Chapter 3
A Memory on Kaliurang
Gua Jepang, Kaliurang
Sleman, Yogyakarta
22 November 2009
Aku menyukai hawa dingin pegunungan, sejuk, dan matahari tak pernah bersinar terik. Kaliurang adalah salah satu tempat favoritku sebagai salah satu tempat untuk menyepi, menjauh dari hiruk pikuk perkotaan yang terkadang membuatku penat. Hari ini aku dan Maya melakukan photoshoot di Kawasan Wisata Kaliurang. Perjalanan menuju Kaliurang dari Kota Jogja, selalu menyenangkan. Sebuah gunung dengan jalan di tengah tengahnya, serta hamparan hijau di kedua sisi jalan, diselingi dengan beberapa rumah penduduk. Seolah-olah mengingatkanku pada lukisan pemandangan saat masih di bangku taman kanak-kanak.
Gunung Merapi berdiri gagah namun malu-malu tersaput kabut di utara. Udara sejuk menyambut kami, menghilangkan penat perjalanan yang membebani. Angin yang bertiup diantara rindangnya hijau dedaunan memberikan kesegaran kami untuk mendaki Bukit Plawangan, lokasi gua jepang yang akan menjadi background pemotretan kali ini.
Setibanya di tempat yang bernama resmi Taman Nasional Gunung Merapi ini, kami disambut oleh kawanan monyet gunung yang memang mendiami kawasan tersebut. Mereka berayun dari satu pohon ke pohon lain, beratraksi memamerkan kelincahannya pada pengunjung yang datang ke kediaman mereka.
Mana guanya kak? Tanya Maya sambil celingukan.
Tuh, masih harus naik kita kesana nanti. jawabku sambil menunjukkan jalan kecil mendaki di depanku.
Perlu dibantuin gak bawa barangnya? Maya melihatku kerepotan membawa barang-barangku.
Enggak kok, ini cuman mau ngeluarin kamera doang jawabku lagi sambil menutup zipper ranselku.
Cukup terjal jalan mendaki menuju gua jepang yang terletak di atas Bukit Plawangan, kurang lebih di ketinggian tujuh ratusan meter. Untung saja hari itu aku tidak membawa perlengkapan perangku dengan lengkap. Bayangkan saja jika aku harus membawa lampu, accu, softbox ditambah satu set kamera, masih harus mendaki bukit yang terjal dengan jalan curam berkelok-kelok.
Dek, coba berhenti dulu! aku berhenti saat kami baru berjalan beberapa puluh meter. Coba kamu pose di sini. Kayaknya bagus deh. Kataku sambil menunjuk sebuah pohon yang berdiri di tepi jalan terjal menuju atas bukit.
Di sini kak? tanyanya memastikan.
Aku mengangguk, menyiapkan kamera untuk membidiknya. Maya berpose, tangannya bersandar pada batang pohon yang sedikit berlumut. Ia tersenyum. Manis, tapi sedikit kaku.
Mirip monyet kamu, May. Komentarku.
Ia cemberut dan
.
Jepret!
Wajahnya yang cemberut tampak lucu di viewer kameraku. Aku mendekat padanya dan menunjukkan hasil bidikanku.
Aaaww Jelek banget wajahku. Komentarnya dengan nada merajuk.
Ini bagus dek, alamiah, tadi waktu kamu senyum kelihatan aneh malahan jawabku sambil memberinya kode untuk meneruskan perjalanan ke atas.
Setelah mendaki cukup jauh, sampailah kami di Gua Jepang. Gua ini sebenarnya adalah bungker pertahanan jepang, yang dibangun saat proyek romusha pada masa pendudukan Jepang. Jangan dibayangkan bungker ini seperti bungker pasukan Viet Cong yang berbentuk seperti lubang semut, atau seperti labirin di bawah tanah. Goa Jepang di Kaliurang ini lebih seperti lubang dengan kedalaman sekitar lima puluh meter, dan ada sekitar duapuluhan Gua dalam satu kawasan ini.
Maya bersandar di tebing baru di dekat pintu salah satu gua. Tangannya memegang dada kirinya. Wajahnya meringis, seperti menahan sesuatu.
Kenapa dek? tanyaku khawatir.
Enggak apa-apa kak. Jawabnya mencoba menenangkanku. Paling gara-gara lama nggak pernah naik bukit. Lanjutnya.
Ooh,
eh tapi kamu nggak ada asma kan?
Enggak kok kak, aku nggak asma. Jawabnya dengan nafas yang masih memburu. Matanya mengerut, seakan merintih menahan perih.
Bener kamu nggak apa-apa?
Iya kakak ia meraih tissue di tasnya, menghela peluh yang mulai keluar. Bentar ya Kak, benerin make-up dulu. Ia kemudian meraih tasnya mengeluarkan tempat make up kecil yang lebih mirip tempat pensil.
Setelah Maya merapikan riasannya, kami melanjutkan photoshoot. Ia mencoba berpose bak model professional, tapi tentu saja aku harus banyak mengarahkannya. Aku lebih tahu bagaimana harus berpose seksi tapi tidak nampak murahan.
Aku menggunakan lensa 18-55mm untuk memotret Maya yang mengenakan Taktop kuning dan minipants yang serasi dengan atasannya, membalut kulitnya yang kuning langsat. Ia tampak serasi sekali dengan pemandangan hijau yang menjadi latar belakang. Setelah puas mengeksplorasi Maya dan latar belakang yang hijau menyegarkan itu, kami turun ke taman yang ada di dekat pintu masuk.
Maya kembali membungkuk, bersandar pada tiang ayunan, memegangi dada kirinya lagi.
Kamu lagi sakit ya Dek?
Ia menggeleng. Namun aku tahu ia menahan sakit di dadanya.
Istirahat dulu aja yuk. ajakku.
Maya kemudian duduk di ayunan, mengayunkannya perlahan. Wajahnya yang lucu, nampak ceria.
Udah lama aku nggak main ayunan lho Kak serunya sambil mengayunkan ayunan itu.
Aku membidiknya dengan kameraku. Ekspresi kecerian Maya yang sedang berayun gembira menjadi sasaran ekplorasi mata lensa kameraku.
Kalo kamu sakit, kita pulang aja yuk. ajakku lagi.
Ia memasang wajah cemberut, sambil menggeleng.
Ya udah deh, tapi ngambil di sekitaran taman saja.
Akhirnya kami melanjutkan sesi photoshoot di sekitar taman. Taman Nasional Gunung Merapi hari ini cukup banyak pengunjung. Banyak pasangan dari berbagai usia datang berkunjung ke tempat ini. Maklum, hari minggu. Kaliurang memang sering sekali menjadi tempat para pasangan yang memadu kasih. Mungkin karena udara dingin dan banyak penginapan dengan harga terjangkau yang membuatnya, ahh begitu deh.
Pemotretan berlanjut hingga mega mendung datang menggelanyut ingin menumpahkan bebannya. Khawatir akan turunnya hujan, kami berkemas dan beranjak turun. Sialnya, gerimis yang lumayan deras menyambut kami di pintu keluar Taman Nasional Gunung Merapi. Kamipun memutuskan mampir berteduh di sebuah warung teh poci di samping Taman Rekreasi Kaliurang.
Bu, Roti bakar coklat kalih, kaliyan teh poci setunggal (Bu, Roti bakar cokelat satu, sama teh poci satu dong) aku memesan pada ibu pemilik warung.
Kami duduk di meja depan, sambil melihat hujan yang mulai menderas. Hujan menambah suhu pegunungan di Kaliurang menjadi semakin dingin.
Jingan! Uadem! (Bajingan! Dingin) Gerutuku, sambil menggigil kedinginan.
Kulihat Maya menggigil menahan dingin. Pakaiannya sedikit basah.
Dingin May? tanyaku basa basi.
Dia hanya mengangguk. Aku melepas jaketku lalu meletakkannya ke tubuhnya. Setidaknya membantunya menahan serbuan udara yang semakin mendingin.
Bajumu basah lho, kamu nggak bawa baju ganti?
Ia menggeleng, masih menggigil kedinginan.
Aku merengkuh bahunya, mencoba memberikan pelukan yang hangat. Padahal aku sendiri merasa kedinginan. Ia menyandarkan bahunya kepadaku.
Kak Firman kok baik sama aku sih?
Lha piye meneh May? (Lha, gimana lagi May?) Jawabku sembari mengeratkan pelukanku.
Hujan semakin bertambah deras menerpa atap seng warung teh poci, diselingi gemuruh petir yang bertalu-talu semakin membuat bising. Angin gunung yang kencang menambah suasana menjadi semakin dingin. Padahal jarum pendek di jam tanganku belum menyentuh angka lima. Namun suasana sudah gelap seperti hari yang menyambut malam.
Kok nggak segera reda ya hujannya tanyanya dalam gemuruh petir.
Nanti juga reda. Badai aja berlalu, apa lagi hujan.
Siapa yang akan menyangka aku bisa memeluk seorang gadis yang umurnya enam tahun lebih muda dariku di tengah hujan petir. Apalagi belum genap seminggu aku mengenalnya, namun entah mengapa ia mampu memberikan perasaan hangat yang nyaman di hatiku. Hati? Apakah aku masih memilikinya? Entahlah.
Pikiranku terbanting ke masa lalu. Aku seolah mengingat kembali fragmen-fragmen masa laluku. PDKT, nembak, pacaran, bersetubuh, jenuh, dan berakhir. Sebuah siklus yang selalu kulalui selama ini bersama mantan-mantanku. Saat sedang birahi, aku cukup membeli tubuh penjaja cinta semalam, bahkan terkadang banyak model yang pernah aku foto menawarkan kehangatan tubuhnya. Kewan (Binatang)! Aku memaki kelakuanku.
Aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Apakah ia hanya berakhir di ujung batang kemaluanku? Tidak! Jangan! Ada rasa tidak tega mengalir di benakku, bercampur dengan rasa sayang di hatiku. Hati?
Tangan Maya menyusup di sela badanku. Tubuhnya menempel mencari hangat dari tubuhku. Aku merengkuhnya mencoba memberikan
. Eh, ini kok empuk? Dadanya yang tak terlalu besar, menempel di sisi tubuhku. Damn! Hawa dingin kaliurang dan seorang gadis manis dalam pelukanku membuat kemaluanku memberontak di balik sempak. Fuck! Dasar selangkangan tidak tahu diri!
Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari pikiran mesum yang menyerbu menawarkan opsi skenario untuk sekedar bertukar kehangatan di suasana yang dingin itu. Hati dan selangkanganku bertarung, bersama dengan logika dan nafsu yang merongrong di antara kedua kakiku yang menggeliat ingin dipuaskan. Duh! Bagaimana ini?
Kak. Panggilnya membangunkan aku dari lamunanku. Udah nggak hujan tuh
Aku melihat hujan mulai menipis, pertanda segera reda. Akupun segera bangkit dan mengemasi barang bawaanku. Kemudian membayar pesanan kami ke pemilik warung. Diiringi gerimis tipis kami beranjak ke selatan.
Gerimis tipis itu perlahan kembali menebal. Hujan deras kembali turun mengejar kami yang berjalan menuju selatan. Kami berteduh di depan warung kelontong.
Duh, berteduh lagi dek. Hujannya ngapusi. Ujarku.
Aku merogoh kantung celanaku, mencari rokok. Duh! Kok nggak ada? Astaga pasti ketinggalan di warung tadi! Batinku, sembari menepuk jidatku.
Kenapa Kak? Tanya Maya heran.
Rokokku ketinggalan. Jawabku singkat. Bentar tak beli dulu lanjutku saat teringat kami berteduh di depan warung kelontong.
Aku berdiri, melongokkan kepalaku ke balik etalase kaca warung.
Nuwun sewu (Permisi).
Njih, sekedap mas (Ya, sebentar mas). Jawab seseorang dengan suara berat dari balik etalase.
Tumbas rokok Pak (Beli rokok Pak). Kataku sambil menunjuk sebungkus rokok yang terpampang di etalase.
Monggo, sedoso mas. (Silakan, sepuluh ribu mas)
Njih pak. (Ya Pak) aku memberikan selembar puluhan ribu pada bapak itu.
Deres nggih mas? (Deres ya Mas?) Bapak itu bertanya sekedar basa basi.
Njih pak, jawah terus nggih mriki? (Iya pak, Hujan terus ya disini)
Lha nggih mas, mongso rending. (Lha iya Mas, namanya musim hujan) bapak itu terkekeh mendengar pertanyaanku.
Kulo nderek ngeyup ten ngajeng nggih pak (Saya numpang berteduh di depan ya pak).
Mbok mlebet mawon nek purun. Mesakke mbake kok sajake katisen (Kalo mau masuk aja mas, Kasihan mbaknya kok kelihatannya kedinginan) Bapak itu mempersilakan masuk ke Penginapan di sebelah warungnya.
Lho, niku kagungane panjenengan pak? (Lho, itu punya anda Pak?)
Nggih mas, kerep sepine kok niku. (Iya mas, tapi sering sepi kok) jawabnya. Nek mung ngeyup, nopo badhe siram rumiyin tok kulo paringi mirah (Kalo mau berteduh, atau mau mandi dahulu saya kasih murah) Bujuk bapak itu
Ohh, nggih mboten nopo-nopo pak (Oh ya nggak apa-apa Pak) jawabku sambil melihat langit yang masih gelap. Sepertinya hujannya akan lama.
Parkire ten mriko mas, motore dilebetke mawon. (Parkirnya di sana Mas, motornya dimasukin saja)
Aku mengangguk, kemudian mengajak Maya masuk. Ia mengikutiku dengan langkah ragu.
Kok malah check in sih Kak? tanyanya setibanya di dalam kamar.
Udah, dari pada kamu kedinginan. Kataku sambil membuka zipper ranselku, biasanya aku menyimpan beberapa kaus cadangan. Lagi pula hujannya deras gitu. Lanjutku.
Tapi aku nggak bawa uang lho Kak, Aku jadi ngrepotin kakak lagi kan?
Udah, nggak usah dipikir. Kamu mandi trus ganti baju ini gih, aku menyodorkan kaus ganti dari tas ranselku.
Maya mengambilnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Aku mendengar pintu kamar mandi dikunci. Kamar ini sederhana, khas penginapan-penginapan kelas melati yang banyak tersebar di kawasan Kaliurang. Kotak empat belas inch, air hangat dan kasur busa di atas ranjang kayu sederhana menjadi fasilitas yang selalu ada.
Tok... tok
tok
.
Aku membukakan pintu. Bapak pemilik penginapan muncul membawakan dua gelas teh hangat beserta cemilan, sebungkus tissue dan permen.
Halah, pak. Malah ngrepotin.
Wah mboten mas, niki pun sepaket kok. Monggo disekecaaken. (Wah, nggak kok mas, ini sudah sepaket. Silakan dinikmati. Katanya sambil tersenym di balik kumis tebalnya, lalu beranjak pergi.
Aku meletakkan welcome drink itu di meja kecil di samping televisi. Kulihat ada bungkusan yang familiar di balik tissue. Kuambil bungkusan itu. Ealah, lha tenan to. Kondom. Duh pak kami ndak bermaksud
. Ah sudahlah, kumasukkan 3 bungkus kondom itu ke dalam saku celanaku. Siapa tahu kelak butuh.
Aku melepas kaus dan celanaku yang setengah basah , menggantungkannya di gantungan baju di depan kamar mandi. Menyisakan celana Boxer yang tidak begitu basah. Maya membuka kamar mandi dan terkaget melihatku seperti melihat penampakan tuyul cakep.
Kak! Kok nggak pake baju gitu sih? Sergahnya sambil mencoba menutup mata dengan handuk yang ia bawa.
Lha basah, aku kan juga kedinginan. Sahutku beralasan. Pinjem handuknya dong Dek. Pintaku kemudian.
Maya menyodorkan handuk yang ia bawa. Kemudian ia duduk di ranjang sambil menghidupkan televisi dengan remote.
Setelah merasa tubuhku agak kering aku menyusulnya duduk di atas ranjang. Kuamati Maya yang sedang menyaksikan infotaintment di televisi. Maya mengenakan kaosku yang terlalu besar untuknya. Ia hanya mengenakan bra dan celana dalam di balik kaos itu. Mini pantsnya ia sampirkan ke punggung kursi karena cukup basah. Ah, jadi pengen bikin isinya basah. Heh! Mikir apa sih aku ini.
Aku duduk di samping Maya. Ia bergeser sedikit dari tempatnya, memberiku tempat. Lalu ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Tanganku kembali merengkuh tubuhnya yang dingin.
Aku mengecup dahinya perlahan, semesra mungkin. Ia tidak menolak, malah semakin mendekatkan tubuhnya. Aku merasakan dadanya yang lembut menyentuh tubuhku. Aku mengecup bibirnya, lalu melumatnya perlahan. Ia kaget dengan ciumanku yang tiba-tiba, namun ia membalasnya dengan lumatan lembut. Perlahan, kami pun berbaring, sambil masih berciuman. Nafasnya memburu. Tanganku bergerilya di punggungnya, di balik kausnya mencari kaitan bra. Dalam sekali sentak lepaslah bra berwarna biru muda setengah basah yang ia kenakan.
Tanganku menyusup ke depan, menyentuh dadanya. Ia sedikit merintih saat aku menyentuh putingnya yang lembut dari balik kaosnya. Perlahan aku memindahkan ciumanku ke lehernya. Ia mendesah, terdengar seksi sekali di telingaku. Tanganku kemudian bergerak meloloskan kaus dan bra yang dikenakannya. Aku melempar kedua penutup tubuhnya ke samping ranjang, dengan masih menciumi lehernya yang menggoda.
Ciumanku bergerak turun ke dadanya. Ia mencoba menutupi dadanya dengan tangannya.
Kak, aku
Ciumanku memutuskan kata-kata yang hendak ia ucapkan. Dinginnya udara yang tak tertahankan oleh tembok kamar dan seorang perempuan belia di dekapanku ini membuatku tak kuasa menahan gejolak birahiku. Kemudian kutuntun telapak tangannya yang semula menutupi dadanya untuk meremas kedua bongkahan payudara khas ABG itu. Dadanya memang tak terlalu besar tapi siapa yang perduli hal itu saat logika selangkangan sudah bekerja.
Tanganku bergerilya ke bawah, menyibak kain yang menutupi bagian intimnya. Lipatan kemaluannya tertutup rambut tipis yang tumbuh di tepi labia mayoranya. Kuelus perlahan kewanitaannya. Ia mendesis. Jemariku menyusup mencari-cari kelentitnya yang sudah sedikit basah.
Maya menggeliat kegelian saat klitorisnya dimainkan oleh jemariku. Kugosok perlahan. Desahan tertahan mengiringi gerakan jemariku yang membuat kelaminnya membanjir. Kulepas ciumanku, membiarkan ia mendesah lepas. Aku mengulum kecil cuping telinganya. Menciumi area di belakang telinganya.
Hujan di luar sana masih deras berlanjut. Tetabuhan langit berkumandang, menghasilkan gemuruh yang tak ingin kalah dari desahan Maya. Tiba-tiba tubuh kecil Maya menggelinjang. Desahannya mengiringi keluarnya gelombang nikmat yang menyerbu seluruh tubuhnya.
Aku diam-diam menurunkan boxer yang kupakai. Batangku melunjak keluar dari selubungnya. Berdiri tegap siap menuntaskan tugasnya. Namun aku masih bermain-main dengan tubuh Maya. Aku beranjak bergerak ke atas tubuh maya. Dadaku yang bidang dan Dadanya yang kenyal saling bergesekan. Kurasakan putingnya menyentil-nyentil permukaan torsoku.
Batangku bergesekan dengan rambut kemaluan Maya yang sedikit basah terkena lendir kemaluannya. Tanganku kemudian mengarahkan batangku menyentil kelentit Maya. Maya hanya mendesah. Lalu merintih kala kutuntun perlahan batangku masuk ke dalam liang kenikmatan Maya.
Kak pelan-pelan
telingaku menangkap kata-kata itu diantara desahnya.
Aku menggoyang pinggulku perlahan. Erat sekali liang hangat perempuan belia ini. Liangnya perlahan mempersilakan batangku masuk dengan sempurna. Batangku merasakan sambutan hangat. Terasa nikmat sekali cengkeraman kemaluan perempuan belia ini.
Udara dingin sudah tak kami rasakan, gesekan tubuh dua insan yang sedang memacu kenikmatan ini saling berbagi kehangatan. Kami tak lagi menghiraukan hujan deras yang sedang mengguyur kawasan kaki Gunung Merapi ini. Kami berasyik masyuk beradu pinggul mengadu kelamin yang berbeda jenis.
Desahan Maya semakin intens mengiringi kayuhan pinggulku yang perlahan kupercepat. Ia tak lagi malu-malu mendesah nikmat. Pinggul kami beradu mesra. Kemudian tubuh kecil yang berada di bawahku itu bergetar hebat. Kembali gelombang kenikmatan menerpanya. Aku menatap matanya yang menatapku balik dengan tatapan sayu. Cantik sekali wajahnya saat itu. Aku mencium bibirnya dengan mesra. Lidah kami bertaut dalam rongga mulut kami.
Aku kemudian melepas ciumanku, bangkit melepaskan batangku dari kemaluannya. Kuarahkan tubuh maya menyamping dan aku memposisikan diriku di belakangnya. Tanganku meremas lembut dadanya, memainkan putingnya dan bibirku menjelajahi tengkuknya. Kuselipkan batangku kembali ke kemaluannya. Ia mulai mendesah lagi. Kupompa kembali batangku keluar masuk perlahan. Aku tak ingin terburu. Aku ingin melalui kenikmatan ini bersamanya selama mungkin.
Aku sayang kamu May
kata kata itu melompat dari bibirku diantara lenguhan nikmat.
Entah Maya mendengarkannya atau tidak. Aku tenggelam dalam rasa nikmat, rasa sayang, ah entahlah. Aku hanya ingin menikmati saat ini. Tangan maya kemudian menarik taganku yang kuletakkan di pinggangnya. Ia ingin aku mendekapnya, erat. Dadaku merasakan kehangatan punggung kecil Maya.
Pinggulku kembali beradu dengan pinggulnya, sementara tubuhku merengkuh tubuh kecil Maya. Sudah tidak kami rasakan lagi kedinginan karena kehujanan beberapa waktu lalu. Bahkan kini peluh mulai menggeliat keluar dari kelenjar di balik kulit kami yang bergesekan mesra.
Kurasakan detik-detik mencapai klimaks itu menghantamku semakin kuat. Tanganku semakin erat merengku tubuh mungil Maya. Seperti yang biasa terjadi di akhir persetubuhan antara dua insan manusia. Batangku memuntahkan seluruh isinya.
Sekali lagi seorang perempuan menjadi korban kebuasan batang kejantananku. Kali ini bukan karena aku hanya ingin menikmati tubuhnya. Persetubuhan kali ini lebih didorong oleh rasa sayang? Mungkin. Ah Dasar Kewan.