Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 8

--------------------
--------------------

eco-dr10.jpg

“Udah beres?” tanya Listya di kursi penumpang.
“Bentar”

Aku mengetik beberapa huruf, merangkainya menjadi kalimat yang akan kusampaikan kepada account managernya klien. Ada beberapa perubahan ini dan itu, teknis ini dan itu, yang harus aku satukan semua dan aku simpulkan lalu kusampaikan kepada tim produksi. Setelah itu, aku mengambil screenshot layar handphoneku dan meneruskan gambar tangkapan itu ke Stephanie.

“Huff”
“Udah?”
“Udah” jawabku dengan senyum agak terpaksa. Kerjaan lagi gila-gilanya. Tadinya aku mau memanfaatkan weekend ini dengan membereskan report ke klien dan menyusun powerpoint untuk meeting internal senin nanti.

Tapi sekarang aku ada di parkiran salah satu hotel bintang lima di Jakarta Pusat. Tempat dimana resepsi pernikahan Anthony dan tunangannya sedang berlangsung.

“Yuk turun” jawabku sambil merapihkan pakaian resmiku malam itu. Suit and tie, pernikahan keluarga chinese kaya yang rajin ke gereja, benar-benar budaya yang berbeda dengan keluargaku.

Listya merapihkan dressnya, melirik sebentar ke kaca spion untuk memeriksa dandanannya, lalu dia dan aku pun turun dari mobil. Kami berdua berjalan ke arah lobby. Sebentar lagi, kami akan memasuki dunia yang agak asing untuk kami.

--------------------

cockta11.jpg

Aku dan Listya sudah bersalaman dan berfoto dengan para mempelai. Di sudut mataku, Listya sedang mengobrol dengan Dea dan beberapa rekan kerja perempuan yang ia kenal. Mataku bergerak kesana kemari, mencoba untuk menahan rasa yang dari tadi memberontak di mulutku.

Tak tahan, akhirnya kakiku melangkah ke arah istriku.

“Sayang”
“Ya?”
“Aku mau ngerokok di luar ya” bisikku.
“Jangan lama-lama”
“Sure”

Dengan langkah pasti dan agak bersemangat, aku berjalan ke arah luar. Aku menuju lift yang akan membawaku ke lantai outdoor. Biasanya kita bisa merokok di pool deck, dekat kolam renang.

Hatiku yang dipenuhi oleh pekerjaan sepertinya berasa agak senang, karena bisa merokok. Tadi di rumah seharian dipenuhi oleh layar laptop, walaupun hari sabtu. Karena itu, aku melewatkan banyak kesempatan merokok di rumah.

Lift membawaku ke atas. Tiga lantai ke atas. Dimana disana ada sebuah lantai podium dengan kolam renang yang luas, restoran, dan pool deck yang anggun, tempat aku bisa menyalakan rokok dan menenangkan diriku sejenak dengan nikotin.

Pintu lift terbuka dan suasana agak sepi. Maklum, keramaian adanya di lantai bawah. Aku berjalan ke arah pool deck dan menghirup nafas lega.

Tanpa banyak gerakan, aku mengambil kotak rokok dari saku jasku dan mulai mengambil sebatang. Rokok mulai kubakar dan aku menghisapnya dalam-dalam.

“Cowok, bagi rokoknya dong”
“Eh?”

Aku membalikkan badanku dan aku melihat sosok yang familiar. Wanita tionghoa berkulit putih bersinar, dengan rambut seleher, berwarna hitam legam. Dress yang unik, bermotif vintage dengan design modern menghiasi badannya. Tidak terbuka sama sekali, tapi memberikan kesan yang menarik. Riasannya ringan, tidak berlebihan, tapi sungguh enak dipandang mata.

“Ngapain lo disini?” tanyaku bingung, dan langsung duduk di sebelahnya, di sebuah lounge chair di sisi kolam renang.

“Ngerokok”
“Kok lo gak keliatan dari tadi?”
“Udah lama di dalem, terus rasanya gatel tenggorokan, kesini deh”
“Belom ketemu tadi berarti kita” lanjutku.

“Iya, gue kayaknya udah agak lama disini” dia memeriksan handphonenya dengan nada cuek.
“Martin gak dateng ya?”
“Iya, padahal gue inget banget katanya si Anthony sampe gemeteran ngasih undangan ke dia” sambung Stephanie.

“Ya agak aneh aja sih kalo dia dateng. Anthony kan itungannya bukan siapa-siapa di kantor” jawabku sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, aku melihat raut wajah yang agak sendu di muka Stephanie. “Kenapa lo?”

“Gue? Gapapa”
“Katanya gapapanya cewek itu berarti apa-apa” sambungku.
“Kalo emang gue gapapa beneran gimana?”
“Ya bagus” jawabku asal. “Turut seneng”
“Hahaha” tawanya terdengar garing. Entah kenapa dia tidak terlihat hidup seperti biasanya. Ya, aku tahu dia orangnya agak melankolis dan juga berusaha begitu keras untuk bisa fit-in ke society.

“Tapi kalo lo emang kenapa napa, lo bisa cerita” sambungku.
“Thanks”

Kami berdua diam, dan seperti ada suasana awkward yang aneh antara diriku dan dirinya. Biasanya tak seperti ini. Biasanya kami berdua bicara dengan ringan, soal urusan pekerjaan maupun urusan sehari-hari.

Dia menarik nafas panjang dan menghembuskan asap rokok.

“I hate wedding” lanjutnya.
“Why? Any particular reason?”
“Gue pengen nikah, but I hate wedding that much” dia tampak tersenyum getir.

“Why?” tanyaku, agak interogeratif.
“Because I want to marry so much, jadi kalo setiap ada pernikahan yang gue datengin, gue berasa mati pelan-pelan”
“Gue agak paham sama pemikiran lo” sambungku.
“Masa?”

“Gue kan nikah agak telat ya, umur 32, tiga tahun lalu”
“Telat dari mana sih?” balasnya.
“Di mata keluarga, ya telat.. Gue datang dari keluarga kelas menengah biasa yang menjadikan pernikahan itu pencapaian hidup” senyumku.

“Oh, paham”
“Jadi, setiap pernikahan keluarga, selalu ada tekanan untuk gue dan Listya nikah cepet, apalagi kita pacarannya termasuk lama”
“Gue juga dulu pacaran lama” balas Stephanie “Tapi putus. Haha”

“Yah….”
“Gue dulu digadang-gadang bakal cepet nikah sama keluarga gue. Dan lo tau lah ya cerita masa remaja gue, orang suka muji gue sekarang-sekarang, dibilang kayak angsa, kecilnya jelek gedenya cantik….. Dan ngarep gue nikah cepet sama mantan gue” sambung Stephanie. “Tapi kayaknya gue masih si anak itik buruk rupa itu di dalam hati gue…. Gue masih suka ngerasa inferior, apalagi di acara-acara kayak gini”

“Harusnya kalo elu sih, gimana ya…”
“Gimana apa?”
“Lo harusnya bisa cari cowok yang cocok buat elu… Kerjaan lo bagus, pendidikan lo bagus, lo juga good looking”
“Nope.. Gue kayaknya masih si anak cewek culun itu di dalam sini” dia menunjuk ke arah dadanya dan dia membakar sebarang rokok lagi.

“Gue pengen banget nikah dulu Bas, sama mantan gue… Haha.. Dan sampe sekarang gue masih pengen banget nikah, pengen punya keluarga, anak, sesuatu yang gue impiin dari jaman kecil dulu… Tapi makin kesini, makin susah kayaknya…. Gue makin selektif sama cowok, karena gak mau dapet cowok yang gak kayak mantan gue, gue juga bikin cowok-cowok takut karena kerjaan gue bagus dan gue lulusan sekolah bagus. Cowok-cowok yang gue kenal rata-rata pingin cewek yang biasa aja, yang penting nurut dan ga banyak protes sama mereka”

“….” Aku terdiam, karena kalimat Stephanie tadi terdengar begitu dalam.
“Gue makin susah buat cari pasangan Bas, cowok-cowok takut sama gue” lanjutnya.
“Gue gak takut”
“Ya kan elo beda, lo temen kantor, dan lo juga udah married”
“Maksud gue, andai gue belom nikah dan masih single, gue gak akan takut ngedeketin lo”
“Serius?”
“Serius”

“Jadi kalo lu single, lu mau pacaran sama gue?”
“Mau”

Dan mendadak kami berdua diam. Kami saling menatap. Rasanya aneh pembicaraan itu sampai ke titik ini. Terus terang aku tidak ada maksud apa-apa. Tapi rasanya semua kalimat-kalimat kami berdua saling melengkapi.

“Lo gila” bisik Stephanie.

“Eh?” mendadak handphoneku bergetar. Aku mengangkat handphone yang bergetar itu.

“Ya sayang?” aku mengangkat telpon dari Listya.
“Kamu dimana?”
“Di lantai 5, di deket kolam renang”
“Lagi ngerokok ya?”
“Iya, sama Stephanie disini…..” jawabku.

“Eh, aku keatas ya nyusul” suara istriku terdengar antusias.
“Oke, kesini aja. Di pinggir kolam renang ya, ada kursi-kursi gitu”
“Bye”
“Bye”

Aku menatap ke wajah Stephanie. Raut wajahnya tampak berubah menjadi dingin.

“Gue pulang ya”
“Hah? Kenapa?”
“Gapapa” jawabnya pelan dengan nada datar.
“Kok? Bini gue suka sama elu, suka ngeliatin IG elu, jadi dia pasti pengen ngobrol sama elo”

“Jadi yang waktu itu follow gue, istri lo?” tanya Stephanie.
“Iya”
“Oh oke…” Stephanie beranjak. Dia mematikan rokoknya dengan high heels nya. “Gue pulang ya, udah lama juga disini”

“Steph…”
“Bye”

Dia beranjak dengan langkah cepat, seperti berpacu dengan waktu. Aku hanya bisa terdiam kebingungan. Aku tidak bisa memahami apa yang terjadi tadi. Rasanya begitu gamang dan aneh. Dari kejauhan aku bisa melihat istriku berpapasan dengan Stephanie. Tapi tak ada satupun sapa yang terucap.

Aneh.

Malam ini sungguh aneh.

-------------------

BERSAMBUNG
fix, stephanie jealous
 
well, this story reminds me to someone who once said to me:

"Emang klo dua orang dewasa yg sudah sama2 nyaman, masih perlu utk berkata 'will u be my lover?'.."

"Like two of us right now.."

Seketika itu gw kek org bego, yg ga nyangka kata2 itu keluar dr seseorang yg bisa dibilang public figure hasil pemilihan putri2an.

*Padahal gw cm ngrasa doi itu tmn yg enak diajak ngobrol krn 'berwawasan luas', and at the same time, gw juga punya gebetan*

Makin penasaran sm alur ceritanya suhu @racebannon

:mantap::mantap::mantap:
 
PERJUMPAAN – 9

--------------------
--------------------

desain10.jpg

Aku baru saja sampai di rumah dan duduk di kursi makan. Listya sedang sedikit membereskan sesuatu dan kami masih berpakaian resmi.

“Tadi itu Stephanie kan ya?” tanya istrku, mengkonfirmasi sekali lagi.
“Iya”
“Kenapa tadi dia gak bales ya waktu kusapa?”
“Tadi kayaknya kamu udah nanya deh ke aku…. Buru-buru kali”
“Kamu yakin dia gak kenapa-napa?”
“Harusnya sih gapapa” jawabku sambil menatap ke arah handphone.

Tidak ada pesan dari siapapun disana, dan aku juga tidak mengirim pesan ke siapa-siapa. Jadi melihat ke layar handphoneku adalah pekerjaan yang sia-sia belaka.

“Jangan-jangan pas kamu ngobrol di atas kamu ngobrolin sesuatu yang bikin dia tersinggung”
“Enggak kok, biasa aja, ngobrolin hal-hal biasa dan kerjaan” balasku. Aku menarik nafas seakan tidak percaya melihat reaksi aneh Stephanie tadi. Apakah reaksinya wajar? Atau berlebihan? Entahlah. Aku tidak tahu.

Aku mencoba menghilangkan pikiran yang aneh-aneh dan berusaha fokus pada Listya yang sedang memeriksa lemari es, masih dengan dress merahnya yang cantik. Dari tadi dia berkeliaran di dapur dengan menggunakan pakaian yang indah itu. pakaian yang membuatku mencoba melupakan dialog aneh dengan Stephanie.

“Sayang” bisikku.
“Ya?”
“Sini dong”
“Bentar, kita besok kayaknya harus beli susu lagi, yang ini udah kadaluarsa ternyata”
“Ya besok aja diceknya, sekarang udah malem”

“Kenapa?” Listya akhirnya menutup pintu lemari es dan mendekat kepadaku. Aku meraih pinggangnya dan mencoba sedikit berimprovisasi. Kududukkan dia di pangkuanku dan aku mulai mencium pundaknya.

“Kamu pengen ya?” tawanya kecil. Aku mengangguk. “Nanti ya, mandi dulu”
“Sekarang aja” bisikku lagi.
“Kita baru dari luar, kotor”
“Kan covid udah lewat wabahnya”
“Iya tapi kita abis dari luar, aku mandi dulu ya, cepet kok”

Aku menyerah, mengangguk. Aku berharap kita bisa spontan seperti jaman kita baru menikah dulu. Atau ketika kita berdua masih berpacaran, spontan, sembunyi-sembunyi. Semuanya terasa exciting pada waktu itu.

“Sekali-kali yuk, gak di kamar” bisikku, sambil menggenggam tangannya.
“Aduh… Bentar ya, aku mandi dulu” Dia mencoba melepas tanganku. “Kalo kamu males mandi gapapa sih, bentar kok”

“Oke” jawabku pelan sambil menarik nafas panjang lagi, dan membiarkan tangannya lewat dari genggamanku. Dia tampaknya masih ingin melakukan sedikit kegiatan dulu di dapur, dan tak lama kemudian, setelah semua tampak beres, dia berjalan keatas dengan agak buru-buru dan tergopoh gopoh.

Ini harusnya jadi kegiatan intim. Dia terlihat cantik malam ini dengan dress itu. aku ingin melucuti pakaiannya disini, dan bercinta disini. Tapi dia tampaknya sudah menjadwalkan kegiatan seks kami dengan teratur. Semuanya menjadi seperti kewajiban yang tidak menyenangkan.

Aku sudah mendengar suara air mengalir. Aku menyusul ke atas.

Tanpa banyak bicara aku melepas jasku dan duduk di kasur, sambil menunggu apa yang akan keluar dari kamar mandi. Dan ternyata, harapanku salah. Istriku keluar dari kamar mandi dengan celana pendek dan t-shirt milikku. Aku merasa bodoh karena aku mengharapkan dia memakai salah satu dari lingerie yang teronggok di lemari. Dulu ia rajin memakainya.

“Sayang, gak pengen sekali-kali pake lingerie yang dulu-dulu?” tanyaku. Badannya masih bagus, masih pantas dan cocok memakai lingerie-lingerie itu.

“Aduh, ribet, nanti aja ya kalo kita santai”

Bukannya sekarang udah santai ya? Sekarang kan di rumah? Gumamku dalam hati.

“Sayang lho kalo ga dipake”
“Hehehe, nanti ya” jawabnya dengan ringan. Rambutnya masih basah dan dia tidak sedikitpun terpikir untuk memakai hair dryer atau memakai make-up sedikitpun. Ya, dia cantik, amat cantik, tapi make up dan dress nya yang tadi membuatku makin ingin bercinta dengannya malam ini.

Dan akhirnya, malam ini pun jadi sama seperti malam-malam sebelumnya. Malam-malam penuh kewajiban dan aturan. Aku hanya bisa menerima dirinya yang menjadikan kegiatan intim dan kemesraan ini sebagai kegiatan terjadwal yang baku.

Dengan terpaksa, aku mematikan imajinasiku yang sepertinya mulai bergeser ke sosok lain. Aku mencoba fokus walau sudah tidak excited lagi.

--------------------
--------------------

wpp-of10.jpg

“Loh, ibu kalian mana?” aku bingung karena tidak menemukan Stephanie di mejanya di hari senin itu.

“Itu Mas, dia hari ini ambil jadwal WFH” jawab seseorang anak di tim produksi.
“Iya Mbak Stef semalem ngasih tau kita semua, katanya mau WFH dulu”

“Ooh… Yaudah” aku geleng-geleng kepala. Harusnya hari ini aku meeting berdua dengan dirinya. Ada sedikit hal-hal yang harus kita luruskan sebelum kita membrief sutradara dan timnya.

Aku mengalihkan perhatianku ke handphone dan mulai mengirimkan pesan singkat kepadanya.

“Lo WFH? Bisa v-con gak? Ada beberapa yang harus gue sampein sebelum kita brief sutradara rabu besok” kulakukan ini sambil berjalan ke arah work café untuk mengambil kopi gratis jatah internal hari ini.

Belum ada balasan. Yasudah, aku mencoba untuk berlalu sambil menunggu notifikasi lainnya.

--------------------

apt10.jpg

Sudah jam 6 sore dan belum ada balasan dari Stephanie Hartanto. Dan gobloknya sekarang aku sedang berada di parkiran gedung apartemen miliknya. Whatsapp tidak dibalas, dan telpon juga tadi tidak diangkat.

Dengan langkah berat aku mencoba turun dari mobil sambil menggenggam sebuah map besar yang berisi data-data yang harusnya hari ini kami berdua compile. Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk berjalan ke arah lobby.

Aku menyapa pak satpam dan mencoba menjelaskan sesuatu.

“Sore Pak”
“Sore, ada perlu apa Pak?”
“Iya saya mau nyerahin dokumen ini ke penghuni”
“Atas nama siapa Pak? Unit berapa?”
“Waduh unitnya saya gak tau, tapi atas nama Stephanie Hartanto” jawabku.

“Pemilik atau penyewa”
“Seinget saya sih dia nyewa ya disini”
“Bapak dengan?”
“Baskara”

“Baik Pak Baskara, tunggu sebentar”

Pak Satpam tampak mengambil gagang interkom dan dia menekan beberapa tombol.

“Sore, dengan Ibu Stephanie” dia tampak dia sebentar. “Aah iya ini ada yang mau serahkan dokumen… Oh, atas nama Pak Baskara…. Oh iya, baik Bu” dia lantas menutup telponnya.

“Katanya dititipkan disini aja Pak”
“Oh? Hmm… Oke…. Gak bisa naik ke atas ya Pak?”
“Kalau gak diizinin sama penghuni gak boleh Pak” jawabnya tegas.
“Yasudah Pak, dia mau ambil kan ya? Saya mau tunggu dibawah aja” balasku.

“Oke Pak”

Aku menarik nafas panjang dan lantas duduk di sofa yang ada di lobby itu. Entah kenapa aku nekat seperti ini. Pikiranku bercabang kemana-mana dan diamnya Stephanie setelah resepsi pernikahan Anthony membuat semuanya terasa tidak nyaman.

Kenapa dia bicara seperti itu?

Kenapa dia menghilang hari ini. Semuanya terasa aneh karena pembicaraan malam itu. Dengan penuh harap aku menunggu Stephanie turun, walau dia mungkin tidak ingin bertemu.

Aku melihat ke arah jam tangan dan waktu berjalan begitu pelan. Aku mengambil handphoneku dan mengirim pesan singkat yang kurasa aneh ke istriku.

“Aku lembur malem ini, gak usah ditungguin ya makannya” dan lantas menyimpan kembali handphoneku. Aku menarik nafas panjang dan menatap ke arah pintu masuk yang mengarah ke lift. Tak lama kemudian, tidak muncul apapun.

Dan aku menunggu dan terus menunggu, tanpa kepastian.

--------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd