Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Aku bingung, apa yang sedang terjadi. Awalnya aku dikontak oleh Mas Novian untuk bertemu dan memperlihatkan bukti-bukti valid mengenai penalty Yassar di flashdisk yang telah dipersiapkannya. Begitu aku mengetahui Hasna juga turut diundang, maka langsung kuputuskan untuk mengiyakan tawarannya. Waktu itu keselamatan Hasna menjadi prioritasku. Karena aku khawatir dan tak ingin lagi jika Hasna diperlakukan semena-mena oleh dirinya.

Hasna mulai menengokku dan hendak bangkit menuju ke arahku. Namun, tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Mas Novian.

“Hey! Mau ke mana kamu lonteku sayang?” ucapnya sembari mengelus-ngelus rambut Hasna.

Hasna badannya gemetar, campur aduk, antara trauma dan ingin melawan. Tapi aku paham, psikisnya belum cukup mampu untuk melawan, rasa takut dan trauma-nya masih mendominasi.

Sedangkan ketiga pria bertopeng itu perlahan mendekatiku. Napasku sesak, jantungku berdegup kencang, perlahan kakiku mundur sembari melirik-lirik sesuatu yang bisa kujadikan senjata. Ketika beberapa langkah lagi dekat denganku, Mas Novian berteriak.

“Hey bajingan! Itu punya saya! Perempuan itu terlalu mahal untuk bajingan seperti kalian.”

Di momen itu aku mengambil napas dalam-dalam bersamaan dengan menyiapkan nyali. Aku tak kaget dengan ucapan Mas Novian, karena setidaknya pernah aku analisa sebelumnya. Otakku merespons dengan cepat, ini adalah rencana pemerkosaan.

Pria bertopeng itu akhirnya mengalihkan pandangan kepada Hasna yang sedang tertunduk lemas dan menangis sesenggukan, bersamaan dengan Mas Novian yang menghampiriku.

“Hahahaha halo Bu Inne. Sudah sangat lama saya menunggu momen ini. Mau tak mau kali ini anda harus nurut sama saya kalau masih sayang sama diri sendiri.”

“Beruntungnya si tengik Yassar bisa mendapatkan anda, saya tak suka dengannya. Cara kerjanya bisa mengancam posisi saya sekarang! Sekarang karirnya perlahan hancur, tak cukup puas di sana, kali ini, anda! Anda yang akan saya hancurkan sebagai kekasihnya!”

Aku tak bisa bergerak lagi, karena badanku sudah mentok ke tembok. Pisau belati tajam milik ajudannya telah menempel di pipiku. Perlahan air mataku mengalir. Kulihat dengan sudut mataku Hasna sedang dijambak rambutnya oleh salah satu dari dua orang yang menghampirinya. Tenggorokanku kering, peluhku bercucuran.

“Ush ush ush… Tak perlu panik gitu sayang, saya tak akan mengasarimu kok, malah akan saya terbangkan ke langit dalam kenikmatan, kekekeke,” ucapnya yang berbicara dekat sekali dengan wajahku.

Mataku meliriknya, ia malah semakin menjadi-jadi, kini tangannya sudah berani membelai-belai pipiku yang halus. Dan yang lebih kurang ajarnya lagi ia mengendus-ngendus leherku yang masih tertutup kerudung.

“Hhmmm aaahhh… Sesuai ekspektasi saya. Harumnya, kelembutan kulitnya, sempurna sekali anda sayang. Pantas saja Yassar pol-polan, pemicunya sebagus ini, kekekeke.”

Meskipun posisiku terancam, mataku sesekali memperhatikan Hasna. Ia berontak karena tangannya akan diikat agar tak bisa melawan. Mas Novian yang menyadari itu pun berucap.

“Apa? Anda merasa kasihan dengan Hasna? Kasihanilah dirimu sendiri, karena anda akan merasakan kenikmatan yang tak tertandingi,” ucapnya seraya mengendus pipiku.

Dengan spontan aku memundurkan wajahku untuk menghindarinya. Namun naas, belati yang menempel di pipi pun semakin menekan ke pipiku yang satunya. Ajudannya hanya terkekeh melihat itu.

Dengan rasa tak ikhlas yang sedalam mungkin, pipiku diendus dan diciumi olehnya. Hatiku remuk, dengkulku mulai gemetar. Air mataku mengalir, meleleh di pipi seakan menghapus noda bibir Mas Novian.

Sedangkan Hasna, tangannya sudah diikat. Kini ia duduk terkulai lemas dengan kancing kemeja yang setengah terbuka memperlihatkan bra yang dipakainya. Aku sungguh merasakan di posisinya. Traumanya tak mampu untuk melawan, yang hanya bisa ia lalukan hanyalah menangis sesenggukan.

“Sudahlah, tak usah menangis sayang. Cukup nikmati saja. Saya tak ingin membuat pipi mulusmu tergores oleh pisau ini,” ucapnya yang kali ini berusaha untuk melumat bibirku.

Dengkulku semakin lemas, kedua tanganku ditarik dan diikat ke atas oleh ajudannya. Badannya yang tinggi besar membuat perlawananku tak ada artinya.

“Buuu! Maafin saya, Bu. Gara-gara saya, Ibu jadi gini…,” ucap Hasna di sela-sela tangisannya.

Ketika aku tengok ke arahnya, bra yang dikenakannya telah terangkat ke atas. Payudaranya terekspos dan jadi santapan para pria bertopeng itu.

Hatiku sakit sekali melihat itu, biadab sekali! Aku tetap menutup rapat bibirku meskipun berkali-kali Mas Novian menciuminya.

Rasa jijik, muak, ingin muntah, menyatu di dalam hatiku. Kurang ajarnya, kini tangan Mas Novian sudah berani memegang bahkan meremas payudaraku. Aku tatap matanya dalam-dalam.

“Enak ya sayang? Enakan mana sama remasan si tengik Yassar? Hahaha,” ucapnya perlahan membuka kancing kemejaku satu persatu.

Aku marah! Emosi! Geram! Tak mampu lagi kukontrol emosi dalam diri.

“Lawan, kamu bisa,” tiba-tiba saja ada yang berbisik padaku.

Dan anehnya setelah bisikan itu, kurasakan badanku dialiri beribu-ribu energi positif. Badanku seperti tersengat listrik dan itu membuat si Ajudan yang mengikat serta memegangi tanganku terpental cukup jauh, begitupun Mas Novian yang sedang berusaha mencopot kancing kemejaku.

Dengan buru-buru aku betulkan kancing baju seraya mengelap bibirku dan meludah berkali-kali ke arah Mas Novian. Tiba-tiba saja badanku tertunduk, bersamaan dengan itu aku lihat ada tangan dengan belati melintas di atas kepalaku dari arah belakang ke depan. What? Am I have auto reflect? Ucapku dalam hati. Tak cukup sampai di sana. Kakiku menendang tangan si ajudan hingga belatinya terpental jauh. Tha’ts cool man! I hit him with bicycle kick! But who’s control me? Who’s control my body?

Aku tertunduk lagi sembari membalikkan badan, aku menghindar dari tendangan Mas Novian, jab dan straight kulancarkan secara bergantian kanan kiri, badanku begitu lincah menghindari serangan dua lelaki itu. Hingga akhirnya kulayangkan dua pukulan uppercut untuk menumbangkan Mas Novian dan ajudannya. Itu di luar nalar, but that was happened!

Ah bodo amat! Apa yang terjadi dengan badanku nanti aja pikirkannya. Sekarang Hasna, aku berlari ke arah Hasna. Ya! Benar! Aku dihadang lagi oleh dua laki-laki bertopeng. Dan terjadi lagi, tubuhku bergerak di luar kendaliku. Akupun tak bisa mendeskripsikannya lebih rinci, aku tidak ahli bela diri seperti Yassar dan Dita. Yang jelas kata Hasna aku seperti memainkan seni bela diri dari Tjimande.

Setelah kedua pria bertopeng itu tumbang, langsung kulepas ikatan Hasna dan merapikan bra-nya, kulihat di payudaranya sudah banyak noda merah bekas cupangan, cubitan, ah lupa lagi aku tak memperhatikannya, lagi pula jijik untuk mengingatnya.

Hasna memelukku dengan erat, aku mengelus punggungnya menenangkannya. Setelah kurasa keadaan Hasna cukup baik, aku mengajaknya untuk segara meninggalkan tempat itu. Kami melangkah terburu-buru. Dan ketika melintasi Mas Novian yang sedang meringis terkulai lemas, dengan rasa kesal dan muak yang memuncak sepatu Docmartku menginjak mukanya seraya berjalan melangkahinya. Seperti biasa dengan cepat kutelepon Codot, awalnya pun aku diantarkan ke tempat Mas Novian oleh ojol aing, Codot. Hehe.

“Dot, jemput ya di jalan X, ditunggu banget, Dot!” ucapku terengah-engah.

“Eh, kenapa, Inn?” tanya Codot panik.

“Udah cepetan sini!”

“Iya-iya 15 menitan.

Aku belari bertuntunan dengan Hasna meninggalkan tempat itu. Aku tak memastikan apakah keempat orang tersebut benar-benar tumbang atau akan bangkit lagi. Yang jelas aku harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Ketika hendak menghindari genangan air, tiba-tiba kepalaku seperti berputar.

“Aduh, Has! Has! Bentar, kepalaku…,” ucapku meringis merasakan pening yang luar biasa hebat.

“Bu! Bu! Ibu kenapa, Bu?” tanya Hasna panik.

“Kepalaku…”

Setelah itu BLANK aku tak ingat apa-apa lagi. Selain tempat terakhir waktu aku merasakan kepalaku pening hebat. Setelah keluar dari bangunan yang katanya akan dijadikan bar & club oleh Mas Novian. Kami menyusuri jalan kecil kumuh yang banyak genangan airnya. Memang daerah itu dikenal dengan lingkungan yang underground.

Kepalaku berat, pandanganku blur. Kukucek mata perlahan.

“Di mana ini?”

“Kita aman, Bu. Kita udah ada di mobil Mas Codot,” ucap Hasna.

“Codotnya mana, Has?” tanyaku celingak-celinguk.

“Masuk ke bangunan yang tadi, Bu, saya disuruh nungguin Ibu di sini sama Mas Codot.”

“Codot sendiri?”

“Ada temennya berdua pake motor.”

Dengan emosi yang masih memuncak, dan dengan kepercayaan diri penuh. Aku memutuskan untuk kembali ke bangunan.

“Bu! Bu! Mau ke mana? Tunggu!” ucap Hasna yang ikut turun juga dari mobil dan menyusulku.

Sekitar 10 menitan aku pingsan, kata Hasna Codot langsung tiba dan membopongku ke dalam mobilnya. Codot langsung datang dengan dua orang temannya. Setelah Hasna menjelaskan inti ceritanya bagaimana, Codot dan dua kawannya langsung memburu Mas Novian dkk yang hendak kabur.

Benar saja, ketika aku memasuki bangunan setengah jadi itu, Codot sedang memukuli Mas Novian yang sudah babak belur.

“Eh, anjing! Lu cari gua! Lu cari gua nih anjing! Lo liat muka gua anjing!” teriak Codot sembari melayangkan pukulannya ke perut Mas Novian.

Tanpa berkata apa-apa aku langsung menarik Codot, dan menampar wajah Mas Novian dengan keras.

“Dari awal saya udah curiga! Anda berurusan dengan Yassar karena kecurangan! Taik! Cuihhh!” ucapku meludahinya, ia yang sudah bertumpu pada lututnya karena pukulan codot.

Setelah kupandangi wajahnya yang sudah kusut. Kujambak rambutnya. Aku pun mensejajarkan diri dengannya.

“Anda tak hanya berurusan dengan Yassar, kali ini anda pun berurusan dengan saya. Saya tak akan memafkaan anda atas kelakuan yang anda lakukan kepada saya juga Hasna!”

Kulihat kini tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, bibirnya bergetar.

“Jangan sok melas! Saya benci dengan lelaki yang tak bertanggungjawab!”

Kumundurkan badanku, ah sial kakiku gatal! Ujung sepatu Docmartku mendarat dengan sempurna di bagian pelipis kanannya. Dan darah segar mengalir membasahi pipinya. Perlahan kujambak lagi rambutnya memaksa dia untuk berdiri.

“Darah segar yang keluar dari pelipis anda, dan mengalir melewati pipi, anggap saja balasan atas perbuatan anda yang membuat air mata saya juga mengalir melewati pipi saya.”

“Jangan sungkan cari gara-gara dengan saya lagi!” sambungku seraya menampar pipinya.

Semua diam melihatku, aku tak peduli. Yang jelas aku sudah memberikan pelajaran tahap awal kepada si Anjing Novian yang telah kurang ajar menjamah tubuhku.

“Buuu…!!!” ucap Hasna yang masih terisak dan langsung memelukku dari samping seraya berjalan.

“Inn, kenapa gak bilang dari dulu kalau kamu pacarnya Kang Yassar, kan jadinya aku gak enak, Inn,” ucap Codot yang berjalan di sampingku juga.

Aku hanya tertawa.

“Heh udah bangsat, jangan dimatiin!” teriak Codot kepada kedua temannya yang masih menghajar Mas Novian dkk.

“Kan kamunya juga gak inget sama Yassar, Dot. Haha,” balasku.

“Eh inget kok, inget, Inn. Hehe.”

“Emang tau sama Yassar? Pernah ketemu?” tanyaku.

“Hehe, belum sih. Kan panutan saya Cipeng, nah Cipeng tuh sering nyeritain Kang Yassar. Ya intinya gitu lah, Inn. Hehe. Ngerti lah.”

“Ya Cipeng juga yang jadi panutan saya se-segan itu sama Kang Yassar, yo opo meneh kulo, hehe,” sambungnya.

“Hahahaha, makasih, ya, Dot. Aku bingung soalnya harus minta tolong ke siapa lagi.”

“Wah siap sedia pokoke, Inn. Kulo siap membantu wis lah aman.”

“Haha berlebihan.”

“Mas-mas temennya Codot makasih juga, ya! Salam kenal, Inne,” sambungku pada mereka.

Farel dan Wenda, mereka junior Codot. Kira-kira mereka sepantaran dengan Dita. Setelah berbincang ke sana ke mari. Sebagai ucapan terima kasihku kepada Codot dan kawannya yang telah menolong aku dan Hasna. Aku mentraktir mereka di rumah makan yang cukup terkenal di daerah Gondokusuman.

Akhirnya, Codot tahu aku pacar Yassar. Dan itu sedikit membuatnya terkejut. Menurutku berlebihan, tapi gak tahu juga, Yassar di mataku just like a big baby yang selalu kumomong dan nemplok padaku. Ya tapi aku ngerti, pasti ada hal lain yang membuatnya menaruh respek tinggi kepada Yassar. Entahlah itu urusan mereka, meskipun baik Yassar dan Codot sama sekali belum pernah bertemu. Wkwk.

Berkali-kali juga Codot menawarkan diri dan sukarela untuk dimintai bantuan olehku. Yang kutangkap karena ada kaitannya antara Cipeng dan Yassar, itu yang melatarbelakanginya. Namun, dibalik itu semua aku yakin Codot melakukannya dengan tulus. Karena kutahu, di dunia mereka rasa persaudaraan dan solidaritasnya bukan main-main.

“Enak ya, Bu. Punya pacar yang karismatik dan disegani,” ucap Hasna setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan mereka.

“Spek gangster ni, Bos. Senggol dong. Hahaha,” jawabku dengan tertawa, dan membuat yang lainnya juga tertawa.

Karenamu, Yas. Itu yang membuatku merasa aman denganmu meskipun kau tak ada di sisiku, tak bersamaku. Kehadiranmu masih bisa kurasakan di energi sekelilingku.

Kami pun akhirnya bergegas. Farel dan Wenda berpamitan padaku. Ia menyalami aku juga Hasna dengan mencium tangan setelah sebelumnya melakukan hal yang sama kepada Codot.

“Salam sama Kang Yassar, Bu,” ucap mereka kompak.

“Okeee, makasih ya kaliaaan… Nih bawa-bawa buat jajan sama beli rokok,” ucapku seraya menyerahkan amplop untuk mereka berdua.

“Eh!” ucap Wenda.

Mereka menengok ke arah Codot, aku paham, aku pun segera mengangguk kepada Codot dan ia pun hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua juniornya.

“Makasih ya, Bu!” ucap Wenda yang menyalamiku lagi.

“Eh salam lagi, hahaha.”

Dan yang membuatku tertawa lagi, Farel ikut-ikutan salam dua kali kepadaku.

“Ini lagi, ikut-ikutan. Hahaha.”

“Hati-hati yaaa kaliaaannn…”

Di sepanjang perjalanan menuju ke rumahku Hasna memelukku dari samping. Sembari aku kuatkan mentalnya. Aku beri semangat agar dia bisa melewati semuanya.

“Ibu sama Pak Yassar gimana?” ucap Hasna.

“Pasti baik-baik aja,” jawabku tersenyum.

“Ibu harus langgeng sama Pak Yassar ya, Bu,” ucap Hasna yang kali ini menangis.

Aku mengerti kenapa ia berkata seperti itu. Rasa bersalahnya yang teramat dalam padaku tak mampu ia sembunyikan.

“Aamiin,” jawabku bersamaan dengan Codot.

“Eh Codot nguping, parah,” sambungku nyeplos agar suasananya tidak melankolis.

“Nggak kok, Mbak. Aku mengaamiinkan Bu Inne sama Kang Yassar biar langgeng,” jawabnya bermaksud berbicara kepada Hasna dengan ekspresi tergagap-gagap.

“Hahahahaha, aamiin.”

Setelah aku sampai di rumah, tak lupa kuselipkan tips cash kepada Codot dengan dalih menitipkan Hasna ke rumahnya agar selamat sampai tujuan.

“Kalo gak diterima, terus Hasna lecet, aku lapor ke Yassar sama Cipeng loh!”

“Aeuh, i-iya atuh makasih, Inn,” jawabnya yang langsung menerima tips dariku.

“Hahahaha.”

“Yaudah hati-hati yaaa…”

11

“Gitu sayaaanggg… Maafin aku yaaa… Aku udah pasrahin hati aku ke kamu sayangnya akuu… Hehehe,” ucap Inne yang bercerita sangat detail padaku.

Inne mengalungkan tangannya ke lengan kiriku, kepalanya tersandar rileks di bahuku.

Sungguh, aku sama sekali tak menyangka dengan ini semua. Kali ini alur semesta sangat tak bisa diprediksi dengan mudah. Semuanya penuh dengan kejutan dan teka-teki. Aku dan Inne telah melewati banyak rintangan. Kulihat dirinya sepercaya itu padaku setelah musibah ini. Dirinya tetap mempercayaiku, tetap berpikir jernih, tetap dewasa. Perempuan cantikku. Cantik paras untuk dinikmati, cantik hati untuk dimiliki. Inne Ingwie Lestari kau akan selalu terpatri dalam sanubari.

Juga kepada Cipeng, kau akan selalu jadi shadow angel-ku. Ia selalu saja terhubung denganku. “Peng, aku hutang budi sama kawanmu, izinka aku untuk menuntaskannya.”

“Yang, kasih kabar ke Codot, kita atur jadwal ngopi gitu,” ucapku pada Inne.

“Ogeyyy… Emang mau ngopi apa?”

“Anggur Kolesom.”

“Ish!” jawabnya mencubit pipiku.

“Kawa-kawa.”

“No!”

“Intisari.”

“Gak!”

“Inne.”

“Nah, sok boleh.”

“Tapi nanti Codotnya nggak ngopi, aku khusus kamu. Jangan macem-macem,” sambungnya.

“Ya yaudah Anggur Kolesom.”

“Zerah!”

“Hahahaha.”

Ah, Inne, sampai kapanpun jika kau terus menjadi Inne aku mau, sampai nanti, sampai mati.

“Hhhmmm… Iiiiiii!!!!” tiba-tiba ia merengek setelah beberapa menit hening.

“Kenapa, ih!?”

“Kesel, ih! Sama ayang!”

“Ih!?”

“Sini cium.”

“Nih…” jawabku sembari mendekatkan pipiku.

“Mwachhh…”

“Ayang ayang,” ia minta dicium balik.

“Kan lagi nyetiiirrr… Nanti nabrak…” jawabku.

“Ih gak mau ah! Ayang! Kesel! Ciuummmm!”

Inne mode bocil, mau tidak mau harus ngalah.😌

Aku pastikan di hadapanku harus kosong, ini jalan tol, Bos. Dan Inne keukeuh masih minta dicium. Hadeeeuuuhhh…

“Mwachhh, mwachhh, mwachhh…”

“Hahahaha makasih sayaaaangg akuuu… Hehe.”

“Eh, sayang. Nanti ada Cipeng nggak?”

“Pasti ada sih, kenapa?”

“Bagus deh, aku pengen ketemu.”

“Pasti ke rumah da dia mah, udah biasa gitu.”

“Udah kek rumah sendiri gitu maksudnya sayang?”

“Iya dari dulu, si ibu kan kalo ke temen deket aku mah suka nganggap ke anak sendiri. Jadi nggak canggung.”

“Hmmm pengen ketemu ibu…,” ucapnya, kali ini agak murung.

“Iya kan nanti ketemu sayang…,” balasku seraya mengelus kepalanya.

Ia mengangguk dan memeluk lengan kiriku sampai tertidur.

Hatiku haru, rasanya bersyukurku selalu kurang, tuhan telah memberikan orang-orang hebat disekelilingku. Dan kini, tuhan mengirimkan perempuan cantik nan manja untuk selalu kujaga sebisaku, semampuku, hingga tua nanti kelak. Jika garis ini sudah Kau guratkan di langit sana, berikan aku kekuatan dalam mengahadapi berbagai cobaannya. Namun, jika Kau hanya sekadar memberikan pelangi yang kemudian pergi, tolonglah berikan aku ketabahan di esok hari.

Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, dia yang terukir. Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, dia yang dapat menuntunku ke jalan-Mu. Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, dia yang akan menemaniku dan merawatmu kelak nanti. Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, dia yang akan membuatkan kopi di pagi hariku. Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, dia yang membuatku sulit menyusun kata bagaimana nanti aku memujinya di hadapanmu. Bu, aku pulang. Kali ini aku yakin, doamu terkabul saat kau minta teman hidup terbaik untukku.






-Erlingga Yassar Derrida (2018).
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd