Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
2

“Iya teh, Dita juga da waktu itu pas ngambil mata kuliah itu dosennya masih si ibu itu,” ucap Dita.

“Oh ya? Iya atuh syukur kalo Bu Ningrum masih ngajar mah, baik banget si ibu itu tuh,” balas Inne sembari merangkul pundak Dita.

Itu percakapan mereka yang kudengar sesaat setelah baru bangun pada jam 7 pagi. Ketika terbangun pintu sudah terbuka setengah. Kulihat di sekeliling kamar sudah rapi, tak ada lagi tumpukan cucian milikku yang ditaruh di atas keranjang di pojokan kamar. Di meja samping ranjang ada roti, segelas air putih dan teh hangat. Kalian sudah menebak tentunya itu ulah siapa, ya siapa lagi kalo bukan Inne yang semalam tidur terlelap begitu nyenyak di pelukanku.

Saking menikmatinya momen semalam yang begitu syahdu hingga hanya kutatap saja sarapan yang telah disiapkan Inne untukku.

“Ih udah banguuun, kebo,” kata Inne mengagetkanku yang tiba-tiba masuk saat aku tengah asyik melamun.

“Eh iya baru bangun, abis jatuh.”

“Jatuh? Di?”

“Jatuh cinta.”

“Sama?”

“Sama-sama,” ucapku tertawa.

“Jatuh cinta sama siapa hah?” balas Inne dengan nada mengancam.

“Ibu guru, hehe.”

“Huuu, minum dulu minum duluuu,” ucap Inne meraih gelas yang kemudian diberikan padaku.

Langsung kuminum tanpa basa-basi memberikan kesegaran pada tenggorokan yang kering. Kulihat Inne menatapku dengan teduh seraya tersenyum, membuat jantungku berpacu di pagi hari yang indah ini. Dalam hati aku berucap “Terima kasih Tuhan, telah memberikan pagi yang begitu membuatku berbunga-bunga”.

Kutatap balik Inne yang sedang menatapku, bibirnya semakin merekah tersenyum, akupun tersenyum dengan mengalihkan pandanganku. Tak kuat rasanya lama-lama menatap mata Inne waktu itu.

Tiba-tiba Inne memanyunkan bibirnya seraya mengangkat alisnya, sungguh itu adalah ekspresi tergemas Inne yang baru kusadari. Aku sedikit tertawa. Inne tidak, malah tetap seperti itu. Kutangkap secara naluri itu adalah sebuah kode. Melihatku yang kikuk, Inne paham. Ia mendekat. Hanya satu pikiranku saat itu, bodo amat. Langsung kukecup bibirnya dengan lembut.

“Cuuuppp…”

Tanganku secara reflek mengelus kening dan rambutnya yang waktu itu dikuncir ke belakang membiarkan lehernya yang bening terlihat bebas olehku. Atau mungkin dia sengaja menguncir rambutnya karena sudah merapikan kamarku hehe.

“Lagi…,” ucap Inne.

“Mwaahhh…”

Kini Inne dengan sengaja malah melumat bibirku, kami berdua pun tertawa karena itu. Inne megecup keningku, pipi, dan bibirku sekali lagi.

”Ehhh…, ehhh…, maaf, Teh. Gak liat kok, maaf gak ngetok pintu dulu,” ucap Dita kaget melihat Inne yang sedang mengecupku dan tangannya berada di kedua pipiku.

Aku dan Inne saling berpandangan dan tak kuat menahan tawa. Karena malu Inne menelusupkan wajahnya di leherku dan tertawa di sana. Aku hanya tertawa dan bingung harus berbuat apa. Tapi seperti biasa Inne berinisiatif untuk mencairkan suasana, rasanya itu sudah menjadi soft skill yang dimilikinya.

“Diiiittt, sini sayang masuk aja masuuukkk,” ucap Inne setengah berteriak dan berjalan menghampiri Dita yang sedang duduk di depan pintu kamarnya.

Aku dengar mereka berbincang sebentar lalu tertawa sembari memasuki kamarku, mereka berjalan saling berangkulan masih dengan sisa tawanya. Tak kulihat lagi ekspresi canggung Dita yang tadi, ah benar-benar Inne bisa merubah suasana dengan cepat. Itu adalah salah satu dari beribu-ribu hal yang kukagumi darinya.

“A, mau, A. Aaa…,” ucap Dita menghampiriku yang sedang melahap roti dan ia meminta disuapi.

“Nih…, sini duduk,” ucapku memotong roti dan menyuapinya.

Kulirik Inne hanya tersenyum melihat tingkah Dita yang seperti itu lalu menghampirinya karena melihat coklat yang menempel di pinggiran bibirnya.

“Ish yang bener dong sayang makannya,” ucap Inne sembari melap bibir Dita dengan tisu.

“Hehe,” ucap Dita langsung memeluk pinggang Inne yang duduk di sampingku.

“Yang mandi, gih! Kita belanja bulanan, yuk! Sekalian jalan-jalan mumpung libur,” ucap Inne padaku.

“Udah, ih! Tadi kan sebelum nyari sarapan sama Teteh, udah mandi,” balas Dita yang mengira ucapan Inne untuknya.

“Hahaha, itu ke Aa, bukan ke kamu,” jawab Inne dengan tertawa sembari memukul pelan lenganku.

Aku setengah tertawa menahan kendali agar ketawa laknatku tidak keluar.

“Oh, hahaha. Ih! Maluuu…,” ucap Dita yang semakin menelusupkan wajahnya ke pinggang Inne.

Hari itu Inne memang mendapatkan jatah libur dari sekolahnya setelah melakukan seminar workshop selama seminggu lebih. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil cuti sehari setelah mempertimbangkannya semalam dengan Inne. Entah karena terbawa suasana dan emosi, yang kusadar semalam Inne sedikit mendesak dan membujukku untuk mengambil cuti. Inne begitu cekatan menghitung jatah cutiku, ia memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang risiko dan keuntungan jika aku mengambil cuti di hari-hari tertentu.

Karena akupun rindu menghabiskan hari dengannya setelah beberapa lama tidak bertemu, kuserahkan saja semuanya pada Inne. Aku hanya mendengarkan saja pertimbangan Inne mengenai jatah cuti yang kuambil.

“Gih! Ih! Mandiii…,” ucap Inne mengacak-ngacak rambutku.

“Hahaha. Aa pasrah gitu, ih!” kata Dita yang melihatnya.

“Iyaaa, ini mau,” jawabku.

“Mau apa?” balas Inne.

“Mbak Inne,” ucapku nyengir seraya nyelonong ke kamar mandi.

Inne tersenyum menatapku dengan tatapan mata yang tajam, sedangkan Dita masih saja ngedusel di pinggang Inne.

“Tetehnya mau ngga?” ucap Dita pada Inne.

“Mau, tapi nanti kalo udah mandi,” jawab Inne.

“Ah tadi aja Aa-nya belum mandi udah dicium-cium,” balas Dita sembari menutup mukanya.

“Heh!” ucap Inne yang langsung perang gelitik dengan Inne di kasurku.

“Iya ya, Dit. Mau-mau tapi malu,” ucapku.

“Dieeemmm…!!!” ucap Inne.

Di kamar mandi kembali aku mengingat runtutan kejadian yang dimana sangat bersyukur sekali bisa sampai di titik ini. Seperti merasakan kehangatan keluarga di perantauan. Dibersamai oleh orang-orang baik. Dan yang lebih lagi, saat itu aku merasa telah mempunyai Inne dan Dita yang harus kujaga bila air matanya mengalir di pipi mereka.

Inne, perempuan yang hadir di dalam hidupku, yang semalam telah mengutarakan perasaan yang sesungguhnya padaku. Yang semua tingkah lakunya selalu terbayang di kepalaku. Senyumnya, tatapan matanya, manjanya, dan yang jelas Inne-nya yang selalu kubutuhkan.

Dita, perempuan lugu, Neng-Neng Sunda yang harus aku jaga, yang jelas aku memiliki tanggung jawab lebih padanya. Aku dan Inne sepemikiran dan bersepakat setelah kedua orangtuanya menitipkan Dita padaku dan Inne. Inne menganggapnya kami adalah orang yang dipercaya dan diberi amanah untuk menjaga Dita di perantauan. Nampaknya Inne tak main-main dengan masalah kepercayaan.

Melihat keakraban mereka dari hari ke hari rasanya semakin tak tega bila harus hancur karena suatu hal. Mereka adalah salah satu kebahagiaan dan ketenangan hatiku. Mohon maaf, jangan ganggu.

3

Di sepanjang perjalanan menuju Plaza Ambarrukmo kami tak henti-hentinya tertawa dalam perbincangan yang hangat. Sesekali aku menimpali mereka, karena harus fokus menyetir mobil di tengah-tengah kemacetan yang begitu membagongkan. Antara kesal, sayang, cinta, seperti rasa cintaku pada Manchester United dengan pengorbanan yang begitu tinggi. Rasanya tetap menyenangkan apabila ada Inne di sampingku.

“Aa sama Teteh gimana sih pertama ketemunya?” ucap Dita nyelip di antara kursi stirku dan kursi Inne.

“Hahaha lucu ya, Yang?” kata Inne menatapku.

Aku mengangguk dan tertawa yang kemudian seperti biasa Inne memukul lengan kiriku dengan lembut.

Inne bercerita dengan detail dan sesekali tertawa, begitupun aku juga yang mendengarkannya.

“Ya sampe akhirnya manusia satu ini naksir deh sama Teteh,” ucap Inne menutup ceritanya seraya melirik ke arahku.

“Gara-gara anak kecil yang di lampu merah,” kataku.

“Hah?” balas Inne kebingungan.

“Iya yang itu…”

“Yang mana sih?” kata Inne yang masih belum ngeuh.

“Oh iya ya yang itu hahaha,” ucap Inne yang kemudian menyadari maksud ucapanku.

“Ih Aa sama Teteh doang yang ngerti, aku ngga diajak ketawa,” protes Dita.

“Sssttt anak kecil gak boleh tau,” kata Inne.

“Ihhhh, Tetehhh…,” ucap Dita merengek yang kemudian dipeluk Inne.

***

Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Jalanan yang begitu macet setidaknya bisa dialihkan dengan perbincangan yang menyenangkan. Gestur Inne dan Dita begitu melekat di ingatanku ketika sedang berbincang maupun sedang berusaha menggodaku.

Saat sedang berjalan di Mall, dengan reflek Inne langsung menggandeng tanganku. Kulihat Dita sedang sibuk dengan ponselnya.

“Itu Dita,” ucapku berbisik pada Inne.

Inne langsung memahaminya.

“Iya nanti, pengen gandeng kamu dulu,” ucap Inne.

“Neng, sini,” ucapku yang menyadari bahwa Dita terlalu sibuk dengan ponselnya sehingga ia tertinggal agak jauh di belakang aku dan Inne.

Dita menoleh kemudian setengah berlari menghampiriku dan Dita.

“Jangan nunduk mulu sayang…,” ucap Inne pada Dita.

“Hehe, iya, Teh. Lagi nyimak group tadi,” balas Dita.

Tangan kiri Inne langsung meraih tangan Dita untuk memeganginya, sedangkan tangan kanannya masih merangkul tanganku.

“Udah, adil,” ucap Inne tersenyum ke arahku.

“Pinterrrr…,” balasku seraya tersenyum mengangkat alis.

“Ojelasss, pacar siapa duluuu,” kata Inne mengedipkan matanya sesaat sebelum melepaskan rangkulannya dan langsung berjalan dengan Dita di depanku.

“Yuk!” ajak Inne pada Dita.

Dita hanya mengangguk karena masih sibuk mengecek informasi di group chat WhatsApp.

Aku hanya tersenyum dan mengikutinya dari belakang. Seketika mode siaga kupasang untuk menjaga kedua perempuanku. Mataku bagai radar yang mengawasi dari segala arah. Tak sedikit mata-mata jelalatan yang memandangi mereka berdua. Tak hanya laki-laki saja bahkan sampai ibu-ibu pun terpana melihat Inne dan Dita.

Selain aku pernah diberi kepercayaan sebagai ketua divisi tempur oleh seniorku dulu di geng, aku teringat bahwa Dita juga seorang pemegang sibuk hitam karate setelah tahu dari Inne. Tetap saja, mereka sekarang dibawah pengawasanku, bukan maksud apa-apa. Rasanya sebagai lelaki aku harus bisa lebih memberikan perlindungan dan rasa aman pada mereka.

Setelah berkeliling membeli ini dan itu, akhirnya Inne memutuskan untuk membeli bobba terlebih dahulu. Seperti biasa Inne yang mengurus semua keinginanku, karena ia sudah paham seleraku. Hal ini yang merasa aku diperlakukan spesial pake telor olehnya. Sifat mengayomi dan keibuannya yang mampu membuatku luluh. Apalagi dengan Dita, dengan sifat Inne yang seperti itu, makin jadi sifat-sifat manjanya.

Namun, Inne tak pernah mengeluh sama sekali, ketulusannya begitu terpancar dan terasa oleh kita yang diperlakukannya.

Hari itu, full quality time aku Inne dan Dita. Yang dimana rasa kekeluargaan di antara kami semakin terjalin. Pemain bintangnya ya kalian sudah pasti menebak siapa. Yang mampu menyeimbangkan porsinya antara padaku dan Dita. Yang kutahu membagi perhatian itu sangat sulit. Dan ia mampu menyeimbangkannya. Dita sesekali menggelayut menggandeng tanganku ketika capek jalan ke sana ke mari karena Inne sedang mencari keperluanku, termasuk celana dalam hahahaha. Kadang Inne menyuruh Dita untuk bersamaku ketika Inne harus memilih keperluanku sendiri, “Neng, ke Aa dulu, Teteh mau nyari keperluan Aa dulu,” tanpa protes Dita langsung merangkul tanganku.

Inne terbawa olehku yang kini memanggil Dita dengan “Neng”. Dulu kadang-kadang hanya memanggil namanya. Namun, kini sudah kupastikan sejak dari mobil tadi akan kupanggil Dita dengan Neng. Ya! Aku dan Inne seperti mempunyai adik yang selalu manja seperti anak kecil, meskipun umurnya sudah 18 tahun.

Dita hanya menunjukkan sifat manjanya kepada orang-orang tertentu. Aku dan Inne termasuk orang beruntung yang bisa melihat tingkah manjanya.

“A, pengen beli es kriiimmm…,” rengek Dita padaku.

“Ngga ah, es krimnya juga ngga pengen,” balasku.

“Ih atuh, Aaaaa…”

“Iya iya hayu, sok di mana?”

“Tuuuhh di Mix*e.”

“Iya hayu atuh sok.”

Saat sedang menuju ke Mix*e aku menelepon Inne untuk mengabari agar ketemu di sana saja.

“Ih, itu si Neng belum makan nasi, Yang. Tadi pagi cuman sarapan sayur lontong doang,” ucap Inne.

“Mana mana si Neng-nya,” sambung Inne.

Aku menyerahkan ponselku pada Dita yang masih merangkulku.

“Hmmm, iya atuh iyaaa…,” ucap Dita pada Inne di telepon.

“Iyaaa, iyaaa, Tetehnya sini atuh kalo udah beres,” sambungnya.

“Iya sayang, nanti Teteh ke sana nyamperin kalian, mana Aa?” ucap Inne.

Dita memberikan teleponnya lagi padaku seraya berucap.

“Nih ayangmu,” ucapnya tersenyum seraya menyerahkan ponsel.

“Yang kamu celana dalam biasa pake apa?” tanya Inne.

“Hah? Euuu…, euuu…,” ucapku kaget tiba-tiba Inne bertanya seperti itu.

“Iya ini mau sekalian beli sayang, makanya aku nanya dulu kamu biasanya pake apa,” jawab Inne memperjelas.

“Euuu…, biasanya aku pake Tri*mph sih hehe,” balasku seraya menggaruk-garuk kepala yang gak gatal.

“Oh ya udah aku belinya itu,” kata Inne sembari tertawa kecil.

“Aku sama Neng di X.”

“Iya ini langsung ke sana.”

Setelah menunggu sekitar 15 menit akhirnya Inne muncul dan bergabung di meja. Pesanannya telah kusiapkan di meja yang telah kuhafal juga selera makannya. Ia tersenyum menatapku tak berkomentar. Malah langsung nyerocos memberi pengertian kepada Dita yang tadi dilarang makan es krim sebelum makan nasi terlebih dahulu.

Kami makan begitu lahap setelah capek keliling mall. Aku dan Inne bergantian menyuapi Dita adik kesayangan kami dengan penuh perasaan. Terkadang Inne pun menyicip makananku dan minta disuapin juga. Sungguh beruntungnya diri ini bisa menikmati suasana romansa yang indah Ya Tuhan. Tak henti-hentinya kuucapkan syukur dalam hati seraya memandangi kedua wajah perempuanku.

4

“Yaaaanggg capeeekkk…,” ucap Inne memelukku dari belakang yang sedang duduk di tapi kasur.

Aku mendekap tangannya, mengelusnya. Inne langsung merebahkan diri setelah bercengkrama dengan Dita di kamarnya hingga Dita terlelap.

Sepulang dari Mall Inne langsung ke kamar Dita untuk melihatnya mencoba pakaian baru yang dibelinya. Sedangkan aku membawa belanjaan kami di mobil dan merapikannya di kamar. Dan setelahnya ya ngudud berbatang-batang wkwkwk.

Kucium berkali-kali pipi dan kening Inne, ia tersenyum.

“Emmhhh, nanti dulu ah belum mandiii…,” rengeknya.

“Gak usah mandi da, airnya minder sama kamu,” ucapku nyengir.

“Hahaha ngacooo…,” ucapnya seraya mengecup bibirku.

Kemudian ia bangkit, kuperhatikan ia melepas pakaiannya satu persatu…….. *bersambung*
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd