Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Priscilla, gadis manja yang perlahan binal

PART III
GUDANG PAKAN

Screenshot-20231124-141029-Instagram.jpg

“Besok kalau ke desanya Wawan, jangan lupa bawain sesuatu ke keluarganya. Udah nyusahin masa ga bawa buah tangan.”

Kata-kata dari mamaku itu tiba-tiba muncul dan aku langsung berteriak “Stop” ke Wawan. Otomatis supirku ini langsung rem mendadak mobil ini.

“Ada apa non? Ada yang ketinggalan?” Tanyanya penasaran.​
“Kita harus beli oleh-oleh buat keluargamu. Itu pesen mama,” Ucapku.
“Yaelah non.. kirain ada apa. Sampe ngerem mendadak saya, untung non ga kejentus. Eh ga mungkin deng. Airbag nya non mantap jiwa,” ucapnya.
“Hush.. lagi serius masih aja bercanda,” Balasku.
“Eh saya juga serius non, kalo mau beli oleh-oleh gampang nanti di rest area aja,” Ucapnya sambil meneruskan perjalanan dan masuk ke dalam tol.

Setelah perdebatan itu, kita lanjutkan perjalanan yang masih cukup panjang ini. Gara-gara kejadian yang tidak terduga di pagi hari tadi membuat kita baru berangkat pukul sebelas siang. Kurang lebih sejam perjalanan sebelum kita sampai ke rest area untuk makan siang. Kebetulan rest area sidoarjo ini menawarkan banyak tenant makanan. Kami pilih KFC karena selain praktis penyajiannya juga cepat. Wawan memintaku untuk membawakan KFC saja ke desanya, jelas awalnya aku tolak. Aneh ngga sih? Bawain oleh-oleh kok KFC. Tapi penjelasan dari supirku ini cukup masuk akal juga kalau keluarganya di desa kan memang sangat jarang makan makanan seperti ini. Akhirnya aku bungkuskan beberapa bucket ayam sehingga bisa sekalian dibagikan ke beberapa kerabat. Perjalananpun kita lanjutkan beberapa jam kemudian hingga kita masuk ke kota batu, kota kecil disekitar malang dimana banyak wahana dan tempat rekreasi. aku sendiri beberapa kali ke kota batu pada saat weekend, entah bersama orang tua atau teman-temanku. Perjalanan ini berlanjut keluar dari kota ini dan mulai masuk ke sebuah jalan kabupaten yang tidak terlalu besar, namun tetap mulus. Aku pikir desanya Wawan ini masih di sekitar kota batu ternyata dari pusat kota masih harus mengendarai mobil arah tempat wisata gerojogan sewu. Setelah melewati kota batu, pemandangan mulai berubah, rumah-rumah penduduk mulai jarang terlihat. Lebih banyak hutan-hutan dan jalan setapak. Hingga akhirnya mobilku masuk ke sebuah jalan kecil yang hanya cukup satu mobil. Hingga akhirnya sampailah kita di desanya Wawan. Desa cukup kecil hanya terdapat kurang dari 20 keluarga, namun rumah di daerah ini sudah cukup mewah dengan ornamen-ornamen khas timur tengah. Selain itu terdapat lapangan sepak bola dan sekolah negeri di tengah-tengah desa ini, perjalanan berlanjut ke pinggiran desa, rumahnya supirku ini.

“Ayo non kita masuk,” Kata Wawan.​
“Oh iya Wan,” Balasku.
“Maaf non rumahnya berantakan,” lanjutnya.

Aku masuk dan berkenalan dengan orang tua dari Wawan, Pak Suseno dan Bu Rumiati. Usianya sudah sekitar 50 tahunan. Supirku ini memiliki 2 saudara, yang paling besar namanya Wirapraja. Panggilannya mas Wira, sudah menikah dan bekerja sebagai mandor pabrik di daerah bekasi. Di rumah ini aku baru tau kalau nama asli dari Wawan adalah Wiryawan. Dia adalah anak kedua yang bekerja sebagai supir di keluarga kami. Yang terakhir Widyaningsih. Usianya 20 tahun, sedang berkuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Berbeda dengan Wawan dan Wira yang hanya lulusan SMA, Widya memang mendapatkan beasiswa untuk fakultas pertanian karena menang lomba karya tulis nasional. Karena kamar dari Widya kosong, orang tua Wawan mempersilakan aku tidur di kamarnya untuk sementara waktu. Setelah ngobrol tentang maksud dan tujuanku kemari, Pak Seno menyuruh kami berkeliling desa untuk melihat pertanian dan peternakan yang ada di sini. Pertanian yang poluler di desa ini adalah padi, jagung dan tebu, untuk peternakann ada peternakan ayam, sapi, dan kambing, namun yang paling populer adalah peternakan sapi perah, mungkin karena kota Batu terkenal dengan susu sapinya. Untuk itu Pak Seno meminta Wawan untuk berkunjung ke rumah Pak RT supaya tidak terjadi fitnah. Desa ini tidak terlalu besar, berjalan kaki sekitar 30 menit sudah bisa mengamati keseluruhan desa ini hingga akhirnya sampailah kita di rumah pak RT.

“Selamat siang pak,” Wawan menyapa.​
“Siang nak Wawan. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pak Burhan.
“Kenalkan pak ini Priscilla, bos saya dari Surabaya. Mau melakukan tugas akhir tentang peternakan atau pertanian,” Wawan menjelaskan.
“Saya Cilla Pak. Mohon dibantu ya pak tugas saya,” Kataku.
“Oh baik dik Cilla silahkan masuk. Ayo duduk,” Balas Pak Burhan. “Bu, siapkan teh.”

Aku menjelaskan panjang lebar mengenai tugas akhir yang akan aku kerjakan di desa ini. Selama menjelaskan aku melihat beberapa kali Pak Burhan melihat ke arah dua gunung kembarku. Pada waktu kontak mata kami bertemu Pak Burhan seperti memalingkan pandangan. Namun walau begitu, Pak Burhan sangat membantu dengan memberikan banyak informasi mengenai perkembangan desa ini. Pak Burhan memiliki anak perempuan yang bernama Arum Melati, masih berusia 25 tahun baru lulus kuliah di bidang peternakan yang kini membantunya di usaha keluarga. Setelah ngobrol panjang lebar, Pak Burhan mengajakku ke peternakan miliknya yang berada di tengah persawahan di pinggir desa ini, peternakan ini menurutku cukup besar karena memiliki 10 ekor sapi potong dan 5 ekor sapi perah. Selain itu Pak Burhan memiliki 10 ekor kambing dan puluhan ekor ayam, selain itu di samping peternakan ini ada sebuah gudang pakan ternak yang cukup besar.

“Nah, dik Cilla ini kenalkan, ini beberepa pekerja saya namanya mbah Gito,” Kata Pak Burhan.​
“Mbah Gito ini sudah ikut saya dari saya muda dulu,” Lanjutnya.
“Halo mbah, kenalkan saya saya Priscilla,” ucapku berkenalan.
“Oh ya, ini kenalkan Priscilla bosnya Wawan anak Pak Seno dari Surabaya,” katanya lagi memanggil seseorang.
“Oh iya kak, saya Fikri, ini sebelah saya Fatur kakak saya” Balas seseorang menyapa.
“Iya salam kenal, aku Priscilla, panggil Cilla aja ngga apa,” Ucapku.
“Dan ini adalah bintangnya.. Arum Melati,” Pak Burhan melanjutkan.
“Oh ini anak pak Burhan? Salam kenal mbak,” kataku.
“Oh iya, Arum ini yang bantu-bantu bapak dan semua pekerja di kandang. Selain itu anak saya juga yang menyiapkan makanan untuk mereka semua,” Balasnya.
“Nah, Rum.. bantu dik Cilla ini kerjakan tugasnya ya,” Katanya lalu meninggalkan kami.

Aku dan Arum banyak sekali bertukar ide, tentang perkembangan peternakan ini dan juga tentang model bisnis baru yang aku kembangkan sehingga pekertanakan disini bisa semakin maju. Siapa sangka ideku ini langsung disambut sukacita oleh mbak Arum bahkan karena dia tidak sabar untuk membicarakan ini dengan Pak Burhan, maka Arum minta izin kepadaku untuk pulang lebih awal. Samar-samar aku mendengar beberapa celotehan pekerja pak Burhan.

“Biasa cuma liat Arum, sekarang nambah satu kembang desa lagi ini,” Fatur berbisik.
”Kualitas premium bang. Jadi seger.. Aku gaa bisa perpaling dari dadanya,” Fikri juga berbisik.​
“Hoah iya, menul-menul,” Balas Fatur.

Karena mba Arum ingin buru-buru pulang, aku langsung mengamati Fatur, Fikri dan mbah Gito bekerja. Ternyata tiga orang sudah cukup untuk merawat seluruh peternakan ini. Pada saat proses memerah susu sapi, aku mendatangi mereka untuk melihat prosesnya.

“Lagi apa mas,” Kataku pura-pura penasaran.​
“Ini mbak, lagi perah susu ,” Fikri menjawab.
“Udah pro banget ya merahnya,” Kataku sambil memeletkan lidah.
“oh iya jelas dong, jangankan sapi, mbak Cilla juga bisa kok diperah,” tiba-tiba Fatur berkelakar.
“Yeh.. ya ga bisa dong, kan Cilla belum nikah, jadi ga keluar susunya,” Balasku.
“Ga percaya kalo belum dicoba,” lanjut Fatur.
“Ih, mecum ih..,” kataku memancing kedaan.
“Eh, ga mecum. Wajar lagi lao cowok begitu. Kalo ngomong sama cowok baru ga wajar,” Fatur melanjutkan.
“Udah-udah.. jangan ngoceh aja ayo lanjut kerja,” tiba-tiba mbah Gito menegur kami.

Lalu Fatur dan Fikri melanjutkan kerja mereka. Aku masih duduk disitu mengamati semua kegiatan untuk saya laporkan menjadi tugas akhir yang harus aku kumpulkan minggu depan. Aku melihat mereka yang mulai gerah dengan pancingan-pancingan nakalku. aku berpura-pura tidak sadar supaya tidak menjatuhkan harga diriku di depan mereka. Setelah semua pekerjaan mereka selesai, kami semua berpamitan. Aku harus langsung pulang ke rumah Wawan karena jalan di desa ini tidak cukup terang untuk dilewati malam, terlebih peternakan pak Burhan ini agak jauh dari pemukiman warga. Beberapa saat aku berjalan di tengah sawah untuk menuju ke pusat desa, tiba-tiba mulutku dibekap oleh seseorang dari belakang. Seseorang itu mungkin menaruh alkohol atau apalah di sapu tangan yang dia pakai untuk membekapku membuatku pusing dan hilang kesadaran sesaat.

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Begitu aku sadar, aku melihat diriku berdiri dengan kedua tanganku sudah terlentang terikat di masing-masing tiang. Aku sendiri masih berusaha memfokuskan pandangan karena masih pusing akibat obat bius yang orang itu berikan. Setelah kesadaranku pulih aku baru sadar kalau mulutkupun disumpal oleh kain sehingga aku tidak bisa berbicara, pakaiankupun sudah dilucuti, aku hanya mengenakan bra dan celana dalam serta kakiku yang juga terlentang terikat di tiang itu. Aku melihat Fatur dan Fikri duduk manis di sofa lusuh yang ada di depanku sambil membicarakan betapa seksinya diriku dan lain sebagainya. Fatur mendekatiku, dia memeluk kepalaku dan menjilati wajahku yang masih tersumpal.

“Liat Fik, cewek seksi ini harus ngelayanin kita sore ini, dia udah bikin konak seharian,” Ujarnya.​
“Yoi lah bang, aku dah ga sabar ngeremes-ngeremes susunya,” Balas Fikri.
“Oh ini,” Katanya sambil meremas payudaraku dengan kasar.

Otomatis aku merintih tertahan karena Fatur menyakiti payudaraku. Tiba-tiba Fatur menamparku dengan keras menyuruhku diam. Air mataku perlahan bercucuran melihat kelakuan mereka. Tapi walau begitu dalam hati kecilku menginginkan hal ini, seks secara hardcore, tapi ternyata memang sakitnya sangat terasa. Tiba-tiba tanpa aku ketahui, celana dalamku diturunkan dan ada tangan yang agak kasar menggosok vaginaku dari belakang, tidak lama kemudian, dua jarinya masuk ke dalam liang vaginaku dan mengocoknya secara kasar. Hal ini cukup menyakitiku, namun aku hanya bisa pasrah menahan sakit yang berangsur-angsur hilang dan menjadi rasa nikmat yang luar biasa. Nikmat dalam ketidak berdayaan ini akhirnya membuatku orgasme yang pertama, bahkan orgasmeku kali ini sudah membuat banjir vaginaku. Ternyata yang ada di belakangku adalah mbah Gito. Aku tahu setelah beliau berjalan ke depanku sambil menjilati jarinya yang penuh dengan cairanku.

“Enak banget cairan dik Cilla,” Pungkas mbah Gito.​
“Pasti dong mbah, non Cilla ini jaminan mutu,” Balas Fatur.

Aku hanya bisa terengah-engah mengatur napas. Orgasme ini membuat tubuhku bergetar lemah tak berdaya dan ini makin menyakiti kedua lenganku karena tertarik kebawah. Fatur mendatangiku, berbisik di telingaku kalau aku tidak boleh macam-macam dan lain sebagainya supaya sumpalan mulutku dibuka. Jelas aku langsung mengangguk diiringi dengan dibukanya sumpalan mulutku sehingga aku bisa bernapas dengan lebih baik. Daripada masalah yang muncil tambah parah, aku mencoba mengikuti permainan mereka walau hari mulai gelap. Toh Ini adalah akibat aku menggoda mereka seharian ini. Fikri mendatangiku membawa pecut yang dia pakai untuk memecut sapi, dia datang membisiki aku kalau tidak menurut maka aku akan dipecutnya. Lalu dia menjilati seluruh wajahku hingga penuh air liur, kita berciuman dengan ganas lalu dia melepaskan bra ku dengan kasar lalu menjepitkan sebuah jepitan ke puting payudaraku.

“Ini hukuman karena kamu udah bikin konak seharian,” Ucap Fikri

Aku hanya bisa menjerit kecil merasakan sakitnya jepitan ini, belum selesai aku beradaptasi, payudaraku yang lainnya harus merasakan jepitan yang sama. Hal ini benar-benar membuatku gemetar serta panas dingin, namun dalam hati kecilku mulai merasakan bahwa aku sangat seksi dengan posisi seperti ini. Entah apa yang ada dipikiranku waktu itu, aku malah mencoba menggoda mereka dengan meliuk-liukkan badanku, sehingga mereka dengan gemas memainkan tubuhku yang masih terikat itu. Mbah Gito yang tadinya duduk di sofa lusuh itu ikut merabai tubuhku yang mulus dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu mendekati wajahku sedekat mungkin.

“Dik Cilla suka diginiin kan?” Mbah Gito berbisik​
“emphh.. Iyahh,” Balasku berbisik juga

Setelah mereka bertiga yakin aku sudah dalam kuasa mereka, mereka terlihat lebih santai. Fatur berjalan ke belakangku dan duduk disana sambil memainkan vaginaku dari belakang. Mbah Gito juga menciumi bibirku, lidahnya bermain-main di rongga mulutku. Inilah pertama kali aku berciuman dengan orang yang sudah sangat sepuh, wajahnya yang sudah keriput masih saja nafsu melihat gadis muda yang sudah tanpa busana di hadapannya. Fikri kini juga duduk di sampingku sambil memainkan penjepit yang sedang menyakiti putingku ini, dia mainkan sesaat sebelum akhirnya dilepasnya penjepit itu. Tidak butuh waktu lama untuk aku memperoleh orgasmeku yang kedua. Cairan cintaku membanjiri paha dan betisku serasa mubazir, sehingga Fatur menjilati seluruh cairan yang menetes di kakiku, setelah itu dia menjilati vaginaku sesaat membuat aku kegelian. Puas menjilati vagianaku, Fatur bersiap memasukkan senjatanya ke dalam vaginaku. Senjatanya cukup besar, bahkan mungkin paling besar diantara semua yang pernah main denganku. Bahkan beberapa kali meleset dari lubangnya. Hingga akhirnya “Bless..” masuk semua. Aku memekik menahan sakit yang lumayan hebat. Tanpa ampun Fatur memompa penisnya dengan irama yang cukup cepat membuatku menggeleng-gelengkan kepala menahan ngilu dari vaginaku dan pegalnya tanganku yang masih terikat di dua tiang ini. Fikri memengang kepalaku dan menciumi bibirku sambil tangannya memainkan payudaraku. “Plak” tiba-tiba payudaraku mendapatkan tamparan dari Fikri. Tidak cuma itu, beberapa kali aku mendapat tamparan di pipi kiri dan kananku membuat aku meringis kesakitan. Sakit di bagian bawah dan atas, tanpa ampun. Fatur terus melayangkan serangan-serangannya hingga aku benar-benar lemas dan orgasme untuk yang kesekian kalinya. Beberapa menit kemudian Fatur melepas penisnya dan menyemburkan spermanya di mukaku. Semprotannya cukup kencang hingga membasahi hampir seluruh mukaku. Setelah itu dia memasukkan penisnya ke dalam mulutku dan dipompanya dengan kasar hingga aku beberapa kali tersedak. Setelah puas, dia cabut penisnya dan duduk di sofa lusuh itu sambil bersiul. Kini Fikri bersiap menggantikan posisi Fatur, dia sudah dibelakangku dan menempelkan penisnya di bibir vaginaku, menggesek-geseknya dan menepuk-nepukkan penisnya di pantatku sebentar lalu langsung memasukkan penisnya. Untung penis yang kali ini tidak terlalu besar hingga tidak terasa begitu menyakitkan dalam proses penetrasi. Terlebih liang vaginaku sudah licin oleh cairan cintaku sendiri. Setelah penisnya ambles di liang vaginaku, Fikri mulai menggenjot vaginaku. Fatur yang masih bernafsu kini mendekatiku, menicumi ku dan tidak membiarkan payudaraku mengganggur, dia pelintir-pelintir puntingku, kadang malah dicubit atau diremas, bahkan ditampar olehnya. Pipiku juga beberapa kali menjadi sasaran tamparan oleh Fatur. Ditampar lalu dicium, lalu ditampar lagi, begitu seterusnya. Setelah beberapa saat menggenjotku, Fikri melepaskan penisnya dari vaginaku. Kesempatan ini aku pergunakan untuk memohon melepaskan ikatanku

“Shh.. pegel nih, boleh dibuka ngga iketannya?” Tanyaku mengiba.​
“janji ga bakal kabur?” Tanya Fatur dengan muka yang sangat dekat
“Ngga, pegel banget nih.. aku ga akan kabur, udah lemes gini juga” Balasku.

Akhirnya Fatur membuka ikatan yang sedari tadi menyakiti tanganku dibantu oleh mbah Gito. Setelah ikatan tanganku terlepas, aku ambruk di lantai yang hanya beralaskan tikar ini. Fikri yang tadi penisnya terlepas gara-gara proses melepaskan tanganku ini memasukkan kembali penisnya dari belakang. Kedua tanganku digenggamnya ke belakang dan aku diberdirikan. Aku merasa seksi sekali, kedua payduaraku yang cukup besar tersaji di depan mbah Gito dan Fatur yang sedang mengobrol santai mengomentari diriku. Fikri masih terus menggenjot diriku beberapa menit sebelum akhirnya dia lepaskan lalu memaksaku duduk dan menyemburkan spermanya di wajahku, sama seperti Fatur tadi. Alhasil wajahku benar-benar belepotan sperma. Aku mengusapnya dengan tanganku karena aku tidak bisa membuka mataku. Setelah itu aku jilati semua cairan yang ada dimulutku diiringi sorakan dari Fatur dan Fikri. Aku sendiri sudah benar-benar lemas dengan kondisi ini, sehingga aku minta waktu untuk berisitirahat. Aku berdiri dengan sisa-sisa tenagaku dan duduk di sofa lusuh itu. Fikri dan Fatur berada di kanan dan kiriku sedangkan mbah Gito duduk di lantai sambil mengusap-usap kakiku.

“Enak banget Cil, memekmu sempit, bodymu juga mantep,” Ujar Fikri berkelakar.​
“Iya, ukuran bh mu berapa sih?” imbuh Fatur.
“Emph, 34C. emang kenapa?” Aku bertanya penasaran.
“Ya ngga apa Cil, empuk gitu, tadi sakit ngga dijepit?” Tanya Fikri penasaran.
“Ya gila aja ngga sakit, ngilu banget tau,” Imbuhku.
“Padahal belum main pecut loh. Er, tapi kok ngga ngelawan?” Lanjutnya bertanya.
“Penasaran,” Kataku sambil memeletkan lidah.
“Dik Cilla ini sudah tidak perawan sejak kapan sih?” Tanya mbah Gito
“Setahun lalu kayaknya mbah waktu sama mantanku dulu,” Ucapku.
“Mbah boleh ngga nyobain kayak mereka?” tanyanya.
“Nyobain apa mbah?” Balasku pura-pura penasaran.
“Ya itu kayak dik Fatur dan dik Fikri, tapi mbah tanya dulu takutnya dik Cilla Marah,” Ungkapnya.
“Kenapa marah mbah?” tanyaku malah jadi pensaran.
“Ya kan mbah sudah tua, bisa liat dik Cilla bugil aja udah seneng kok,” Ungkapnya.
“Udah kepalang tanggung mbah, lanjutin aja,” Bisikku sambil mendekati mbah Gito.

Mbah gito langsung merespon dengan memelukku dan mulai mencium bibirku. Tindakan kami mendapatkan sorakan dari Fatur dan Fikri, mereka seperti melihat live show antara aku dan mbah Gito. Perlahan mbah Gito dengan tangannya yang sudah sedikit gemetar memainkan vaginaku yang sudah becek. Tangannya yang lain juga tidak berhenti bermain-main di payudaraku. Kini nafsu yang sempat padam kembali naik. Rasa geli yang berada di vaginaku membuat aku merem melek, tangan kasar mbah Gito sangat berasa saat menggesek klitorisku. Namun perlakuan mbah Gito ini sangat lembut berbeda dengan Fatur dan Fikri yang lebih kasar terhadapku. Kini dia benar-benar bermain seperti layaknya orang tua pada anaknya. Aku benar-benar merasa dimanjakan dengan perlakuannya. Hal ini akhirnya membuatku orgamse kembali.

“Nghh.. mbah, aku keluar,” Ucapku.​
“Iya dik Cilla, mbah terusin ya,” Balas mbah Gito.

Orgasme ini bahkan membuatku menekuk ke belakang, kakiku kaku dibuatnya. Fatur dan Fikri berusaha menambah rangsangan dengan memainkan payudaraku atau menciumi bibirku. Aku sendiri berusaha untuk merespon getaran-getaran ini supaya tidak berlebihan. Setelah puas dengan orgasme ini, mbah Gito membuatku terlentang di lantai yang hanya beralaskan tikar, dia mulai menepuk-nepukkan penisnya yang sedikit keriput namun masih cukup keras untuk seusianya itu ke pipiku. Lalu dia memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Perlahan dia maju mundurkan penis itu di dalam mulutku. Di saat yang bersamaan, Fatur dan Fikri asyik-asyikan bermain di selangkanganku yang terbuka membuatku kegelian. Setelah puas bermain di mulutku, mbah Gito langsung menyuruh Fikri dan Fatur minggir untuk bersiap memasukkan penisnya di vaginaku. Ini pertama kalinya vaginaku dimasuki penis berusia 73 tahun! Aku tidak membayangkan usia segitu masih cukup kuat untuk bersenggama. Perlahan tapi pasti penis itu mulai membelah vaginaku. Mbah Gito mulai memaju mundurkan penisnya dalam vaginaku sambil memeluk tubuhku. Dia menciumi bibirku, pipiku dan kedua payudaraku. Rangsangan demi rangsangan membuatku kembali orgasme entah yang keberapa kali. Hebatnya hampir sepuluh menit berlalu, mbah Gito masih kuat memaju mundurkan penisnya. Memang bukan gerakan yang grasa-grusu, mungkin itu yang membuat mbah Gito lebih bertahan lama. Batang yang keras itu masih sangat terasa di tubuh bagian bawahku. Aku hanya bisa merem melek dengan rangsangan yang dibuat oleh mbah Gito atau Fatur dan Fikri. Ternyata walaupun usianya sudah kepala tujuh, mbah Gito masih sanggup bersenggama lebih dari sepuluh menit. Luar biasa. Malah aku sendiri yang kepayahan, karena selama sepuluh menit itu aku sudah dua kali orgasme. Baru setelah sekitar menit ke lima belas, mbah Gito mempercepat hujamannya.​

“Dik Cilla, boleh dibuang di dalam?” Ucapnya.

Aku hanya mengangguk. Untung hari ini aku bukan dalam masa subur, lagipula setelah aku aktif berhubungan seksual, aku rutin mengkonsumsi pil KB. berjaga-jaga saja kalau-kalau ada yang tiba-tiba buang di dalam, supaya tidak hamil. Ya seperti saat ini, mbah Gito meminta izin padaku untuk membuang spermanya di dalam. Cairan hangat mulai terasa di dalam liang vaginaku. Setelah selesai ejakulasi, mbah Gito langsung tergeletak dengan napas yang tersenggal-senggal sama seperti diriku. Fikri dan Fatur menyaksikan lelehan sperma dari mbah Gito mengalir keluar dari vaginaku. Tiba-tiba Fatur memasukkan jarinya ke vaginaku dan mengorek semua sperma mbah Gito lalu diarahkannya jari yang penuh sperma itu ke mulutku. Aku yang sudah lemah hanya bisa menikmati hidangan penutup ini. Setelah cukup tenaga, aku bangkit berdiri sambil mencari semua pakaianku, begitu pula mereka. Setelah kami semua berpakaian, kami duduk sejenak dan mengobrol tentang diriku dan lain sebagainya sekalian memulihkan tenaga.

“Makasih ya Cil.. hari ini dapet bonus gede banget,” Unggap Fikri.​
“Enak ngga?” Ucapku sambil menggembungkan pipi
“Ya enak banget dong. Kalo kamu tinggal disini pasti kita entot tiap hari,” Fatur berkomentar.
“Heh? Ga bosen? Jebol memek aku kalo kamu entot tiap hari,” Kataku sambil tanganku menutupi bagian vaginaku,
“Ngapain ditutup,” Tiba-tiba tanganku diterlentangkan oleh Fikri.
“Iya.. harusnya diginiin,” Kata Fatur sambil meremas payudaraku dengan kasar.
“Sakit!” Ucapku.
“Tapi enak kan dikasarin,” Balasnya.
“Suka main kasar ya kamu ini?” Balasku cemberut.
“Suka banget,” Balas Fatur. “Lain kali yuk.”
“Siapin mental dulu dah tadi ga siap,” Balasku mencubit pinggang Fatur.
"Berarti lain kali siap dong," Balas Fatur
"Auk ah..," balasku tersenyum kecil sambil berdiri.

Aku berjalan menuju mbah Gito, aku tuntun beliau jalan pulang ke rumahnya yang memang tidak jauh dari sana. Ternyata mbah Gito ini tinggal seorang diri di rumah tersebut. Mbah Gito cerita kalau dia biasa ngobrol dengan Fatur dan Fikri sampai malam sebelum pulang dan beristirahat karena mereka berdua sudah dianggap sebagai keluarga oleh mbah Gito. Setelah itu aku pamit untuk pulang ke rumah Wawan. Waktu berjalan, tiba-tiba pundakku dirangkul oleh Fikri dan Fatur. Mereka mengantarku ke rumah Wawan karena jalanan di desa ini cukup sepi waktu malam hanya ada beberapa penerangan jalan yang tidak terlalu dekat. Sesampainya di rumah Wawan aku langsung mandi dan bersiap tidur.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd