Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Paradiso!

Bimabet
kalau kangen sama yang homo2 bisa mampir ke cerita LKTCP ane gan: https://v1.semprot.com/threads/1148885?-Sang-Legenda-LKTCP-2015

atau cerita: https://v1.semprot.com/threads/1145917?-Sang-pelompat-masa (tapi yg ini bukan tulisan ane gan, ciyus)


soalnya cerita yang lain banyakan ilang...

inferno pasti dirilis ulang karena emang bagian dari paradiso...

Purgatorio itu nggak ada....

thx dah baca cerita ane lagi :ampun:


Semaleman ane ngulik lagu2 queen bang. Hahaha. Gara2 mustapha sm faroh "fredie" bulsara.

Btw ilustrasi Indira jegeg yaaa, hahaha. Bangkeeee.
 
Ya sabar bro om jay juga punya kesibukan sendiri diluar sana ..
Namanya ngeREMAKE cerita lejen kan susah bro .
 
Ya sabar bro om jay juga punya kesibukan sendiri diluar sana ..
Namanya ngeREMAKE cerita lejen kan susah bro .
Waaah kok lama updatenta suhu
Kenapa belum update juga #ragemodeon




yoi gan, remake yang kemaren itu aja dibuat lama banget ampe 15 draft... kalau mau kualitasnya disamain sama yg sebelumnya, ane gak janji bisa cepet2 ya... season 1 ni, emang perlu banyak polesan

Blm ada apdetan mas Jay.. :ampun:

Ampe finish bisa 3 tahunan kali ya.. :((

kalau angsung rilis... 2 bulan juga beres broo... ini rada lama gara2 ane tambahin cem macem...
 
Wahhh Baru tau klo tread lejen akan di rilis ulang...


Om Jay, Klo mo Break itu akunya jangan di banned napa. biar ceritanya gak keikut ilang.
kemaren ada masalah rumit bro... tiarap dulu jadinya... tapia ne juga nyesel, soalnya trit yg kemaren ikut keapus, nie ane rilis lagi + upgrade visual sebagai tanda permintaan maaf ane buat embaca yang dulu nemenin ane nulis Paradiso selama setahun lebih
 
Semaleman ane ngulik lagu2 queen bang. Hahaha. Gara2 mustapha sm faroh "fredie" bulsara.

Btw ilustrasi Indira jegeg yaaa, hahaha. Bangkeeee.

indira emang :bacol: maskot cerita ini...

yoi bro, ane emang ngefans banget sama Queen dan band2 rock jadul... Mustapha Ibrahim dari Queen, ntar juga ada Sheena dari Ramones
 
Paradiso, sayang hanya sebuah permainan, dan sekarang ada 4 heart and 1 fool, 3 cerbung yg paling keren menurut saya selama ngikutin semprot. Makasih om Jay udah balik lagi :)

hooo... ane masuk nominasi,yah... thx bro komennya..... tambahin Husna dan Lily dari Little Crot bro... itu juga :jempol:

thx bro udah baca cerita ane lagi :ampun:
 
Saya gak pernah baca "paradiso" edisi pertama, jd mohon dimaafkan kl gak bisa ngasih komen perbandingan dgn "paradiso" yg sekarang. Ini juga dah termsk telat bacanya. Terpaksa duduk di pojokan sambil nyimak. Ceritanya keren suhu jay. Goresannya alami. Menyatu dgn alam. Top. Dah bingung aja mo ngasih komen apa utk master satu ini. Takut entar malah dibata kl salah komen. Xixixi... thumb up for u.
thx komennya brooo... silahkan diikutin paradiso versi baru ini... buat perbedaan, ane bakal tambahin banyak narasi buat ngejelasin peristiwa yang terjadi di paradiso ver 2012, yang terkesan asal jalan aja adegan2nnya...

pertama tau cerita ini di detik dot com,sempet kecewa karena disana gak lanjut,ternyata pindah ke semprot dan akhirnya tamat.eh disini sempet kecewa jg kara om master suhu jayporn menghilang tanpa kabar,tapi namany rejeki gak kemana,the master is back,terima kasih telah kembali,hehehehehe
oiya versi non ss nya paradiso dan inferno nya jd dbuat gak suhu?biar bisa di nikmati semua kalangan,hehehehehe

thx komennya bro... maapin kemaern sempet ngilang.... Paradiso ini susah kalau dibikin versi non ss-nya
1. Jiwa Paradiso bakal hilang 40%, kalau ss-nya dihilangin
2. Paradiso ini ripoff abis2an dari Novel 'Perahu Kertas' dan 'Supernova: Ksatria Puteri dan Bintang Jatuh' ya Dee Lestari, kalau sampe masuk toko buku, ane bakal dihujat plagiat, dan macem2.. :bata:
3. Jaya S sendiri masih pengen menikmati anonimitas dalam rimba jagat maya :ngeteh:

tapi thx berat buat perhatiannya... ane seneng banget ada pembaca kaya agan nie.. :ampun:
 
Terakhir diubah:
Fragmen 5
Titik Terang



Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.

Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.

Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api -pralina- dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade -sarkofagus wadah jenazah-, dan pelepah pisang yang tak habis terbakar, dibiarkan teronggok begitu saja di antara rerumputan yang meninggi. Ava sedikit bergidik melihat karangan kembang kertas yang sudah mengering terkelupas di dekat kakinya, menebarkan sisa murung kematian ke seantero Setra.

Ava menebas rerumputan itu dengan arit bersama puluhan warga lain. Jelas sekali Ava tampak ragu-ragu membaurkan diri. Ava takut kejadian seperti Indira terulang lagi, apalagi dengan nama dan penampilan brewoknya.

"Oh, murid Pak De, nggih?" kata seorang bapak-bapak yang mengenakan kaos partai sambil tersenyum.

Namun Ava keliru, ternyata para warga di sini sangat ramah.

"Nggih," jawab Ava, karena dia tahu inggih di sini dan di Jawa tidak berarti berbeda.

"Gus nak Selam ?" kata seorang lagi yang agak botak.

[ Selam = Islam]

Ava menoleh ke Kadek -tidak mengerti artinya, Kadek menjelaskan maksudnya, "Adik agama Islam?"

"Nggih," jawabnya, meskipun Ava tahu dirinya cuma Islam KTP. Ava agak takut, takut menerima reaksi seperti Indira pagi tadi.

Ternyata para warga bertambah ramah, bapak berkaus partai itu berkata, "di sini orang Selam dengan orang Bali sudah lama bersaudara -menyama braya -."

[ Menyama Braya = Bersaudara]

Kemudian warga bercerita tentang persahabatan Raja Gianyar dengan Raja Demak, juga para pedagang Muslim yang menjalin hubungan dengan penduduk desa di masa lalu. Ava cuma manggut-manggut mendengarnya.

Beberapa lama mereka berbincang akrab sambil bersih-bersih, sampai Ava mulai curhat kepada Kadek.

"Dek, Indira marah sama aku nih," kata Ava sambil mengayun-ayunkan arit tümpül-nya, butuh sedikit tenaga agar bisa memotong rumput yang sudah meninggi itu.

"Cie, Kalian itu tiap hari adaaa saja yang diributin! Bertengkar pertanda cinta, bro! Kamu kayak nggak pernah nonton FTV aja!" Kadek sepertinya sengaja menggoda Ava, dengan menjelaskan bahwa percintaan dalam film komedi romantis, selalu berawal dari kejadian percekcokan antara dua pemeran utama.

"Beh, kamu tuh... beneran, nih!" Ava mengayunkan aritnya asal-asalan sehingga tak sedikitpun rumput itu terpotong. "Nggak kayak biasanya, kali ini Indira bener-bener marah!"

"Udah, nyante aja, nanti lama-lama juga baik sendiri," kata Kadek bagai acuh tak acuh. "Eh, tapi bener, kan? kamu naksir Indira."

Ava menimpuk Kadek dengan kerikil. Kadek mengelak sambil tergelak.

"Jangan mimpi terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit," ledek kadek tanpa beban.

Bukan itu, batin Ava pada dirinya sendiri sambil menyabetkan aritnya dengan lebih galau lagi. Ada sesuatu yang mengganggu benaknya, namun Ava tak tahu persis apa. Semenjak ia menjejakkan kaki di Pulau Dewata, tak sedikit hal yang mengganggu perasaan Ava dan dirinya bahkan tidak tahu harus mengurai dari mana. Benak Ava mencoba menghubungkan satu demi satu potongan teka-teki, berusaha mencari sebüȧh konklusi.

"Kadek... aku mau tanya..." Ava berdehem, "tentang kakak... dan ibunya Indira..."

"Hush!" Kadek langsung melotot. "Aku lupa kasih tahu, pokoknya jangan sekali-kali kamu ungkit-ungkit masalah kakak dan ibunya Indira! Nggak ke Pak De, nggak juga ke Indira!"

"Kenapa?"

"Ceritanya panjang...," desis Kadek dengan pandangan mengawang, merunuti satu-persatu alang-alang yang tumbuh di sela-sela batu nisan.

Sinar matahari menelusup dari sela daun pohon beringin raksasa yang merindangi pemakaman tersebut, jatuh menjadi larik-larik cahaya yang merupa tirai bagi sebüȧh kisah yang mulai disingkapkan. Ava tertegun lama, hanya bisa menyimak dalam diam.

= = = = = = = = = = = = = = = = =​

Kadek bercerita bahwa dulunya keluarga Pak De terdiri dari 4 orang. Pak De, Julia-ibu Indira, Raka, dan Indira sendiri...

Pak De bukan berasal dari keluarga seniman, bakat seni yang mengalir di dalam darahnya murni karunia Dewata dan hasil kerja keras Sang Maestro selama bertahun-tahun. Ayah Pak De sendiri keturunan bangsawan, seorang tuan tanah yang memiliki berhektar-hektar perkebunan cengkeh dan kopi. Oleh beliau, Pak De disekolahkan di The Art Institute of New York. Di sinilah ia berkenalan dengan Julia, ibunda Indira, seorang mahasiswi jurusan musik berdarah Australia. Tak butuh waktu lama sampai api asmara saling memercik dan membara di antara keduanya.

Kembali ke Indonesia, Pak De berpetualang menimba ilmu dari Maestro-maestro lukis Indonesia; Affandi, Basuki Abdullah, sampai akhirnya Pak De dan Julia menetap di Ubud dan berguru pada pelukis sepuh yang mendiami pedesaan yang konon disebut sebagai kampung para seniman itu.

Raka, putera pertama Pak De, bocah jenius yang digadang-gadang mewarisi bakat seni Sang Maestro. Di usia ke 10 Raka sudah bisa menguasai teknik menggambar perspektif yang biasanya menjadi mata pelajaran SMA, bahkan mahasiswa seni rupa. Menginjak remaja, Raka sudah piawai membuat sketsa wajah bahkan hingga sulit dibedakan dengan aslinya. Untuk itu Sang Maestro pantas bangga.

Sementara Indira mewarisi kecantikan dan keceriaan sang ibu. Sejak duduk di sekolah dasar Indira sudah terbiasa kemolekan tübühnya diabadikan dalam kanvas menemani ibunya. Kadang masih mengenakan secarik selendang yang disampirkan di kėwȧnïtȧȧn, kadang malah tanpa büsȧnȧ sėhėlȧïpun, seperti layaknya signature karya-karya Sang Maestro yang mulai dikenal dengan keindahannya dalam memotret tübüh polos mȧnüsia dalam media kanvas dan akrilik.

Di pertengahan tahun 90-an, Gede Subrata, alias Pak De mulai terkenal sebagai seniman aliran realis yang karya-karyanya diperhitungkan di kancah seni rupa Indonesia, bahkan Mancanegara. Beliau mulai diundang sebagai pembicara dan pemateri di kampus-kampus mentereng seperti ITB dan IKJ. Karya-karyanya mulai dipamerkan di mancanegara dan ditawar dengan harga yang tidak pernah disangka-sangka!

Seolah-olah kebahagiaan keluarga kecil itu akan berlangsung selamanya. Namun, mȧnüsia terkadang lupa. Kebahagian, kesedihan, hanyalah roda yang saling balik membalik. Segala yang berwujud akan menemui akhir.

"....tapi semuanya berubah semenjak kakak dan ibunya Indira... meninggal..." ujar Kadek getir, menutup ceritanya. "Aku juga sedih, Va... semenjak itu hidup Pak De dan Indira nggak pernah lagi sama seperti dulu..."

"Kakak dan ibu Indira...," takut-takut Ava bertanya. "Meninggal.... kecelakaan?"

"12 Oktober 2002," desis Kadek.

Kadek hanya menyebut urutan tanggal dan tahun yang nyaris tak bermakna. Namun bagi yang mengikuti perkembangan berita di tanah air, pasti akan langsung mengetahui persis apa yang terjadi di pulau Dewata pada tanggal tersebut. Kemarahan Indira yang tanpa sebab. Sebutan teroris. Wajah brewok. Kematian kakak dan ibu Indira. Kini semuanya menunjukkan titik terang.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Fragmen 6
Jalan Panjang Menuju Paradiso
Dari mana logikanya mȧnüsia bisa mencari jalan pintas menuju Surga dengan mengorbankan ratusan mȧnüsia yang lain? 10 tahun sudah berlalu, namun pertanyaan itu terus menghantui Indira.

Usia Indira baru 7 tahun, ketika kakak dan ibunya direnggut bersama dengan ratusan lain yang meregang nyawa. Indira masih terlalu muda untuk memahami bahwa yang terjadi hanyalah salah satu dari mata rantai kebencian yang tidak pernah putus. Pembantaian Sabra dan Shatilla dibalas dengan peledakan bom mobil di Tel Aviv. Penghancuran menara kembar WTC dibalas dengan nyawa anak-anak yang meregang terkena bom di Kandahar. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa. Puluhan millenia berlalu semenjak Kain dan Habel saling menumpahkan darah di bumi untuk kali pertama, tapi mȧnüsia seolah tak pernah puas menuntut darah sesamanya.

Tentu saja, semua pertanyaan itu terlalu filosofis dan luas untuk dipahami remaja seperti Indira. Gadis kecil itu kehilangan keluarganya, dan itu saja sudah cukup untuk menjadikan sang bidȧdȧri sebagai salah satu mata rantai yang meneruskan kebencian di muka bumi.

"Ajik, Indira mau ngomong!"

Sang Maestro sedang asyik melamun sambil menghisap rokok kretek, ketika puterinya yang datang dengan pinggang berkacak. Tak langsung menjawab, lelaki tua itu terbatuk sejenak, tersedak asap rokoknya sendiri.

"Ada apa, gek?" tanya Pak De ketika batuknya berangsur mereda.

"Kenapa harus Ava, Jik... kenapa Ajik memilih dia jadi murid Ajik?" tanya Indira tajam. Suaranya sudah bergetar menahan luapan emosi yang membuncah di dȧdȧnya. Namun anak itu berusaha tetap tenang dan duduk di kursi persis di hadapan ayahnya.

"Kenapa, kamu nggak suka sama Ava....?"

"Seharusnya Ajik menyelidiki latar belakang calon murid Ajik, sebelum membiarkan mereka tinggal di rumah kita." Indira terdiam sejenak. Memandangi mata ayahnya dalam-dalam. "Ajik nggak tahu? kalau Ava itu..."

Terdengar helaan nafas berat dari bibir Sang Maestro yang dirimbuni brewok lebat, ketika mulai menangkap ke mana pembicaraan ini akan mengarah.

"Gek, 10 tahun sudah lewat, sampai kapan kamu terus seperti ini?" Pak De berujar pelan, balas menatap Indira dengan prihatin.

Indira mendengus kesal. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya mau menerima teroris seperti Ava. Remaja itu protes keras, namun keputusan ayahnya sudah bulat. Beliau malah menasihati Indira agar bisa melupakan masa lalu. Sungguh, bagi gadis remaja seperti Indira, kata-kata ayahnya itu seperti sembilu yang disayatkan ke hatinya!

"APA AJIK SUDAH LUPA PADA ORANG-ORANG YANG TELAH MEMBUNUH MAMA?!"

"Gek! Ava itu tidak ada sangkut pautnya dengan kematian kakak dan ibumu!"

"NGGAK ADA SANGKUT PAUTNYA? MAMA DAN KAK RAKA JUGA NGGAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN PEPERANGAN MEREKA!"

Indira menggebrak meja di hadapan ayahnya. Dari dulu ia ingin melakukan hal itu kepada lelaki yang setelah kematian kakak dan ibunya malah lebih menenggelamkan diri dalam dunia lukis ketimbang menemani dirinya.

"GEK! KAMU JANGAN KURANG AJAR SAMA ORANG TUA!"

"BIAR! POKOKNYA AJIK HARUS MILIH! AVA YANG PERGI! ATAU INDIRA YANG PERGI!" jerit Indira geram lalu membanting pintu ruang kerja ayahnya.

Pegawai-pegawai Pak De segera berkerumun melihat perkelahian ayah dan anak itu, namun semuanya lebih memilih diam dan menyaksikan Indira yang menyambar helm dan kunci motornya. Tak ada satupun yang berani menghentikan Indira ketika anak itu membunyikan gas kencang-kencang, lalu memacu motornya keluar gerbang dengan kecepatan tinggi.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Sang ayah hanya bisa berkali-kali menghela nafas, menyaksikan putri semata wayangnya lepas kendali. Ketidakpedulian ternyata bisa menjadi bom waktu yang meledak setelah sekian lama.

Dengan tangan bergetar, lelaki tua itu menyalakan sebatang rokok untuk menggenapi 9 lain yang sudah terlebih dahulu menjadi puntung. Dalam-dalam, dihisapnya segala partikel tar dan nikotin hingga memenuhi paru-parunya, sebelum dikeluarkan dalam hembusan nafas yang diiringi batuk berkali-kali.

Ada sebüȧh lukisan istimewa di dalam ruangan kerja Pak De yang dipenuhi buku-buku, ukiran antik, dan piringan hitam. Lukisan berukuran besar yang selama ini dibiarkan tertutup kain putih di sudut ruangan. Perlahan, Pak De mendekati lukisan tersebut, lalu mengibaskan penutupnya yang berdebu. Terdengar suara batuk ketika tabir yang menutupi lukisan setinggi 2 meter tersebut tersibak. Hening. Dėsȧh nafas terdengar menghembus ketika lukisan itu sepenuhnya terbuka.

Di hadapan Sang Maestro kini berdiri sebüȧh lukisan seorang wanita cantik berkulit putih yang mengenakan kebaya Bali. Ada aura mistis yang meruap dari lukisan itu, entah apapun itu. Aura yang hangat tapi juga merindingkan bülü roma seolah sosok di dalamnya masih memiliki jiwa. Renjana melarutkan Pak De dalam sebüȧh dunia serba magis di mana ruang dan waktu tak lagi banyak berarti. Di mana dia, istrinya, Raka, dan Indira masih bisa saling memeluk sebelum lelap tertidur.

Tidurlah yang nyenyak, kata kau dulu. Tidurlah yang lelap, katamu selalu. Barangkali dalam mimpi, kita bisa bertemu kembali....

Bersambung...

[video=youtube;Sf5pBIi878w]

Jauh perjalanan
mencari intan pujaan
aduhai, dimana puan
mengapa pergi tanpa pamitan?

Lembah kuturuni, bukit nan tinggi ku daki
aduhai, tak kunjung jumpa

mengapa hilang tak tentu rimba?
Laut, hempaskan ku padanya
Bintang, tunjukkan arah
Oh, angin bisikkanlah, mana dia...

Hati cemas bimbang
harapan timbul tenggelam
aduhai, permata hati
mungkinkah kelak berjumpa lagi?


 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd