Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

Aman hu, semoga lancar RL nya
 
Baca cerita ini, buat gw berkaca sama kehidupan rumah tangga gw, apakah sudah sampai sedatar itu kah rumah tangga gw, apakah baru muncul benih, makasih suhu, ceritamu luar biasa
 
PERJUMPAAN – 20

--------------------
--------------------

a10.jpg

Dingin. Seperti biasa, ballroom hotel pasti dingin AC nya.

Aku hanya memakai celana jeans, t-shirt, sneakers dan sweater berwarna kalem. Casual khas William and Green. William and Green yang CEO Globalnya ada di kursi itu. kursi yang jaraknya sangat dekat dariku.

Sedangkan aku sedang mengoceh di podium, membicarakan proses kerja selama aku memimpin tim yang menangani kampanye digital film Lelawah. Aku bicara mulai dari cerita filmnya, tema yang diangkat, channel-channel yang dipakai untuk promosi dan konsep digitalnya.

Aku mengoceh panjang lebar, kesana kemari dan ngalor ngidul. Entah penting atau tidak, tapi aku bisa melihat beberapa ekspresi penasaran dari beberapa orang yang mungkin nanti akan bertanya kepadaku.

Apakah aku akan dibantai? Mungkin. Tapi tidak apa-apa. Apakah nanti jawabanku garing? Mungkin. Tapi tak apa-apa, yang penting aku sudah sharing.

Yang penting memang sharing, karena inti Regional Meet bukan soal menyombongkan prestasi. Tapi sharing. Saling menyampaikan dan saling mengisi. Bukan untuk kompetisi. Seperti yang pernah aku sampaikan, Regional Meet adalah gathering kantor. Tidak lebih dan tidak kurang.

Fakta bahwa kita saling sharing project setahun kebelakang yang sukses, anggaplah itu sebagai ajang untuk saling belajar.

Sambil mengoceh, aku memperhatikan ke sekitar. Kebanyakan dari peserta memang sudah agak tak fokus. Mereka sudah tampak bosan. Nah ini enaknya presentasi hari terakhir. Mayoritas dari peserta, pikirannya sudah ngelantur kemana-mana. Mungkin memikirkan perjalanan wisata group besok, atau juga ada yang sudah ingin pulang.

Tapi aku yakin, ada satu pasang mata yang dari tadi memperhatikan dengan seksama.

Dia tampak duduk manis, dengan playsuit berwarna biru tua, dan sneakers yang tampak keren. Matanya berkilau karena soft lens yang ia pakai. Sesekali, senyumnya terlihat. Matanya terus-terusan menatap pada diriku.

Tak jarang ia memainkan rambut pendek selehernya, sambil memainkan pulpen di tangan, layaknya rokok. Dan entah kenapa, kehadiran sosok itu malah membuat aku menjadi semakin bersemangat untuk menyelesaikan presentasi ini dengan baik. Kata demi kata keluar dengan lancar, bahkan malah mungkin lebih lancar daripada presentasi-presentasi biasa lainnya.

Aku yakin, keberadaannya disini, sejak kami tiba disini, merubah hari-hariku.

Setidaknya itu yang ada di dalam pikiranku, yang tidak mampu melihat masa depan. Apalagi masa depan setelah kami semua tiba di Jakarta lagi.

Yang pasti, aku akan menyelesaikan presentasi ini dengan baik, dan benar.

--------------------

untitl13.jpg

“CHEERSS!!”

Gelas-gelas itu beradu di tengah dentuman musik yang tidak jelas terdengar. Suasana hingar bingar pasca pandemi, seperti tumpah ruah di bar ini.

Hotel kami memang dekat dengan tempat-tempat hingar bingar seperti ini di pinggir sungai. Dan Asiatique Riverfront, memang tempat yang menjadi destinasi hiburan malam di Thailand, terutama Bangkok. Kenapa kemarin aku dan Stephanie tidak kencan disini? Ya tentu saja karena dekat dengan hotel.

Tapi sekarang, karena rombongan Indonesia ada disini semua, kami tidak malu-malu mingle di tengah mereka. Tentunya kami berdua berusaha bersikap wajar-wajar saja seperti sebelumnya. Ada beberapa karyawan WnG asal Bangkok dan Singapura yang ikut dalam rombongan kami.

Kebanyakan dari mereka masih muda. Kebanyakan dari mereka sedang menikmati hidup yang optimis. Masa depan yang cerah, dan juga semua hal-hal baik yang penuh pengharapan.

“Udah kelar akhirnya, tinggal besok main-main” tawa Yandi, sehabis menenggak minuman sampai gelasnya kosong. Anak ini agak-agak bahaya juga minumnya.

“Lo ngomong pake bahasa Inggris dong… Kita kan disini gak semua orang Indo” tegur Alex dengan nada super manja. Sumpah, kalau aku yang sedang mabuk, pasti langsung sadar lagi.

“What did you say?” tanya seseorang dengan muka asing yang aku tidak kenal siapa. Tapi sepertinya aku pernah melihat wajahnya di saat acara kemarin-kemarin.
“Nevermind” sambar Alex. “He always talk in bahasa, he’s drunk” dia menunjuk ke arah Yandi.

“Ngomong apa sih lo kontol”
“Aduh, mulai tuh Bas” bisik Stephanie yang sengaja duduk di sebelahku.
“Biarin aja, lucu nih” aku hanya meminum bir seperti biasa. Aku tak berani minum yang aneh-aneh. Takut hilang kontrol dan takut hilang kesadaran.

Stephanie tampaknya juga hanya minum-minum cantik malam ini. Kami berdua mengawasi anak-anak muda ini yang tampaknya minum nya agak-agak gak di rem. Mereka merasa sudah bebas dari kewajiban Regional Meet, jadinya mereka minum seperti orang gila.

“Ah Fuck it” seru Yandi, yang suaranya seperti adu balap dengan suara musik yang berdentum denum tak jelas. “let’s drink till sunrise!!!”
“WOOO!!!!”

“Waduh” aku berbisik ke telinga Stephanie, dan kami berdua membuat muka kaget.
“Ini kita boleh ga sih pulang duluan” tegur Stephanie ke orang-orang itu.
“Sorry what did you say?”
“Kenapa Kak?”

“Udah pada budeg semua sih, yuk ah….” Aku menarik tangan Stephanie yang tampaknya agak sedikit kewalahan meladeni banyak orang yang sudah mulai agak liar, di tengah lampu warna warni yang cahayanya melesat kesana kemari dan suara musik yang super berisik. Sudah mulai agak gak nyaman. Aku melihat ke arah jam tangan dan malam ini ternyata sudah sampai di pukul 11.

“Pulang yuk”
“Iya deh… Pamit dulu kali ya…”
“Ga usah biarin aja”
“Tapi kalo mereka ngaco, ntar bikin aneh-aneh gimana?” tanya Stephanie dengan muka khawatir.

“Itu gunanya polisi”
“Hahaha… Yaudah”
“Yuk”

“Ehhh mau kemanaaa” teriak Yandi dengan suara sengau, bagaikan singa yang digigit oleh kambing.

“Udah cuekin aja” aku dan Stephanie tertawa sambil keluar dari bar. Tanpa disuruh, kami berdua mengeluarkan rokok dan membakarnya dalam waktu yang bersamaan.

“Udah bayar?” tanya Stephanie.
“Ya sekali-kali yang muda yang bayarin kan?” jawabku dengan nada cuek.
“Dasar”

“Mau jalan ke hotel sekarang apa ngerokok dulu?” tanyaku ke Stephanie.
“Bentar lah, take our time” dia menatapku dengan mata berbinar. Mukanya agak merah akibat pengaruh alkohol. Untung tidak banyak. Sedangkan diriku tidak merasa apa-apa karena hanya minum dua atau tiga kaleng bir.

“Beda ya umur segini” aku menghisap rokok dalam-dalam.
“Udah males ya sama hingar bingar”
“Iya lah, duniawi” balasku.
“Dulu tapi aku gak kayak mereka lho, sampe gila-gilaan gitu” tawa Stephanie.
“Yah… Namanya juga namjug… BTW aku dulu agak-agak kayak gitu” balasku.
“Terus kok sekarang enggak?”
“Ya umur, sama kondisi sekarang udah beda”
“Kondisi?”
“Yah…”

Tanpa sadar aku melihat ke cincin kawinku yang ada di jari manis tangan kananku. Sadar aku memperlihatkan gesture yang aneh di hadapan Stephanie, aku menatap matanya. Dia tampak tertegun, melihat cincin kawin yang melingkar itu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“I got it” dia tersenyum kecut, sambl menghembuskan asap perlahan. Dia menatap wajahku dan sepertinya dia berharap kalau orang yang mengikat janji dengan cincin yang ada di tanganku itu bukanlah Listya.

“Yuk, sambil jalan?”
“Oke…” jawabku pelan.

Kami berdua berjalan beriringan. Rasanya perjalanan dari bar tersebut ke hotel amatlah jauh. Waktu terasa begitu lama, dan kondisi menjadi canggung akibat cincin yang ada di tangan kananku itu. Kami meniti jalanan, sedikit demi sedikit mencapai tujuan, dan suara hingar bingar musik mulai terasa makin pelan.

Dia tidak mengeluarkan suara apapun, dan aku juga. Kami tahu ada yang harusnya tidak kami bicarakan.

Tanpa suara, kami memasuki area hotel dan langkah kami terasa begitu berat, saat kami masuk ke arah lobby. Disana kami mulai berjalan menuju lift, dan aku tanpa diminta menekan tombol lift dengan tangan kananku. Masih tangan yang sama, yang tadi membuat suasana jadi agak tidak nyaman.

Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan kami masuk. Aku menekan lantai tujuan kami. Stephanie tidak menekan apa-apa.

Aku tidak tahu harus bicara apa. Secara otomatis, aku menatap tanganku dan memegang cincin itu dengan tangan kiriku. Entah kenapa aku membukanya dengan perlahan.

“No” Stephanie menahan tanganku yang sepertinya akan melepas cincin kawinku. “Keep it” sambungnya. Aku menghentikan gerakanku dan Stephanie langsung memeluk lengan kiriku.

“Jangan dilepas” bisiknya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu kiriku dan aku hanya diam, menunggu pintu lift terbuka lagi di lantai yang kami inginkan.

Entah lantai berapa.

Entah kamarku atau kamarnya.

Dan entah sampai kapan, hal yang baru dimulai ini akan menjadi masalah?

--------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
Update yg ditunggu2 hadir jg. Izin baca dl hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd