Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bagian 8

Thalib memarkirkan mobilnya di halaman rumah kontrakan. Bukan rumah yang ditinggali Jannah ataupun Leli, melainkan sebuah rumah yang dikontrak oleh Thalib untuk istri simpanannya, Wina. Thalib bergegas untuk masuk ke dalam rumah.

"Assalaamu'alaikum," sapa Thalib.

Thalib agak terkejut ketika di dalam rumah sudah ada seorang perempuan yang sangat cantik, rambutnya tergerai menutupi sepasang payudaranya. Dia adalah Wina, seorang perempuan yang menjadi simpanan Thalib sejak lama. Thalib tak bisa lepas dari perempuan ini. Bukan saja dia ingin lari, tetapi tak bisa. Wina memegang penuh kendali atas diri Thalib sampai dia bertekuk lutut kepadanya tanpa bisa Thalib pergi.

"Dari istri barumu, Mas?" ucap Wina tanpa membalas salam.

"Aduh! kaget!" ucap Thalib, "balas salamnya dong sayang."

"Peduli amat," ujar Wina. Dia menyilangkan kakinya, sesaat Wina memperlihatkan selakangannya tidak tertutupi sehelai benang pun. Wina memang sedikit gila. Dia sering tidak memakai baju sama sekali di dalam rumah dan sangat jarang juga keluar rumah.

"Kok nggak pakai baju?" tanya Thalib dan seperti terhipnotis ustadz ini langsung menghampiri Wina.

Jari telunjuk Wina menahan bibir Thalib yang hendak menyosor bibirnya. "Aku tak ingin kamu menyentuhku tetapi tubuhmu ada bau badannya. Bersihkan dan layani aku!"

Seperti dicokok hidungnya, Thalib patuh. Lelaki ini bergegas ke kamar mandi. Ada perasaan takut untuk melawan Wina, bukan takut tanpa beralasan ataupun diguna-guna. Semua ini berawal dari sebuah perjanjian yang mengikat Thalib dengan Wina. Perjanjian itu pula yang memenjara Thalib hingga saat ini, bahkan dengan perjanjian itu pula dia memiliki segalanya. Sebut saja seperti rumah, harta, uang, koneksi, apapun semuanya karena Wina.

Setelah membersihkan dirinya, Thalib terkejut saat Wina sudah berada di depan pintu kamar mandi. Perempuan berambut panjang ini ternyata memang hendak menyusulnya ke kamar mandi. Wajahnya sangat cantik, tidak ada polesan berlebihan di wajahnya atau terlalu menor. Cantik natural dengan mata lentik yang jarang dimiliki perempuan di masa sekarang.

Ada satu hal yang harus dilakukan Thalib saat Wina dalam kondisi seperti ini, yaitu Wina harus dipuaskan. Perlahan-lahan Wina mendorong tubuh Thalib untuk masuk lagi ke kamar mandi.

"Nah, kalau wangi seperti ini aku jadi terangsang," ucapnya.

Tangan nakal Wina sudah menjamah batang kemaluan sang ustadz yang sudah tercukur tanpa bulu tersebut. Perlahan-lahan dia remas-remas sambil dikocok perlahan. Thalib menelan ludah. Dia hari ini belum bercinta dengan Leli maupun dengan Jannah, jadi masih ada tenaga untuk bisa melayani Wina. Memang tak perlu ditunggu lama agar batang itu mengeras dan terbangun. Bibir Wina sudah dilumat oleh Thalib.

Kedua tangan Thalib memegang pergelangan tangan Wina lalu mendorong perempuan ini ke bawah shower. Kembali Shower yang baru saja mati menyala lagi. Kedua tangan Wina diangkat ke atas sehingga ketiak putih mulusnya terlihat.

"Mas ingin diriku?" tanya Wina.

"Iya," jawab Thalib.

"Ingin berzina denganku?"

"Iya," jawab Thalib sekali lagi.

"Berapa kali kamu menzinai si Jannah?"

"Tak terhitung lagi"

Wina terkekeh. "Dasar ustadz cabul, kalau kau tidak memuaskanku sebagaimana kau puaskan perempuan-perempuanmu. Kau tak akan bisa melihat orang-orang yang kau cintai lagi."

Insting persenggamaan adalah jalan yang harus ditempuh oleh Thalib, meskipun dia tidak suka. Dia memang berereksi, tapi bukan dari kemauannya, melainkan bahasa tubuh yang terpaksa. Bibir perempuan itu dilumatnya lagi. Lidah mereka saling bertemu dan bertukar air ludah. Kedua tangan Thalib sudah berubah posisi meremas sepasang payudara yang lembut dan kenyal.

Perumpamaan tubuh Wina adalah tubuh seorang model. Langsing, padat dengan body yang aduhai. Tak bisa dibandingkan dengan Jannah dan Leli. Siapapun lelaki di dunia ini pasti ingin sekali menikmati tubuhnya. Thalib sangat beruntung bisa merobek selaput dara perempuan ini. Dan itu juga yang menjadi awal siksaan bagi dirinya.

Tak akan pernah Thalib lupa akan masa tersebut. Ketika dia kepergok berada di kamar dalam keadaan telanjang bersama Wina. Nahasnya Thalib tidak tahu siapa keluarga Wina sebenarnya. Perempuan tersebut mabuk kepayang kepada kebaikan dan jurus garangan yang dia berikan nyaris tiap hari, selain juga kepada Jannah. Memang Thalib dan Jannah dekat semenjak mereka kuliah, sayangnya Thalib tiba-tiba menghilang begitu saja dari kehidupan Jannah. Semua tak lain karena dia bermain api.

Masih teringat di dalam ruang-ruang memori otaknya, bagaimana pertama kali peristiwa itu terjadi. Wina yang telah jatuh dalam jebakan rayuan Thalib mengajaknya ke rumah, dengan iming-iming "rumahku sepi". Thalib yang sudah terbawa suasana lalu mulai mencumbui Wina, meskipun tahu hal itu terlarang, terlebih dia mahasiswa jurusan fakultas Ushuluhuddin. Dia tahu ini dilarang, tetapi nafsu telah membutakan matanya. Malam itu mereka bercinta untuk pertama kali, menggagahi Wina, merobek selaput daranya, hingga terlelap dalam kenikmatan.

Sayang, pagi belum datang, ayam belum berkokok Thalib dibangunkan oleh bogeman mentah seorang lelaki yang akan menjadi mimpi buruknya. Orang tua Wina bukanlah orang sembarangan. Bambang Husaini, tokoh masyarakat yang dikenal karena kedekatannya dengan para pejabat. Sekaligus juga dikenal sebagai mafia di dalam pemerintahan. Nyaris proyek-proyek besar dia kuasai dan mengeruk untuk bermilyar-milyar dari sana.

"Papa, jangan begitu! Kenapa papa pukul dia?" bentak Wina.

"Apa yang dilakukan bajingan ini? Kalian ngentot?!" tanya Bambang.

"Tapi kami melakukannya suka sama suka papa, iya kan?"

Dengan kasar Bambang menjambak rambut Thalib hingga dia pun terseret sampai turun dari ranjang. "Aku tidak sudi putriku menikah dengan orang seperti kamu. Biar kuremukkan bijinya!" ucap Bambang. Nyaris saja rambut Thalib tercabut akibat jambakan itu.

"Papa, hentikan!" sergah Wina. "Kalau papa menyakitinya, maka aku tak segan-segan juga akan menyakiti diriku!" Entah bagaimana perempuan itu sudah membawa pulpen dan nyaris ditusukkan ke lehernya.

"Putriku! Apa yang kau lakukan? Kau mau membela orang ini?" Bambang melepaskan Thalib begitu saja.

"Aku tidak mau mainanku sampai terluka, itu saja. Lagipula, aku hanya butuh seks. Siapa yang bilang aku akan menikah dengannya?"

Bambang menghela napas. Kegilaan putrinya memang sudah di luar nalar. Lelaki paruh baya itu tak bisa menyalahkan Wina, sebab semua juga menurun dari dia. Keegoisan, kebrutalan dan sepak terjang Wina sesungguhnya benar-benar menurun.

Wina turun dari ranjang lalu menghampiri Thalib. Thalib masih bingung dengan apa yang terjadi. Sebagai seorang pemuda yang tidak pernah bertemu dengan keadaan seperti ini, benar-benar jantungnya berdebar setengah mati. Dia benar-benar nyaris mati di tangan lelaki bernama Bambang ini, yang tak lain adalah orang tua Wina. Hari itulah Thalib baru mengenal siapa Bambang sebenarnya dan kenapa selama ini Wina menyembunyikan tentang orang tuanya, atau berlaku sangat berbeda saat bersama dia di kampus.

Wajah Wina cemberut sambil menduduki selakangan Thalib. Kedua kelamin mereka bersentuhan lagi. Wina menyatukan ujung jemari telunjuknya.

"Perawanku sudah kau ambil, bukankah kata orang ini adalah mahkota utama dari seorang wanita?" tanya Wina.

Thalib menelan ludah. Dia tak mampu berkata apa-apa.

"Papa, dia tak mau bicara," ucap Wina.

Bambang menempeleng kepala Thalib. Thalib langsung berkata, "I-iya....iya..."

"Jadi kau harus bertanggung jawab. Aku tak mau jadi istrimu, aku hanya ingin kau jadi partner seksku. Kau mau apa bisa aku kasih. Tapi kalau sampai kau tidak bisa memenuhi kebutuhan seksku, kau akan aku berikan ke papa," ucap Wina.

"A-apa maksudmu? Siapa kalian ini?" tanya Thalib.

Sepatu Bambang bersarang di kepala Thalib, sehingga pelipisnya berdarah. Dia bisa mati kalau masih terus berada di tempat ini.

"Kau dengar tidak apa yang dikatakan putriku?" tanya Bambang, "diberikan kepadaku, artinya kau mampus. Kau tinggal pilih, masuk ke tong lalu aku semen dirimu hidup-hidup, lalu aku buang ke tengah laut. Atau aku jadikan kau jadi adonan cor-coran di salah satu mal di kota ini. Kau tinggal pilih. Aku bisa melakukan semua itu."

Thalib menelan ludah. Seumur hidup Thalib tidak pernah setakut itu, bahkan hingga sekarang pun dia tetap takut. Apalagi setelah mendapatkan ancaman seperti itu Thalib dipaksa untuk bercinta dengan Wina dengan ditonton oleh Bambang. Kalau sampai Thalib tidak ereksi, maka dia akan dipukuli. Tentunya ancaman itu tak bisa dianggap remeh. Orang-orang seperti Bambang adalah orang-orang yang sangat berbahaya.

Mimpi buruk itu benar-benar terus menghantui dia. Meskipun sekarang imbasnya, Thalib mendapatkan banyak hal, banyak koneksi, serta keberhasilan dalam setiap bisnis yang dia kelola. Semua tidak lain karena keluarganya Wina. Biar pun Wina selalu bercinta dengannya, tetapi sampai sekarang Wina tetap tidak mau diperistri. Alasannya memang sederhana. Dia hanya ingin seks. Menurutnya dengan menjadi istri, hanya akan membuatnya tidak bebas.

Thalib sekarang sudah menghimpit tubuh Wina ke tembok. Kedua kelamin mereka sudah bergesekan. Suara yang terdengar di kamar mandi pun adalah suara kecipakan alat kelamin.

"Siapa lagi yang kau ajak ngentot?" tanya Thalib.

Wina terkekeh. "Anak...tetangga. M-masih SMA," ujar Wina.

"Dasar, binal! Rasakan nih!" ucap Thalib sambil mempercepat goyangannya.

Mereka tidak pernah marah satu sama lain. Semenjak Wina melindungi Thalib dari kejadian malam itu, secara tidak langsung Thalib sudah masuk ke dalam perangkap harimau. Seumur hidup ia akan melayani nafsu binal Wina dan tentu saja harus mengikuti apa yang diinginkan oleh Bambang. Dengan berkedok sebagai pemuka agama, Thalib bisa dekat dengan banyak orang, bahkan memperlancar bisnis mafia Bambang. Thalib juga menggunakan acara pengajiannya sebagai kedok untuk pertemuan orang-orang dalam lingkaran bisnis Bambang, yang tentu saja bisnis yang dia jalani bukan bisnis sembarangan.

Thalib melanjutkan persenggamaannya dari kamar mandi ke tempat tidur. Hingga akhirnya keduanya pun terlelap setelah mendapati orgasme secara bersamaan. Wina tidur dalam pelukan Thalib, hingga ponselnya berbunyi. Dengan tangan yang lemah Wina berusaha menggapai ponsel tersebut di nakas.

"Halo?" sapa Wina.

"Ada barang baru," jawab suara itu.

Wina yang tak sempat melihat siapa yang menelponnya menjauhkan teleponnya sejenak. Di layar ponselnya tampak ada sebuah nama "KECOAK". Tampak di layar ponsel jam menunjukkan 01.00 WIB. Dengan kesal Wina berkata, "Hei, Coro! Ganggu orang saja. Jam berapa ini?"

"Maaf, Nyai! Tapi ini barang baru, bagus banget!" ujar Kecoak.

"Memangnya nggak bisa nunggu besok?"

"Tapi ini sudah besok."

"Lihat jam berapa ini! Masih malem. Demit juga masih keluar, bego banget, sih?"

"Tapi kali ini dapet yang cadaran. Mulus, masih perawan!"

Wina mengernyit. "Perawan?"

"Iya, lagi butuh duit dia," jawab Kecoak.

"Yowis. Nanti, ketemuan pas pengajian," jawab Wina, "awas kalau sampai dia kamu sentuh, tak sunat dobel manukmu!"

"Injih Nyai. Tenang. Dijamin masih mulus, hehehe."

"Siapa namanya?"

"Siti Qomariyah."

Wina menutup teleponnya. Kembali dia masuk ke dalam pelukan Thalib. Tangan kanannya menggenggam batang Thalib yang masih tertidur, setelah itu dia lanjutkan tidurnya. Thalib pun memeluknya lagi dengan erat.

Bisnis yang sedang dilakukan oleh Wina bukanlah bisnis menjual perempuan. Dan orang yang menjadi targetnya adalah mereka yang memiliki fantasi perempuan-perempuan berhijab. Dan tentu saja untuk mentupi kedok transaksinya, dia memanfaatkan pengajian yang dilakukan oleh Thalib. Perempuan-perempuan yang menjadi korban biasanya diajak berbicara dan berkenalan di pengajian. Setelah itu Wina mengajaknya dan mengantarkannya ke klien-klien yang ingin memakainya. Tentunya dengan bayaran yang sudah diberikan.

Sebagai germo atau mucikari, sudah dijalani oleh Wina sejak lama. Bisnis inilah yang membuat dia dan Thalib punya koneksi ke pejabat-pejabat tinggi. Sebab, para pejabat hidung belang itu juga ingin mencicipi bagaimana para wanita yang tertutupi baju syar'i tersebut.

* * *

"Hei, kenapa diam saja?" panggil Suroso.

Arief terpaku melihat bapaknya yang baru saja menghabisi nyawa seseorang. Usianya baru 13 tahun saat itu. Ini hari pertamanya melihat adegan pembunuhan. Satu keluarga dihabisi oleh Suroso seorang diri tanpa ampun. Di tangan Arief ada sebilah kapak yang digenggamnya. Kedua tangannya gemetar melihat bagaimana Suroso dengan mudahnya menghabisi orang-orang itu.

"Bapakmu melakukan ini untuk hidup. Ini sudah jadi pekerjaan dan bapak tahu kamu juga merasakannya bukan?" tanya Suroso.

Bocah tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Tatapan Suroso kepadanya adalah tatapan tenang, tetapi mengerikan. Seperti ditarik oleh sesuatu yang kuat, Arief seperti kehilangan napas. Dia terbangun dari mimpi buruknya. Di dalam kegelapan malam, bapak satu anak ini menyalakan lampu kamar yang ada di nakas. Perlahan-lahan dia beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur. Di dapur dia membuka kulkas untuk meneguk air yang ada di dalam sebuah botol.

Arief kemudian duduk di kursi yang ada di dapur. Pandangannya menerawang lagi. Dia tak pernah menyangka saja semua akan berakhir seperti ini. Ada satu hal yang membuatnya sangat percaya kepada Jannah dan ingin berubah. Yaitu, ketika dia melihat ketulusan di mata perempuan itu. Itulah sebabnya dulu dia berani menyatakan cinta dan melamarnya. Jannah yang membuatnya berani berubah, berani melawan orang tuanya sendiri untuk menyudahi perannya sebagai seorang pembantu pembunuh bayaran.

Boleh dibilang Arief sudah cukup sukses dengan hidup bersama Jannah. Membangun usahanya dari nol, bekerja keras, tetapi apa yang terjadi setelah itu di luar dugaan. Selama ini Jannah masih menyimpan perasaan kepada Thalib. Semua yang ada di bayangan Arief tentang Jannah telah musnah. Sampai sekarang Arief tidak pernah mengerti kenapa perempuan ini lebih memilih untuk mengakhiri rumah tangganya. Kenapa?

"Akhi, sudah salat?" tanya Jannah waktu itu. Mereka masih menjadi teman sekampus, dimana setiap kegiatan keagamaan Arief berusaha untuk bisa ikut.

"S-sudah," jawab Arief.

"Ada kuliah apa hari ini?" tanya Jannah.

"Tidak ada," jawab Arief.

"Oh, berarti ada ekstra?"

"Tidak juga?"

"Trus?"

"C-cuma main saja," jawab Arief sambil nyengir.

"Aneh. Kalau tak ada apa-apa kenapa ke kampus?" tanya Jannah sambil tersenyum.

Arief menepuk-nepuk kepalanya lagi. Berusaha menghilangkan bayangan tentang Jannah. Bisa dimengerti kenapa dia tak bisa melupakan Jannah. Perempuan itulah yang mengajarkannya pertama kali tentang agama. Dia juga yang memberikannya anak.

Memorinya kembali flashback saat malam pertamanya dengan Jannah. Betapa Arief sangat bahagia kala itu. Untuk pertama kalinya dia bisa memiliki orang yang dia cintai. Ciuman pertamanya dan juga bagaimana dia kehilangan perjakanya kala itu. Jannah bahagia menghabiskan malam-malam indah bersamanya. Berlanjut ke dalam cumbuan-cumbuan birahi, ledakan-ledakan nafsu, hingga akhirnya berbagai macam gaya dan cara demi kepuasan berdua.

"Pak Arief?" panggil sebuah suara.

Arief terkejut hingga dia harus beranjak dari tempat duduknya. Di hadapannya ternyata ada Azizah. Dia lupa kalau Azizah ikut bersamanya hari ini dan menginap sementara di rumahnya. Untungnya tidak ada orang yang curiga dengan kehadiran Azizah, terlebih Arief memang terkenal orang yang baik di kampung ini.

"Ah, kau. Kukira siapa. Maaf, aku tebiasa sendiri, jadi..."

"Bapak kenapa? Mikirin apa?" tanya Azizah sambil mendekat, "katakan ada apa. Aku akan jadi pendengar yang baik."

Sibuk memikirkan masa lalunya bersama Jannah, membuat Arief ereksi. Ditambah lagi perempuan yang ada di hadapannya sekarang hanya mengenakan kaos oblong kedodoran dengan celana pendek. Dari pundak yang terlihat mulus, sudah barang tentu Azizah tidak memakai BH. Arief langsung menarik leher perempuan itu lalu menciumnya. Azizah gelagapan mendapatkan serangan tiba-tiba itu, apalagi dari orang yang dia kagumi dan dia cintai. Ya, cintanya sekarang telah beralih ke Arief semenjak kepergian suaminya. Lelaki inilah yang menolongnya, kalau memang Arief menginginkannya malam ini, dia akan berikan.

"Ohh...Paak...." desah Azizah ketika bibir kasar lelaki itu mengecup leher dan telinganya.

Azizah didorong hingga menempelkan tubuhnya ke tembok. Arief meremas-remas kedua bongkah payudara yang masih tertutup kaos. Dan cukup mudah sekali bagi Arief untuk menelanjanginya. Dalam satu tarikan ke atas, payudara indah itu sudah terpampang lagi. Dengan gemas kedua tangan Arief telah mengetahui tugasnya untuk meremas dan memilin-milin puting susu Azizah.

"Paaakk....Ouuhh....hhmmmhhh...."

Keduanya berciuman lagi. Dan Azizah tahu apa yang menjadi tugasnya, menidurkan si junior yang sekarang sedang tegang di bawah sana. Tangannya sudah meloloskan boxer yang dipakai Arief, hingga batang keras itu mencuat mengacung ke arahnya.

"Bapak mau pake kondom?" tanya Azizah, "atau cukup Azizah sepong?"

Arief menjawab, "apapun asalkan bisa menidurkanku."

Azizah menarik tangan Arief untuk menuju ke kamarnya. Dengan satu hentakan dia mendorong Arief hingga terlentang di atas kasur. Perempuan itu melepaskan satu-satunya pakaian yang menutupinya, hingga kini kedua insan lain jenis ini sudah sama-sama telanjang. Azizah sangat pengertian akan keadaan dirinya sebagai ODHA, dia mengambil sebungkus kondom yang ada di dalam tasnya, yang memang sudah dia siapkan untuk momen ini, setelah itu dia pasang kan ke batang perkasa Arief.

Bibir Azizah kini beraksi, mengecupi setiap jengkal selakangan Arief. Kedua biji pelernya juga tak dia lewatkan, lidahnya bergoyang seperti ular, menggelitik setiap mili titik-titik sensitif. Arief menggelinjang dan melenguh. Bibir Azizah kembali bergerak ke atas, ke dada bidang Arief, lalu lanjut ke bibir. Arief lalu menggulingkan tubuh Azizah ke bawah sehingga ditindihnya.

"Entotin saya, Pak!" pinta Azizah, "bapak ingin gaya apapun akan Azizah kabulkan."

Arief seperti sudah tak ingat apa-apa lagi. Dia benar-benar mabuk kepayang dengan servis yang diberikan Azizah. Seandainya Azizah tak tanggap, tentu tanpa mengenakan kondom pun Arief sudah menusukkan ujung kontolnya ke dalam memek Azizah. Keduanya telah bersatu. Azizah bahagia sekali, sampai-sampai kedua tangannya melingkar ke leher Arief. Hentakan demi hentakan yang dilakukan Arief sangat bertenaga, hingga mulut rahimnya bisa tersentuh. Ini luar biasa, baru kali ini dia merasakan hentakan sekuat ini. Bukan suaminya, bukan juga si pemerkosa itu.

"Jannah! Jannah!" kata Arief mengigau.

Telinga Azizah tidaklah salah dengar. Apa yang keluar dari mulut Arief adalah mantan istrinya. Tak apa-apa, pikir Azizah. Biarkan Arief berimajinasi, biarkan dia menggunakan tubuhnya. Tak apa-apa.

Mereka berguling-guling lagi kini Azizah berada di atas. Dia membiarkan kedua tangan Arief meremas-remas teteknya yang indah, sambil pinggulnya melakukan gaya memutar. Azizah sudah nyaris sampai puncak, terlebih akibat remasan-remasan yang dilakukan kedua tangan Arief di payudaranya.

"Paaak, aku nggak kuat lagi, aku keluar!" ucap Jannah, dia pun mengejang sambil kepalanya mendongak ke atas. Setelah itu, perempuan itu ambruk sambil menciumi Arief.

Gerakan selanjutnya, Arief membuat Azizah telungkup, kemudian dia tarik sedikit pinggul perempuan itu, lalu dia memposisikan batangnya masuk ke dalam memek Azizah. Mereka menjerit bersamaan. Sejurus kemudian Arief sudah menindih Azizah sambil menciumi punggungnya.

"Aaahhh.kkkk. Aku sampaiii!!!" pekik Arief. Dia mengejang beberapa kali, diikuti dengan semburan sperma yang tertahan di dalam kondom. Meskipun begitu Azizah bisa merasakan bagaimana kedutan-kedutan dari batang perkasa tersebut. Dia juga orgasme lagi.

Arief pun ambruk ke samping Azizah. Keduanya kemudian terlelap hingga pagi. Azizah bahagia, seutas senyuman tersungging di bibirnya yang manis. Dia pun berdoa semoga dia bisa memiliki Arief seutuhnya.

* * *

Pagi sudah datang dan Arief terkejut karena dia tidur telanjang. Dia pun mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Tampak batang penisnya loyo dengan bercak putih. Dia bercinta dengan Azizah, tetapi pakai pengaman. Dia sedikit lega mengingat hal tersebut. Tetapi mana kondomnya? Apakah Azizah yang mencopotnya?

Arief buru-buru bangkit mengambil pakaiannya lalu segera pergi ke kamarnya. Ternyata Azizah sudah ada di dapur mempersiapkan sarapan telor ceplok.

"Sudah bangun, Pak?" sapa Azizah.

"Eh, iya," jawab Arief.

"Makasih, pak."

"Makasih buat?"

"Tadi malam."

"Oh, itu....yaahh... sama-sama," ucap Arief. Dia buru-buru pergi ke kamarnya lalu menutup pintu.

Azizah tersenyum. Kalau dia teringat apa yang terjadi tadi malam membuatnya bergairah. Arief bukan pria biasa. Dia hebat di ranjang dan batangnya keras sampai mentok di rahim. Sekali lagi Azizah bertanya, apakah dia bisa memiliki Arief? Hanya waktu yang akan menjawab.

Hari itu mereka ada acara untuk bisa pergi ke pengajian yang dipimpin oleh ustadz Thalib. Tujuan dari Azizah sangat sederhana, agar bisa berkenalan dengan ustadz Thalib baik secara langsung atau dengan perantara.

Azizah sudah berdandan dengan baju syar'i dan lebar, sedangkan Arief telah mandi dan memakai kemeja abu-abu dengan celana hitam. Dia akan melepaskan Azizah hari ini agar bisa bertemu dengan ustadz Thalib. Sebelumnya dia sudah memberitahu siapa orang yang harus didekati, yaitu Wina dan Leli. Jannah tidak mungkin ikut kajiannya, sebab sudah pasti ada Leli di tempat itu. Tentunya mereka tidak ingin ada perang besar.

Pengajian rutin itu diselenggarakan hari minggu di sebuah masjid. Jama'ahnya cukup banyak, bahkan di antara mereka ada perempuan-perempuan bercadar. Arief sengaja menurunkan Azizah sedikit lebih jauh dari tempat pengajian.

"Kamu bisa?" tanya Arief.

"Bapak tak perlu khawatir. Aku tinggal dekat dengan dua orang ini saja kan?" tanya Azizah.

"Iya, Leli sudah bersedia bekerja sama denganku. Dia pasti akan mengerti jika kamu menyebut namaku," jawab Arief.

Azizah mengangguk. Setelah itu Arief pergi dengan mobilnya, lalu Azizah pergi sendirian ke pengajian. Tidak susah untuk menemukan orang yang bernama Wina, juga Leli. Mereka ternyata duduk cukup jauh. Dan sebenarnya Leli baru mengerti tentang Wina setelah diberitahu Arief, kini dia pun mengerti siapa Wina.

Mereka mengikuti pengajian dengan khidmat. Tidak ada hal-hal yang berarti, tetapi sedari tadi Wina ngobrol dekat dengan seorang perempuan bercadar. Entah apa yang mereka bicarakan. Azizah awalnya bingung harus mendekat ke siapa, akhirnya dia mendekati Leli.

"Assalaamu'alaikum, Mbak?" sapa Azizah.

"Wa'alaikum salam. Ya, ada apa mbak?" sapa Leli balik.

"Saya temannya Arief," ucap Azizah.

Leli yang menyadari langsung mengernyit. Dia tentu saja takjub dengan kecantikan yang dimiliki oleh Azizah. Parasnya cantik, kulitnya juga cerah. Seperti yang dikatakan oleh Arief kalau Azizah adalah ODHA, Leli pun turut bersimpati.

"Mbak yakin dengan hal ini?" tanya Leli.

"Saya berhutang banyak kepada Pak Arief. Jadi ini untuk membalas kebaikan beliau," jawab Azizah.

Leli mendesah. Atara kasihan, tetapi juga ada rencana yang harus dia kerjakan. "Arief cerita banyak kepadaku tentang dirimu. Aku tak mengira kamu cantik sekali."

"Mbak terlalu memuji. Masih lebih cantik mbak," kata Azizah.

"Kamu lihat dia, Zah? Aku panggil kamu Azizah gak papa kan?"

Azizah mengangguk.

"Lihatlah dia. Di rumah dia seperti seorang suami dan bapak yang baik, tetapi ketika di luar sudah berapa wanita dia tiduri. Aku tak tega dikhianati. Kalau saja dia berkata jujur dan memperlakukanku dengan baik, tentu keadaannya tidak seperti ini," ujar Leli.

"Bagaimana pun juga, manusia tempatnya salah. Apa mbak tak rela aku melakukan ini ke suami mbak?" tanya Azizah, "kalau mbak nggak rela, aku akan pergi dan bilang ke Pak Arief."

Leli menahan lengan Azizah. "Jangan. Aku ingin kau memberinya pelajaran. Aku yang menginginkan semua ini."

Satu jam kemudian pengajian berakhir dan ustadz Thalib beres-beres mejanya. Setelah jama'ah bubar, dia menghampiri tempat jama'ah wanita dan memanggil Leli. Azizah memperhatikan Wina. Perempuan simpanan ustadz Thalib itu keluar bersama seorang perempuan yang sedari tadi diajaknya bicara. Menurutnya itu sangat aneh.

"Ayo, kita pulang!" ucap Thalib.

"Oh, iya Bi. Kenalin ini temanku, namanya Azizah," ucap Leli sambil memperkenalkan Azizah.

Azizah tampak menunduk. Thalib memperhatikan dengan seksama wajah Azizah, setelah itu tatapan matanya turun ke payudara Azizah yang terlihat besar. Dia menelan ludah. Kenapa bisa ada perempuan secantik ini?

"Kalau boleh, dia ingin main ke rumah kita, Bi," kata Leli.

"Oh, b-boleh, boleh saja," kata Thalib, "ayuk!"

"Azizah, ayuk!" ajak Leli.

Mereka kemudian berjalan menuju ke tempat parkir. Beberapa kali Thalib mencuri-curi pandang ke Azizah. Azizah juga beberapa kali mencuri-curi pandang ke ustadz Thalib. Setelah itu mereka masuk ke mobil. Leli duduk di depan, sedangkan Azizah duduk di belakang.

"Mbak Azizah ini sudah punya suami?" tanya Thalib.

"Suami saya meninggal, ustadz," jawab Azizah.

"Oh, Innalillahi wa innailaihi roji'un. Turut berbela sungkawa, trus sekarang sendirian? Ada anak?" tanya Thalib.

"Nggak ada, ustadz."

"Azizah ini, aku ajak BI ke pengajian. Siapa tahu bisa dapat jodoh dari ikut pengajian," ucap Leli.

"Hmm, begitu."

"Kenapa? Abi demen?" pancing Leli.

Ustadz Thalib tertawa. "Janganlah, nggak enak sama Mbak Azizah."

"Saya kalau dapat seperti ustadz juga nggak keberatan kok," celetuk Azizah.

Mata Thalib mencuri-curi pandanga ke Azizah lewat spion. Dia tahu di sebelahnya ada istrinya jadi harus jaim. Azizah pun menatap spion, hingga kedua mata mereka bertemu. Azizah sekali lagi pura-pura jual mahal. Azizah menggigit bibir bawahnya, sambil melempar pandangan ke jalan. Pose menggigit bibir ini membuat pkiran Thalib traveling kemana-mana.

"Bi, awas! Lampu merah!" seru Leli.

Buru-buru Thalib menekan pedal rem. Nyaris saja.

"Abi bengong ya? Bahaya lho!" gerutu Leli.

Azizah sedikit tersenyum melihat ustadz Thalib sampai terbengong-bengong melihatnya. Artinya rencana mereka berhasil untuk bisa menggoda ustadz ini. Lalu, apalagi selanjutnya?

* * *

----=======

Tubikonticrot
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd