End of Beginning III B : Elang
Dalam perjalanan pulang dari Bandara sehabis mengantar Gavin, aku memisahkan diri dari rombongan Mas Bram. Aku memang bisa memberi nasihat pada Gavin. Tapi pada kenyataannya aku sendiri masih bingung dengan keputusanku. Bukan soal tugas belajarku. Soal itu aku sudah mengambil keputusan, aku akan mengambil tawaran dari Mabes itu. Kapan lagi, kalau bukan sekarang. Lagi pula pendidikan ini juga menambah pengetahuan dan keahlianku dalam menjalankan tugas-tugasku di masa depan.
Yang kupikirkan adalah bagaimana hubunganku dengan Avi dan Chantal, dan bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada mereka. Aku memang belum mengatakan hal ini pada mereka. Avi sedang ada tugas peliputan di luar kota selama seminggu. Sementara Chantal juga ada urusan selama tiga hari di luar kota. Tadi pagi dia sudah memberi tahu bahwa dia sudah kembali. Tadi aku sudah memberi tahu Ayah dan Ibu ( Gavin ) bahwa aku akan pulang terlambat. Sebelum aku menuju rumah Chantal, aku sempatkan untuk ke kantor.
Seorang kawanku telah mengirimkan data-data yang kuminta. Berdasarkan foto dan rekaman cctv yang diberikan Gavin. Orang-orang yang mengawasi rumah Fariz tidak mempunyai riwayat kejahatan. Sementara mobil yang mereka gunakan adalah milik salah seorang pengusaha besar. Apakah ini ada hubungan dengan persaingan antar pengusaha atau hal lainnya, aku belum tahu. Mungkin besok aku akan mulai menyelidikinya, sesuai janjiku kepada Gavin.
#####
Jam delapan malam aku sampai di rumah Chantal. Mazel sudah tidur, sementara Nathan masih belajar. Chantal sedang ngobrol dengan Prudence di ruang makan. Melihatku datang, Chantal menawariku makan malam. Aku yang kebetulan makan, dengan senang hati menerimanya. Chantal melayaniku seperti melayani suaminya yang baru pulang kerja. Hal itu membuatku merasa tidak enak hati. Apalagi ada Prudence di tempat ini.
Tidak lama kemudian Prudence pulang, dijemput temannya. Saat Chantal membersihkan peralatan makan, aku ke kamar Nathan dan berbicara sebentar dengannya. Setelah dia bersiap tidur aku keluar dari kamarnya sambil mengucapkan selamat malam.
Aku menuju ke ruang keluarga, kemudian menyalakan televisi. Tidak lama kemudian Chantal datang dan duduk di sebelahku. Untuk beberapa saat kami hanya diam. "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Avi?" tanya Chantal tiba-tiba.
"Masih jalan di tempat," ucapku setelah diam lama.
Kembali kami saling diam. Hanya suara televisi yang terdengar di ruang itu. "Chant, aku ingin berbicara tentang sesuatu," kataku.
Dia menengok ke arahku. Menatap mataku, melihatku serius dia kemudian mematikan televisi. Setelah mengambil nafas panjang aku berkata, "Entah hal ini ada hubungan denganmu atau tidak. Aku hanya ingin kau mengetahuinya. Aku akan di kirim ke Amerika untuk pendidikan selama 6 - 18 bulan."
Aku tatap matanya, ada keterkejutan dan kesedihan di mata itu. "Selama itu?" desisnya.
"Ya," anggukku.
"Bagaimana dengan Avi?"
"Dia belum tahu."
Chantal menatapku tidak percaya. "Dia masih di luar kota," jelasku.
"Aku tidak berhak untuk melarangmu. Lagi pula aku tahu sifatmu, aku larangpun kau pasti akan tetap berangkat. Benarkan?"
"Ya. Aku tidak minta kau melarangku. Tapi kau pasti mengerti, kau adalah salah satu wanita yang spesial bagiku. Aku hanya minta dukunganmu. Kalau aku tidak menganggapmu, aku pasti tidak akan mengatakan hal ini padamu. Aku tidak tahu apa nama dari hubungan kita ini, tapi kau mengerti apa yang kumaksud bukan?"
"Ya, aku selalu tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hal itu adalah kelemahanmu sekaligus suatu kelebihan juga bagimu."
"Terima kasih, Chant. Kau memang wanita yang spesial. Karena hal itulah..." aku tidak melanjutkan ucapanku, saat kulihat dia tampak sedih.
"Sudahlah Lang, jangan ucapkan hal seperti itu lagi." dia mengusap ujung matanya.
"Kalau begitu aku pulang dulu." aku bangkit berdiri.
"Lang." Chantal menahan tanganku.
Aku berbalik, kulihat matanya berkaca-kaca. Dia bangkit lalu memelukku dan menangis di dadaku. Aku biarkan itu berlangsung untuk beberapa lama. Setelah hampir lima menit chantal mengangkat mukanya dari dadaku, dia memandangku. "Lang, maukah kau tidur di sini untuk terakhir kalinya?"
Pertama ada kebimbangan dalam hatiku. Tapi saat dia bertanya untuk kedua kalinya, aku hanya bisa mengiyakan permintaannya. Untuk beberapa lama kami hanya saling berpandangan. Chantal menarik kepalaku hingga aku menunduk, dia mencium keningku, kemudian mengecup kedua pipiku, dan mengecup bibirku. Aku masih diam dengan apa yang dilakukannya.
Tapi aroma tubuh Chantal yang tajam memasuki hidungku hingga memenuhi benakku dan membangkitkan nafsuku. Tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya saat bibirnya bertambah liar di bibirku. Saat dia memasukkan lidahnya ke mulutku, aku sambut dengan liar, kubalas dengan menghisap lidahnya hingga dia mengerang lirih.
Chantal melepas ciumannya, kemudian melingkarkan tangannya pada leherku. "Bawa aku ke kamar Lang," bisiknya. Tanpa berpikir panjang aku membopong tubuhnya ke arah kamar tidurnya. Sesampainya di kamar kuturunkan tubuhnya. Kami berhadapan sejenak, lalu Chantal tersenyum dan kembali bibirnya mengecup bibir bawah dan atasku bergantian dan berusaha membangkitkan gairahku lagi. Aku tidak mau kalah, aku membalas ciuman bibirnya dengan sama buasnya.
Kami kembali dengan permainan lidah kami. Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya, kukorek-korek lidahnya agar keluar. Dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi. Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku, kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya didalam mulutku.
"Uhmmpp..." dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.
Sementara, tanganku mulai menyusup dari bawah gaunnya dan merayap ke atas. Tangan kananku menemukan payudara kanan Chantal setelah menyusup dan membuat gaun itu terangkat sampai ke tengah tubuhnya. Chantal juga membantu dengan sedikit mengangkat tangannya sehingga gaun tidurnya secara mudah tertarik ke atas sampai terbuka.
Tubuhnya kini telanjang di depanku, tubuh yang putih mulus dengan beberapa buah tato di tubuhnya. Setelah itu dia segera melepas baju dan juga celanaku. Kini kami sama-sama telanjang. Chantal beranjak menuju ranjang dan menata bantal yang ukurannya besar di ujung ranjang kemudian dia bersandar di situ dengan pose menantang. Dia membuka lebar kakinya hingga aku dapat melihat jelas vaginanya. Aku beranjak ke ranjang dan mendekatinya.
Setelah sejenak saling raba dan sentuh, Aku kembali menciumnya sambil meremas payudaranya yang besar dan kenyal itu. Sesekali kucium pipi dan menjilati lehernya hingga membuat dia bergetar dan mengerang. Ciuman kuturunkan ke arah payudara kanannya. Perlahan-lahan aku kecup sekitar payudaranya. Kemudian kujilat memutar mengelilingi payudaranya hingga akhirnya sampai ke putingnya.
Aku hisap sesaat kemudian aku pindah ke payudara kiri untuk memperlakukan hal yang sama. Sepertinya Chantal tidak sabar, dia menarik tanganku dan menekan telapak tanganku kearah payudaranya yang bebas. Aku mengerti, kemudian kuremas perlahan payudaranya sambil memutar-mutar putingnya sehingga dia menggeliat dan menggelinjang. Kulihat mata Chantal sangat redup, dia memagut-magut bibirnya sendiri, mulutnya mengeluarkan desahan erotis.
"Oohh.. aarghh.. en.. ennak Lang, emmh.." Kata Chantal mendesah.
Tiba-tiba tangannya memegang tanganku yang sedang meremas-remas payudaranya dan menyeret ke selangkangannya. Aku mengerti apa yang diinginkannya, dia ingin agar aku segera mempermainkan liang vaginanya. Jari-jariku pun segera bergerilya di vaginanya. Kugerakkan jariku keluar masuk dan kuelus-elus klitorisnya yang membuat Chantal semakin menggelinjang tak karuan.
"Ya.. terruss.. argghh.. eemmh.. enak.. oohh.." Mulut Chantal meracau.
Setiap kali Chantal terasa mau mencapai klimaks, aku hentikan jariku menusuk vaginanya, setelah dia agak tenang, aku permainkan lagi liang vaginanya, kulakukan beberapa kali.
"Emhh Lang.. ayo dong jangan gitu.. kau jahat oohh.." Kata Chantal memohon.
Mendengarnya membuatku merasa kasihan juga, tapi aku tidak akan membuatnya klimaks dengan jariku tapi dengan mulutku. Segera ku arahkan mulutku ke vaginanya. Kusibakkan rambut pubis tipis yang mengelilingi vaginanya dan terlihatlah liang senggamanya yang merah dan mengkilap basah, sungguh indah. Segera aku jilati lubang itu, lidahku kujulurkan keluar masuk.
"Lang... arghh.. oh.. emhh.." desahnya.
Aku tak perdulikan kata-katanya, lidahku terus menari-nari di dalam liang senggamanya bahkan menjadi semakin liar tak karuan Ketika lidahku menyentuh klitorisnya, dia mendesah panjang dan tubuhnya menggeliat tak karuan dan tak lama tubuhnya bergetar beberapa kali, tangannya mencengkram sprei dan mulutku dipenuhi cairan yang keluar dari liang kewanitaannya.
"Ohmm.. emhh.. ennak Lang.. aahh.." Kata Chantal ketika dia mencapai klimaks.
Setelah Chantal selesai menikmati kenikmatan yang diperolehnya, aku mencumbunya lagi karena aku juga ingin mencapai kenikmatan. Kali ini posisiku di bawah tubuh Chantal. Aku tidur telentang dan Chantal melangkah di atas batang penisku. Tangannya memegang batang kejantananku yang tegak perkasa, setelah menjilatinya lalu perlahan-lahan pinggangnya diturunkan dan vaginanya di arahkan ke batang penisku dan dalam sekejap bless burungku hilang ditelan liang kewanitaannya.
Chantal lalu mulai melakukan gerakan naik turun, dia angkat pinggannya dan ketika sampai di kepala penisku dia turunkan lagi. Semula pelan-pelan tapi kini dia mempercepat gerakannya. Kulihat wajahnya penuh dengan keringat, matanya sayu sambil merem-melek dan sesekali ia melihat ke arahku. Mulutnya mendesis-desis, sungguh seksi wajah wanita yang sedang dikuasai nafsu birahi dan sedang berusaha mencapai puncak kenikmatan.
Wajah Chantal terlihat sangat cantik seperti itu ditambah lagi rambutnya yang terlihat acak-acakan terombang ambing gerakan kepalanya. Payudaranya terguncang-guncang, lalu tanganku meremas-remasnya. Desahannya bertambah keras ketika jari-jariku memelintir puting susunya.
"Oh emhh yaah.. oohh..., Aku tidak kuat lagi, Lang..!" Kata Chantal sambil berhenti menggerakkan badannya. Tampaknya dia segera mencapai klimaks, lalu aku rebahkan tubuh Chantal dan kupompa liang senggamanya, tak lama Chantal mencapai klimaks.
Kuhentikan gerakanku untuk membiarkan Chantal menikmati orgasme yang kedua kalinya. Setelah itu kucabut batang penisku dan kuminta Chantal menungging, lalu kumasukkan batang penisku dari belakang. Chantal terlihat hanya pasrah saja terhadap apa yang kulakukan padanya. Dia hanya mendesah kenikmatan. Setelah beberapa lama dan puas dengan posisi ini, aku minta Chantal kembali ke posisi semula.
Kembali kumasukkan batang kejantananku dan memompa vaginanya lagi, karena aku ingin mengakhirinya. Beberapa saat kemudian Chantal ingin klimaks lagi, wajahnya memerah dan tubuhnya menggelinjang kesana-kemari.
"Ahh.. oh.. aku mau sampai lagi, Lang !. arrghh ahh.." kata Chantal.
"Tunggu Chant, ki.. kita barengan.. aku juga sedikit lagi.." desahku.
"Aku sudah tidak tahan Lang.. ahh.." kata Chantal mendesah panjang. Lalu tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya terangkat naik. Cairan hangat membasahi dan menyirami batang penisku.
Kurasakan dinding vaginanya seakan akan menyedot penisku begitu kuat dan akhirnya aku pun tidak kuat "Crott... croot... croot..." aku juga mencapai klimaks. Kenikmatan yang luar biasa. Lalu kami saling berpelukan erat meresapi kenikmatan yang merasuki kami berdua.
#####
Mungkin karena lelah setelah pertarungan kami, Chantal tertidur. Setelah menyelimutinya, aku memakai celanaku kembali dan beranjak keluar. Setelah mengambil minuman aku kembali ke kamar dan duduk di tempat tidur sambil menonton televisi yang memang ada di dalam kamarnya tersebut. Mataku memang menatap layar televisi, tapi pikiranku mengelana entah kemana.
Entah berapa lama aku tenggelam dalam lamunan, aku sadar karena tiba-tiba Chantal memelukku dari belakang, kemudian menggelayut di punggungku.
"Maaf kalau kau terbangun karena suara televisi," ucapku
Dia tidak menjawab, tapi tetap memelukku erat. "Maaf ya Lang.." katanya manja.
"Maaf kenapa?" tanyaku, sambil mengelus tangannya yang melingkar ke dadaku.
"Maaf karena aku, kau mungkin merasa menghianati Avi,"
"Tidak apa-apa Chant. Aku tidak merasa seperti itu. Avi juga belum resmi menjadi milikku. Jadi kita semua masih bebas, lagipula kita semua sudah dewasa. Ini adalah hal yang wajar terjadi, walau bukan berarti aku membenarkan tindakanku," jawabku sambil memutar badanku. Kemudian aku memeluk tubuhnya erat. Harus kuakui, masih ada rasa sayang dengan wanita ini. Aku kecup keningnya sekali kemudian aku peluk erat lagi.
Tidak ada kata-kata yang terucap untuk waktu yang lama. Seolah tanpa perlu bicara kami sudah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Aku duduk bersandar di bagian atas ranjang. Sementara Chantal menyandarkan tubuhnya ke dadaku, sambil aku memeluknya dari belakang.
Selama menonton televisi, kami seperti pasangan yang sedang dimabuk kasmaran. Chantal bersikap sangat manja kepadaku sedang akupun memanjakannya dengan senang hati, mungkin ini adalah kesempatan terakhir untukku memanjakannya. Sambil memeluknya dari belakang, sesekali aku membelai rambutnya dan mencium tengkuknya yang putih bersih. Chantal cuma melenguh pelan sambil sekali-sekali mencium tanganku yang memeluknya.
Perlahan aku mulai mengelus-elus payudaranya, Chantal mulai duduk dengan gelisah. Apalagi saat aku meremas payudaranya, tubuhnya menegang dan melemas seirama dengan remasanku. Tangan kananku perlahan mengelus garis vaginanya, terasa perlahan cairan vaginanya mulai membanjir.
Tangan kiriku meremas payudaranya yang sebelah kiri, sementara jari tengah tangan kananku mulai menusuk vaginanya, terasa vaginanya berdenyut-denyut hebat. Chantal tidak sabar kemudian membalikkan badannya, kemudian dia menciumku dengan ganas, sedangkan tangannya menyerbu celanaku berusaha untuk mengeluarkan penisku, aku buka ikat pinggang dan resletingku sehingga Chantal bisa menarik penisku keluar dan mulai mengelus-elusnya.
Aku menelentangkannya ditengah tempat tidur, kemudian aku melepaskan celanaku sehingga akupun telanjang bulat. Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya untuk memposisikan tubuhku di antara selangkangannya. Kemudian aku mencium bibirnya perlahan, turun ke arah lehernya, sesekali aku jilat lehernya. Kemudian aku turunkan ke payudaranya. Di situ aku menyedot puting dan meremas-remas payudaranya. Sesekali putingnya aku gigit kecil untuk memberinya sensasi.
Ciuman aku turunkan lagi ke perutnya yang rata tersebut. Aku cium pinggulnya kemudian paha dalamnya. Aku sengaja melewatkan vaginanya untuk sasaran akhir. Dari pahanya aku cium betisnya sampai aku cium ujung kakinya. Selanjutnya gerakan aku balik, aku cium betisnya, kemudian aku cium pahanya, selanjutnya, perlahan aku kecup vaginanya.
Aku tatap wajah Chantal dari antara selangkangannya, wajahnya terlihat tegang menunggu hal selanjutnya yang aku kerjakan.
Kemudian aku kecup vagina itu sekali lagi. Dengan menggunakan jariku, aku sibak bulu pubisnya sehingga vaginannya terlihat jelas, perlahan aku jilat bibir vagina kiri dan kanannya perlahan. Selanjutnya dengan gerakan pasti jilatan aku arahkan ke klitorisnya. Klitorisnya yang cukup besar dengan mudah kujilat kemudian aku hisap perlahan.
Pinggul Chantal semakin tidak tenang, dia seakan menghindari jilatannku tapi tangganya menekan kepalaku untuk terus menjilati klitorisnya. Cairan vaginanya keluar semakin banyak. Kemudian aku sejajarkan tubuhku dengan tubuhnya, dia mengerti kalau aku ingin penetrasi ke vaginanya. Tapi aku tunda sebentar, aku cuma menggosok-gosokkan kepala penisku ke bibir vaginanya.
Dia meringis seperti protes karena aku berlama-lama, aku cuma membalasnya dengan seyum kecil. Dia mencoba menekan pantatku, tapi aku tahan. Dia menatapku dengan wajah protes, dia terlihat frustasi. Dia mencoba menekannya sekali lagi, tapi tetap aku tahan, dia semakin frustasi. Kemudian aku kecup bibirnya sekali dan aku masukkan penisku sampai mentok.
"Kamu jahat sayang.. kamu jahat.." bisik Chantal saat aku memeluknya erat setelah memasukkan penisku.
Aku pompa penisku ke vaginanya perlahan, dan Chantal meresponnya dengan mengikuti gerakanku. Walaupun sebenarnya ini posisi yang konvensional, tapi entah kenapa terasa begitu nikmat. Aku bangkit dan berlutut diantara selangkangannya dengan penisku masih didalam vaginanya. Aku taruh jari tengahku ke mulutnya, dan aku hentikan gerakan penisku. Pertama-tama dia bingung, tapi kemudian dia menghisap perlahan jariku. Saat dia menghisap jariku, gerakan penisku aku selaraskan dengan gerakan hisapannya.
Dia tersenyum lebar, Chantal mengerti permainan ini, kemudian dia mulai menghisap mengikuti bagian mana dari vaginanya yang ingin ditusuk oleh penisku. Lama-lama gerakan hisapnya makin cepat sehingga aku makin susah menyelaraskan gerakannya dengan penisku, sepertinya dia sedikit lagi orgasme. Aku tarik jariku dan aku menindihnya dengan gaya konvensional. Perlahan aku pompa vaginanya kadang pelan, kadang cepat. Chantal terlihat makin dekat dengan orgasmenya, badannya makin tegang.
Tak lama tubuh Chantal melengkung sambil dia terpekik kecil, vaginanya terasa licin sekali. Aku percepat pompaanku dan akupun menekan penisku dalam-dalam sambil menyemprotkan spermaku ke rahimnya. Kemudian dia memelukku erat sambil berbisik, "Aku cinta kamu Lang, entah kamu menerima atau tidak."
Aku hanya tersenyum. "Aku akan menunggumu sampai batas maksimal kesabaranku." Chantal kemudian memelukku erat seperti tidak mau dilepaskan.
#####
Keesokan harinya. Walau dengan berat hati, Chantal melepas kepergianku. Matanya berkaca-kaca saat aku meninggalkan rumahnya. Dari rumah Chantal aku segera pulang. Ayah dan Ibu akan pulang ke Pekalongan siang ini. Aku sudah berjanji pada Mas Bram untuk mengantar mereka saat mau pulang.
Sebelum mereka pulang aku meminta restu mereka untuk keberangkatanku ke Amerika. Mereka benar-benar menganggap aku seperti anak mereka sendiri. Dengan setulus hati mereka mendo'akan aku sama seperti apa yang mereka do'akan untuk Gavin.
Sepulang dari mengantar Ayah dan Ibu aku menuju ke kantor. Belum ada kabar baru soal orang-orang yang mengawasi rumah Fariz. Aku mencoba mencari tahu tentang pengusaha yang punya mobil, yang di gunakan oleh mereka dalam beroperasi. Seorang pengusaha yang masuk dalam daftar 25 orang terkaya di negeri ini.
Dilihat dari rekam jejak semua perusahaannya belum pernah tersandung masalah hukum. Dia juga dermawan, sering menyumbang koleksi benda kuno ke museum, karena dia memang kolektor bermacam benda kuno dan antik. Atau rencana penculikan itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya.
Perhatianku terganggu, saat tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. "Ya, hallo. Ada apa Vi? Kapan? Ok, sebelum jam tujuh aku akan sampai sana."
Telepon dari Avi. Dia sudah pulang dari luar kota semalam. Avi ingin berbicara denganku, dia memintaku untuk menjemputnya jam 7. Jam lima lebih sepuluh aku bersiap untuk pulang. Tapi baru saja keluar dari ruangan ajudan Bapak Kapolda memanggilku. Dia berkata aku di panggil oleh Pak Kapolda. Segera aku mengikuti ajudan itu menuju ruangan Kapolda.
Hampir jam Enam saat aku keluar dari ruangan itu. Setelah itu aku segera meluncur ke tempat kerja Avi. Tujuh kurang lima aku sampai di tempat kerja Avi. Aku menunggu di tempat parkir hingga dua puluh menit kemudian dia muncul. Satu minggu aku tidak bertemu dengannya, dan dia terlihat makin menarik.
"Kemana kita?" tanyaku setelah dia masuk mobil.
"Jalan dulu aja," kata Avi.
"Tidak biasanya kau seperti ini? Kau sehatkan?" tanyaku, melihat Avi tidak seriang biasanya.
"Aku baik-baik saja. Kau sudah makan?"
"Belum."
"Kita cari makan dulu. Cari tempat yang enak buat ngobrol. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."
Nada bicaranya yang tegas seperti itu membuatku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya. Sesampainya di warung langganan aku minta di bungkus saja makanannya. Setelah pesanan jadi aku lalu mengarahkan mobil ke apartemen yang selama ini kutinggali bersama Gavin. "Apa tidak mengganggu Gavin?" tanya Avi, melihat arah tujuanku.
"Tidak, Gavin sudah berangkat ke London." ucapku.
Setelah sampai kami segera makan dan satu jam kemudian kami sudah duduk di ruang tamu. Suasana memang lain dari biasanya. Karena biasanya Avi-lah yang menghidupkan suasana saat kami berdua. Entah dengan cerita maupun candaannya. Tapi karena kini Avi banyak diam, maka suasananya jadi sedikit kaku.
Hampir sepuluh menit kami hanya saling diam. Aku sendiri tidak tahu harus mulai dari mana mengatakan tentang rencana keberangkatanku ke Amerika.
"Lang!" suara Avi memecah kebisuan di antara kami.
Aku menoleh ke arahnya. Rona kesedihan menghiasi mukanya, membuatku menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa? Bicaralah," ucapku menggenggam tangannya.
"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"
Pertanyaan sederhana, namun bagiku laksana palu godam yang menghantam sanubariku. Hingga membuatku gelagapan jadinya, tanpa sadar melepas genggaman tanganku. Melihatku hanya bengong, Avi mengulangi pertanyaannya.
"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"
"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"
"Vi, bukankah kau tahu aa..aku sayang padamu."
"Iya aku tahu itu Lang. Tapi bukan itu yang kutanyakan. Aku tahu kau sayang padaku. Tapi sayangmu kepadaku sebagai apa? Apa karena aku sahabatmu, saudaramu atau lainnya!"
"Aak..akuu..."
"Aku apa Lang? Ayo jawab, mana ketegasan, kejantanan dan keperkasaanmu?" cecarnya dengan nada menahan kesedihan.
Aku pandangi dia, kesedihan mendalam sangat jelas terpancar dari pandangannya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan isak tangisnya mulai terdengar. Melihat hal itu, terasa teriris hatiku. Aku baru menyadari betapa besarnya salahku pada wanita di hadapanku ini. Hampir satu tahun aku mengenalnya dan dekat dengannya. Tapi belum sekalipun aku mengucapkan cinta padanya. Aku juga jadi sadar betapa menderitanya dia selama ini menunggu pernyataanku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, kareana mengantung perasaannya. Seharusnya aku memutuskan hal ini secara hitam-putih.
Mungkin Gavin lebih benar dalam hal ini. Biar dia bergonta-ganti pasangan tapi tidak pernah ada hati yang tersakiti karenanya. Aku benar-benar kalah telak dari gavin dalam hal memahami perasaan wanita. Chantal sedikit-banyak, sengaja-tidak sengaja pasti telah tersakiti juga hatinya oleh sikapku.
Isak tangisnya semakin menjadi. Aku menjadi tidak tahan lagi. Aku rengkuh bahunya kemudian memeluknya, sambil berucap "Maafkan aku, selama ini aku telah menyakiti hatimu Vi. Aku menganggapmu lebih dari sekedar teman. Sebenarnya aku cinta padamu. Tapi aku takut untuk mengatakannya. Kau sudah tahu siapa diriku. Aku takut kau akan kecewa padaku, karena tugasku tidak mengenal waktu, penuh bahaya dan lain sebagainya. Tapi aku tidak sadar, ternyata dengan sikapku selama ini kau tetap saja tersakiti. Maafkan aku, mulai sekarang aku tidak akan lari lagi dari kenyataan. Aku cinta padamu, Vi.Selalu dan selamanya."
"Be..benarkah Lang?"
"Tentu sayang," bisikku di telinganya.
"Baik aku percaya padamu. Kapan kau akan melamarku?" tanya Avi sambil melepas pelukanya dan mengusap air mata di pipi chubbinya.
"Me.. melamar...?"
"Iya, melamar. Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"
"Ii..Itu..."
"Kau masih ragu, atau kau tidak serius?" kata Avi menatapku tajam.
"Bukan begitu, Vi. Tentu aku serius dan ingin menjadikan istriku. Tapi kalau soal menikah, bagaimana kalau kita tunda sampai tugas belajarku selesai."
"Tugas belajar apa?"
"Hal itulah yang ingin kukatakan kepadamu malam ini. Aku dapat tugas pendidikan di Amerika selama 6-18 bulan."
"Lama sekali. Bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada keluargaku."
"Kenapa, Vi?"
"Sebenarnya tugas kemarin cuma dua hari. Sisanya aku di rumah orang-tuaku. Mereka memintaku untuk segera menikah. Mereka akan memaksaku menikah jika dalam tahun ini aku belum menikah juga."
"Baiklah aku akan menemui orang-tuamu. Aku akan minta ijin pada mereka agar memberiku waktu."
"Bagaimana jika mereka menolak?"
"Itu bisa dipikirkan nanti," ujarku.
"Terima kasih, Lang. Aku bahagia mendengarnya," Avi memelukku.
"Aku juga bahagia dan lega sudah bisa mengutarakan apa yang ada di hatiku." aku balas memeluk dia.
"Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"
"Secepatnya. Besok juga tidak apa-apa."
"Besok?"
"Ya, karena minggu depan aku harus sudah berangkat ke Amerika."
"Baiklah," kata Avi menyandarkan kepalanya di dadaku.
Aku membelai rambut Avi dengan lembut. Avi mengangkat kepalanya kemudian memandangku. Aku balas menatapnya hingga kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka. Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya.
"Ada apa, Lang?"
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."
"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."
Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss. Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.
Sebelum sempat menyentuh payudaranya, Avi berbisik di telingaku, "Bawa aku ke kamar, Lang!"
Tanpa menunggu lama aku membawa tubuh Avi ke dalam kamar. Sesampainya di kamar Avi memejamkan matanya. Kutempel bibirku di bibirnya. Tanpa ragu Avi menyambutnya. Aku memeluknya dan dia balas memelukku. Kini dua insan mulai dibakar asmara yang telah lama terpendam. Pelukan Avi semakin kuat, seiring dengan ciuman yang berubah menjadi tarian lidah di rongga mulutku. Tampaknya Avi memang merindukan saat-saat seperti ini.
Aku merebahkan Avi tanpa melepas ciuman di bibirnya. Desahan nafas Avi terdengar tidak teratur. Kini kami telah berada di atas ranjang. Kami berguling ke kiri dan ke kanan. Gairah cinta telah membakar kami berdua.
Aku mulai melepaskan kancing blouse Avi. Begitu juga Avi, balas melepaskan kancing bajuku, sambil sesekali berpandangan untuk kemudian berciuman lagi. Aku telah bertelanjang dada, sementara Avi masih terbungkus bra hitam model push up tanpa jahitan di cup-nya, yang membuat dadanya semakin montok menonjol. Kami masih bergulingan dan saling mencium.
Kini Avi berada di atas tubuhku. Sesekali Avi menciumi dada dan leherku. Pinggulnya bergerak-gerak seperti sedang bersenggama, mencari sensasi gesekan pada batangku yang memang telah tegak menonjol di balik celanaku. Aku tidak tinggal diam, kubuka kaitan bra Avi. Tampaklah dua gundukan daging kenyal yang tak kusia-siakan, kuremas kedua payudaranya.
"Aah...," Avi mendesah.
Kami berganti posisi. Kini Aku berada di atas tubuh Avi. Kuciumi payudara Avi, sesekali kugigit putingnya. Avi makin menggelinjang tak karuan, sambil meremas-remas kepalaku. Puas dengan yang kiri, aku pindah ke kanan, dan begitu juga seterusnya.
Kepalaku perlahan turun ke bagian bawah Avi. Lidahku menari-nari di perut Avi hingga terhenti di tepian rok yang masih menutupi bagian bawah Avi. Aku bangkit dan kusingkapkan rok Avi ke atas. Tampak CD hitam berenda yang masih tertutupi stocking hitam transparan. Perlahan kujilati daerah kemaluan Avi yang masih tertutup itu, dengan gerakan memutar di sekitar vagina. Sesekali selangkanagn Avi kujilati pula. Avi melengguh merasakan sensasi lidahku, walaupun masih terhalang kain tipis di vaginanya.
Aku kemudian menggigit stocking Avi tepat di bagain vaginanya. Kini stocking itu robek dan terbentuklah lubang yang menampakkan CD hitam berenda yang telah basah oleh carian vagina Avi. Aku mengendus-endus bagian itu. Kusingkapkan CD hitam Avi. Tampaklah labia mayora yang merah merekah, mengkilat terkena sinar lampu kamar. Lidahku langsung menyapu daerah vagina Avi mulai dari perineum, hingga mencapai klitorisnya.
"Akuhh.. Akhuu.. cinttaahh.. ahh.. ahh.. aiihh...," desah Avi.
Aku tidak menghiraukan desahan Avi yang semakin cepat temponya karena aku terlalu sibuk dengan vaginanya. Sesekali lidahku membuat penetrasi lebih dalam di lubang vagina Avi, dan terutama di klitorisnya. Hingga akhirnya teriakan kenikmatan tiada tara Avi meledak.
"Nnnggaahh.. Akhuu ohh.. aaaahh!" Avi berteriak, merasakan puncak yang di raihnya.
Bibirku belepotan cairan kenikmatan Avi. Kini Avi bangkit walau tubuh masih tampak kelelahan. Nafsunya seperti memberi energi untuk meraih puncak demi puncak yang diidamkannya. Dia mencium bibirku dan mendorongku hingga rebah ke ranjang. Dengan buas Avi membuka ikat pinggangku. Celana panjangku dipelorotkan, dengan sigap CD ku pun dilucuti hingga Aku benar-benar bugil. Batangku yang menjulang diraihnya dan langsung amblas di lahap oleh bibir sensual Avi.
Dikombinasikan dengan kocokan tangan, mulut Avi pun menyedot batangku. Aku merasa geli, manakala Avi sesekali menjilati zakarku. Ditengah kegelian yang mendera, Aku menarik paha Avi supaya bergerak mendekati mukaku. Aku ingin melakukan 69. Ketika vagina Avi tepat berada di atas mulutku, kembali aku menyobek stocking hingga lubangnya tampak lebih lebar. Penampang vagina Avi terbuka lebih lebar. Aku tak menunggu lebih lama untuk menyapukan lidahku ke bagian yang paling pribadi dari Avi. Mendapat sensasi nikmat dariku sesekali Avi tengadah dan mendesah sambil tangannya tak lepas mengocok batang kemaluanku, dan melanjutkan lagi kuluman, hisapan dan sedotan kuat.
Tak lama Avi mengejang lagi, puncak kedua telah diraihnya, hingga kepalanya ambruk terkulai lemas di samping kemaluanku. Tangannya masih mengocok batang kemaluanku namun sudah tidak begitu kuat. Melihat kesempatan itu, aku berganti posisi. Aku minta Avi untuk menungging dengan pipi masih menempel di kasur, karena dia masih kelelahan didera kenikmatan tiada tara. Aku pegang kemaluanku dan mengarahkannya ke vagina Avi yang masih basah, dihiasi leleran cairan kenikmatan di sekitarnya.
"Lakukanlah.. Lang. Akuhh.. Oouucchh...!" Avi mengerang ketika batang kemaluanku amblas sedikit demi sedikit di vaginanya. Aku bergerak maju mundur, diselingi goyangan pinggul memutar, untuk mendapatkan sensasi gelitik di vagina Avi.
"Vi.. ohh.. ahh.. ah.. Viii. Aku cinta.. Ouhh.. aaaahhh," kalimat cinta meluncur dari mulutku.
Begitu pun Avi. Kontrol kesadarannya telah hilang diganti rasa cinta dan kenikmatan yang dalam terhadapku. "Ouu.. god.. Akuh.. cinnntaaah kaammuuh.. oohh.. ahh.. uahh.. ahhhh."
Puas dengan posisi doggy style, Aku merebahkan Avi. Avi menyamping ke kiri. Kaki kanannya kuangkat ke atas. Aku kembali menusukkan batangku dan menggenjotnya.
"Sayang... I love this.. ouhh.. ouhh.. aahh.. Akuhh.. c'mon.. don't stop love mehh.. ngghh.. ngghh."
Kini Aku duduk di ranjang dan menggendong Avi. Avi bergerak turun naik dan sesekali maju-mundur. Aku melepaskan rok Avi yang telah tersingkap lewat atas tubuh Avi. Kini kami telanjang sudah, walau stocking sobek Avi masih menempel. Avi memelukku, namun Aku menahannya, karena ingin menikmati payudaranya yang ranum bergerak-gerak.
Avi makin buas. Didorongnya tubuhku hingga rebah ke ranjang. Kini Avi berkuasa atasku. Pantat Avi turun naik dan semakin cepat gerakannya. Keringat kami bercucuran.
"Vi.. hh.. hhehh.. aku janji.. hh.. hh..hheehh, akhuuhh akhan sellalhuu.. bheersamahmuuu.. Vihh.. hh.. hh."
"A.. a. aahkhuu.. janjhiihh.. hihh.. hiahh.. aah.. chumahh.. khamuhh yanghh.. a.. aah.. aahh.. da di hhaatikuhh.. uhh.. aah.. Akuohh..."
"Viii.. Viih.. aku mau sampaiii.. ouhh..."
"Meh.. thooh.. ouhh.. hangh onhh.. ahh.. aahh aaahhh..."
"Viii...."
"Laaaaaaanngggghhh....."
Lama sekali kami mengejang bersama, spermaku muncrat membasahi vagina Avi. Aku pun merasakan semburan hangat dari lorong vaginanya. Avi mencakar dadaku hingga meninggalkan bekas. Tanganku pun tidak lepas dari bukit kembarnya Avi, hingga akhirnya Avi Ambruk di dadaku.
Keheningan terjadi di ruangan ini. Semilir angin malam dari jendela yang terbuka terasa dingin menusuk kulit, tak kami rasakan. Kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh mampu mengusir dinginnya malam yang indah ini. Aku mencium lembut bibir Avi dan Avi pun membalasnya.
"Aku akan melamarmu, Vi."
"Itu yang ingin kudengar darimu Lang... hanya kau yang kuinginkan, bukan orang lain. You're the best!"
Kami berpelukan mesra. Batangku masih menancap di vagina Avi. Hingga pagi menyambut, kami berulang kali melakukan percintaan tanpa henti.
#####
Satu minggu kemudian...
Hari ini aku akan berangkat ke Amerika. Pendidikan di sana awalnya di rencanakan selama enam bulan. Tapi dengan kondisi tertentu bisa sampai dua belas atau delapan belas bulan.
Lima menit lagi aku harus masuk ke dalam pesawat. Tapi di hadapanku masih ada seorang wanita yang sepertinya masih berat melepas kepergianku. Dia masih menggenggam erat tanganku. Wajahnya menatapku, "Lang, aku akan menunggumu. Dan selama kepergianmu aku akan berusaha membujuk orang-tuaku agar bisa menerimamu."
Ya, ternyata kenyataan yang menimpa kami tidak seindah dan semudah yang kami khayalkan. Entah dengan alasan apa, orang-tua Avi tidak merestui hubunganku dengannya. Walau hal itu menyakitkan, tapi aku sadar diri. Siapa aku ini? Aku hanya anak yatim piatu yang tidak mengenal siapa orang-tuanya.
Sementara Avi, siapa yang tidak mengenal dia. Seorang Anchor Woman, yang cantik, cerdas dan dari keluarga terhormat.
Pemberitahuan dari pengeras suara menyadarkanku, sudah waktunya aku harus naik pesawat. Aku lepas tangan Avi yang memegangiku. Aku peluk dia, dan berbisik, "Selamat tinggal, Vi. Entah kita berjodoh atau tidak, kau akan selalu ada di hatiku."
"Selamat jalan, Lang. Semoga kau sukses. Aku juga cinta padamu. Selalu dan selamanya, sampai maut memisahkan kita." dia balas memelukku.
Hampir setengah menit kami berpelukan. Setelah itu aku melepaskan pelukannya. Sekali lagi kami berpandangan, kemudian aku berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan. Sebelum masuk, sekali lagi aku menengok ke arahnya. Dia melambaikan tangan, aku membalasnya. Dan akhirnya kami benar-benar berpisah.
THE END
Demikian kisah Gavin dan Elang berakhir di sini. Dan seperti judul chapternya. Ini hanyalah Akhir dari sebuah permulaaan perjalanan yang panjang dan awal dari sebuah akhir perjalanan.
Terima kasih pengarang ucapkan untuk semua member semprot dan terutama member yang setia mengikuti cerita ini.
Thank untuk Momod dan Mimin yang tidak menggembok trit ini. Terima kasih untuk all SPARTANIAN. Juga untuk semua pihak yang telah membantu, yang tidak bisa disebut satu-satu.
Akhir kata keep SEMPROT