enakk bangett Masss...., enakk bangett" rintihku semakin menjadi-jadi.

Dalam posisi seperti anjing yang sedang kawin ini, tubuhku disodok-sodok Mang Dedi dengan gairah meluap-luap.

Aku tersentak-sentak ke depan saat Mang Dedi dengan semangatnya menghunjamkan batang penisnya ke dalam jepitan liang vaginaku.

Lalu dengan agak kasar ditekannya punggungku hingga Payudara ku agak sesak menekan permukaan kasur. Tangan kiri Mang Dedi menekan punggungku sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah pantatku dengan gemasnya.

Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan batang kemaluan Mang Dedi. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi tusukan-tusukan batang kemaluannya yang menghunjam dalam-dalam.

"Claaackkk..., clllackk......, kclaakkk..." bunyi gesekan alat kelamin Mang Dedi yang terus memompa vaginaku.

mundur menyusuri setiap inci liang kemaluanku.

"Yang pasti gak segede punya ku ini kan?" Balasnya berbangga diri.

Kudiamkan saja ocehan Mang Dedi tersebut karena aku merasakan nikmat yang begitu luar biasanya pada vaginaku. Aku sempat mengerang kaget dibuatnya ketika tiba-tiba Mang Dedi kembali menghentakkan penisnya masuk secara utuh sekali lagi.

"Uughh.. legit dan licin.." racau Mang Dedi mendengus.

Gerakan batang kemaluannya semakin mantap keluar masuk di dalam jepitan liang kemaluanku dengan tempo pelan. Aku merasakan betapa batang kemaluannya yang keras itu terus menggesek-gesek lubang vaginaku yang amat sangat gatal.
Sungguh semakin lama rasanya semakin nikmat membuatku seperti kehilangan akal sehatku sendiri.

Masih dalam pejaman mataku, Aku menggigit bibir bawahku sendiri merasakan nikmat hubungan badan kami yang semakin erat melekat. Hujaman Mang Dedi amat berbeda dengan apa yang kurasakan selama ini bersama suamiku. Kedewasaan dan pengalaman Mang Dedi yang mampu mengontrol emosi membuat Aku nyaman menikmati persebadanan terlarang kita yang entah sampai kapan akan berakhir itu.

Kekuatan Mang Dedi dalam genjotannya itupun membuatku amat salut dan begitu senang. Meski bisa dikatakan umurnya hampir menyentuh angka setengah abad, namun genjotannya masih saja sangat kuat dan hebat sampai membuat kasur dan badanku bergetar

seperti kapal yang diserang badai.

"Gantian sekarang kamu diatas Dik!!" pinta Mang Dedi bergetar menahan geramannya memberi instruksi.

Lalu tanpa melepaskan batang kemaluannya dari jepitan liang vaginaku, Mang Dedi meraih kedua pinggir pinggangku dengan tangannya, secepat kilat dia menarik tubuhku bangkit dari posisi tengkurap, kemudian dia menggulingkan tubuhnya ke samping.

"Awhhhh.." pekikku kaget.

Posisi kami akhirnya berbalik. Kini tubuhku sedikit berjongkok membelakangi Mang Dedi dengan kedua kakiku berada di sisi pinggulnya. Aku terdiam sejenak merasakan kalau penis besar Mang Dedi tersebut semakin menusuk ke dalam vaginaku karena ditekan ke bawah oleh berat badanku sendiri.
Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Mang Dedi terdengar di sela-sela suara desah dan eranganku yang menambah gairah kian berkobar. Apalagi bau keringat Mang Dedi semakin tajam tercium hidungku. Membuat keperkasaan dan kejantanannya semakin menenggelamkan aku dalam kenikmatan.

"Ouuughh.. Mass.., terushh.. Terushh.. Yang kerashh.." Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik menuju puncak.

Napasku semakin terengah-engah dan merasakan kenikmatan yang kini semakin tak tertahankan. Begitu besarnya batang kemaluan penis Mang Dedi sehingga lubang vaginaku terasa sangat sempit dibuatnya.

"Akhh.... akkhgg... emmmhhpp Mmasshh.." erangku berulang-ulang.peranan, kombinasi antara hula-hop lalu maju mundur kemudian naik turun kembali lagi berhula-hop membuat Mang Dedi melenguh seakan terbang tinggi dalam kenikmatan birahi.

"Aaaacchhh....., Mantepnya goyanganmu Dek Liya..," Ucap Mang Dedi memegangi pinggangku.

Tak mau kalah, Mang Dedipun akhirnya ikut menggoyangkan pinggulnya sendiri melawan gerakanku, semakin cepat aku menurunkan tubuhku semakin cepat pula dia menaikkan pinggulnya hingga vaginaku tersodok dengan kerasnya.

Benar-benar luar biasa sensasi yang kurasakan. Mang Dedi benar-benar telah menyeretku menuju sorga kenikmatan yang begitu indah dan tak bisa kuraih selain dengan dirinya. Membuatku lupa dengan jati diriku yang seharusnya jadi

perempuan baik-baik dan seorang istri sholehah itu.

Tak berapa lama kemudian, gerakan kami pun berubah semakin liar. Napas kami semakin menderu seolah mengisi suasana sunyi yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Dan dalam tubuh yang penuh gairah itu pula kurasakan desir-desir puncak kenikmatanku kembali terasa terbayang.

"Maasshhh... akkuu... sebentarrr lagiiihh..." desahku makin kencang memberitahukan.

Selang tak berapa lama Aku semakin tak bisa menahan diriku yang sudah mulai dibayangi oleh puncak kenikmatan sekali lagi. Denyutan-denyutan dalam rahimku kurasakan makin sering, makin kuat dan mendesak-desak, seperti meminta untuk segera di tuntaskan.
"Hehehe.. digoyang Dekk.." ucap Mang menepuk pelan bagian pantatku.

Kutarik nafas sedikit sebelum kutumpukan tanganku ke lutut Mang Dedi. Dengan perlahan-lahan menahan ngilu, ku goyangkan pinggulku maju mundur menggesek menikmati sensasi gatal dan ngilu yang bercampur padu menjadi satu.

"Uugghhh...." aku sedikit mengerang.

Kurengkuh sebanyak mungkin kenikmatan dari penis Mang Dedi dengan cara mengaduk-adukkan vaginaku. Kurobah gerakan maju mundur menjadi berputar seperti orang yang sedang bermain hula-hop, sesekali juga aku bergerak naik turun memompa lalu bergerak maju mundur lagi di kemudiannya.

Aku melakukan variasi gerakan sesuka hatiku karena aku yang memegang

pandanganku mengabur dan jiwaku terasa melayang tinggi diatas awan-awan kenikmatan.

Sedetik, dua detik, sepuluh detik, entah berapa lama aku merasakan gelombang orgasmeku kembali menyapa. Membuat kesadaranku memudar dan tubuhku langsung ambruk ke atas tubuh Mang Dedi.

Beruntung saat itu Mang Dedi dengan cekatan menopang tubuh lemahku. Namun tanpa memberikanku sedikit waktu untuk bernafas, Mang Dedi lalu bergerak memutar tubuhku yang loyo dan lemah itu dengan begitu mudahnya.

Aku pun sudah tidak mampu bergerak lagi saat Mang Dedi mengangkat tubuhku dengan posisi terlentang pasrah di atas kasur. Tanpa melepas tusukan penisnya yang panjang itu, Mang Dedi membentangkan kedua pahaku selebar

mungkin.

"Maaf ya sayang.. aku juga udah ga tahan pengen ngecrotin kamu..." ucap Mang Dedi setengah berdengus.

Perlahan namun pasti, Mang Dedi mulai menggenjotkan sendiri batang penisnya untuk menembus liang vaginaku yang terasa berdenyut amat sangat ngilu.

Aku tidak diberinya kesempatan untuk bicara maupun bertindak menolak. Bibirku kembali dilumat Mang Dedi sementara kemaluanku digenjot lagi dengan tusukan-tusukan nikmat dari batang kemaluannya yang amat sangat besar untuk ukuran orang Indonesia.

Setelah puas melumat bibirku, kini giliran payudaraku yang dijadikan sasaran lumatan bibir Mang Dedi dengan begitu rakusnya. Kedua puting payudaraku kembali dijadikan bulan-bulanan lidah dan

Begitu luar biasa pula rasa nikmat yang kuterima saat makin kuat ku ayun-ayunkan pantatku menelan batang penis Mang Dedi bulat-bulat. Aku merasa saat itu akan diamuk oleh birahi yang begitu jelas membayangi tubuhku.

Hingga dengan tiba-tiba aku mendongak kebelakang merasakan letupan dari dalam vaginaku menjalar-jalar sepanjang lorong di dalam tubuhku, seperti menyetrum setiap tali-tali syarafku yang amat peka.

"Ooouuuuuggggghhhh. Maaasshhhhhhhh....., enaakkkkk...., kelllluaaaarrrhhhh.."

Teriakku kencang saat kenikmatan itupun akhirnya meletup keluar begitu saja tanpa tertahan lagi. Seketika itu kurasakan seluruh tubuhku menggeletar lemah seperti terlolosi dari tulangnya,
mulut nakalnya hingga tubuhku mengkilat oleh air liurnya.

Secara serentak, dia juga ikut mengayunkan pantatnya maju mundur dengan tempo dan ritme yang berubah-ubah merasakan betapa jepitan liang vaginaku kian erat menjepit batangnya karena baru saja orgasme dan berkontraksi.

Aku bermaksud ingin membantunya menggerakkan pantatku untuk mengikuti gerakannya, tetapi rasa ngilu itu kian menjadi-jadi dan pompaan Mang Dedi terlalu kuat untuk kulawan hingga aku pasrah saja.

Aku benar-benar dibawah penguasaannya secara total. Kasur spring bed tanpa dipan inipun bahkan ikut bergoyang seiring dengan ayunan batang kemaluan Mang Dedi yang menghunjam ke dalam liang vaginaku semakin cepat.

Hingga tak berapa lama kemudian, Dengus napas Mang Dedi terdengar semakin bergemuruh di telingaku. Bibirnya semakin ketat melumat bibirku. Lalu kedua tangannya menopang pantatku dan menggenjot lubang kemaluanku dengan tusukan-tusukan yang begitu keras.

Aku yang tahu kalau sebentar lagi Mang Dedi akan sampa
 
Aaaaaghhhh tak sabar sampai dimana mba liya mengerti maksud dari jalan keselamatan dan mba liya dengan sadar dan hati mantab mau di bimbing dan di tuntun ke jalan keselamatan itu...
 
Ah s alah satu cerpan favorit Nubie. Sempat hilang, sekarang muncul lagi meski beda kemasan. Yg penting isinya bangggg hehehe...
Izin pasang tenda dimari Hu @sangpendosa2
Mudah-mudahan cerita sebagus ini gak menghilang lagi dari forum tercinta kita. Ya klo pengarang aslinya muncul, bisa didiskusikan dan dicari solusinya.
Mantap Hu
Monggo dilanjut
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd