Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

duduk nyaman dulu...
suhu RB berkarya lagi ...
 
Jangan" listya lg kasmaran ma temen kuliahnya. Akhirnya selingkuh

Nunggu pov nya LISTYA klo ada
 
Udeh jam makan siang nihh, ngupi dulu, sambil absen, sapa tau ada yang kasih apdetan, have a nice day 4 yaall
 
PERJUMPAAN – 13

--------------------
--------------------

54168810.jpg

“Safe Flight”

Aku menggelengkan kepala. Aku baru sampai di bandara dan penerbanganku masih dua jam lagi, tapi dia sudah mengatakan safe flight. Kenapa dia? Kenapa dia jadi out of touch?

Setelah perselisihan semalam, dan packing yang dijanjikan itu selesai, Listya merasa tidak ada apapun yang salah. Dia langsung kembali ke kasur, ke depan TV dan meneruskan tontonannya. Tidak ada kata maaf, dan dia bahkan seperti tidak menganggap aku kecewa. Aku yang jelas-jelas tidak ingin berkonflik pada malam itu hanya bisa diam dan pura-pura tidur.

Dia juga susah bangun tadi ketika aku berangkat, dan ketika aku kabari bahwa aku sudah sampai di bandara, jawabannya Cuma safe flight saja. Padahal dia tahu aku terbang jam 7 pagi. Dia harusnya sudah tahu itu.

Aku menarik nafas panjang, karena dia tidak menganggap komunikasi kami akhir-akhir ini agak aneh. Dimana aku sudah muak pada jadwal dan rutinitas, dia tidak menyadari itu. Disaat aku kecewa pada janji yang tidak ditepati, dia tidak menyadari itu.

Ditambah lagi kami tidak punya waktu untuk bertengkar, karena hari ini aku sudah terbang. Andai kami bertengkar, mungkin semua akan jadi lebih baik. Pertengkaran dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Pertengkaran adalah bukti bahwa dua individu yang berbeda sedang bergesekan, yang biasanya diakhiri dengan kompromi.

Pertengkaran tidak selalu jelek kalau hasilnya adalah makin mengerti. Pertengkaran yang tidak ada ujungnya tentu tidak baik. Tapi menurutku lebih kacau lagi kalau ternyata kita butuh bertengkar, tapi tidak bertengkar dan tidak ada ujungnya. Tidak ada toleransi, tidak ada penyesuaian dan semua diam di zona nyaman.

Bagaimana kami mau bertumbuh sebagai keluarga?

Aku menghela nafas panjang sambil menatap ke beberapa orang yang sedang sibuk menenteng koper. Udara pagi buta itu sungguh segar. Sehingga timbul niat pada diriku untuk mencemarinya. Kutarik koper yang lumayan ringan itu, sambil meniti jalan menuju area merokok.

Tanpa banyak waktu, ketika sudah sampai disana, aku langsung menyalakan api dan membakar tembakau. Kuhisap dalam-dalam asap itu dan aku menghembuskannya dengan seksama. Tak sadar, aku melihat ke arah handphoneku dan menemukan sebuah notifikasi.

“Udah sampe? Gue udah sampe nih, lo dimana?”

Stephanie Hartanto. Dia menyapaku pagi itu, tanda kalau dia sudah datang di bandara ini.

“Smoking area” jawabku.
“Oke OTW kesana” balasnya.

Aku menghisap dalam-dalam lagi rokokku sambil membayangkan istriku. Kenapa dia? Apa yang berubah?

“Hei” sapa Stephanie di tengah pikiranku yang sedang mondar-mandir kesana kemari. Tumben-tumbennya dia masih pakai kacamata tebalnya, dengan jeans, sneakers, dan jaket olahraga yang semuanya terlihat keren.

“Udah sampe dia” jawabku dengan senyum kecil, sambil berusaha menata pikiran dan hati yang berantakan kesana kemari.

“Duh, lupa korek sama rokok udah gue masukin ke koper…. Bagi dong”
“Nih”

Aku menyodorkan sebungkus rokok dan ia mengambil sebatang. Dia lantas menyambar pelan tanganku yang satu lagi untuk mengambil korek apinya. Setelah ia berhasil menyalakannya, ia mengembalikan lagi korek tersebut kepadaku.

“Masih ngantuk gak?”
“Masih” jawabku. Tentu saja, aku kurang tidur.
“Di pesawat ntar kita berdua tidurnya ngorok pasti” balas dirinya. “Gue kepikiran terus, mau bahasnya gimanaa caranya ntar”

“Sambil jalan aja” balasku. “Ntar juga lo ketemu enaknya public speaking”
“Gue kan anak produksi ya, jarang pitching konsep ke klien. Apalagi gue produser, kerjaan gue nyusun kerjaan orang lain… Kalau elu kan anaknya ngonsep, jadi tiap hari makanannya public speaking terus”

“Jadi penasaran pengen liat presentasi elo” sambungku. Digital Ads production for Solbakken Nicotine Patch. Aku masih ingat apa yang nanti harus dia presentasikan pada Regional Meet nanti.

“Gue kirim lewat wa nanti… Cuman lagi males gue ngomongin itu, ntar ya pas sebelum boarding, biar lo bisa baca dan kita bahas kali di pesawat?” nadanya terdengar sedikit merajuk.

“Boleh, tapi tadi katanya mau tidur?” tanyaku dengan basa-basi.
“Gue doang kali ya yang tidur? Lo baca presentasi gue dan bantuin gue mikir deliverynya gimana” candanya.
“Gimana coba caranya ngebantuin orang yang tidur”
“Dengan pelajarin presentasinya, terus pas orangnya bangun, sampaikan kritik dan saran yang membangun”

Senyumnya terlihat lebar. Aku balas tersenyum, sambil mematikan rokok di asbak. Secara otomatis, kubakar sebatang lagi.

“Si Martin mah udah disana ya?” dengus Stephanie, membicarakan bos besar William and Green Indonesia. Si bule ostrali dengan nada bicara khas motivator internasional.

“Iya, Martin sama Mbak Keke dan dua orang anak GA” GA, alias general affair. Dua orang itu yang akan mengatur akomodasi kami semua disana bersama dengan orang-orang GA lainnya dari cabang-cabang di negara lain dan akan jadi panitia acara. Tentunya panitia akan didominasi oleh orang-orang dari cabang Bangkok.

“Orang GA-nya siapa aja sih?” tanya Stephanie.
“SIapa ya? Kayaknya si Geri sama Intan ya….”
“Oh, mereka… Enak ya kesana duluan?”
“Gak enak kali, nyiapin keperluan kita semua sekalian jadi panitia yang nyusun acara”

“Itu kenapa Mbak Keke ikut ya?” bingung Stephanie.
“Buat dikelonin Martin kali” jawabku asal.
“Ih, gila lo”
“Gila kenapa?” tawaku. Mbak Keke adalah personal assistantnya Martin. Umurnya mungkin baru di awal 30 tahunan, tapi auranya dewasa banget. Itulah kenapa kami semua memanggilnya dengan sebutan mbak, walau dia lebih muda.

“Gosip aja” balasnya.
“Itu gosip emang udah dari dulu… Mbak Keke betah banget di kantor kita, dan posisinya ga pernah ganti-ganti, jadi PA nya Martin” tawaku.
“Mbak Keke kan udah punya anak dan suami”
“Martin juga udah punya anak sama istri” balasku. “Istrinya orang Indonesia juga… Dan mirip banget sama Mbak Keke, setipe lah” aku menyeringai.

“Buset”
“Yah, ga tau ya… Namanya juga gosip, gak ada yang tau bener apa engga” aku membuat kesimpulan. “Cuman ngapain PA ikutan kesana…. Emang Martin butuh ngapain yang urusannya ama kerjaan?”

“Entahlah” senyum Stephanie. Dia mematikan rokoknya. “Yuk, masuk… Kita harus ketemu anak-anak yang lain”
“Ok”

--------------------

“Nah udah, aku udah tambahin Kak Baskara dan Kak Stephanie di grup ya” senyum Alex, salah seorang perwakilan dari kantor kami untuk Regional Meet nanti. Nama panjangnya Alexander Yunandi, dia anak branding. Dia bakal presentasi tentang brand hand sanitizer yang kampanye digitalnya dipegang oleh William and Green Indonesia.

“Grup kita kebanyakan ceweknya ya, ceweknya tiga” sambung Alex. Aku dan Stephanie saling berpandangan. Walaupun kami yakin jenis kelamin Alex laki-laki, tapi dia tidak jelas kelaminnya apa dari penampilan dan tingkah lakunya. Tapi dia mengidentifikasi diri sebagai perempuan.

Bebas lah. Asal gak ganggu. Lagian anaknya setahuku baik-baik aja dan ga pernah bikin masalah. Itu yang penting kan?

“Dari kita berlima cuman Kak Baskara aja ya yang pernah ikut regional meet?” sambung Rininta. Biasa dipanggil Nta. Dia anak branding juga. Dia nanti bakal bicara soal satu merek sepatu lokal yang terkenal.

“Gimana Kak, deg-degan gak?” sambung satu lagi. Yandi Sofyan. Biasa dipanggil Yandi. Bukan Sofyan. Anak creative juga, dari tim lain, tim yang bukan aku leadernya. Yang dimana dia bakal presentasi soal salah satu brand rokok yang nomer satu di endonesya.

“Biasa aja”
“Ih kok bisa sih biasa aja gitu aku jadi mau tau gimana tricknya” cocor Alex. Alias Mbak Alex. Jadi bingung kan aku sekarang. Tapi dia bukan mbak. Umur mereka semua di pertengahan dua puluhan, beda dengan aku dan Stephanie yang berumur tiga puluhan. Dan aku yang paling tua. Hore.

“Ya kayak kalian presentasi ke klien aja… Disini yang jarang present paling cuman Stephanie yang anak production kan ya…. Jadi kalian harusnya udah tau mau ngapain”
“Malah gue yang ga tau harus ngapain, jadi gue berasa mau sidang skripsi” tawa Stephanie.

“Ih Kak Steph aku kaget lho kiraih tadi siapa, pake kacamata, kok cantikan pake kacamata ya?” sambar Alex. Aku hanya bisa ketawa dalam hati.

“Engga ah biasa aja… Bolor gini dibilang cantik” bantah Stephanie.
“Ih kulit Kak Steph halus banget lho… Aku jadi iri.. Aku item banget gak kayak kakak” sambung Alex.

Sang manusia yang tak jelas laki atau perempuannya itu menarik tangan Stephanie dan membandingkan warna kulitnya. Disandingkan kanan dan kiri. Tangan dan tangan. Aku Cuma bisa tersenyum geli.

“Eh, kita udah harus naik tuh” Yandi menegur kami yang mulai mengakrabkan diri. Aku tertawa kecil dan mulai bangkit. Sambil menenteng ransel, aku membuka handphone dan mengetik kepada sang istri. Mengabari kalau aku akan naik pesawat sebentar lagi.

“Eh Kak Bas udah nikah ya?” Alex tampak tak sengaja melihat layar handphoneku.
“Udah” jawabku pelan menahan geli.
“Yaaah, aku batal ngecengin deh, kirain bakal ada eye candy selama di Bangkok nanti…” kesal Alex sambil menenteng branded bagnya.

Tanpa menunggu apa-apa lagi Alex, Nta dan Yandi berjalan menuju boarding gate. Dan aku hanya bisa tertawa tanpa suara.

“Geli sumpah” bisikku ke Stephanie.
“Homophobic lo” balasnya, sambil berbisik langsung ke telingaku.
“Geli, bukan homophobic”
“Ya apa lah namanya” tawanya.

Aku ikut tertawa dan kami berdua berjalan ke arah boarding gate. Somehow aku menikmati suasana yang penuh warna ini. Dan sekarang aku menemukan jawaban atas pertanyaan tadi pagi. Pertanyaan atas Listya. Apa yang berubah dari dirinya.

Jawabannya mendadak terlihat dengan jelas. Dia tidak berubah. Dia masih Listya yang sama. Dunia yang berubah. Aku yang berubah. Lingkungan berubah. Dunia maju secara alami dan semua berubah. Kecuali Listya yang masih disitu-situ saja, dengan semua hal yang baku dan tak bergerak.

Dan untuk jadi satu keluarga yang bertumbuh, kita berdua harus berubah bersama-sama. Aku beradaptasi. Lingkunganku beradaptasi. Dia tidak.

Ya, dia tidak.

--------------------

BERSAMBUNG
 
PERJUMPAAN – 13

--------------------
--------------------

54168810.jpg

“Safe Flight”

Aku menggelengkan kepala. Aku baru sampai di bandara dan penerbanganku masih dua jam lagi, tapi dia sudah mengatakan safe flight. Kenapa dia? Kenapa dia jadi out of touch?

Setelah perselisihan semalam, dan packing yang dijanjikan itu selesai, Listya merasa tidak ada apapun yang salah. Dia langsung kembali ke kasur, ke depan TV dan meneruskan tontonannya. Tidak ada kata maaf, dan dia bahkan seperti tidak menganggap aku kecewa. Aku yang jelas-jelas tidak ingin berkonflik pada malam itu hanya bisa diam dan pura-pura tidur.

Dia juga susah bangun tadi ketika aku berangkat, dan ketika aku kabari bahwa aku sudah sampai di bandara, jawabannya Cuma safe flight saja. Padahal dia tahu aku terbang jam 7 pagi. Dia harusnya sudah tahu itu.

Aku menarik nafas panjang, karena dia tidak menganggap komunikasi kami akhir-akhir ini agak aneh. Dimana aku sudah muak pada jadwal dan rutinitas, dia tidak menyadari itu. Disaat aku kecewa pada janji yang tidak ditepati, dia tidak menyadari itu.

Ditambah lagi kami tidak punya waktu untuk bertengkar, karena hari ini aku sudah terbang. Andai kami bertengkar, mungkin semua akan jadi lebih baik. Pertengkaran dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Pertengkaran adalah bukti bahwa dua individu yang berbeda sedang bergesekan, yang biasanya diakhiri dengan kompromi.

Pertengkaran tidak selalu jelek kalau hasilnya adalah makin mengerti. Pertengkaran yang tidak ada ujungnya tentu tidak baik. Tapi menurutku lebih kacau lagi kalau ternyata kita butuh bertengkar, tapi tidak bertengkar dan tidak ada ujungnya. Tidak ada toleransi, tidak ada penyesuaian dan semua diam di zona nyaman.

Bagaimana kami mau bertumbuh sebagai keluarga?

Aku menghela nafas panjang sambil menatap ke beberapa orang yang sedang sibuk menenteng koper. Udara pagi buta itu sungguh segar. Sehingga timbul niat pada diriku untuk mencemarinya. Kutarik koper yang lumayan ringan itu, sambil meniti jalan menuju area merokok.

Tanpa banyak waktu, ketika sudah sampai disana, aku langsung menyalakan api dan membakar tembakau. Kuhisap dalam-dalam asap itu dan aku menghembuskannya dengan seksama. Tak sadar, aku melihat ke arah handphoneku dan menemukan sebuah notifikasi.

“Udah sampe? Gue udah sampe nih, lo dimana?”

Stephanie Hartanto. Dia menyapaku pagi itu, tanda kalau dia sudah datang di bandara ini.

“Smoking area” jawabku.
“Oke OTW kesana” balasnya.

Aku menghisap dalam-dalam lagi rokokku sambil membayangkan istriku. Kenapa dia? Apa yang berubah?

“Hei” sapa Stephanie di tengah pikiranku yang sedang mondar-mandir kesana kemari. Tumben-tumbennya dia masih pakai kacamata tebalnya, dengan jeans, sneakers, dan jaket olahraga yang semuanya terlihat keren.

“Udah sampe dia” jawabku dengan senyum kecil, sambil berusaha menata pikiran dan hati yang berantakan kesana kemari.

“Duh, lupa korek sama rokok udah gue masukin ke koper…. Bagi dong”
“Nih”

Aku menyodorkan sebungkus rokok dan ia mengambil sebatang. Dia lantas menyambar pelan tanganku yang satu lagi untuk mengambil korek apinya. Setelah ia berhasil menyalakannya, ia mengembalikan lagi korek tersebut kepadaku.

“Masih ngantuk gak?”
“Masih” jawabku. Tentu saja, aku kurang tidur.
“Di pesawat ntar kita berdua tidurnya ngorok pasti” balas dirinya. “Gue kepikiran terus, mau bahasnya gimanaa caranya ntar”

“Sambil jalan aja” balasku. “Ntar juga lo ketemu enaknya public speaking”
“Gue kan anak produksi ya, jarang pitching konsep ke klien. Apalagi gue produser, kerjaan gue nyusun kerjaan orang lain… Kalau elu kan anaknya ngonsep, jadi tiap hari makanannya public speaking terus”

“Jadi penasaran pengen liat presentasi elo” sambungku. Digital Ads production for Solbakken Nicotine Patch. Aku masih ingat apa yang nanti harus dia presentasikan pada Regional Meet nanti.

“Gue kirim lewat wa nanti… Cuman lagi males gue ngomongin itu, ntar ya pas sebelum boarding, biar lo bisa baca dan kita bahas kali di pesawat?” nadanya terdengar sedikit merajuk.

“Boleh, tapi tadi katanya mau tidur?” tanyaku dengan basa-basi.
“Gue doang kali ya yang tidur? Lo baca presentasi gue dan bantuin gue mikir deliverynya gimana” candanya.
“Gimana coba caranya ngebantuin orang yang tidur”
“Dengan pelajarin presentasinya, terus pas orangnya bangun, sampaikan kritik dan saran yang membangun”

Senyumnya terlihat lebar. Aku balas tersenyum, sambil mematikan rokok di asbak. Secara otomatis, kubakar sebatang lagi.

“Si Martin mah udah disana ya?” dengus Stephanie, membicarakan bos besar William and Green Indonesia. Si bule ostrali dengan nada bicara khas motivator internasional.

“Iya, Martin sama Mbak Keke dan dua orang anak GA” GA, alias general affair. Dua orang itu yang akan mengatur akomodasi kami semua disana bersama dengan orang-orang GA lainnya dari cabang-cabang di negara lain dan akan jadi panitia acara. Tentunya panitia akan didominasi oleh orang-orang dari cabang Bangkok.

“Orang GA-nya siapa aja sih?” tanya Stephanie.
“SIapa ya? Kayaknya si Geri sama Intan ya….”
“Oh, mereka… Enak ya kesana duluan?”
“Gak enak kali, nyiapin keperluan kita semua sekalian jadi panitia yang nyusun acara”

“Itu kenapa Mbak Keke ikut ya?” bingung Stephanie.
“Buat dikelonin Martin kali” jawabku asal.
“Ih, gila lo”
“Gila kenapa?” tawaku. Mbak Keke adalah personal assistantnya Martin. Umurnya mungkin baru di awal 30 tahunan, tapi auranya dewasa banget. Itulah kenapa kami semua memanggilnya dengan sebutan mbak, walau dia lebih muda.

“Gosip aja” balasnya.
“Itu gosip emang udah dari dulu… Mbak Keke betah banget di kantor kita, dan posisinya ga pernah ganti-ganti, jadi PA nya Martin” tawaku.
“Mbak Keke kan udah punya anak dan suami”
“Martin juga udah punya anak sama istri” balasku. “Istrinya orang Indonesia juga… Dan mirip banget sama Mbak Keke, setipe lah” aku menyeringai.

“Buset”
“Yah, ga tau ya… Namanya juga gosip, gak ada yang tau bener apa engga” aku membuat kesimpulan. “Cuman ngapain PA ikutan kesana…. Emang Martin butuh ngapain yang urusannya ama kerjaan?”

“Entahlah” senyum Stephanie. Dia mematikan rokoknya. “Yuk, masuk… Kita harus ketemu anak-anak yang lain”
“Ok”

--------------------

“Nah udah, aku udah tambahin Kak Baskara dan Kak Stephanie di grup ya” senyum Alex, salah seorang perwakilan dari kantor kami untuk Regional Meet nanti. Nama panjangnya Alexander Yunandi, dia anak branding. Dia bakal presentasi tentang brand hand sanitizer yang kampanye digitalnya dipegang oleh William and Green Indonesia.

“Grup kita kebanyakan ceweknya ya, ceweknya tiga” sambung Alex. Aku dan Stephanie saling berpandangan. Walaupun kami yakin jenis kelamin Alex laki-laki, tapi dia tidak jelas kelaminnya apa dari penampilan dan tingkah lakunya. Tapi dia mengidentifikasi diri sebagai perempuan.

Bebas lah. Asal gak ganggu. Lagian anaknya setahuku baik-baik aja dan ga pernah bikin masalah. Itu yang penting kan?

“Dari kita berlima cuman Kak Baskara aja ya yang pernah ikut regional meet?” sambung Rininta. Biasa dipanggil Nta. Dia anak branding juga. Dia nanti bakal bicara soal satu merek sepatu lokal yang terkenal.

“Gimana Kak, deg-degan gak?” sambung satu lagi. Yandi Sofyan. Biasa dipanggil Yandi. Bukan Sofyan. Anak creative juga, dari tim lain, tim yang bukan aku leadernya. Yang dimana dia bakal presentasi soal salah satu brand rokok yang nomer satu di endonesya.

“Biasa aja”
“Ih kok bisa sih biasa aja gitu aku jadi mau tau gimana tricknya” cocor Alex. Alias Mbak Alex. Jadi bingung kan aku sekarang. Tapi dia bukan mbak. Umur mereka semua di pertengahan dua puluhan, beda dengan aku dan Stephanie yang berumur tiga puluhan. Dan aku yang paling tua. Hore.

“Ya kayak kalian presentasi ke klien aja… Disini yang jarang present paling cuman Stephanie yang anak production kan ya…. Jadi kalian harusnya udah tau mau ngapain”
“Malah gue yang ga tau harus ngapain, jadi gue berasa mau sidang skripsi” tawa Stephanie.

“Ih Kak Steph aku kaget lho kiraih tadi siapa, pake kacamata, kok cantikan pake kacamata ya?” sambar Alex. Aku hanya bisa ketawa dalam hati.

“Engga ah biasa aja… Bolor gini dibilang cantik” bantah Stephanie.
“Ih kulit Kak Steph halus banget lho… Aku jadi iri.. Aku item banget gak kayak kakak” sambung Alex.

Sang manusia yang tak jelas laki atau perempuannya itu menarik tangan Stephanie dan membandingkan warna kulitnya. Disandingkan kanan dan kiri. Tangan dan tangan. Aku Cuma bisa tersenyum geli.

“Eh, kita udah harus naik tuh” Yandi menegur kami yang mulai mengakrabkan diri. Aku tertawa kecil dan mulai bangkit. Sambil menenteng ransel, aku membuka handphone dan mengetik kepada sang istri. Mengabari kalau aku akan naik pesawat sebentar lagi.

“Eh Kak Bas udah nikah ya?” Alex tampak tak sengaja melihat layar handphoneku.
“Udah” jawabku pelan menahan geli.
“Yaaah, aku batal ngecengin deh, kirain bakal ada eye candy selama di Bangkok nanti…” kesal Alex sambil menenteng branded bagnya.

Tanpa menunggu apa-apa lagi Alex, Nta dan Yandi berjalan menuju boarding gate. Dan aku hanya bisa tertawa tanpa suara.

“Geli sumpah” bisikku ke Stephanie.
“Homophobic lo” balasnya, sambil berbisik langsung ke telingaku.
“Geli, bukan homophobic”
“Ya apa lah namanya” tawanya.

Aku ikut tertawa dan kami berdua berjalan ke arah boarding gate. Somehow aku menikmati suasana yang penuh warna ini. Dan sekarang aku menemukan jawaban atas pertanyaan tadi pagi. Pertanyaan atas Listya. Apa yang berubah dari dirinya.

Jawabannya mendadak terlihat dengan jelas. Dia tidak berubah. Dia masih Listya yang sama. Dunia yang berubah. Aku yang berubah. Lingkungan berubah. Dunia maju secara alami dan semua berubah. Kecuali Listya yang masih disitu-situ saja, dengan semua hal yang baku dan tak bergerak.

Dan untuk jadi satu keluarga yang bertumbuh, kita berdua harus berubah bersama-sama. Aku beradaptasi. Lingkunganku beradaptasi. Dia tidak.

Ya, dia tidak.

--------------------

BERSAMBUNG
yaaahh ga bisa rikues dipanjangin dikit ya. hahaha...
makasiy eniwei, suhu @racebannon
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd