Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

Bimabet
Kayak nya bukan ama step deh karena judulnya perjumpaan, atau yang dari philipine itu ya


:beer:
 
PERJUMPAAN – 16

--------------------
--------------------

ananta10.jpg

“Emang Kontol banget sih orang satu itu” kesal Yandi sambil meminum lagi dan lagi wiski dari gelasnya.

“Oh, jadi dia emang kontol gitu ya?” balasku sambil duduk di karpet, bersandar di dinding dekat balkon, supaya aku bisa mengeluarkan tanganku ke balkon, merokok sekenanya. Stephanie duduk di sebelahku dengan muka merah agak mengantuk, dengan gelas minuman keras di tangannya.

“Dia ngomongin siapa sih, aku gak tau….” Sambar Nta, sambil meminum minuman keras juga. Tapi bir, bukan wiski.

“Itu loh Nta… vokalisnya band Hantaman itu lho… Yang tatoan sebadan-badan” jawab Alex.
“Yang mana sih…. Aku ga ngikutin band lokal”
“Itu yang chinese… Agak ganteng sih mayan, tapi gantengan gitarisnya ah… Dreamy banget”

“Arya kan namanya… Baik itu orangnya katanya” sambar Yandi, sekenanya.
“Jadi gimana kontolnya coba ceritain….” Aku berusaha memancing cerita orang mabuk. Lucu biasanya.

“Eug kan ngajakin cewek gitu Kak… Nonton Hantaman waktu itu kan mereka suka live gitu di Kuningan, sebelom pindah ke Pondok Indah gitu yak….”

“Kenapa jadi betawi gini dia logatnya” tawaku.
“Ganti logat kalo mabok” sambar Stephanie, tersipu.

“Terus terus?” tanya Nta sambil melihat hanpdhonenya. “yang ini ya?” dia memperlihatkan foto cowok gondrong bertelanjang dada dengan tato yang tampak asal-asalan di badannya, di atas lautan manusia dengan tubuh basah kuyup karena keringat.

“Kontol!” Yandi tampak emosi dan ingin memukul hape Nta.
“Ih… jangan dong kok kasar gitu…..” sambar Alex.
“Diem lu bencong”
“Ih aku dikatain…. Suka-suka deh nyebut apa, mau bencong mau apa kek terserah aku mau kayak gimana” dengus Alex.

“Jadi gimana kontolnya?”
“Ya eug malu kan sama cewek itu kak… Jadi eug ramean kan… Nonton Hantaman… Keren gila”
“Oh gitu” sambungku.

“Ya abis itu kan udahan, musiknya…. DJ maen dah…. Udah abis itu pada minum gitu…..”
“Minum apa?”
“Ya mabok lah” jawab Yandi. “Gimana sih Kak”
“Ya kirain minum Air Doa” candaku.

“Ruqyah dong…. Pegi dah setannya” tawa Yandi. Stephanie menahan tawanya dengan berusaha mencubit lenganku. Aku menghindar sambil tertawa tanpa suara.

“Ini gitarisnya ya?” tanya Nta.
“Iya”
“Cakep banget…..” kagumnya.
“Ganteng kannn… Kayak Hugh Jackman kalo jadi orang Indonesia gitu tauuu” seloroh Alex, sambil ikut mengagumi Arya.

“Kalo gue bilang kayak Kit Harrington tapi Indonesia sih” balas Nta.
“Bininya kayak bintang bokep Jepang” lanjut Yandi, asal.
“Ini mau ngomongin gitarisnya apa yang kontol tadi?” aku berusaha mengembalikan spotlight ke si mabuk yang sedang lucu ini, Yandi Sofyan.

“Nah jadi eug kan pipis bentaran tuh”
“Pipis di?” tanyaku.
“Toilet lah ******”
“Yah gue dikatain ******” tawaku. Stephanie akhirnya berhasil mencubit tanganku. Aku tak bisa menghindar dan Cuma bisa meringis.

“Nah terus…. Pas eug balik… Lah cewek yang eug deketin lagi ngobrol ama si Stefan di Bar… Lama bet dah eug tungguin di meja… Ga kelar kelar…. Eh…. Lama ngobrol malah dibungkus ama itu orang cewek itu…. Kontol dah… Dasar Ngaro Alig” panjang banget omongan si Yandi. Dan lucu banget.

“Diapain dibungkusnya?” Nta menyesap birnya sambil bertanya retoris, senyum-senyum.
“Ya dientot lah gila lu”

Tawa kami lepas berempat. Menyisakan Yandi yang tampak bengong.

“Kenapa ketawa lu pada?”
“Gapapa, enak banget kayaknya ngomong ngentotnya….” Tawaku. “Emang beneran ditidurin ceweknya?”

“Iya beneran Kak… Cerita ke eug besoknya…. Mana kayaknya seneng lagi tu cewek bisa ngentot sama Stefan… Allahh…..” kesal Yandi. Dia langsung rebahan dengan nada kesal yang luar biasa.

“Emang dia cerita detail?” tanyaku.

Tapi tak ada jawaban.

“Yan… Yandi?” tanya Alex. “Yah, tidur dia Kak….”
“Baru jam 10 padahal”
“Tapi gue juga ngantuk sih” kesal Stephanie.

“Yaudah, tutup dulu malem ini acaranya… Hahaha” tawaku.
“Yandi gimana tuhh…” bingung Alex.

“Ya biarin aja dia disitu dong, males ngegotongnya” jawab Nta.

Aku sudah berdiri sambil mematikan rokok di luar dan meregangkan badan. Stephanie menghabiskan minumannya di gelas dan dia membereskan laptopnya.

“Ntar disangkain kita bobo bareng” kesal Alex.
“SIapa yang nafsu ama elo bego” mendadak Yandi bersuara lagi. “Ngantuk….” Sambungnya.

“Bukan ngantuk, mabok” jawabku sambil melangkahi tubuh Yandi, bareng dengan Stephanie. “Kita istirahat ya”

“Iya kak, makasih ya udah dateng ke sini… Besok lagi? Masih banyak ini minuman” tawa Alex.
“Emang lu beli berapa botol?”
“Banyak Kak”
“Dasar” tawaku. Aku dan Stephanie sudah di luar ruangan.

“Nta kamu jangan keluar, temenin aku, biar ga disangka bobo bareng ama Yandi”
“Yah, tapi gue males tidur sama lu sekasur Lex….” Jawab Nta.
“Ih kan sama-sama cewek ini” balas Alex.

Nta Cuma bisa diam pasrah.

“Yah atur ya, kita ke kamar masing-masing dulu yaaa” aku menutup pintu dengan cepat sambil melambaikan tangan. Stephanie juga melambaikan tangan ke mereka yang masih berdebat soal kelanjutan malam itu.

Aku menarik nafas dan menatap ke arah Stephanie. Dia tersenyum.

“Enak ya jadi anak muda”
“Kita masih muda kali” jawabku.
“Cuman umur kita lebih tua dari mereka”
“Gak salah”

Kami berdua jalan ke arah kamar Stephanie dan dia membuka kunci pintunya.

“Jadi gak jadi kan elo ngebantuin gue…”
“Udah malem, tidur aja” jawabku. Tapi aku belum mengantuk. Aku merogoh-rogoh ke saku celana.

Shit.

“Kenapa Bas?”
“Konci kamar gue ketinggalan deh di kamar” aku meringis.

“Mau gue temenin ke resepsionis?” tanya Stephanie.
“Aduh males gue….”
“Yauda masuk dulu sini…..” sambar Stephanie.

Tanpa pikir panjang aku mengangguk. Aku masuk dan mendapati kamarnya masih tampak rapih. Dia berjalan ke arah sofa dan mencolokkan laptopnya ke charger. Dia menyimpannya di coffee table dan dia mepersilahkanku masuk.

“Permisi yak” kau berjalan ke arah sofa. “Yaudah karena gue males ke bawah, gue coba bikin beberapa catetan buat presentasi lo besok deh”

“Oh gitu?”
“Yep”
“Asik thanks yak….”

Dia menyalakan laptopnya dan aku mengikuti langkahnya. Aku duduk di sofa dan dia menyodorkan laptopnya kepadaku.

“Tolong ya”
“Iya…”
“Gue mau ngecek handphone dulu dari tadi ga buka-buka, lucu banget ya si Yandi”
“Bukan lucu banget lagi itu, udah comedy goldmine” balasku.

“Banget”

Stephanie melempar dirinya ke atas kasur dan aku melihat-lihat presentasi Stephanie dan mulai mengetik beberapa catatan. Ya, aku sudah janji membantunya. Mari kita bantu dia sampai semampuku.

--------------------

15112510.jpg

Jam 12 malam. Aku masih berkutat dengan laptop Stephanie. Ternyata tidak mudah membalut sebuah presentasi yang sangat teknis dengan kata-kata manis.

Aku melirik ke atas kasur. Tepat jam 10.05 setelah dia melempar dirinya ke atas kasur dengan rencana mau ngecek handphone, dia terlelap. Untungnya gak ngorok. Aku sudah menyerah dengan rencana ke resepsionis dan mengambil kunci kamar cadangan. Aku tidur di sofa kamar Stephanie saja.

Fokusku kukembalikan ke arah laptop. Aku mengetikkan beberapa kalimat yang baik untuk dipresentasikan. Tapi di sisi yang lain, aku mencium bau wangi yang terasa seperti rumah. Bau yang menenangkan, dan sudah pasti datang dari arah kasur atau dari koper Stephanie yang rapih walau terbuka.

Mendadak, pikiranku melayang kemana-mana. Beberapa saat aku berusaha membayangkan Listya, tapi mukanya berganti ke perempuan tionghoa yang sedang terlelap di kasur tanpa membuka kacamatanya.

Aku berusaha konsentrasi sambil melihat terus ke arah laptop. Tapi aku bisa melihat tubuh Stephanie berbaring di atas kasur dan selimutnya yang acak-acakan, dari sisi mataku. Aku berusaha tidak menggubris sosok itu.

Dengan bunyi ketak ketik yang pelan khas laptop jaman sekarang, aku berusaha tetap fokus pada laptop.

Aku menarik nafas panjang.

Sial.

Pilihan yang salah. Bau wangi itu semakin memenuhi kepalaku dan masuk-masuk ke dalam pikiranku. Aku kembali mencoba fokus. Rasa ingin merokok tapi kalau aku buka balkon, Stephanie bisa bangun. Lagipula rokokku di kamar atas, sedang Stephanie….. Sedang tidur.

Loh. Kenapa jadi Stephanie sedang tidur? Apa hubungannya sama rokok?

Ada mungkin?

Ah apa sih?

Oke-oke fokus.

Fokus.

Fokus.

Fokus.

Fo…

“Bas? Belom tidur?” Stephanie tampak bangun dalam gerakan slow motion. Mukanya masih merah dan matanya makin terlihat sipit. Dia membuka kacamatanya sambil menyimpannya di nakas. Dia berbaring lagi.

Aku diam.

Diam saja.

Diam terus.

Mungkin sampai subuh.

“Bas… Belom tidur? Gak jadi minta kunci?”

“Eh..”
“Hmm?”

“Gue terlalu fokus ama laptop kali, jadi lupa ke bawah”
“Oh…”

Stephanie bangkit dan dia duduk di sebelahku dalam satu gerakan yang terasa sangat lambat. Sangat lambat.

“Gak ngantuk?”
“Belum kali” jawabku dengan tegang.
“Gue ngantuk banget”

Stephanie lantas mendadak bersender di bahuku. Aku menelan ludahku sendiri.

“Nulis apa itu…” tanyanya.
“Eh? Ini…” aku berusaha menjawabnya, tapi kata-kataku tak keluar. Aku menatap ke arah layar, berusaha menjawab. Berusaha keras. Tapi aku tak bicara sama sekali.

“Apa itu tulisannya, gue ga bisa baca kan minusnya parah…..” suara Stephanie tampak merajuk manja. Aku tak bisa diam saja.

“Ah jadi….. Pada saat proses berjalan, lo ngecekin sutradaranya itu dengan istilah check and balance Steph…”
“Maksudnya?”

Sial. Wangi tubuhnya semakin berasa. Dia masih nempel di bahuku, dengan mata tertutup.

“Ya lo pake istilah itu...” balasku dengan nada bicara yang tak jelas.
“Istilah apa…”
“Check and balance”
“Artinya apa Bas… Artinya Check and balance” bisikannya membuat bulu kudukku merinding.

“Intinya… Lo ngontrol dia, tapi gak cuman lewat dia doang… Lewat orang-orang di sekitarnya…..” sambungku.
“Gimana itu?”

Sial. Itu adalah kalimat ‘Gimana itu?’ terseksi yang pernah aku dengar.

“Jadi, pada saat lo milih asisten sutradaranya, usahain jangan yang temenan sama sutradara, biar lo bisa dapet laporan soal sutradara yang lebih jujur dari asistennya” jawabku.

“Tapi yang kemarin itu mereka satu geng semua”
“Ya ini kan improvement ya Steph, di masa depan… Lo bilang ini belom dilakuin, dan akan lo lakuin…. Kalo dia nanya kenapa gak dilakuin pas lagi produksi kemaren, bilang aja, kebiasaan sutradara itu bawa gengnya untuk proses syuting, nah lo liat ini jadi kurang transparan pas proses review”

“Pinter”
“Thanks”
“Udah lo istirahat gih”
“Ya ini udah mau beres, ini kan udah di bab terakhir lo Steph, di How Can We Improve”
“Oh iya”

Mendadak Stephanie Hartanto menutup laptopnya. Dan dia menyingkirkannya entah kemana.

“Udah. Istirahat” bisiknya sambil tetap bersandar di lenganku. Dia sekarang malah memeluk lenganku dengan lembut.

“Gimana bisa istirahat kalo gini”
“Gini gimana?”
“Lo kayak gini” jawabku.
“Sorry”

“Gapapa”
“Sorry, tapi gue ngerasa nyaman banget” sahut Stephanie.
“…” aku menarik nafas. Lagi-lagi pilihan yang salah.

“Udah lama gak meluk tangan cowok”
“Puas-puasin aja” balasku dengan asal.
“Sorry”

“Gak usah minta maaf, puas-puasin meluknya terus tidur lagi”
“Bukan, Bas”
“Bukan apa?”
“Gue minta maaf karena gue ngerepotin elo”
“Cuma gitu doang Steph…”
“Itu gak Cuma gitu doang” bisiknya.
“Gue Cuma ngasih masukan ke presentasi elo”

“Gak Cuma itu… Gue minta maaf karena selalu ngerepotin elo terakhir-terakhir” dia menarik nafasnya. “Gue suka curhat, gue dianter pulang, gue…… Gak tau kenapa, gue suka banget ngobrol sama elu”

“Hmm”
“Elo gak suka ya ngobrol sama gue?”
“Hah? Gimana?”
“Elo suka gak ngobrol sama gue Bas?” tanya Stephanie lagi. “Kalau gak suka gapapa…. Gak usah bohong bilang aja kalo ga nyaman”

“Yah… Nyaman sih sebenernya… Tapi…”
“Ada tapinya?”

Sial. Itu ‘ada tapinya’ yang paling seksi sedunia.

“Tapi… Tapi gak tau Steph” Aku menatap dirinya. “Rasanya salah”
“Salah karena apa?”
“Salah karena gue….”
“Karena elo udah nikah?” tanyanya.

“Maybe” balasku.
“Jadi…. Lo ga nyaman?”
“Nyaman kok..”
“Kalo nyaman gak usah ada tapinya segala” lanjutnya. “Nyaman ya nyaman aja, tanpa tapi”

“Gue…”
“I know… Makanya gue Cuma berani sampe sini” dia memeluk lenganku dengan erat.

Sial.

“Steph”
“Ya?”

I pressed the gas pedal.

Aku meraih badannya dan aku mencium bibirnya.

Bibir kami berdua bertemu dan rasanya.. Rasanya aku tak bisa mendeskripsikannya. Rasanya adalah rasa rokok. Rasa minuman keras. Rasa bersalah. Rasa nyaman. Dan rasa tak nyaman.

Kami berdua berpelukan. Badannya terasa begitu lembut di dalam pelukanku. Kami berciuman lagi dengan lembut. Dengan pelan. Perlahan. Kami seperti menyatu. Dan memang. Memang kami menyatu malam itu.

Dia berada di dalam pelukanku. Dan walaupun aku berusaha untuk melepasnya, tanganku tak bergerak. Bibirku masih beradu dengannya.

Masih.

Dan entah sampai kapan, kata masih itu akan bertahan.

--------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd