Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Paradiso!

Bimabet
Aahh... pengen Rabu cepat tiba.. penasaran banget ama Lukisan Ava.... :kacamata:


:ngeteh:
sekarang hari rabu tapi trit ane sepi nih belum ganti page :ngeteh:
 
Ikutan ngantri Om....
Duduk santai makan cemilan sambil dengerin lagu Kuch Kuch Hota Hai'nya Om Jay..
:pandaketawa:
 
sedakep di depan tirai menanti sang dalang memainkan wayangnya.. warbiasahh om jay
 
Cihuiiiii....... Nungguin om jay update....... Permisi minta tempat dikit buat gelar tikar sama selimut
 
Malam semakin kelam, dan dua orang itu hanya saling mendiamkan tanpa berbicara. Sheena mematikan rokoknya yang tinggal puntung dengan diinjak. Sebatang rokok terakhir menyusul terselip di bibir, diikuti percik api geretan yang menyala redup..

"Jangan kebanyakan merokok, nanti sakit kayak Ajik. Beliau sakit lagi, kamu sudah tahu?"

"I-iya." Sheena cepat-cepat mematikan rokoknya, tak menyangka Ava menyapanya lebih dulu.

"Serius, barusan sekali aku antar Ajik ke dokter, sekalian cek LAB."

Sheena tersenyum garing. "Nah, itu baru calon menantu yang baik hehehe.." Shit, aku ngomong apa? Tolol.

Ava menghela nafas, melirik wajah Sheena. "Ajik juga tadi bilang, beliau mau buka galeri di Jogja..."

Mendadak hening.

"....aku yang disuruh ngurus, sekalian nemenin Indira."

Hening lagi. Lebih lama dari sebelumnya.

"Oh, wah... selamaaat..."

Ava tersenyum pahit, "Makasih..."

"Semangat!" Sheena mengacungkan genggaman tangannya.

Ava mengepalkan tangan, –sebuah brofist. Tersenyum pahit, tanpa bersuara.

Fragmen 65
Resonance, Reminisce


Telepon tua itu berkali-kali berdering. Hingga membuat Pak De yang sedang asyik menyendiri berjalan tergopoh menghampiri. Langkah-langkah lebar terdengar berderak di lantai kayu, menyusuri koridor villa yang penuh dengan lukisan dan ukiran.

"Uhuk... halo.. uhuk..."

"Kak?"

Suara di seberang sana membuat raut wajah Pak De mendadak cerah. "Gek? Lucille?"

Lucille menukas ketus, "Indira ada?"

Pak De menghela nafas lemas. "Indira... sedang keluar... jalan-jalan sama Ava...."

Hening.

"Kak Gede sudah ke dokter?"

Senyum kecil kembali terbit di sudut bibir Pak De. "Sudah. Kemarin diantar Ava."

"Apa kata dokter?"

Pak De terdiam agak lama, "M-masih menunggu hasil lab.... B-besok... baru jadi."

"Awas, jangan ngerokok lagi."

"... makasih, Gek."

"J-jangan s-salah sangka. Saya bukannya peduli sama Kak Gede! Saya cuma kasihan sama Indira kalau misalkan Kak Gede...." Ada jeda panjang dan kalimat yang tak selesai di seberang sana. "Take care." Telepon ditutup.

Piringan hitam berputar mendayu, dan tidak ada yang tahu kenapa senyum di bibir Pak De melebar, dan semakin melebar.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Kadek, Sheena, dan Luh Sari yang sibuk bermain catur di malam itu heran karena melihat Sang Maestro melangkah mantap ke arah studio.

Sebuah lukisan mungkin bisa menghilangkan galau, batin Pak De ketika melangkah ke dalam studio lukis. Cahaaya terang menerobos dari daun pintu disusul lampu sorot halogen yang memendarkan cahaya ke seantero ruangan. Langkah Pak De seketika terhenti. Sepasang matanya membelalak ngeri melihat pemandangan di hadapannya.

"KADEK! SHEENA! KE SINI KALIAN!"

Papan catur buru-buru dilipat. Dua orang yang disebut namanya segera berlari tergopoh ke asal suara, disusul Luh Sari yang melangkah takut-takut.

Sang Maestro menunjuk-nunjuk lukisan milik Sheena, menggeleng-geleng gusar.

"Kamu dan Ava itu orang-orang yang nggak bersyukur! Suka menyia-nyiakan bakat!"

"M-maaf... um.. m-maksud A-ajik...?" Sheena menelan ludah, wajahnya menekuk ke bawah seperti ketika berhadapan dengan guru matematika-nya dulu.

"Kamu dulu kuliah di IKJ, kan? Kenapa nggak kamu tekuni? Nggak kamu selesaikan? Saya punya banyak teman yang jadi dosen di sana, kamu pasti jadi seniman yang hebat! Paling nggak jadi ilustrator kaliber internasional." Pak De tersenyum lebar, menepuk-nepuk pundak Sheena.

Sheena tercengir kecut, entah takut ataukah bangga.

Pak De mengekeh sambil menunjuk lukisan Ava. "Yang ini pasti Ava yang buat. Duh Dewa Ratu, akhirnya saya bisa pensiun dengan tenang."

Kadek nampak tidak terima, "T-tapi Ava curang, Jik. D-dia sengaja mengurangi detail, karena orangnya nggak rapi. Lagian, kenapa Ava melukis bayang-bayang?"

Kadek menunjuk lukisan Ava, di mana seorang pemuda berdiri di sebuah kota tua, di bawahnya jalan yang digenangi air memantulkan bayangannya.

"Ini Recto dan Verso!" Pak De terbahak, hingga perutnya yang buncit bergetar-getar. "Brilian!"

Kadek dan Sheena saling berpandangan. Luh Sari mendengar dari luar, teringat bahwa itu adalah judul buku yang dihadiahkan Kadek untuknya.

Muncul tawa berderai dari bibir Pak De, "Yang kalian lihat itu cuma satu sisi."

Penuh semangat, Pak De membalik lukisan Ava, hingga atas jadi bawah, dan bawah jadi atas, hingga sekarang Sheena dan Kadek yang terlongo-longo karena sekarang si bayangan yang menjadi objek nyata.

"Jadi lukisannya bisa dilihat dari dua arah?" Kadek terlonjak, membelalak tak percaya. Gawat, lama-lama aku bisa turun jabatan...

Senyum Pak De melebar. "Untuk memahami kebenaran yang sejati, kalian harus melihat dari kedua sisi, nggak cuma sebelah!" Lagi, Pak De mengekeh sambil terbatuk-batuk, "karena sesungguhnya, ...uhuk-uhuk... keduanya terletak pada dua sisi koin yang sama."

Sheena mendadak tercekat mendengar kalimat Pak De, bersamaan dengan perasaan ganjil yang perlahan merambati.
 
Ava berdiri di antara perbatasan pasir dan air. Sinar bulan. Deru ombak. Bayang-bayang dirinya yang memantul di atas riak air. Bulan penuh yang tersangkut di antara hamparan bintang membuat permukaan air di bawah kakinya menghampar seperti cermin, menimbulkan ilusi seperti dua buah dunia yang saling-balik membalik.

Ava memandangi sisi lain dari dirinya yang sudah lama ia tinggalkan. Ada bayangan langit setelah hujan di sana, ada gugusan awan, ada menara Masjid, ada seseorang yang setia menungguinya di ujung jalan...

Ombak datang, menyapu bayangan Ava menjadi buih yang memecah, berhamburan.

“Sayang...” Indira mendekapnya dari belakang.

“Hai, jegeg...” Ava mengusap tangan Indira yang mendekapnya erat-erat, seperti berdansa pelan, diiringi alunan musik Bossanova yang dimainkan sayup-sayup.

Malam itu ratusan orang memenuhi kafe-kafe ikan bakar yang berjajar di sepanjang Pantai Jimbaran. Asap dari panggangan ikan yang dikibas-kibas nampak mengepul tebal ke seantero udara, memenuhi paru-paru Indira dengan aroma yang menggoda selera.

“Habis ini kita kemana?” Ava berucap, sambil mengambil foto mereka berdua dengan ponsel.

“Ada deh..” Indira tersenyum jenaka, menggelendot manja di dada Ava saat tombol shutter ditekan. “Eh, Sayang, malam ini kamu kelihatan beda... sudah nggak kelihatan... ehem...” Indira melirik, berkata hati-hati, “ragu?”

Ava tak menyahut, menggenggam tangan Indira lebih erat, membiarkan angin laut membelai wajah keduanya.

“Bukan karena kita mau dibuatin galeri di Jogja, kan?”

Ava terbahak. “Tanpa itu-pun, aku sudah cinta sama kamu, tahu!”

“Gombal!” Indira menjulurkan lidahnya, menonjok Ava pelan sambil terkekeh-kekeh.

Ava cuma tersenyum, melirik pipi Indira yang diam-diam tersipu. Indira membenamkan tubuhnya dalam dekapan kekasihnya, sementara musik terus mengalun, mendayu-dayu, mengiringi dua pasang langkah yang bergerak malu-malu di atas pasir, di sela-sela deru angin dan gemuruh ombak.



Fragmen 66
Moon River


Moon river wider than a mile
I'm crossing you in style someday
You dream maker, you heartbreaker
Wherever you're going I'm going your way



Malam semakin melarut, dan dalam semesta Ava dan Indira semuanya berlangsung begitu lambat, sekaligus begitu cepat...


Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river and me




= = = = = = = = = = = = = = = =​



Tahu-tahu saja suara knalpot Mobil VW safari milik Pak De sudah terdengar menderu, membelah jalan kecil yang sepi di selatan Jimbaran dengan leretan Villa Mewah yang nampak berjejer di kanan kirinya.

Ava mengemudi hati-hati sambil sesekali kali bersendawa, perutnya terasa penuh setelah menghabiskan menu full set di Cafe Baruna. Indira duduk di sampingnya, memandangi leretan pemandangan yang nampak akrab, namun mau tak mau harus segera dilupakan.

Hingga akhirnya mereka tiba di ujung jalan, di sebuah bukit karang dengan laut yang menghampar di bawahnya. Beberapa villa masih menyisakan cahaya redup di kejauhan, selebihnya hanyalah kegelapan malam, ilalang, dan pohon yang meranggas, diselang-selingi deru angin dan debur ombak.

Atap convertible VW Safari itu dibuka, menampakkan langit keunguan dengan taburan bintang. Ava berbaring di kursi belakang, sedang Indira menggelendot di atas dadanya, tersenyum manis ke arah kekasihnya.

“Nggak apa-apa di sini?” Ava berbisik, sambil mengusapi poni Indira.

“Eng...” Mata Indira membola jenaka. “Apa-apa, sih... tapi paling kalau kepergok, kita dinikahin.”

Ava terkekeh-kekeh, mencium pipi Indira yang menggemaskan hingga gadis itu meronta. Ava menciumi bibir Indira, sebelum akhirnya anak itu memejam pasrah, menyambut bibir Ava yang membelai lembut, sambil mendesah pelan.

“Umh... Nakal...” bisik Indira saat Ava mencoba meraba selangkangannya.

“Hehehe...”

Berdua, mereka berbaring bersisian, memandangi langit dan milyaran bintang. Di bawah mereka laut, di atas mereka langit, dan Ava merasa mobil itu seperti sekoci yang dilemparkan begitu saja ke dalam lautan bintang.

Ava memejam, berkontemplasi dalam ruang waktu yang serba ilusif...

“Hey.. ini kan tempat mandiku!”

“Ye, nggak ada tulisannya, kok!”

“Ava...”

“Ya...?”

“Aku sayang kamu.”

“Aku tahu, kok.”

Indira terkekeh pelan, “ge-er.”

“Hehehe...” Ava mengecup pelan pipi Indira, membenamkan wajahnya dalam tubuh ranum yang wangi itu. Indira melenguh, mengarahkan tangan Ava ke atas dadanya sambil memejamkan matanya, membuka bibirnya yang basah, mendesah...

Ava segera melumat bibir Indira. sepasang insan itu saling melumat, dengan bibir dan lidah yang saling berpilin. Disertai remasan-remasan pada payudara Indira, dan lenguhan pelan di antara debur ombak dan angin laut.

Indira mengerang, menjambak pelan rambut Ava yang kini sibuk menciumi lehernya. “Ava... sayang...” ucap Indira pelan, menikmati cumbuan Ava dan belaian yang pelan-pelan menuruni lekuk tubuhnya.

Ava menyibak rambut Indira yang basah sehabis keramas, dihirupinya aroma gadis yang segar dan memabukkan itu. “Indira... sayang...” bisiknya di telinga Indira, sambil menjilat daun telinga Si Bidadari, pelan dan disusul dengan gigitan-hisapan pada leher mulus Indira.

Indira merintih, namun ciuman Ava terus turun, dan cardigans Indira kini dirasa semakin mengganggu. Dengan gerakan cepat remaja yang sudah dibuai birahi melepas cardigansnya, dan Ava segera menurunkan tali dress sang kekasih, agar bisa leluasa menciumi sepasang bukit yang menyembul Indah dari baliknya.

Sepasang kaki Indira yang indah membuka, memeluk tubuh Ava yang menindihnya. Kedua tangan Indira mencengkeram pundak Ava, karena mendadak tubuhnya diliputi oleh geli yang datang dari bibir Ava yang mengulum satu putingnya.

Ava membelai pelan belahan yang mulai membasah di bawah sana, segaris tipis yang menapak di antara gundukan tembem yang menggoda.

Indira mulai mendesis, pelan, disertai gerakan pinggul yang naik turun seolah menyambut usapan jemari Ava dari luar celana dalamnya. “Avaa... ooh...”

Ombak berdebur mengiringi rintihan Indira, yang makin lama makin meninggi sebelum berakhir pada teriakan tertahan, panjang, tersamar antara ombak yang pecah di karang terjal.

Ada keheningan panjang setelahnya, dan Indira memejam sambil tersenyum manis dengan wajah merona. Sinar bulan jatuh di atas wajah Si Bidadari, dan Ava menciuminya dengan gemas, penuh kasih.

“Ava... hah... hh...“ Indira terkulai lemas setelah puncaknya yang pertama.

Ava memandangi wajah bidadari yang merona setelah orgasme, memejam seolah menyerahkan seluruh tubuh dan jiwanya untuk sang kekasih.

Ombak berdebur kencang di atas karang... dan Ava memejam... dalam waktu yang serba relatif dan kontemplatif itu... Ava merunut lagi...

Saat pertama ia merasakan kenikmatan wanita swaktu kuliah...

Saat perlahan suara penyeru terasa mengganggu...

Saat dirinya mulai kehilangan sesuatu yang bernama ‘Iman’ dan ‘Tuhan’



Pemuda itu mencoba merunut, jauh ke belakang, namun yang ada hanyalah kekosongan...

“Sayang...” Indira merengek, mengecup pipinya. “Kok bengong....?”

Ava cepat-cepat tersenyum, dipandanginya mata Indira yang mengerjap-ngerjap sendu, dan diciuminya wajah Indira yang sayu. “Jegeg...” bisiknya lembut

Indira tersenyum mendengarnya, mendesah pelan memasrahkan tubuhnya untuk kekasihnya. Bidadari itu mengangkat pinggulnya, hingga Ava leluasa menurunkan celana dalam Indira. Dress pendek kini tersingkap sampai pinggul, dan Ava hanya bisa menelan ludah melihat tatoo mawar yang menyeruak dari kewanitaan Indira yang mulus.

Dengan cepat Ava melepas sabuknya, menurunkan celana jins, beserta celana dalamnya hingga sebatas lutut.

“Ava... ayo...” Indira merengek manja, menciumi wajah Ava sambil meremasi kejantanan pemuda itu. Sebelah kakinya mulai bergerak mengait, menuntun pinggul Ava untuk terus mendekat, menggesek perlahan, dan “Aaaah....” Indira menggeliat penuh kenikmatan. Suasana gelap, namun Ava merasakan lepitan hangat-basah di bawah sana bergerak pelan, menggesek batangnya yang kebingungan mencari jalan.

Indira melenguh pelan, meraih batang kejantanan Ava, menempatkannya di antara belahannya yang merekah, membuka. “Uh...” lagi, Indira menjengit gelisah.

“U-udah pas, Sayang...?” Ava berbisik pelan di telinga Indira.

“Umhh... Ooh... U-udah... ahh... ungggghhh....”

Ava menyorongkan pinggulnya, mendesakkan ujung kejantanannya ke dalam liang yang basah dan sempit. Indira mengernyit, ikut menaikkan pinggulnya, menyambut kejantanan Ava yang perlahan menyesaki tubuhnya.

“Av-Av...” Indira meremas pundak Ava kuat-kuat, memejam nikmat tatkala sekujur tubuhnya dibuat merinding oleh kejantanan Ava yang menggesek dinding-dinding kewanitaannya yang dipenuhi saraf-saraf sensitif. “Aaaaah... hh... hh... hh...”

“Uhh... hhh... I-indira...” Ava melenguh, saat kejantanannya amblas sepenuhnya. “Aaaah... hhh...” geli, hangat, nikmat, ngilu berpadu menjadi satu.

Indira melingkarkan tangan di leher Ava, dan pahanya di pantat Ava. “Ava...” bisiknya, setengah mengerang. “Aku sayang kamu... aku sayang kamu...” ucapnya berkali-kali sambil menciumi wajah Ava, yang juga menyambut ciumannya hingga sepasang bibir itu kini saling berpagut, dan tubuh mereka seolah bersepakat untuk bergerak saling memompa.

Ava menggerakkan pinggulnya perlahan, dan semakin lama semakin cepat, dan Indira menyambut ayunan pinggul Ava dengan gerakan berputar. Ava bertumpu pada kedua siku, sementara Indira mendekapnya, melingkarkan sepasang tungkai di pinggangnya.

Suara lenguhan, dan erangan nikmat terdengar seiring suara suspensi mobil yang berkeriut. VW Safari itu bergoyang-goyang di tengah padang ilalang, menandakan betapa seru persetubuhan yang terjadi di dalamnya.

Sambil mengayunkan pinggulnya, Ava menciumi leher Indira yang perlahan berkeringat. Indira melingkarkan kakinya lebih erat lagi, mendekap Ava kuat-kuat, sambil mengkontraksikan otot kegelnyA.

Ava melenguh, dengan punggung melengkung, sebelum menghentakkan lagi pinggulnya kuat-kuat, hingga membuat Indira menjerit-jerit. Alam seolah berirama mengiringi sepasang kekasih yang bercinta di bawah cahaya bulan. Ombak berdebur mengiringi erangan sensual Indira, angin meliuk mengamini lenguhan tertahan Ava, dan keriut suspensi mobil yang bergoyang mengiringi suara kecipak dari lendir yang kian membanjir.

Bibir Indira sudah tidak bersuara, Bidadari itu hanya bisa mengangkang pasrah, mencengkeram punggung Ava kuat-kuat, bersiap mencapai puncaknya yang sudah di ambang Pintu. dalam erangan panjang, Indira menggeliat, pinggulnya seperti terangkat, dan sepasang matanya memejam penuh kenikmatan.

Ava terus memompa, menghimpit dan mencumbu Indira yang berkelojotan di bawah tubuhnya. Indira mengerang, mendesah, mencakar pundak Ava sambil menceracau tidak jelas.

Hingga beberapa saat kemudian, Ava mengakrabi sensasi serupa. Seperti ada yang hendak meledak dari dalam tubuhnya, dan ia tahu ia tidak bisa menahan lebih lama lagi.

“Indiraaa...” Ava mengerang sebelum sekujur tubuhnya mengggigil hebat. Pinggulnya menghentak-hentak, disambut Indira yang menandak-nandak, menyemburkan benih cinta tanpa tertahan lagi ke dalam tubuh Indira yang menggelinjang hebat di bawahnya.

Indira melenguh, pelan, merasakan benih Ava memenuhi tubuhnya, di dekapnya punggung Ava yang berkontraksi dan mengejang. Ava mengerang seperti kesakitan, mengejang beberapa kali, sebelum terkulai lemah di atas tubuh Indira. “Indira... ah... hh... hh...”

Ombak berdeburan mengiringi nafas yang saling tersengal dan terengah. Udara malam menyelimuti sepasang tubuh yang terlulai lemah, dan saling memeluk.

Indira tersenyum, menikmati cairan hangat yang meleleh keluar dari tubuhnya. Indira menciumi wajah Ava yang dipenuhi keringat, mengusap-usap rambut pemuda itu.

“Hah... hh... hh...” Ava tersengal kelelahan, tapi pemuda itu ikut tersenyum, membalas ciuman Indira.

Lama, kedua kekasih itu saling membelai, sambil memandangi langit, dan menikmati kesenyapan dan debur ombak. Ava mendekap tubuh Indira, agar anak itu tidak kedinginan. Dikecupnya pelan, kening Indira, sambil diusap-usap berkali-kali.

"Hayo... Ava nakal... dikeluarin di dalem lagi, ya..." Indira tersenyum jahil. "Kalau..."

"Kamu hamil?"

Indira terkekeh, mengangguk lucu.

"Aku nikahin kamu..."

Bidadari itu mendadak berhenti tertawa.

“Indira, marry me...”

Indira terkesiap, tidak menyangka akan mendapati kata-kata itu.

“Saya tetap Islam, kamu tetap Hindu, kita cari Surga kita masing-masing.” ucap Ava mantap.

“Oh... W-wow... a-aku nggak nyangka b-bakal secepat ini...” suara Indira bergetar, tak mampu dia menatap mata Ava yang nampak sangat yakin itu.

Ombak berdebur menghempas karang, menimbulkan suara riuh yang bergema ke udara. Angin laut berhembus semakin kencang, meliuk di sela-sela bebatuan, menimbulkan bunyi ganjil yang mendadak mencekam.

“T-tapi... Kamu... tahu... kan...? aku... anaknya... Ajik satu-satunya?”



= = = = = = = = = = = = = = = =​


Sementara itu, jauh dalam kegelapan studio lukis, berdiri 3 buah lukisan yang diterpa cahaya bulan.

Dari balik bayang-bayang, menyala selarik cahaya rokok, dan sepasang mata yang tak henti memandang.

Lukisan Ava dan lukisannya memang berbeda objek, berbeda bidang, namun Sheena menyadari: keduanya seperti saling memanggil, beresonansi.

Lukisan gadis kecil yang memandangi langit.

Lukisan kota tua yang tak henti dirudung hujan.

“Purgatorio...”


To Be Continued
Paradiso yang dilapak satunya diramein juga dong hehehe :suhu:
 
Om jay, kalo ada rencana cetak hardcopy, saya pesen 1 eksemplar ya, serah versi ini atau versi 2012, bahkan kalo dicetak 2 versi ane pesen masing2 ya.

Just curious, apa familiar ama kab. Bojonegoro?
 
Mantap pakde Jay.. saya kira dulu cuma mitos warga semprot aja yg terlalu meng-agung kan pakde jay. heeeeeee
Tapi ternyata setelah baca tulisan'y. baru saya tau kualitasnya.
Maaf baru bisa komen d akhir cerita, keenakan baca dari fragmen 1. heeeeee...
TOP
 
Bimabet
Sebuah cerita yang paling dinanti, membuat gelora sukma penasaran berkoar-koar menanti apa yang akan terjadi nanti ..
:haha:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd