Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Gelarr tiker ah mantau selanjutnya.....
Semoga ga gantung sprt buah buahan yang ada di battangnya.
 
PENGIKUT ALUR BAGIAN V

MARI MULAI



Time skip: 2 years later.


Hidup adalah bagaimana cara kita memulainya, pun demikian dengan bagaimana cara kita memaknainya. Telah begitu banyak cerita yang kulalui, kadang air mata jadi saksi bagaimana badan ini yang menjadi wadah bagi pemikiran-pemikiran yang rumit agar tetap bisa hidup dan menghidupi.

Rasanya, hidup perlu banyak berbagi, entah itu berbagi rezeki, energi, bahkan cerita hidup. Memang, untuk bercerita itu menjadi riskan apabila banyak pertimbangan. Itupun masih banyak hal yang harus dikorbankan. Bukankah asyik jika dalam kehidupan yang sementara ini kita bisa saling bertukar cerita, suka cita, tawa dan bahagia, bahkan tangis dan luka? Kita sama-sama saling menghargai pengalaman meskipun latarnya berbeda. Aku tak peduli, kita tak bisa memilih bisa lahir dalam kondisi dan situasi yang bagaimana, tapi kita bisa memilih untuk hidup yang seperti apa.

Yah… begitu menurutku tentang sebagian dari kehidupan. Yang jelas aku sedang berusaha untuk menikmatinya sampai kapanpun dengan usaha yang maksimal terlebih dahulu. Rasanya pecundang jika harus menikmati tanpa adanya rasa ingin mati terlebih dahulu.

Oh ya! Bagaimana kabarnya kalian? Semoga sehat ya? Hahaha maafkan kekhilafanku yang sudah menelantarkan thread ini. Aku tidak perlu dimaklumi, memang seperti ini, kadang motorku saja sudah muak sepertinya padaku jika ia bisa berbicara.

Aku tahu kalian pasti sudah bertanya-tanya bagaimana kisah ini. Hahaha. Sekali lagi maaf ya pemirsa.

Baiklah, akan kumulai dengan diriku.

Semoga setelah sekian lama tidak menulis cerita ini, feel-nya tidak berubah. Haha semoga.

Namaku Yassar, Erlingga Yassar Derrida. Eh, sudah pada tahu ya? Haha, ya sudah maaf untuk yang kesekian kalinya.

Aku akan memulai lagi bercerita setelah Inne pertama kali ke rumahku, bertemu ibu dan keluargaku.

Bagaimana nasibku sekarang? Baik-baik aja sih, rokok masih garpit, kolesom masih jadi favorit. Hahaha becanda mulu BGST!

Yang jelas sekarang aku hidup jauh lebih bahagia! Jauh lebih ketawa-ketawa karena tak harus lagi mengurusi pekerjaan-pekerjaan, kan sudah resign wkwkwk.

Tidak, tidak. Maksudnya, sekarang pekerjaanku tidak sesibuk dulu. Sekarang aku bekerja di… coba tebak? Ada yang tahu? Masih ingat tidak alurnya? Hahaha.

Lalu bagaimana kondisi finansialku? Apakah masih mokondo? Hahahaha. Ya masih sih dikit wkwkwk. Tidak, deng. Ya pokoknya cukup lah.

Inne bagaimana Inne? Ya nanti kan diceritain sabar. Cipeng? Sama nanti juga diceritain. Mas Novian? Nah ini nih yang hahaha. Mas Novian nanti juga ada di dalam cerita wkwkwk.

Intinya semua akan dibahas meskipun timeline-nya maju 2 tahun. Kalem, aku masih ingat detail-detailnya. Ya kalau lupa, ingatkan saja. Itu tugas kalian. Hahahaha.

--oOo--​

*music playing*

Seperti biasa, saat susah untuk tertidur aku selalu memutar lagu di playlist spotify-ku. Lagu yang terakhir yang bisa kudengar dengan jelas adalah lagunya Bon Jovi – It’s My Life. Setelah itu, aku lupa dan tertidur.

Hingga sampai sayup-sayup kudengar ada seseorang yang membukakan pintu kamar dan perlahan-lahan seperti menghampiri.

“A! Aa! Bangun! Ini Neng beli kupat tahu buat sarapan A.”

“Hmmmhh…,” aku hanya bergeming menimpalinya.

“Ih! Kebiasaan meni susah ngebanguninnya teh!” ucapnya dengan nada agak kesal.

“Ya udah atuh ah, Neng mau langsung ke kampus. Motor Aa sama Neng dipake,” sambungnya kemudian.

“Hmmhhh hoaahhh… tiatiii…,” balasku kemudian dan langsung membuka mata.

“Tiati, Neng!” ucapku lagi.

“Iyaaa…,” jawabnya dari balik pintu kamarku.

Aku segera mendudukan badan dan meraih ponsel untuk mengecek dan mematikan lagu yang masih terputar semalaman.

Tercium aroma parfum khas perempuan menyeruak di hidungku.

Dita, ia masih sama, kelakuannya, manjanya, dan yang lain-lainnya masih sama.

Bedanya, kini seperti semakin terpancar auranya. Mungkin karena ia sudah semakin tumbuh dewasa, juga perhatian-perhatian dari tetehnya yang membuatnya seperti itu.

Jika sudah begitu, aku hanya bisa tersenyum melihat hari demi hari ia semakin mirip dengan Inne. Mulai dari gesturnya, mimik wajahnya, sampai ke cara bagaimana ia memperlakukanku.

Bahkan tak jarang, orang-orang seringkali menganggap Dita adalah adik kandung dari Inne.

Di satu sisi, aku jelas senang juga bahagia. Di sisi lainnya aku takut bahkan khawatir. Khawatir jika suatu saat aku tak mampu untuk menjaganya, karena aku bisa melihat diri Inne setiap kali melihat Dita.

Oh ya! Ia sekarang sudah menginjak semester 5. Di mana sedang sibuk dan padat-padatnya ngampus sampai mampus. Terasa olehku dulu bangsatL.

Segera kuambil rokok sebelum menyantap sarapan yang sudah dibelikan Dita. Ya seperti menikmati hari libur biasanya, aku scroll-scroll medsos untuk menghilangkan kegabutan.

Pokoknya aku rebahan setelah makan karena bingung harus ngapain. Emang apa lagi atuh?:(

Ketika pukul 10 ponselku berdering ada yang menelepon.

“Hallo… salam Mas Yassar.”

“Salam. Iya hallo… Bu.”

“Mas, maaf ya sebelumnya, saya mau minta tolong, bisa ngga ke kantor bawa proposal dari perusahaan X untuk kepentingan kerja sama yang udah kita bahas.”

“Perusahaan X, Bu?”

“Betul, Mas. Bisa?”

“Siap laksanakan, Bu Bos!”

“Iya bawa saja di ruangan saya ya. Setelah itu, Mas Yassar sudah tahu kan harus ngapain? Hehe.”

“Oalah, siap, Bu! Izin eksekusi hehe.”

“Nah, mantap! Emang gak salah ya saya pilih asisten, hahaha.”

“Ya sudah, makasih banyak ya Mas Yassar. Saya masih harus lanjut meeting sama client di Singapore,” sambungnya.

“Siap, Bu! Sukses!”.

“Oh ya! Ojay katanya nitip salam sama Bu Dosen, Mas!”

“Siap disampaikan ke Bu Dosen, Bu Bos!”

“Hahaha makasih ya Mas Yassar.”

“Salam.”

“Salam.”

Akhirnyaaa… hidupku tak terbengkalai di kosaaaannn, ucapku dalam hati. Tersiksa memang jika tak ada aktivitas wkwkwk.

Setelah menunaikan kewajiban di hari Jum’at aku segera bergegas mengganti outfit sarungan ke outfit agak kantoran hahaha.

Kupilih celana bahan abu model ankle pants kaos hitam polos dengan dibaluti blazer biru dongker. Agak lama saat itu untuk memutuskan memakai sepatu yang mana, antara docmart atau vans oldskool.

Akhirnya setelah cukup lama memilih, pilihanku jatuh kepada vans oldskool tanpa memakai kaos kaki. Jam tangan terpasang di tangan kiri, rambut tersisir rapih meskipun agak gondrong. And here we go!

Setelah sampai di parkiran kos, baru sadar! Bledakkk! Tolol badjingan! Baru ingat motorku dibawa Dita ke kampusnya. Huasyu… aku mengumpat pada diri sendiri.

Ya mau tidak mau aku pergi ke kantor dengan mamang grab car. Untungnya saat itu lalu lintas cukup lancar. Jadi hanya butuh 45 menit saja untuk sampai.

“Yas, lho ngantor toh?” ucap Pak Satpam. Hayo ada yang masih ingat tidak namanya siapa? Wkwk.

“Iya euy, disuruh Bu Bos, biasaaaa…” jawabku seraya melipir ke pos satpam.

“Sebatang dulu sebatang...” ucapnya.

Aku segera mengeluarkan rokokku untuk dibagi padanya.

“Yang magang masih ada, Pak?” tanyaku.

“Masih, Yas. Sekarang jadwalnya nyampe jam 2 anak-anak magang.”

“Anak-anak magang juga nanyain tadi, butuh tanda tangan katanya,” sambungnya.

“Ya buat approve paling,” jawabku sembari melihat-lihat ke arah ruang lobby.

“Deri! Deri! Sini!” teriaku saat melihat salah satu anak magang.

Ia sontak melihat ke arahku dan segera menghampiri.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?”.

“Ada, makanya saya manggil hehe.”

“Baik! Gimana, Pak?”

“Tolong ya, kamu bilang ke bagian staff CEO untuk bawain berkas proposal yang ada di ruangan Bu Ratna terus simpan di ruangan saya.”

“Siap, Pak! Laksanakan!”

“Oke makasih ya!”

“Nih buat rokok,” sambungku seraya mengepalkan uang ke tangannya.

“Gausss…”

“Ssshhh udah sana ke staff,” potongku.

“Makasih, Pak!”

“Yooo…”

Setelah itu aku masuk kembali ke dalam kantor pos berbincang dengan Pak Satpam (udah inget belum namanya?) Hayooo wkwkwk.

“Sampeyan emang ringan tangan, Yas,” ucapnya.

“Lah! Tida! Kan tadi aku gak mukul, Pak!”

“Badjingan! Bukan itu maksudnya.”

“Hahahahaha, yo wes lah, Pak. Sudah seharusnya kayak gitu tho?” ucapku.

“Aku jadi gak enak, Yas. Belum bisa balas kebaikanmu,” balasnya.

“Sok atuh jahatin, Pak. Udah keballl…” jawabku nyeletuk.

“Asu kon! Hahahahaha.”

“Hahahahahaha.”

Aku selalu bisa tertawa lepas jika berbincang dengannya, itu yang selalu aku inginkan ketika manusia bisa memanusiakan manusia tanpa harus memandang dari segi atribut yang melatarbelakanginya.

Tak terasa hari itu sudah pukul 5 sore, satu persatu amanat dari Bu Ratna aku cicil. Mulai dari correction proposal check, controlling and mentoring, discover analyzing. Dan masih banyak lagi. Yang paling aku suka adalah bisa berinteraksi dengan mereka secara keluarga.

“Iya intinya gitu, serius tapi jangan merasa berada di dalam keseriusan. Kadang sesuatu yang masih membuat kita sadar itu bukan definisi dari menikmati, tapi itu halusinasi. Menikmati itu adalah ketika kita sudah tidak merasakan apa-apa lagi di sekeliling kita karena saking fokusnya hanyut di dalam arti menikmati, begitu kira-kira,” ucapku kepada para karyawan magang saat presence check.

“Hahaha syulit dipahami tapi mudah dimengerti ya, Pak! Hahaha,” ucap Carolina.

“Ciri khas Pak Sekpri CEO kan gitu hahahaha,” kata Tyas menimpali.

“Luar biasa, semoga menular ilmunya Pak! Ojay bisa meureun hahaha,” celetuk Ridwan.

“Hahahaha maneh mah Ojay wae ah,” ucapku.

“Tau tuh, Pak. Si Ridwan cabul!” kata Nana.

Kami tertawa terbahak-bahak karena itu. Ridwan adalah orang Sunda yang magang di kantor ini. Mereka semuanya adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang melaksanakan penelitian sekaligus magang. Karena perusahaan tempatku kerja sekarang selalu membuka pintu lebar bagi yang ingin belajar.

“Halooo… ih! Rame banget ini lagi pada ngobrolin apa ini teh?”

“Aaaa… Ibuuuu… akhirnya ditengokin jugaaa…” ucap Tyas yang langsung menghampirinya.

Kemudian disusul oleh Carolina dan Nana.

“Uuu… gimana-gimana? Bisa ya penelitiannya? Betah ya magangnya?”

“Rame Bu, Pak Yassar nya baik, ngelucu mulu, kocak!” jawab Carolina.

“Iya bener, diajarin juga Bu, dibimbing,” kata Nana.

“Tapi tara ngasih rokok, Bu. Pelit,” celetuk Ridwan.

“Oh ya? Hahahaha meni kasian atuh,” jawabnya seraya melirikku.

Aku hanya tertawa saja seraya menggelengkan kepala.

“Kasih atuh kasian…” ucapnya padaku.

“Kahayangna si Ridwan mah,” ucapku.

“Hahahaha ya iya atuh, Pak. Mahasiswa mah kan miskin, duitnya abis dipake penelitian,” ucap Ridwan sembari tertawa.

Setelah kami berbincang 10 menit akhirnya kami berpisah untuk pulang.

“Oke makasih ya buat ketawanya hari ini. Tetep ketawa terus, inget jangan serius-serius,” ucapku.

“Tapi Bapak sama Bu Inne serius ngga?” celetuk Nana.

“Ya iyaaa donggg… hahaha,” jawab Inne mewakiliku.

“Harus serius kalo ini gak bisa diganggu gugat, hahaha,” ucapku.

“Udah ah, happy weekend ya…”

“Weekend nya ngapain, Bu?” tanya Tyas.

“Mau quality time sama ayaaanggg…” jawab Inne seraya merangkul dan menyenderkan kepalannya ke pundakku.

“Aaaaa… Ibuuuu… bikin iriiii…” kata Carolina dan Nana kompak.

“Mampus lu jomblo!” Ucap Deri dan Ridwan kompak.

“Hahahaha udah ah, Ibu duluan yaaa… babaayyy…”

“Babaayyy Ibuuu… Bapaaakk…”

Kami lalu bergegas menuju mobil Brio Hitam yang terparkir di pos satpam.

“Mulih, Pak!” ucapku pada Satpam.

“Nggeh… ati-ati, Yas. Ati-ati Mbak Inne.”

“Iya, Pak. Siap!” jawab Inne.

*brukkk* *brukkk* suara pintu mobil tertutup.

“Ayaaaanggg ihhh!” ucap Inne tiba-tiba dengan ekspresi muka misuh.

“Kenapaaa ih?” jawabku bingung.

“Cium duluu atuh ih! Meni belum dicium!” balasnya.

“Oh hahahaha! Sini-sini…”

Kemudian ia mendekatkan badannya dan memposisikan pipinya agar dicium terlebih dahulu.

“Cup… cup… cup… cup…”

“Cipok,” ucapnya.

“Mwahhhh…”

Yaaa seperti itu lah bibir kami berpagutan beberapa saat. Setidaknya sampai bisa membuat ia tersenyum dan memeluk pinggangku dengan manja.

“Ayang si Neng udah pulang belum ya?” tanyanya.

“Gatau yang, coba telepon.”

Ia langsung mengeluarkan ponsel dari tasnya, sedangkan aku langsung memajukan mobil dengan kecepatan standar.

“Neenggg… udah pulang belum sayang?” ucap Inne yang menelepon Dita.

“Belum Teh, masih ada kegiatan.”

“Masih apa gitu itu?”

“Lagi rapat extra dulu Teh, bentar lagi pulang da.”

“Iya atuh jangan kemaleman sayang, makan jangan lupa.”

“Nanti aja ah masih kenyang.”

“Ih pengen apa atuh? Ya udah Neng pulangnya ke rumah we. Aa juga ini sama Teteh mau pulang ke rumah.”

“Okeeeeee.”

“Mau makan apa?”

“Tar aja masak weh.”

“Iya atuh, tiati ya sayang, jangan kemaleman.”

“Iyaaa… babay I love u.”

“Iyaaa… love u too.”

Rasanya hati ini selalu damai nan tentram saat mendengar atau melihat mereka sedang berbincang. Apalagi logat Inne yang terbawa-bawa olehku dan Dita hahaha. Perhatian tulus, hubungan batin, seakan hari demi harinya terus tumbuh di antara kita bertiga.

Sudah banyak hal yang terjadi dan terlewati dalam perjalanan kali ini. Inne sudah memiliki rumah sendiri. Meskipun pada awalnya banyak bumbu-bumbu drama karena satu dan lain hal. Inne yang mengejar impiannya, ia yang semakin mandiri, semakin dewasa, tentunya semakin bijaksana. Akhirnya setelah perdebatan panjang aku mendukung keputusan Inne untuk membeli rumah dengan berbagai pertimbangan dan kesepakatan.

Alasan problematik sebagai seorang lelaki tentunya mewarnai pertimbangan dan kesepakatan itu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd