Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pesantren Series

Status
Please reply by conversation.
Bimabet


Tiga hari berlalu begitu saja, sementara Rayhan masih terbaring di rumahnya. Sejenak Rayhan kembali teringat dengan kejadian malam terkutuk yang nyaris merenggut nyawanya. Andai saja saat itu Kakaknya tidak datang menolongnya, mungkin saat ini Rayhan menjadi salah satu penghuni neraka.

Pemuda itu tertawa di dalam hatinya, mengingat dirinya yang berencana menjaga Kakaknya, malah sekarang menjadi kebalikannya. Rayhan lupa, kalau Kakaknya pernah bergabung di salah satu perguruan tapak suci, dan pernah juara nasional antar kabupaten.

Rayhan mendesah bosan. Sudah tiga hari ia tidak kemana-mana hingga ia nyaris mati bosan. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Zaskia yang memintanya untuk beristirahat total.

Ketika ia sedang sibuk melamun tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan tampak Zaskia masuk sembari membawa sepiring bubur untuknya. Baru melihatnya saja Rayhan sudah merasa eneg. Ia merasa bosan karena sudah tiga hari ini ia di suguhi bubur dan sop.

"Makan dulu Ray!" Ujar Zaskia sembari meletakan makanan diatas meja belajar Rayhan.

Dari belakang Rayhan dapat melihat jelas cetakan celana dalam Zaskia di balik gamis syar'i yang di kenakannya, ketika ia sedikit membungkuk. "Nanti aja Kak!" Jawab Rayhan singkat, ia menggeser posisi tidurnya.

"Kalau kamu gak makan, kapan bisa sembuhnya." Protes Zaskia.

Ia duduk di samping kepala Rayhan sembari menyilangkan kakinya. Telapak tangannya yang halus menyentuh kening Rayhan, memastikan kondisi Rayhan saat ini. Ia sedikit merasa lega karena panas Rayhan kini telah turun.

Masih teringat jelas di ingatan Zaskia ketika Rayhan di cekik dalam kondisi menggantung. Saat itu ia sangat ketakutan hingga kalap. Bahkan ia menangis sepanjang malam, ketika Rayhan harus menginap di rumah sakit. Tapi untunglah, tidak ada luka dalam yang cukup serius.

Sebagai Kakak Zaskia merasa gagal menjaga adiknya, membuatnya sangat menyesal, karena keegoisan nya, ia menempatkan Rayhan dalam bahaya.

"Ya nanti aku makan." Ujar Rayhan malas.

Zaskia mengambil piring diatas meja. "Makan sekarang." Perintahnya kepada Rayhan.

"Masih kenyang Kak."

"Sedikit saja." Paksa Zaskia.

Kalau sudah seperti ini, Rayhan hanya pasrah menuruti kemauan Kakaknya. Ia menegakkan punggungnya. Zaskia segera menyuapi Rayhan, sesuap demi sesuap.

Melihat perhatian Zaskia kepadanya, tentu saja ada getaran-getaran halus yang merasuki hatinya. Sembari menyabut suapan Zaskia, Rayhan menatap mata bening Zaskia yang begitu teduh, lalu hidungnya, dan tak luput Rayhan memandangi bibir merah Zaskia.

Tidak terasa piring yang di pegang Zaskia telah kosong. Ia meletakan kembali piringnya di atas meja makan.

"Terimakasih ya Kak." Bisik Rayhan.

Zaskia masih dapat mendengar bisikan Rayhan. "Sama-sama sayang, jangan buat Kakak khawatir lagi." Ujar Zaskia sembari mengucek-ucek rambut adiknya, lalu ia menundukan wajahnya untuk mencium kening Rayhan.

Zaskia merenyitkan dahinya ketika mencium aroma tidak sedap dari rambut adiknya.

"Kamu sudah berapa hari gak mandi?" Tanya Zaskia menyelidik.

Rayhan menyeringai masam. "Baru tiga hari Kak." Jawab Rayhan polos, sementara Zaskia tampak terkejut mendengar ucapan Adiknya. Pantas saja Zaskia mencium bauk apek. Ternyata itu aroma tubuh Rayhan.

"Astaghfirullah Ray!"

"Kakak kan tau, kaki Ray masih sakit." Ujar Rayhan.

Zaskia yang tadinya ingin marah kini ia malah tertawa kasihan melihat Adiknya. Bahkan hanya sekedar untuk mandi saja Rayhan tidak bisa.

"Biar Kakak yang mandikan kamu." Usul Zaskia.

"Eh..."

"Gak usah membantah." Ucap Zaskia memasang wajah galak.

Sebenarnya Rayhan malu kalau harus di mandikan oleh Kakaknya. Mengingat usia Rayhan saat ini yang sudah dewasa, tapi karena tidak ingin membuat Kakaknya mengamuk, akhirnya Rayhan memilih pasrah.

Zaskia segera membantu adiknya untuk berdiri. Dengan bersusah paya akhirnya Rayhan bisa berdiri dengan merangkul pundak Kakaknya. Sebenarnya Rayhan merasa kasihan, mengingat tubuhnya lebih besar dari pada Kakaknya. Tapi Zaskia tetap memaksa.

Setibanya di dalam kamar mandi, Zaskia segera menutup pintu kamar mandi seakan takut kalau ada orang lain yang melihat. Tentu saja dengan tertutupnya pintu kamar mandi, membuat mereka terlihat semakin intim.

Di dalam kamar mandi Rayhan duduk di bangku plastik berukuran kecil.

"Bajunya kok gak di lepas." Ujar Zaskia melihat Rayhan yang memakai pakaian lengkap. "Sini biar Kakak yang buka." Zaskia menarik kaos yang di kenakan Rayhan hingga tampak dada bidang Rayhan.

Saat Zaskia hendak menarik celana pendeknya, Rayhan sempat menahan tangan Kakaknya. Tapi tidak berapa lama karena Zaskia buru-buru melototinya.

Dengan perlahan celana pendek Rayhan ketarik kebawah, dan pada saat bersamaan Zaskia tersadar dari apa yang ia lakukan saat ini, ketika matanya melihat kontol Rayhan yang berukuran jumbo keluar dari sangkarnya. Untuk beberapa detik tangan Zaskia berhenti menarik celana adiknya.

Deg... Deg... Deg...
Jantung Zaskia berdebar-debar sanking tegangnya, ia lupa kalau Rayhan kini telah tumbuh menjadi sosok pemuda dewasa. Beberapa detik yang lalu Zaskia masih memandang Rayhan masih seperti anak kecil, tapi kali ini daya tarik seksual yang di miliki Rayhan membuatnya sadar.

"Kok diam Kak?" Tanya Rayhan memasang wajah polos.

"Eh iya..." Zaskia tersadar dari lamunannya. "Kok susah sekali buka celana kamu Dek." Ujar Zaskia, dengan suara yang terdengar gemetaran, menandakan kalau saat ini ia tengah gerogi.

Di dalam hati Rayhan tersenyum senang, ia berfikir ingin sedikit menggoda Kakak Kandungnya.

Setelah sedikit bersusah paya akhirnya Zaskia berhasil melepas celana adiknya. Ia segera meletakan celana adiknya di dalam keranjang pakaian kotor bersama baju Rayhan. Sejenak Zaskia terdiam membelakangi Rayhan.

Astaghfirullah...
Zaskia memejamkan matanya, menenangkan dirinya yang mendadak gelisah.

Walaupun Rayhan adalah adik kandungnya, tapi tetap saja Rayhan seorang pria dan dia seorang wanita. Seharusnya Zaskia menyadarinya sejak awal sebelum memaksa Rayhan untuk mandi. Tapi sekarang sudah terlambat, ia tidak mungkin meminta Rayhan mandi sendiri, karena kondisi tubuh Rayhan yang masih lemah.

"Dia adikku, apa yang salah kalau aku memandikannya? Apa lagi saat ini ia sedang sakit, bukankah sudah menjadi tugasku untuk membantunya? Benar... Kamu tidak salah Zaskia." Lirih Zaskia di dalam hati.

Setelah merasa tenang, Zaskia kembali berbalik menghadap kearah Rayhan. Dan pada saat bersamaan, matanya kembali tertuju kearah kontol Rayhan.

Deg... Deg... Deg...

Ya Tuhan... Itu kontol Rayhan? Serius itu kontol adikku? Ya Tuhan... Besar... Besar sekali... Gemuk... Issstt... Ehmmpsss... Kenapa nafasku jadi sesak.
Bisik hati Zaskia sembari melihat kontol Rayhan yang manggut-manggut.

"Kak... Kakak..." Panggil Rayhan.

"Eh, iya dek." Zaskia tergagap.

Ia buru-buru mendekati adiknya, dan sebisa mungkin ia tidak melihat kearah tubuh telanjang Rayhan. Ia mendekati bak mandi dari samping tubuh Rayhan sembari mengambil gayung yang ada di dalam bak mandi.

"Kak."

"I-i-iya Dek."

Rayhan mengulum senyum melihat Kak Zaskia yang terlihat sangat tegang. "Anu Kak! Itu bajunya gak di lepas aja Kak, takut nanti basah." Ujar Rayhan mengingatkan Kakaknya. Zaskia menunduk melihat pakaiannya, ujung gamisnya sedikit basah karena menyentuh lantai kamar mandi.

Zaskia yang tengah kalut karena keputusannya ingin memandikan adiknya, tanpa sadar menanggalkan gamisnya dan menyisakan tank top berserta celana legging yang membalut sepasang kaki jenjangnya. Bagi Rayhan bisa milihat Zaskia memakai pakaian saat ini saja sudah cukup, tapi di luar dugaan, Zaskia malah membuka tanktopnya.

Zaskia berjalan santai melewati Rayhan yang terdiam seribu bahasa melihat penampilan Kakaknya yang kini memakai bra berwarna biru muda berbahan spandek.

Ia menggantungkan gamisnya di belakang daun pintu kamar mandi, berikut dengan tanktop miliknya. Dan pemandangan selanjutnya, membuat Rayhan nyaris mati berdiri ketika Zaskia sedikit membungkuk di depannya sembari menarik perlahan celana legging yang ia kenakan.

Deg... Deg... Deg...

Detak jantung Rayhan menjadi tak beraturan, dan nafasnya tampak tersengal-sengal seakan ia baru saja lari meraton. Sedikit demi sedikit celana legging berwarna hitam yang di kenakan Zaskia di tarik lepas, melewati paha mulusnya, lutut, betis hingga akhirnya celana legging itu benar-benar lepas dari kedua kaki jenjangnya.

Kini di hadapannya Zaskia berdiri membelakanginya hanya memakai satu set dalaman berwarna biru muda yang sedikit menerawang.

Mata Rayhan menjelajahi punggung Zaskia yang putih mulus dan terdapat tali pengait bra. Terus turun menatap pinggang ramping Kakaknya, di bawahnya terlihat sedikit belahan pantat Zaskia yang putih mulus, karena celana dalamnya sedikit ketarik kebawah ketika ia melepas celana legingnya.

Tanpa sadar Rayhan menggenggam kemaluannya, sembari menatap nanar kearah pantat itik Kakaknya yang terlihat sangat kencang dan besar, sungguh sebuah pemandangan terindah yang pernah di lihat Rayhan.

Baru beberapa detik Rayhan menatap pantat Kakaknya, tiba-tiba Zaskia memutar tubuhnya.

"Ray." Lirih Zaskia.

Matanya tertuju kearah kontol Rayhan yang kini telah berdiri sempurna mengancung menghadap kearahnya. Sama seperti Rayhan, yang menatap nanar kearah vagina Zaskia yang terlihat gemuk dan menjiplak di celana dalamnya.

Rayhan mengangkat wajahnya, hingga mata mereka saling menatap selama beberapa detik. Tangan kanan Zaskia mendekap mulutnya, sementara tangan kirinya mengepal tepat diatas gundukan memeknya.

"Rayhaaaaaaaaaaaaaaaan....."

*****

Mengingat kejadian tadi pagi, tak henti-hentinya Rayhan ingin tertawa. Ia tidak menyangka kalau Kakaknya sepolos itu. Tetapi walaupun Kakaknya kesal karena termakan omongannya, Zaskia tetap memandikannya, hanya saja Zaskia memakai kembali pakaiannya secara utuh. Alhasil pakaian Zaskia menjadi basah kuyup. Dan selama memandikan Rayhan, Zaskia terlihat sangat gerogi, karena beberapa kali ia harus melihat kontol Rayhan.

Rayhan mendesah pelan, rasa bosan kembali menyelimutinya. Ia ingin sekali bisa keluar rumah, berkumpul bersama teman-temannya, bermain sepak bola dan sebagainya., tapi kondisinya saat ini belum memungkinkan.

"Ray!"

Rayhan melirik kearah pintu kamarnya. "Iya Kak, ada apa?" Tanya Rayhan.

"Ada teman kamu."

"Suruh masuk aja Kak."

Zaskia melihat kebelakang. "Masuk aja, Rayhan belum bisa banyak gerak." Ujar Zaskia memberi tau kepada teman Adiknya.

Saat tamunya masuk ke dalam kamarnya, Rayhan tampak sangat terkejut melihat sosok wanita cantik memakai kemeja putih di padu dengan rok berwarna hijau. Ia tersenyum manis menyapa Rayhan.

Selama ia tinggal di pesantren, baru kali ini ia di kunjungi teman wanita. Dan sialnya, ia keburu memberi izin wanita tersebut untuk masuk kedalam kamarnya yang berantakan.

"Cifa?"

"Apa kabar kamu Ray? Udah mendingan?" Tanya Asyifa sembari duduk di kursi belajar Rayhan .

Dengan bersusah paya Rayhan menegakkan tubuhnya. "Alhamdulillah, udah mulai baikan. Tumben kamu ke sini, ada apa?" Tanya Rayhan penasaran, karena selama ini Asyifa selalu terlihat cuek kepadanya, bahkan beberapa kali Asyifa menatapnya dengan tatapan benci.

"Jadi aku gak boleh jenguk kamu?"

"Bukannya begitu, tentu aku senang kamu mau datang ke sini, itu artinya kamu sudah gak marah lagi sama aku." Ujar Rayhan.

Asyifa tersenyum manis. "Yang bilang aku gak marah siapa? Geer..." Celetuk Asyifa, merubah wajah Rayhan yang tadi cerah kini berubah masam.

"Kirain..."

"Hihihi..." Tawa renyah Asyifa. "Aku gak akan marah lagi, tapi dengan satu syarat." Ujar Asyifa.

"Apa?"

"Kamu harus cepat sembuh."

Rayhan kembali tersenyum, ia menyodorkan jari kelingkingnya, Asyifa mengaitkan jari kelingking Rayhan dengan jari kelingkingnya sebagai simbol ikrar janji yang mereka ucapkan. Selagi jari kelingking mereka menyatu, mata mereka saling menatap seraya tersenyum.

Baik Rayhan maupun Asyifa, mereka berdua dapat merasakan getaran-getaran lembut yang menggetarkan hati mereka. Dan tanpa mereka sadari, virus merah jambu telah menyebar ke hati mereka.

"Terimakasih ya Ray!" Lirih Asyifa.

Rayhan tersenyum lembut. "Sama-sama, oh ya mau sampai kapan jari kita nyatu kayak gini? Bukan muhrim loh." Goda Rayhan, sembari mengedipkan matanya.

Wajah Asyifa mendadak merah merona setelah menyadari kalau jarinya sejak tadi mengikat jari Rayhan, seakan ia tidak rela kalau jari Rayhan terlepas dari jari kelingkingnya. Buru-buru Asyifa membuang jari Rayhan hingga tangan Rayhan terhempas di atas tempat tidur.

"Auww..." Rayhan menjerit kecil.

"Eh... Ma-maaf!" Asyifa reflek berlutut di samping Rayhan, sembari memegangi tangan Rayhan. "Mana yang sakit Ray?" Tanya Asyifa, ia terlihat begitu panik. Wajah panik Asyifa malah membuat Rayhan tertawa.

"Hahaha... Kamu lucu sekali Cifa." Ledek Rayhan.

Wajah Asyifa terlihat sangat sebal, reflek ia mencubit lengan Rayhan membuat pemuda itu mengasuh kesakitan di selingi tawanya yang terlihat puas setelah berhasil menggoda Asyifa. Begitu juga dengan Asyifa, tanpa ia sadari dirinya pun ikut tertawa lepas. Seakan ia telah lupa kejadian di mana ia hampir kehilangan kesuciannya.
*****

"Burhan sudah di makamkan Bi?" Tanya Laras yang tengah sibuk melipat pakaian di dalam kamarnya.

KH Umar yang baru saja tiba di rumah setelah dua hari ia terpaksa meninggalkan Istrinya dan tinggal di kediaman Mang Burhan sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan penghormatan terakhirnya kepada beliau. "Sudah Mi, sehabis di otopsi Burhan langsung di makamkan." Jelas KH Umar.

"Umi benar-benar tidak menyangkah kalau Burhan bisa bertindak sejauh itu." Ujar Hj Laras mengingat betapa baiknya Burhan selama ini terhadap keluarga mereka.

"Begitulah manusia Umi." KH Umar duduk di samping Istrinya. "Tidak pernah puas dengan apa yang di miliki, selalu saja menginginkan lebih dan lebih. Padahal Tuhan sudah memberikan kita yang terbaik yang kita butuhkan saat ini. Andai saja Burhan memiliki harta yang banyak dan Istri cantik, belum tentu Burhan bahagia." Nasehat KH Umar sungguh mengena di hati Laras.

Kalau di pikir-pikir, apa yang di katakan KH Umar membuat Laras ikut tersentil. Selama ini ia memiliki kehidupan yang normal, memiliki putra dan putri yang membanggakan. Tetapi semenjak hadirnya Daniel, kehidupan nya berubah derastis. Walaupun di bawah ancaman dan pemerkosaan, tetapi Laras tidak memungkiri kalau dirinya juga menikmati ketika Daniel memperkosa dirinya, bahkan dua malam belakangan ini, ia terus memohon kepada Daniel akan menuntaskan birahinya.

Mengingat semua itu membuat Laras sangat menyesal. Dari awal dirinya memang salah, seharusnya saat pertama kali Daniel menyentuhnya, ia telah melaporkan perbuatan Daniel. Tapi Laras malah memilih diam.

Dan sekarang Laras seakan kehabisan alasan untuk melaporkan Daniel ke pihak berwajib atas pemerkosaan yang di lakukan Daniel kepadanya.

"Intinya kita harus selalu mensyukuri apa yang kita miliki saat ini, dengan begitu insyaallah kita tidak akan tersesat." KH Umar meriah tangan Istrinya, ia menggenggam tangan Istrinya penuh cinta.

Laras tersenyum tipis, ia tau apa yang di inginkan Suaminya saat ini setelah dua hari tidak bertemu dengannya.

Tanpa di minta Laras menanggalkan pakaiannya hingga ia telanjang bulat. Kemudian ia berbaring diatas tempat tidur dengan posisi terlentang. KH Umar yang juga telah telanjang bulat naik keatas tubuh Istrinya. Tidak lupa ia melapaskan doa sebelum meniduri Istirnya.

Saat proses penetrasi di lakukan KH Umar. Laras merasa sangat hambar. Berulang kali ia teringat bagaimana ketika Daniel yang mengaduk-aduk memeknya, rasanya sangat nikmat dan bikin ketagihan. Berbeda ketika Suaminya yang melakukannya, ia merasa sangat hambar.

Maafkan Umi Abi, mungkin Umi salah satu manusia yang tak pandai bersyukur, dan selalu menginginkan lebih dan lebih. Hingga Umi tersesat seperti saat ini.

****


Siang hari di kediaman Ustadza Dwi.

Ustadza Dwi terlihat sibuk menyapu teras rumahnya. Dan pada saat bersamaan Pak Imbron yang baru saja selesai membuang sampah lewat di depan rumah Ustadza Dwi. Pria berwajah buruk rupa itu tersenyum menyapa Ustadza Dwi, yang di balas dengan senyuman juga.

Masih lekat di ingatan Ustadza Dwi bentuk celana Pak Imbron ketika membantu dirinya memperbaiki atap rumahnya yang bocor. Semenjak hari itu Ustadza Dwi tak pernah bisa melupakannya, ia selalu terbayang-bayang dengan ukuran kontol Pak Imbron.

"Assalamualaikum!" Sapa Ustadza Dwi.

Pak Imbron menghentikan langkahnya sejenak. "Waalaikumsalam Bu Ustadza." Balas Pak Imbron, seraya memamerkan gigi kuningnya.

"Dari mana Pak?"

"Biasa Bu Ustadza habis buang sampah." Jawab Pak Imbron, yang tak pernah bosan memandangi wajah cantik Ustadza Dwi yang siang ini mengenakan gamis syar'i berbahan Balotelli. Di bagian depan gamis berwarna ungu tersebut terdapat resleting, dan ada tali pita berwarna putih di bagian pinggangnya.

"Mau mampir dulu Pak." Ajak Ustadza Dwi.

"Gak usah Bu Ustadza, takut merepotkan."

"Kok repot, saya malahan merasa sangat senang kalau Bapak mau mampir ke rumah saya." Bujuk Ustadza Dwi, seakan ia lupa kalau dirinya adalah seorang wanita muslimah yang sangat tidak pantas mengundang pria yang bukan muhrimnya masuk ke dalam rumahnya, ketika suaminya tak berada di rumah.

"Bu Ustadza bisa aja ni."

Ustadza Dwi tersenyum simpul. "Bener ni gak mau mampir? Padahal baru mau di bikinin kopi spesial loh." Pancing Ustada Dwi sembari tersenyum penuh arti.

"Serius ni Bu Ustadza? Wa... Saya udah kangen sekali mencicipi kopi Bu Ustadza." Kelakar Pak Imbron, membuat Ustadza Dwii tertawa renyah mendengarnya. Tapi ia cukup senang karena Pak Imbron akhirnya mau main ke rumahnya.

"Hihihi... Pak Imbron bisa aja! Tapi maaf Pak, masuknya lewat belakang aja ya."

"Emangnya kenapa Bu Ustadza?"

"Nanti Bapak juga akan tau." Jawab Ustadza Dwi seraya tersenyum.

Walaupun tidak begitu mengerti maksud Ustadza Dwi, Pak Imbron cukup senang bisa bertandang kembali ke rumah Ustadza Dwi. Ia bersiul ringan sembari mengitari rumah Ustadza Dwi. Setibanya di depan pintu belakang rumah Ustadza Dwi, Imbron hendak mengetuk pintu tersebut, tapi baru sekali ketuk, pintu itu terdorong ke dalam.

Ternyata pintu rumah Ustadza Dwi tidak terkunci, dengan begitu Pak Imbron bisa masuk tanpa menunggu Ustadza Dwi membukakannya.

Baru satu langkah masuk ke dalam rumah, Pak Imbron melihat Ustadza Dwi yang tengah membuat kopi.

"Tunggu di depan ya Pak, saya buatkan dulu."

"Oh iya Bu Ustadza." Jawab Pak Imbron.

Ia segera menuju bagian depan rumah Ustadza Dwi, dan duduk di sofa sembari menunggu Ustadza Dwi.

Tidak lama kemudian wanita berparas cantik itu datang sembari membawakan segelas kopi untuknya. Dengan sedikit membungkuk kan badannya, Ustadza Dwi meletakan segelas kopi diatas meja.

"Di minum Pak." Pinta Ustadza Dwi.

Pak Imbron kembali tersenyum. "Terimakasih banyak Bu Ustadza, saya jadi merepotkan ni." Seloroh Pak Imbron, sembari mencicipi kopi buatan Ustadza Dwi. "Hmm... Ini nikmat sekali Bu Ustadza." Puji Pak Imbron, membuat Ustadza Dwi sangat senang mendengarnya.

"Aduh Bapak bisa aja ni!" Ustadza Dwi tersenyum renyah sembari menutup mulutnya. "Suami saya aja gak pernah loh Pak, muji kopi buatan saya." Ujar Ustadza Dwi tersenyum malu.

"Serius Bu Ustadza? Wa... Berarti Pak Ustad tidak ngerti seninya kopi."

"Ya, sepertinya memang begitu."

"Ini kopinya enak banget loh Bu, sumpah." Pak Imbron kembali menyeruput kopi buatan Ustadza Dwi. "Pahitnya pas, manisnya pas, rasa susunya juga pas." Sambung Pak Imbron sembari mengacungkan jari jempolnya.

"Yang pas memang selalu enak ya Pak."

"Hahaha, memang benar Bu."Gelak tawa Pak Imbron.

Ustadza Dwi tersenyum manis, sembari memperhatikan sosok pria paru baya yang ada di hadapannya saat ini. Setiap kali berada di dekat Pak Imbron, Ustadza Dwi selalu terbayang akan pemerkosaan yang di lakukan kolor ijo kepadanya. Bayangan tersebut selalu membuatnya basah.

Diam-diam Ustadza Dwi menyukai sosok Pak Imbron, andai saja Pak Imbron menginginkannya tentu Ustadza Dwi akan dengan senang hati berbagi kehangatan dengan Pak Imbron.

Mata indah Ustadza Dwi turun kebawah, menuju selangkangan Pak Imbron. Mata Ustadza Dwi membeliak ketika melihat kearah resleting Pak Imbron yang terbuka. Ia dapat melihat jelas kontol Pak Imbron yang berbulu lebat, dan seperti yang sudah ia duga, Pak Imbron memang memiliki kontol berukuran sangat besar.

"Ehmmpsss..." Ustadza Dwi mulai gelisah.

Dia memainkan cincin perkawinannya yang melingkar di jari manisnya. Sembari sesekali melihat kontol Pak Imbron yang sangat menggoda imannya.

Pak Imbron yang baru saja kembali mencicipi kopi buatan Ustadza Dwi, tampak heran melihat tingkah Ustadza Dwi yang tampak tidak tenang, berulang kali Ustadza Dwi mengganti posisi duduknya, sembari melirik kearah selangkangannya.

"Bu Ustadza gak apa-apa?" Tanya Pak Imbron.

Ustadza Dwi makin terlihat salah tingkah. "Anu Pak, itunya kebuka!" Jawab Ustadza Dwi. Pak Imbron baru sadar ketika ia melihat resletingnya terbuka dan memperlihatkan kejantanannya.

Buru-buru Pak Imbron menutup selangkangannya dengan kedua tangannya. "Ma-maaf Bu Ustadza, saya lupa kalau resleting saya rusak." Ujar Pak Imbron merasa bersalah.

"Ehmmpsss... Gak apa-apa kok Pak? Saya yang salah sudah lancang melihat itu Bapak."

Pak Imbron menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sembari nyengir memamerkan giginya yang tidak rata. Tangannya yang tidak lagi menutupi selangkangannya, membuat Ustadza Dwi bisa kembali melihat kontol Pak Imbron yang berukuran jumbo.

Tapi kali ini Pak Imbron membiarkannya, ia sangat yakin kalau Bu Ustadza menyukai kontolnya.

"Saya malah senang di liatin Bu Ustadza." Pancing Pak Imbron.

Ustadza Dwi tersipu malu sembari memperbaiki jilbabnya, tapi matanya tak berpaling dari kontol Pak Imbron yang terlihat kaku dan keras. "Bapak bisa aja." Lirih Ustadza Dwi nyaris tak terdengar sanking geroginya. "Itu aurat Pak, dosa loh kalau di kasih liat ke orang lain." Sambung Ustadza Dwi.

"Masak si Bu?" Tangan Pak Imbron menarik keluar kemaluannya.

"Astaghfirullah!" Jerit kecil Ustadza Dwi.

Ia mendekap mulutnya, tapi matanya menatap kearah kontol sang petugas kebersihan itu. Ia sangat mengagumi kontol Pak Imbron yang berukuran sangat besar, ia membayangkan betapa nikmatnya kalau kontol besar itu mengaduk-aduk lobang memeknya.

Tanpa merasa bersalah, Pak Imbron mengocok kontolnya di hadapan Ustadza Dwi.

"Kalau Bu Ustadza mau." Pak Imbron meraih tangan Ustadza Dwi. "Bu Ustadza boleh pegang." Dia menarik tangan Ustadza Dwi dan meletakannya di atas kontolnya.

"Astaghfirullah!" Ustadza Dwi menggelengkan kepalanya.

Walaupun masih malu-malu Ustadza Dwi menggenggam kontol Pak Imbron. Dengan gerakan perlahan Ustadza Dwi mengocok kontol Pak Imbron.

Jemarinya yang halus mengusap kepala kontol sang petugas kebersihan. Wajah cantik Ustadza Dwi meringis ketika kulit telapak tangannya menyapu air mazi yang keluar dari ujung lobang kencing kontol Pak Imbron yang terasa hangat, hingga menjalar ke seluruh tubuhnya.

Berulang kali Ustadza Dwi menelan air liurnya, ingin rasanya ia merasakan kontol Pak Imbron di mulutnya. Tapi sedikit harga diri, membuatnya memilih bertahan.

"Besar gak Bu Ustadza?" Tanya Pak Imbron.

Ustadza Dwi menggigit bibir bawahnya. "Be-be-besar sekali Pak! Ehmmpsss..." Ustadza Dwi mendesah pelan.

"Sini Bu dekatan lagi." Pak Imbron merangkul pundak Ustadza Dwi agar lebih mendekat. "Besar mana di bandingkan milik Pak Ustad?" Goda Pak Imbron, sembari menatap bibir merah Ustadza Dwi.

"Be... Be... Besar pu... Punya... Punya... bapak." Lirih Ustadza Dwi.

Pak Imbron mendekatkan wajah Ustadza Dwi ke wajahnya. Reflek Ustadza Dwi memejamkan matanya, dan sedikit membuka bibir sensualnya. Nafas Ustadza Dwi mulai tersengal-sengal ketika ia mencium aroma tembakau dari dalam bibir Pak Imbron. Ketika bibir mereka hampir bertemu, tiba-tiba gangguan datang tanpa di undang.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum, Umi."

Buru-buru Ustadza Dwi mendorong dada Pak Imbron agar menjauh darinya.

Wajah mereka berdua yang tadinya merah padam karena birahi kini mendadak pucat pasi. Tanpa di suruh, Pak Imbron bergegas menuju pintu belakang. Sementara Ustadza Dwi bergegas menuju pintu depan.

Setelah yakin Pak Imbron sudah meninggalkan rumahnya, Ustadz Dwi baru membukakan pintu untuk anak gadisnya, setelah beberapa kali memanggilnya.

"Kok lama Mi?" Tanya Aziza.

"Tadi Umi ketiduran."

Aziza manggut-manggut, sembari hendak ke kamarnya. Tapi matanya sempat melihat kearah segelas kopi milik Pak Imbron yang tertinggal di meja tamu.

"Ada tamu ya Mi?" Aziza merenyitkan dahinya.

"Oh, itu punya Umi."

Aziza sempat merasa heran mendengar pengakuan Ibunya, karena setau dirinya Ustadza Dwi tidak suka kopi. Entah semenjak kapan Ibunya jadi suka kopi? Aziza tidak mau ambil pusing, ia segera menuju kamarnya. Sementara Ustadza Dwi tampak menghela nafas lega.

Ia tersenyum tipis sembari menghabiskan kopi sisa Pak Imbron yang baginya terasa nikmat.

*****












Sementara itu, di dalam kamar asrama yang di khususkan untuk seorang Ustadza yang belum menikah. Tampak dua anak manusia berbeda generasi tengah bercumbu mesra layaknya sepasang kekasih. Mereka berciuman sangat panas sembari saling merebah.

Ustadza Wanda dengan perlahan mempreteli kancing kemeja berwarna putih yang di kenakan oleh Muridnya, dia melepas seragam tersebut menyisakan bra berwarna putih.

Telapak tangannya yang halus membelai payudara muridnya yang berukuran 36c, kemudian ia melepas bra tersebut, dan membebaskan payudara Lala dari belenggu bra yang sudah sejak tadi pagi membungkusnya.

"Sssttt... Ustadza!" Desah Lala.

Ustadza Wanda membungkukkan badannya, mencomot salah satu payudara Lala. Sluuuppss... Sluuuppss... Sluuuppss... dia menghisap lembut putingnya.

Mata Lala merem melek keenakan sembari mendekap kepala Ustadza Wanda yang secara bergantian menghisap payudaranya yang ranum. Wajahnya menadah keatas meresapi setiap hisapan putingnya di mulut Ustadza Wanda.

"Sssstttt... Aahkk... Aaahk..." Desah Lala.

"Sayang, kamu duduk di meja Ustadza ya." Suruh Ustadza Wanda, dan tanpa penolakan Lala duduk diatas meja Ustadza Wanda.

Kedua tangan Ustadza Wanda masuk ke dalam rok hijau yang di kenakan muridnya, lalu dengan perlahan ia menarik celana dalam muridnya dan membuangnya secara sembarangan. Lala mengangkat satu kakinya keatas meja, mempertontonkan memeknya di hadapan sang Ustadza.

Jemari Ustadza Wanda membelai memek muridnya yang ternyata telah basah.

Kedua tangannya melingkar di leher Ustadza Wanda, dan tanpa merasa canggung mereka bertukar bibirnya. Saling melumat dan menghisap satu sama lain. Sementara jemari Ustadza Wanda bermain-main dengan bibir memek Lala yang semakin banyak mengeluarkan pelumas.

"Hmmmpss... Hmmmpss... Hmmmpss..."

Sembari berciuman, jari tengah Ustadza Wanda menerobos masuk ke dalam memek muridnya. Dengan gerakan perlahan, jemari Ustadza Wanda keluar masuk dengan perlahan.

Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss...

Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss... Sloookkss...

"Aahkk... Ustadza! Aaaahkk..." Desah Lala keenakan.

Ciuman Ustadza Wanda mendarat di dada bagian atas kanan Lala, terus turun menuju gumpalan daging payudara Muridnya. Lidahnya menari-nari di bagian aurola Lala yang kehitaman, sedikit menyentil puting Lala yang perlahan mulai mengeras, merespon rasa nikmat yang di berikan gurunya.

Bibir tipisnya mencomot puting Lala, menghisapnya dengan lembut, menstimulasi putingnya. Lala mendongakkan kepalanya, sembari menggigit bibirnya.

"Saya keluar Ustadza!" Jerit Lala.

Pinggulnya tersentak-sentak menyambut orgasme kecilnya, tampak lelehan lendir kewanitaannya mengalir di sela-sela pangkal pahanya.

Mata Lala menatap sayu sang Ustadza, dan kemudian giliran dirinya menanggalkan gamis yang di kenakan Ustadza Wanda hingga sang Ustadza nyaris telanjang bulat dan hanya menyisakan kaos kaki dan jilbab segiempat dengan motif abstrak berwarna merah.

Ustadza Wanda mendekap kepala muridnya yang tengah menyusu diatas payudaranya. Sembari mendesis nikmat, dengan nafas memburu.

"Jilat memek Ustadza sayang!" Pinta Wanda.

Ia berbaring diatas matras miliknya yang di selimuti seprei berwarna putih. Kemudian ia tiduran terlentang dengan memamerkan memeknya yang berbulu lebat.

Lala segera bersimpuh di bawah kaki Ustadza Wanda, sembari menciumi paha mulus gurunya. Lidahnya menyapu lembut bibir kemaluan Wanda, menyentil clitorisnya, dan sesekali menusuk lobang memek Wanda dengan ujung lidahnya, membuat tubuh Wanda menggelinjang nikmat.

"Oughkk... Yesss... Terus sayang! Aaaahkk..." Erang Wanda.

Kedua paha gemuknya menjepit kepala muridnya yang tengah menjelajahi bibir memek Wanda.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk segera mendapatkan puncak kenikmatannya. Creetss... Creetss... Creetss... Lendir kewanitaannya muncrat hingga membasahi wajah cantik Lala yang tersenyum sumringah.

"Terimakasih sayang!" Bisik Wanda.

Lala tiduran di samping Ustadza Wanda sembari memeluk guru kesayangannya itu. "Sama-sama Ustadza." Jawab Lala, sembari memejamkan matanya.

*****
Terma kasih suhu updatenya . Di tunggu karya selanjutnya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Makasih suhu update nya
Memang selalu di tunggu apdetanmu
Semoga lancar semua nya ya hu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd