Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT OKASAN NO HATSU KOI - my mom's first love (racebannon)

Bimabet
kyokob10.jpg

OKASAN NO HATSU KOI – PART 17
(my mom's first love)
------------------------------

haruko10.jpg

“Oh…. jadi Rendra setaun diatas Haruko?” gak jadi makan di foodcourt kita. Entah kenapa Mbak Alika ngajak kita semua makan di sebuah restoran Jepang yang ada di mall itu.

“Iya Mbak…”
“Kok bisa kenal?”

“Bisa-bisa aja… Emang ga boleh kenal?” duh, kok senewen gini sih aku.
“Sewot amat sih, yang ditanya Rendra kan?”
“Hehehe… Iya mbak… Saya kenal sama dia…..”

“Waktu pekan olahraga sekolah tengah semester.....” aku potong aja deh.
“Oh, gimana kenalnya?”

“Saya nonton bulutangkis, kelas saya, lawan kelasnya Haruko… Terus wakil kelas saya dibantai habis-habisan sama dia hahaha” dih, Kak Rendra ketawa. Aneh banget, pas nonton waktu itu, dia malah katanya seneng liat aku main badminton. Padahal, wakil kelasnya dia aku hancur-hancurin di babak itu.

“Oh, inget, Haruko pernah cerita, katanya juara satu ya dia?”
“Cerita ngebantainya?”
“Bukan, cerita kalo juara satunya” Mbak Alika malah ketawa-ketiwi gak jelas gini.

“Jago banget sih dia”
“Terus kenalnya gimana?” selidik Mbak Alika, terus-terusan.
“Anu…”

“Abis aku bantai wakil kelasnya, dia ngajakin kenalan” aku jawab aja biar cepet. Kakiku goyang-goyang, rasanya gelisah. Duh. Apa-apaan sih. Rasanya gak enak banget. Dan sejak saat itu aku bisa dibilang akrab sama Kak Rendra. Dia suka ngajakin ngobrol kalau pas lagi di kantin. Terus kadang kalo aku tanding di luar sekolah suka nonton.

Gak nyaman tapi. Gak nyaman bukan karena gak suka. Tapi karena selalu deg-degan tiap kali ada dia.

“Oh…. Abis kenalan?”
“Ya kenal” jawab Kak Rendra asal, sambil makan, dan dia sambil senyum. Ngapain juga senyum segala sih? Aneh amat orang ini.

“Ooo” Mbak Alika cuma mesem-mesem sendiri. Dia ngangguk-ngangguk, makanannya dianggurin dari tadi. Kayaknya dia penasaran banget sama Kak Rendra. Entah apa pula yang mau dipenasaranin. Gak ada yang aneh kok sebenernya. Biasa aja semuanya. Cuman kakak kelas yang kenalan sama aku aja kan waktu dulu, terus dia suka ngajak ngobrol dan bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla. Gak ada yang spesial. Biasa aja.

Terus aku kaget. Ada suara handphone. Tapi bukan ringtone ku atau Mbak Alika. Ya, saking akrabnya, aku sampe apal ringtonenya Mbak Alika.

“Eh..” Kak Rendra ngeluarin handphone dari sakunya. Handphonenya kecil banget. Aku udah sering liat handphone itu dia genggam kalo kita lagi ngobrol pas jam istirahat sekolah.

“Bentar, saya ada telepon” dia angkat telponnya, terus dia masuk ke dalam telephone booth yang ada di restoran itu. Di sana, orang gak bisa denger kamu teleponan kayak apa, jadi bebas mau ngomong apapun, kalo kamu pengen privasi kamu lebih terjaga. Gitu kira-kira.

“Hahaha” Mbak Alika mendadak ketawa sambil makan.
“Kok ketawa mbak” aku kayaknya kesel banget sama situasi hari ini.

“Kamu suka ya sama dia?” tembak Mbak Alika.
“HAH!! APA APAAN SIH!”
“Ih, keliatan tau”
“MBAK ALIKA APA SIHHHHH”

“Hus, biasa aja kali…. Wajar kan udah umurnya… Yah, kamu kan udah kelas 1 SMA, masa ga punya orang yang disuka sih?”
“Berisik ah”
“Lho kok jadi ngambek?”

“Udah ah males” aku makan aja sambil kesel. Mbak Alika apa-apaan sih.
“Dia juga keliatannya suka banget sama kamu”
“UDAH”

“Haha….. Kok sewot gitu sih sayang? Kamu kan udah mau gede bentar lagi…. Wajar lah kalo suka-sukaan gitu…. Lucu banget sih kamu… Kalo jadian kita nanti double date, gimana?”
“Mbak…. Udah ah, gak lucuuuu” kesel banget aku dengernya. Mbak Alika apa-apaan sih, gak ada bedanya sama temen-temen sekelasku.

Tiap-tiap aku ngobrol sama Kak Rendra, apalagi di sekolah, ada aja yang nge cie-cie in. Padahal kan, biasa aja. Aku pengennya biasa aja. Gak kepikiran pacaran. Aku cuman mikirin gimana kalo misal ntar aku gak bisa masuk PON beberapa tahun lagi, atau masalah mendasar siswa atlet, mau lanjut di sekolah konvensional kayak sekarang, atau taun depan pindah ke Ragunan.

Gak ada sama sekali mikirin pacaran gitu-gitu. Geli ah. Gandengan sama cowok yang gak dikenal. Bilang sayang ke orang lain selain Papa dan Okasan. Terus… Ciuman… Iyuhh……… Geli banget.

“Mikirin apa kamu kok bengong begitu?” bisik Mbak Alika, dan Kak Rendra udah selesai neleponnya.
“Maaf tadi lama… Biasa, ada temen ngajakin nongkrong entah di mana, ditolaknya susah”
“Oh, jadi ganggu nih kita” senyum Mbak Alika.

“Enggak kok, malah enakan begini, bisa kenal sama keluarganya Haruko, bisa ngobrol-ngobrol lama, gak kayak waktu istirahat sekolah, cuman bentar doang” tawa Kak Rendra.

“Tuh kan bener apa yang aku bilang” bisik Mbak Alika keras.
“APAAN SIH!” teriakku tertahan sambil melotot. Mukaku pasti merah.

Nyebelin banget sumpah. Gak kebayang sih, pacaran. Gak kebayang banget. Entah gimana dulu Papa sama Okasan gimana, soalnya mereka mesra banget. Terus mendadak jadi geli banget sih… Ngebayangin Papa sama Okasan, mesra-mesraan sama orang laen sebelom mereka nikah.

Dih. Geliiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.

==================
==================


basket10.jpg

Kyoko duduk di pinggir lapangan basket, tanpa Kana dan Marie. Hari itu Sabtu sore, dan dia sedang menonton Hiroshi sedang main three on three di lapangan itu. Hiroshi memang anak basket sejati. Ketika dia kuliah di sebuah Senmon Gakkou, alias sekolah kejuruan setingkat diploma yang sama sekali tidak punya ekstra kurikuler kegiatan mahasiswa, dia berhasil mengumpulkan beberapa teman dari angkatan yang sama untuk minimal bisa main basket three on three.

Kyoko tersenyum di pinggir lapangan, di sebelah beberapa perempuan lainnya.

Mereka adalah pacar-pacar atau entah siapanya dari teman-teman yang ikut main basket bareng bersama Hiroshi. Mereka ada yang kuliah di tempat lain atau langsung bekerja setelah lulus dari SMA. Ada juga yang masih menjadi ronin, alias orang yang gagal di ujian masuk universitas manapun tahun itu, dan mengikuti prep school atau bimbingan belajar, mengejar pendaftaran universitas tahun depan.

Kenalan baru lagi, pikir Kyoko. Tapi tampaknya dia agak kurang bisa akrab dengan perempuan-perempuan ini, karena memang mereka pasti hanya bisa bertemu minimum 2 minggu sekali, sesuai dengan jadwal yang diatur Hiroshi untuk main basket bersama.

Hari ini Kyoko senang sekali, karena selain bisa melihat Hiroshi dalam bentuk olahragawan, sehabis ini dia juga akan berlatih memasak lagi bersama Hiroshi di rumahnya.

Hiroshi tampak gagah dengan kaos tanpa lengan, celana basket dan sepatu basket yang sudah setengah belel itu. Tampangnya serius pada saat sedang bermain, seakan-akan seperti sedang memasak sesuatu yang sangat penting. Beberapa kali dia menembak three point dan masuk dengan mulusnya. Pada saat dia menguasai bola, pasti sulit direbut. Memang tidak salah pengakuannya, kalau dia adalah kapten tim basket SMA-nya.

Hiroshi kini sedang menjaga seseorang yang tampaknya kesulitan untuk melewatinya. Kyoko mungkin lupa, ketika tadi dia bertanya ke Hiroshi, posisinya apa di tim basket. Dia lupa karena dia memang tidak menyukai basket. Dia hanya suka melihat Hiroshi bergerak dengan jantannya , menguasai setengah lapangan.

Point Guard. Itu posisi Hiroshi. Tugasnya adalah mendistribusikan bola, dan dia benar-benar terlihat nyaman di posisi itu. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak lain yang ikut bermain basket sekarang. Tapi dia cepat, punya tembakan yang jitu, dan lompatannya sangat tinggi.

Lepas. Pemain yang dijaga Hiroshi lepas dan berusaha mengoper ke temannya.

Bola tersebut tidak dapat ditangkap dengan sempurna oleh yang menerima dan ditepis oleh orang yang menjaganya.

Bola tersebut melayang dengan deras ke arah kumpulan para pasangan yang menunggu.

Kyoko kaget dan menutupi wajahnya dengan refleks. Tapi, bola tidak datang-datang. Rupanya bola tersebut ditepis oleh Hiroshi agar terbang ke arah lain. Kyoko masih kaget, tapi mendadak, rasanya lega. Lega karena Hiroshi menyelamatkan mereka dari bola nyasar, dan pacarnya itu tersenyum ke arah Kyoko.

Kyoko tersenyum balik.

Ini pria yang selalu menggandengnya, menciumnya, menyayanginya, dan kini, menyelamatkan dirinya dari bola nyasar.

Hari ini benar-benar sempurna!

------------------------------

ad10.jpg

“AAAARRRGGHHHHHH” Kyoko kesal dan membanting adonan itu ke meja.
“Hei, yang sabar….” bisik Hiroshi, agak takut-takut amarah Kyoko meluap ke dirinya.

Hari ini ternyata tidak sempurna. Adonan pasta yang Kyoko buat, pecah saat dibentuk. Hiroshi, yang tidak ahli membuat pasta, kini sudah jago. Entah apa yang ada di dalam tubuhnya, mungkin gen dari ahli masak, ataupun mungkin dia adalah titisan dari dewa masak yang sudah diberkati oleh keahlian masak yang gila-gilaan.

“Pecah terus” kesal Kyoko. Kyoko duduk di kursi, dan membuka celemeknya. Dia kepalkan celemek itu dan dia buang entah kemana dengan napas yang marah.

“Tadi mungkin salah komposisinya?” tanya Hiroshi dengan sabar.
“Benar kok”
“Salah cara mengaduknya?”
“Tidak tahu”
“Atau kurang telaten ketika masuk mesin press?”

“Sudah kubilang tidak tahu….”
“Coba lagi, untung kita takarannya kecil ya?”
“Tidak mau”

“Lho… Kok…”
“Capek… Memangnya aku kamu, berbakat masak…..” Kyoko merengut, sambil memainkan adonan gagal yang ada di depannya.
“Terus ini jangan dibuang-buang dong, kalau kotor bagaimana” Hiroshi memungut celemek Kyoko yang sudah tak berbentuk itu.
“Nnnnggggg”

“Jangan begitu, kalau memang capek, kita sudahi saja… Ini kan masih awal-awal semester dua, masih jauh menuju ujian….”
“Kamu enak sekali bicara begitu….” kesal Kyoko.

“Lho” waduh, si ceweknya ngambek.

“Kamu tak usah banyak belajar lagi….. Sedangkan aku, susah membuat adonan, kamu tahu kan, teknik membuat adonan dipakai di kelas kontinental untuk pasta, di kelas asia untuk mie dan kulit pangsit… Di kelas dasar jepang, dipakai untuk membuat bahan dasar ramen, udon, sebagainya… Belum kelas pastry yang seratus persen adonan…. Kamu awalnya tidak bisa, sama seperti aku, sekarang sudah jagoan… Lihat adonan siapa yang dari tadi bisa jadi pasta dengan sempurna? Kan punya kamu semua” Kyoko meracau, mengeluh, dan aura kekesalan benar-benar terlontar dari mulutnya.

“Nah itu…”
“Sudah ah… Capek aku… Kalau memang tidak bakat, mau apa lagi…”

Hiroshi tersenyum, dan dia mencuci tangannya di keran. Selesai membersihkan tangannya, dia lantas duduk di sebelah Kyoko. Dia menarik kursi agar dia bisa duduk benar-benar dekat dengan Kyoko. Posisinya, dia menghadap Kyoko, dan Kyoko sedang membenamkan mukanya di meja, dia menyembunyikan kepalanya di lipatan tangannya.

“Hei, istirahat saja ya? Nanti kamu coba-coba sendiri kalau sudah tidak kesal”
“Nggg”
“Jangan merengut begitu dong, aku jadi sedih” bisik Hiroshi.
“Nnnngg”

“Kyoko”
“NG!”

“Ahahaha…. Sudah ya, kita istirahat saja, kita cari makan di luar bagaimana? Atau kamu mau makan di sini? Aku masakkan sekalian untuk ibumu?” Hiroshi mengusap-ngusap bahu Kyoko.
“Nnnn”

“Atau kita keluar sebentar, makan cake di cake shop kesukaan kamu?”
“Nnnnnnnn”
“Aku traktir?”
“Nn?”

Kyoko mengintip dari sela-sela rambutnya ke arah Hiroshi.

“Ahahaha… Dipancingnya sama cake”
“Kamu jahil sekali”
“Tidak, aku cuma ingin agar kamu tidak merasa kesal karena hari ini”

“Kamu nakal, Hiroshi”
“Tidak”
“Kenapa dekat sekali muka kamu?”

“Tidak terlalu dekat kok” bisik Hiroshi. Dia tersenyum kepada pacarnya. Di dapur yang sepi itu, mereka bertatapan. Dan Hiroshi maju selangkah lagi. Bibirnya akan meraih bibir Kyoko, yang pasrah, malah cenderung menunggu pacarnya mencium bibirnya.

Dalam gerakan lambat, bibir mereka berdua akan bertemu, saling merasakan kehangatan dan kelembutan masing-masing di malam musim gugur yang indah itu.

Detik demi detik berlalu dan bibir mereka makin mendekat.

“TADAIMAAA”

Dengan gerakan refleks, mereka menarik kepala mereka agar menjauh, dan cepat-cepat menoleh ke tempat datangnya suara.

“O.. Okaerinasai…” jawab Kyoko.
“Oh, Ada Tanabe” senyum Kyou-Kun. Dia baru datang, entah dari mana.

“Bukannya Nii San ada acara manggung malam ini?”
“Gagal, ada masalah teknis di panggung… Kamu tidak suka ya aku pulang, mengganggu jadwal pacaran kamu?” goda sang kakak.

“Bicara apa sih” kesal Kyoko.
“Tidak”

“Yasudah”
“Aku lapar”
“Makan saja sana”
“Mana makanan hasil masakan kamu? Aku lama-lama jadi suka masakan kamu, Kyoko…. Entah karena kamu semakin lama semakin jago, atau aku yang semakin lama semakin toleran sama rasa masakan kamu yang tidak enak…. Mungkin?” ledek sang kakak.

“Sana makan di luar saja, atau bantu Okasan, siapa tahu ada sisa roti atau kue yang tidak habis sama pelanggan” jawab Kyoko ketus. Hiroshi hanya nyengir kuda saja, ada di tengah arena ledek-ledekan kakak beradik itu.

“Ah, aku bantu Okasan saja deh…. Susah memang kalau mengharapkan kamu… Padahal tadi aku puji”
“Bukan memuji itu namanya” Kyoko memicingkan matanya.
“Hehehe” Hiroshi tertawa, sambil melihat sang kakak menyalakan rokok dan berlalu ke dalam.

“Huh” Kyoko tampak kesal. Dia mengulum bibirnya sendiri, tanda suasana hatinya sedang buruk.
“Oh iya, kan di café keluargamu juga banyak kue-kue enak kan? Kamu ambil saja dan kamu makan” sambung Hiroshi. “Mungkin bisa membuat suasana hati kamu membaik”

“Tidak”
“Kenapa?”
“Bukan favoritku”
“Terus favoritmu yang mana?”

"Yang dekat stasiun"

“Ayo pergi ke sana”
“Malas”
“Mau aku belikan ke sana?” tanya Hiroshi dengan manisnya.
“Mau.”
“Oke kalau begitu”
“Jangan pergi” Kyoko mendadak menggandeng tangan Hiroshi.

“Lho? Kok? Aku bagaimana bisa beli kue kalau ditahan” tawa Hiroshi.
“Beli sana”
“Iya lepaskan dulu tanganku”
“Tidak mau”
“Kalau begitu ikut?” Hiroshi tersenyum melihat pacarnya yang tampak bad mood ini.

“Sudah kubilang malas”
“Hahaha, ayolah, perjalanan dengan bus, sambil melihat daun yang mulai merah, pasti akan membuat suasana hatimu membaik”
“Sudah malam, pasti gelap di jalanan” kesal Kyoko.
“Iya, tapi kan ada lampu jalan… Mitaka kan bukan kuburan, gelap gelap begitu”

“Jangan menakut-nakuti aku”
“Eh, tidak…. Ayo, pergi….”
“Tidak”
“kan sudah bilang, kutraktir” bujuk Hiroshi.

“Belikan”
“Iya, dibelikan, tapi jangan pegangi tanganku terus, bagaimana aku bisa beli” Hiroshi kegelian, oleh sikap Kyoko yang manja seperti ini.
“Pokoknya belikan. tapi jangan pergi”

“Hoi! Sampai kapan kalian mau bicara seperti orang tolol begitu?” mendadak Kyou-Kun nongol di pintu dapur. “Pergi sana. Capek mendengarnya” kesal sang kakak sambil mengembuskan asap rokok banyak-banyak.

“Yasudah, pergi” Kyoko berdiri dan merengut ke arah kakaknya. Hiroshi melepas celemeknya, melipatnya dengan rapi di atas meja, dan bersiap untuk pergi.
“Aku titip ya. Apapun yang kamu makan, belikan untuk aku… Bawakan buat Okasan juga” sambung Kyou-Kun.

“Tidak mau”
“Ini untuk Okasan lho”
“Untuk Okasan kubelikan, kalau Nii-San tidak”
“Kurang ajar memang kamu” kesal Kyou-Kun.

“Terserah”
“Sudah, yuk pergi…. Nanti kamu marah-marah terus” Hiroshi.

“Bawa dia Tanabe, supaya tidak mengamuk ngamuk seperti anak kecil begitu” tawa kakaknya Kyoko sambil berlalu ke dalam rumah. Kyoko hanya cemberut, menunggu Hiroshi menariknya ke toko kue, agar hatinya tenang kembali.

------------------------------

untitl10.jpg

Sudah tengah malam. Besok masih hari Minggu. Mungkin Kyoko besok akan berlatih sendiri, mencoba membuat berbagai jenis adonan. Ini lagi-lagi tantangan berkuliah di Senmon Gakkou. Di pelajaran selain praktik memasak, Kyoko melewatinya tanpa kesulitan sama sekali. Kyoko, dari SD sampai SMA, memang merupakan salah satu murid yang pintar, tidak pernah turun dari ranking 5 besar.

Tak heran, teman-temannya selama di SMA bingung, kenapa dia ingin melanjutkan ke Senmon Gakkou.

Tapi itu adalah pilihannya, untuk menimba ilmu di bisnis kuliner, dan bisa secepatnya membantu ibunya di balik coffee machine.

Dia sedang berguling-guling dengan bodohnya di kamar tidurnya, sambil berkirim mail kepada Marie.

“Kesal sekali hari ini, adonanku kacau balau terus….. Mau jadi apa aku kalau tidak lulus semua mata kuliah praktik memasak” ketiknya tadi, dan dia sedang menunggu jawaban dari temannya itu.

Tak berapa lama, jawabannya datang.

“Yang sabar, Kyoko Chan… Sering-sering berlatih dengan Hiro-Tan tentu akan membuat kamu jadi semakin ahli bukan? Dan semua ahli pasti melewati fase bodoh dulu… Lebih baik berlatih berdua dengan pacarmu, sambil bermesraan… <3” balas Marie Taniguchi.

Kyoko tersenyum dengan tololnya, sambil tetap berguling-guling di atas kasurnya. Dia mengetik balasan ke Marie.

“Ah… Tapi aku benar-benar stress membuat adonan… Rasanya ingin menangis, setiap selesai mencampur, mengaduk, dan ketika membentuk, adonannya hancur… Salah di mana aku…. Harusnya hari ini berhenti di menonton Hiroshi main basket saja, lalu nongkrong di café, atau ke apartemennya, mendengarkan lagu-lagu favoritku” balas Kyoko dengan gemas.

Kyoko melingkar, sambil menunggu balasan. Dia berguling-guling di kegelapan, mirip seperti anak kucing overacting yang sedang menunggu ibunya pulang, membawa bangkai binatang untuk dimainkan. Ah, andai ada kucing di rumah ini, pikir Kyoko. Pasti akan dia bawa tidur, dia sayang, dan dia permainkan dengan senang hati.

Tapi dia tidak mau membeli kucing, dia memilih untuk menunggu kucing liar yang khilaf dan menjadikan rumah Kyoko sebagai tempat singgah. Tiba-tiba dia ingat animasi karya studio Ghibli, yang ia tonton waktu dia SMP. Mononoke Hime alias Princess Mononoke. Di film animasi itu, ada makhluk penjaga hutan, alias roh-roh penjaga yang bentuknya lucu dan menggemaskan.

Di dalam gelap, mahluk-mahluk itu menyala. Dan waktu itu, Kyoko begitu gemas menontonnya.

“Ah, kalau aku punya kucing, akan kuberi nama Kodama” gumam Kyoko sendiri, merujuk ke nama roh-roh penjaga hutan dari film animasi Mononoke Hime itu.

Dan handphonenya berbunyi lagi, ada balasan dari Marie.

“Mendengarkan musik di apartemen Hiro-Tan? Terdengar mesra… Jangan-jangan kalian mendengarkan musik sambil melakukan ‘itu’ ya? Nakal sekali Kyoko-chan ku ini…. Baru pacaran beberapa bulan sudah mampir-mampir apartemen lelaki…. Pasti sudah melakukan ‘ecchi-suru’ ya kamu?”

Membacanya, Kyoko jadi kesal. Dia menutup handphonenya, malas menjawab. Duh, apa sih yang ada di pikiran Marie. Kenapa dia tidak memikirkan nasibnya yang masih single saja, daripada memikirkan apa yang sudah dilakukan oleh Kyoko dan Hiroshi.

Kyoko mencoba menutup matanya, sambil membayangkan yang indah-indah. Dia membayangkan menonton Hiroshi bermain basket, lalu membayangkan mereka berdua berkencan, dan dia membayangkan ciumannya dengan Hiroshi. Ciuman yang lembut itu.

Dia tersenyum sendiri. Ah, membayangkan Hiroshi Tanabe, memang selalu bisa membuat suasana hati Kyoko membaik. Dan kini, tinggal menunggu tubuh memanggilmu ke alam tidur.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
CAST PART 16

Haruko's Timeline:


- Haruko Aya Rahmania (15) anak semata wayang Arya dan Kyoko, tokoh utama MDT.
- Alika Tiara Putri (17) Sepupu jauh Haruko, anak "Aku" dan Dian, tokoh utama TLB.
- Rendra (16) kakak kelas Haruko di sekolah.

Kyoko's Timeline:

438be410.jpg


- Kyoko Kaede (18)
- Marie Taniguchi (18) Teman akrab Kyoko di Senmon Gakkou
- Hiroshi Tanabe (18) Pacar Kyoko, orang Ibaraki, siswa Senmon Gakkou yang sama.
- Kyoushiro Kaede (22) Kakak laki-laki Kyoko

Glossary :

Tadaima
: Salam ketika pulang rumah
Okaerinasai : Salam dari orang rumah untuk orang yang pulang
Onisan / Nii San : Kakak Laki-Laki
Ecchi Suru : Hal Mesum / Slang dari bercinta
Okasan : Ibu
Senmon Gakkou : Sekolah Kejuruan (setingkat diploma)
 
Terakhir diubah:
Thx updatenya om
Masih belum ada kimochi sampai detik ini?
 
Mantab...
Pacaran ala abegeh nya
'Dapet' banget...
Pelan pelan aja menuju
Pacaran yang lebih 'dewasa'nya..

Lanjut...
 
kyokob10.jpg

OKASAN NO HATSU KOI – PART 18
(my mom's first love)
------------------------------

haruko10.jpg

“Mbak Alika nyebelin” aku bersungut-sungut di dalam taksi online yang tidak ada supirnya itu. Mobil itu meluncur dengan pelannya di tengah jalan, menuju ke rumahku. Aku masih bete. Kenapa sih Mbak Alika sama aja kayak temen-temen sekelasku, suka ngecie-cie in aku dengan Kak Rendra? Kan jadi gak nyaman. Padahal biasanya, kalo lagi main sama Mbak Alika, aku seneng banget. Seneng karena aku bisa jadi diriku sendiri banget. Kalo sekarang, malah jadi kayak gak nyaman gitu.

Sumpah, gak nyaman. Aku gak nyaman dari perasaan berdebar-debar pas ketemu atau ngobrol sama Kak Rendra. Aku gak nyaman di ganggu-ganggu masalah suka-sukaan. Aku gak pengen mikirin itu.

“Aduh, Haruko… Kamu ini gimana sih…. Aku seneng kok tapi, liat kamu ada yang suka…” senyum Mbak Alika sambil ngegemesin pipiku.

“Ngg” aku membuang muka, ngeliatin jalan yang bakal ngebawa mobil ini menuju tempat tujuan kita. Aku milih buat diem aja ah. Kayaknya ngomong apapun salah dan bisa banget digangguin sama sepupu jauhku ini.

“Ntar aku langsung apa mampir rumah kamu dulu ya?” Mbak Alika ngeliatin handphonenya. Raut mukanya jadi agak serius, entah kenapa.
“Terserah, tapi lagi ada tamu di rumah sih kata Papa….”
“Siapa tamunya?”
“Paling urusan musik-musikan lagi sih”

“Oh gak mampir ah kalo gitu, males hahaha”
“Gapapa Mbak”
“Tapi beneran ya… Kamu sama Rendra-Rendra tadi cocok tau… Dan kalian berdua itu ngegemesin banget…. Ah… Jadi kangen jaman-jaman SMA lagi”

“Apa sih Mbaakkkkk”
“Udah ah… Sini” Mbak Alika beringsut ke arahku dan dia meluk aku keras-keras.

Sesek sih. Aku diem aja sambil manyun dan merhatiin jalan. Lagi-lagi merhatiin jalan. Merhatiin jalan aja terus sampe bosen. Buruan dong, taksi online, terbang gitu, biar cepet sampe rumah.

------------------------------

sebstu10.jpg

Pulang ke rumah, rasanya malah makin nyebelin. Okasan lagi gak ada, kayaknya lagi di Mitaka. Dan tamunya adalah, dua orang Om-Om yang paling aku gak suka dari Bandung. Om Bimo sama Om Wira. Heran kenapa Papa kok akrab banget sama dua orang itu. Gak ada bagus-bagusnya. Ganggu, genit, udah gitu kalo ngomong pasti pake bahasa Sunda. Aku gak ngerti sama sekali bahasa Sunda dan, kali ini Om Bimo bawa anaknya.

Aku lagi gak ada kerjaan karena ini hari libur, dan jadinya aku meringkuk di salah satu kursi di teras studio Papa sambil main handphone, becanda di grup sosmed kelasku. Kalau di dalem rumah sendiri gak ada temen dan males jadinya. Terpaksa aku bersosialisasi sama dua Om-Om super aneh dari Bandung ini.

“Ya, anak maneh jodohkeun lah jeung anak urang” tuh kan. Om Bimo ngomong apa sih?
“Ahaha… Ngomong apa sih kang” bener kan, Papa sependapat rupanya sama aku.

“Atuhlah Bah… Pan abdi tos gaduh kabogoh…” bisik anaknya Kang Bimo. Rangga namanya. Bentuknya biasa aja, khas anak kuliahan Bandung. Dia pake kaos apa ya itu? Band metal kayaknya dan dia pun lagi ngerokok, sama kayak Bapaknya dan temen se-band Bapaknya. Kayaknya jadi dia stress, punya bapak anehnya kayak gitu.

“Eh… Geulisan nu ieu tibatan kabogoh maneh, koplok” geulisan nu ieu itu apa sih? Aku nanya ke grup temen-temen SMA ku, malah pada bingung. Bukan bingung artinya apa, tapi bingung kenapa aku nanya gituan. Ternyata, artinya itu, Om Bimo bilang kalo anaknya mending sama aku aja karena aku lebih cantik katanya daripada pacar anaknya.

Tuh kan, asal.

“Ah, Haruko masih kecil Kang… Gak usah lah mikir-mikirin kayak gitu dulu” Papa, seperti biasa berusaha untuk ngelindungin aku. Makasih ya Pa. Emang dua orang Om-Om Bandung ini ganjen banget dan jailnya gak ketulungan.

Band nya juga aneh, cuman berdua, gitar ama drum. Musiknya sih kata orang-orang enak. Tapi liriknya, ya ampun, itu ngaco banget. Kapan hari lagunya ada yang ngomongin gembel bertarung sama naga lah, ada juga lagu yang ngomongin balap kerupuk pas 17-an, dan lagu baru mereka, yang kolaborasi sama Papa, itu katanya, liriknya tentang UFO yang dikejar-kejar sama penduduk sekampung karena nabrak jemuran.

Lirik macem apa itu?

“Serius Ya, anak kamu sama anak saya… Cocok pasti…”
“Hehehehe” Papa cuma ketawa aja.
“Bah… Atuhlah” rajuk anaknya, kayaknya sama, dia juga gak nyaman digodain sama bapaknya sendiri. Tos, Rangga. Sayang kamu duduknya jauh.

“Eh. Kamu teh.. Anaknya si Arya itu geulis pisan pasti kalo udah gede…. Perbaikan keturunan kamu teh” sungut Om Bimo ke Rangga.
“Bah… Kan udah saya bilang…. Rangga udah punya pacar”
“Nurut sia teh ka kolot!”
“Bah atuhlah…..”

“Geus atuh… Lamun si Rangga teu daek, jang urang we nya? Gimana Ya? Sama saya aja anak kamu….” potong Om Wira. Aku melotot sambil pura-pura gak merhatiin. Geli banget sumpah, masa ada Om-Om kisut macem Om Wira gitu mau sama gue? Iya… dia emang masih single, aku tau, tapi… Geli sumpah.

“Jang maneh? Ngaca, koplok” hina Om Bimo ke temennya sendiri.
“Eh, urang kieu-kieu oge fit keneh lah”
“Umur udah segini, godain anak SMA… Makanya buruan kawin kamu teh, jangan ngelaba aja…. Umur udah segitu, masih aja pacaran sana sini gonta ganti… Geuleuh” balas Om Bimo.

Iya, geuleuh. Umur dah segitu masih main-main, gak pengen settle apa? Kayak Papa sama Okasan dong. Nikah, settle, punya keluarga, punya anak, hidupnya bahagia, dan tenang. Kadang aku heran sama orang yang hidupnya kayak Om Wira gitu.

“Yah, gitu lah Ya, makasih ya saran-sarannya” Om Bimo menarik nafas “Paling sebatang lagi terus pulang yah ke Bandung” Om Bimo ngambil kotak rokok yang di meja, dan ternyata habis.

“Beak euy” kesalnya. “Eh, maneh ka minimarket heula, pangmeulikeun roko” dia menendang kaki anaknya, nyuruh anaknya buat beli rokok untuk dia.
“Cicisna mana Bah….” Rangga menengadahkan tangannya, sambil meminta uang ke ayahnya untuk beli rokok.
“Eh, kamu teh udah dikasih uang jajan per bulan masih minta duit lagi??? Make duit kamu atuh!” bentak bapaknya.
“Tapi Bah…”

“Eeehhh… Budak teh nya… Wani ngalawan ka kolot?” hardik Ayahnya. Om Wira sama Papa cuman senyam senyum aja. Sementara aku ngirim pesan ke Okasan, cepet pulang dong ke rumah. Gak tahan aku ada lama-lama di deket manusia-manusia absurd dan ga jelas ini.

“Gancang atuh, bentar lagi kan kita pulang ke Bandung” sambung Kang Wira.
“Enya Mang…” Rangga dengan langkah gontai berdiri, merayap dengan malas, berusaha keluar dari rumah ini, menuntaskan tugas yang dikasih oleh bapaknya yang ngaco ini.

“Eh tunggu” bapaknya menyetop anaknya.
“Kunaon Bah?”
“Menta roko maneh”
“Atuhlah Bah kan mau Rangga beliin ini teh…”
“Dieu! Menta rokona”

Dan si anak pun nyerah sama kelakuan ajaib Bapaknya. Dia rogohlah sakunya, dia kasih lah kotak rokok itu ke bapaknya. Bapaknya ngambil sebatang, tapi kotaknya gak dibalikin ke anaknya, malah disakuin.

“Bah….” anaknya merajuk, minta kotak rokoknya dibalikin.
“Buru!” hardik bapaknya, minta dia cepet-cepet beli rokok ke minimarket. Rangga pun cuman bisa nurut, sambil geleng-geleng kepala dia pergi berlalu, beliin rokok buat bapaknya. Kalau aku jadi dia, di minimarket sengaja deh aku lama-lamain. Stress soalnya punya bapak model kayak gitu.

Beruntung banget aku orang tuanya Papa dan Okasan yang enggak neko-neko sama sekali.

------------------------------

Aku dan Papa ada di parkiran rumah, mau ngelepas Om Bimo, Om Wira, sama Rangga balik ke Bandung. Rangga ada di depan, di balik setir, sementara Bapak dan temen se-band Bapaknya ada di jok belakang, selonjoran, santai sambil ngerokok. Sumpah, semena-mena banget sama anak sendiri.

“Jalan dulu Ya, sampe ketemu di dunia maya yah” Om Wira melambaikan tangannya ke arah Papa dan aku.
“Inget…. Anak urang, jeung anak maneh, nya” teriak Om Bimo. Aku manyun aja. Nyanggah gak bisa, bantah gak bisa, mau apa coba?

“Hahaha… Jangan becanda ah Kang, hati-hati ya di jalan, Rangga, pelan-pelan aja nyetirnya” khas Papa banget. Papa selalu baik dan pengertian ke anak temen-temennya. Anak-anak bandel modelan anaknya Tante Anggia, Jonathan sama Shirley aja di depan Papa pasti jadi adem.

“Rangga” potong Om Bimo mendadak.
“Kulan?”
“Itu rokonya matiin dulu atuh, kamu kan mau nyetir, nanti gak konsen siah!” Dih. Padahal di belakang, dia dan temennya semena-mena gitu ngerokok di dalem mobil.

“Atuhlah Bah…”
“Eh, nurut, koplok” Kursi supirnya lantas ditendang sama Om Bimo. Gile. Bokap macem apa ini?
“Yaudah lah…” Rangga dengan terpaksa mematikan rokoknya entah di mana. Dia narik napas panjang. Horor pasti tinggal serumah dengan Om Bimo yang kelakuannya super ajaib itu.

“Jalan dulu!” teriak Om Wira ke kami berdua.
“Sampai berjumpa litan” canda Om Bimo.
“Halo, saya Litan” Om Wira nyambungin bercandaannya ke kami berdua, sambil melambai.

“Duluan Om, Haruko…” Rangga nunduk sambil tersenyum ke arah kami berdua. Aku tersenyum balik, kasian anak ini. Anaknya keliatannya baik, tapi disiksa terus sama bapaknya.
“Bilangnya yang bener, gitu, Haruko sayang…” kursi supir ditendang lagi sama Om Bimo.
“Atuhlah Bah…..”

“Hahahaha…. Udah, jalan aja, ntar telat lho sampe Bandungnya” Papa berusaha mengakhir kekonyolan mereka semua.
“Yowis, dadah!” Om Bimo dan Om Wira melambaikan tangan ke mobil yang mulai bergerak, ke arah jalan untuk melesat ke Bandung.

Setelah mobil itu menghilang dari pandangan kami, aku menarik napas.

“Maaf ya, temen Papa suka aneh-aneh” tawa Papaku sambil mengusap-ngusap kepalaku.
“Hhhhh” aku menarik napas sambil menarik lenganku ke atas. “Mama kok gak pulang-pulang?” rajukku sambil melingkarkan tanganku ke tangan Papa, kami berdua jalan ke dalam rumah.

“Lagi sibuk kali”
“Oh”
“Sepi ya rumah, mana Eyang lagi di tempatnya Tante Ai….” Ayahku melempar badannya ke sofa, sambil melihat jam tangannya, membaca pesan-pesan yang masuk di handphone.

“Iya” aku duduk di sebelah Papa dan ngambil remote TV, buat nonton entah apa.

“Jadi tadi, si Kang Bimo itu pengen ngorbitin anaknya juga” mendadak Papa ngobrolin kerjaannya. Pasti karena gak ada Okasan, aku yang dijadiin tempat curhat.
“Oh, emang Rangga punya band?”
“Punya, band metal gitu… Yang suara vokalisnya growling-growling kayak lagi kanker tenggorokan itu” canda Papa.

“Hahaha, bagus gak menurut Papa?”
“Bagus”
“Ohh.. Gak masalah dong kalo gitu?”
“Masalahnya anaknya gak mau” tawa Papa dengan santainya.

“Kok gak mau?”
“Soalnya baru juga jadi band nya, baru latihan beberapa kali, belom manggung…. Bapaknya yang usil ini sih”

“Emang usil banget” aku merengut sambil melihat televisi, yang kebetulan lagi muter sebuah film animasi 3D klasik.
“Gitu-gitu banyak bantuin karier Bapak kamu lho pas Papa masih amatiran”
“Iya sih”

“Tapi lucu kok aneh dan usilnya Kang Bimo dan Kang Wira….. Mereka emang temen yang baik”
“Nn..”

Aku ngejawab datar aja. Boleh sih temen yang baik, tapi masa anak sendiri rokoknya dipalak, disuruh beliin rokok pake duit sendiri, pas nyetir, bokap sama temen bokapnya malah duduk di belakang, terus ditendang-tendang pula kursinya.

Gak jelas emang dua orang Om-Om Bandung itu. Bener-bener manusia absurd.

==================
==================


3003_010.jpg

“Kyoko-Chan memang teman yang baik” Marie tampak berseri-seri di sore yang berangin itu, di tengah keramaian Akihabara.

“Aku kaget saja, ada nomer telpon asing meneleponku, tahunya kamu, minta ditemani beli handphone di Akihabara……..” di tangan kanan Kyoko ada handphone, dimana dia sedang membalas mail dari Hiroshi. Dan di tangan kirinya ada taiyaki yang masih hangat, cocok dengan angin dingin musim gugur.

Sebentar lagi musim dingin. Sebentar lagi juga tahun akan berganti.

“Sayang Kana gak bisa ikut, entah apa yang dilakukannya di hari libur begini” sungut Marie.
“Kan setiap orang punya urusan sendiri-sendiri” sambung Kyoko sok bijak.
“Tapi kan kita baru saja mulai akrab”
“Tetap saja dia punya urusan sendiri pasti”

“Jangan-jangan dia berkencan dengan Abe-Sensei” canda Marie.
“Apa-apaan sih, Marie” tawa Kyoko, di mana mereka menyusuri jalanan Akihabara yang dipenuhi dengan toko elektronik, hobi, dan segala macam hal-hal yang berbau pop culture.

“Haha… Eh, menurutmu aku bagusnya beli handphone yang seperti apa?”
“Model terbaru saja, sih, kalau ada uangnya”
“Aku gak bicara soal teknologinya, maksudnya dari warnanya, apa ya yang cocok dengan personalityku?” tanya Marie.

“Kita harus lihat-lihat dulu”

Tadi siang, Marie mendadak menelpon Kyoko di hari libur yang tenang itu. Katanya, handphonenya kecebur di lubang toilet. Jadi mati, dan terpaksa Marie membeli handphone baru. Dan Kyoko pun malas membayangkan, Marie sedang apa dan bagaimana prosesnya handphone itu sampai bisa masuk ke lubang toilet.

Jadi, untuk menghubungi Kyoko, dia dengan terpaksa dan mencoba tidak tahu malu seperti biasanya, meminjam handphone ke tetangganya.

“Eh ngomong-ngomong, tetanggaku yang kupinjam handphonenya, keren juga lho”
“Oh ya? Keren bagaimana?” tanya Kyoko penasaran.
“Dia mahasiswa, tahun ke tiga… Dan ternyata dia musisi, pemain band….” senyum Marie.

“Pasti sebentar lagi kamu akan memuji-muji fisiknya”
“Iya! Dia ganteng sekali, aku jadi ingin lebih mengenalnya….”
“Tapi pemain band…” bisik Kyoko.

“Kenapa memangnya? Dia katanya bermain di band rock, sebagai gitaris, lalu aku bilang kapan-kapan kalau dia manggung aku mau nonton, sebagai rasa terima kasihku sudah diperbolehkan untuk meminjam handphonenya” sambung Marie.

“Bukan, musisi seperti itu suka mempermainkan perempuan tidak sih?” bingung Kyoko.
“Hah? Mikir dari mana kamu seperti itu?”

“Ano… Kan banyak berita-berita gosip, musisi selingkuh dari pasangannya, lalu terlibat skandal dengan artis-artis pendatang baru… Semacam itu lah… Katanya musisi itu playboy atau semacamnya, Marie…”

“Kakakmu sendiri kan musisi” balas Marie.
“Ya tapi, kakakku kan musisi jazz… Beda dunianya dengan rocker” senyum Kyoko, khawatir temannya akan dipermainkan oleh lelaki.

“Iya ya, musik jazz pasti jauh dari skandal”
“Sepertinya begitu… Atau kakakku saja ya yang tidak laku dan tidak bisa menggaet perempuan” Kyoko meledek kakaknya sendiri.
“Tapi keren sekali lho, benar-benar tampan dan charming, andai aku bisa mengenalnya dari dulu”

Mereka memasuki Yodobashi Akiba dan berjalan ke arah counter handphone.

“Hati-hati Marie-chan pokoknya, jaga diri ya, jangan karena tampan lalu kamu excited seperti ini” Kyoko mencoba menahan temannya agar tidak terlalu euforia bertemu dengan orang ganteng.

“Tapi aku iri sama kamu dan Hiro-Tan, aku kan ingin juga, menghabiskan musim gugur dan dingin dalam kemesraan….” Marie tampak gemas dan dia sedang memeluk udara.

“Hahaha… Kami biasa saja kok”
“Biasa saja dari mana…..”
“Sumpah, biasa saja, seperti orang kebanyakan yang pacaran”

“Merendah seperti itu mengesalkan lho, Kyoko-chan”
“Hahahahaha”

“Tertawa lagi sekarang, pertama kamu menakut-nakutiku, kedua kamu bikin aku iri, sekarang kamu menertawakan….. Mengesalkan” Marie menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak menakut-nakuti, aku cuma ingin kamu waspada karena sepertinya musisi rock dikenal gampang mempermainkan wanita”

“Sebal…” Marie merengut. “Masa aku tidak boleh suka sama laki-laki?”
“Boleh saja, tapi kan harus hati-hati”
“Awas kamu Kyoko-Chan, bicara seperti itu… Nanti malah kamu yang dipermainkan oleh musisi rock!! Awas saja”

“Eh?” Kyoko melongo dan dia menatap ke wajah Marie yang kesal.

------------------------------

ukm13_10.jpg

Jakarta, awal tahun 2000-an.

“Hatch.. Hatchi!!”
“Bersin mulu?” sang vokalis yang bertampang oriental itu, di dalam studio musik. Rambutnya pendek dan mukanya bersih dari facial hair. Tangannya pun bersih dari tato, hanya di tangan bagian atas, yang tertutup oleh pakaian, ada tato salib kecil di sana.

“Gak tau nih” jawab sang gitaris, rambutnya gondrong. Dia sedang menyetem gitarnya agar baik suaranya.

“Biasanya sih kalo gitu ada yang ngomongin” potong sang bassist, yang berambut pendek, dengan badannya yang tinggi besar tapi tidak gemuk itu.

Sang drummer hanya diam.

“Hatchsuuu!!!” sang gitaris bersin lagi.
“Berisik ah, buruan kontol nyetemnya, buang-buang waktu ini di studio, bayarnya mahal!!! CEPETAN!”

“Iya…. Hatchi!!!”

Hari itu, Achmad Ariadi Gunawan bingung kenapa dia mendadak bersin-bersin.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
CAST PART 18

Haruko's Timeline:


- Haruko Aya Rahmania (15) anak semata wayang Arya dan Kyoko, tokoh utama MDT.
- Alika Tiara Putri (17) Sepupu jauh Haruko, anak "Aku" dan Dian, tokoh utama TLB.
- Arya / Achmad Ariadi Gunawan (47) Sang Ayah, Suami dari Kyoko

- Bimo (50) Gitaris dan Vokalis Frank's Chamber
- Wira (51) Drummer Frank's Chamber
- Rangga (19) Anak dari Bimo, pemain band amatir kuliahan

Kyoko's Timeline:

438be410.jpg


- Kyoko Kaede (18)
- Marie Taniguchi (18) Teman akrab Kyoko di Senmon Gakkou

- Arya / Achmad Ariadi Gunawan (18) Gitaris band anak kuliahan, Hantaman
- Stefan / Stefanus Giri Darmawan (18) Vokalis band anak kuliahan, Hantaman
- Anin / Anindito Widyatmo (19) Bassist band anak kuliahan, Hantaman
- Bagas Syachrul Utomo (16) Drummer band anak kuliahan, Hantaman, walau dia masih SMA

Glossary :

SUNDA
Maneh
: Kamu (casual)
Sia : Kamu (kasar)
Urang : Saya (casual)
Abdi : Saya (sopan)
Gaduh : Punya (sopan)
Geulis : Cantik
Tibatan : Daripada
Kolot : Orang tua
Abah / Bah : Ayah
Jang : Untuk
Lamun : Kalau
Daek : Mau
Geus / Nggeus / Anggeus : Sudah
Kieu Kieu Oge : Gini gini juga
Beak : Habis
Kunaon : Kenapa
Dieu / Kadieu : Kesini
Buru : Cepetan
Cicis : Uang (bahasa slang, suka digunakan anak-anak)
Meuli : Beli
Budak : Anak-anak
Wani : Berani
Gancang : Cepat
Pangmeulikeun : Beliin
Geuleuh : Menjijikkan
Kabogoh : Pacar
Jeung : Dan / Dengan
Kulan : Jawaban sopan ke orang tua kalau anak laki-laki dipanggil

JEPANG
Okasan
: Ibu
Senmon Gakkou : Sekolah Kejuruan (setingkat diploma)
 
benar bangettttt tuh marie..arya mah emang begono tuh bikin pengen mutilasi arya kl ingat waktu gelo ama si anu...
kontak batin nya jauh juga ya dari tokyo ke jakarta...
 
Masih aja absurd kang Bimo & kang Wira. Mgkn dah DNA nya x ya. Syukur gak nurun ke Rangga absurdnya :D

Makasih apdetnya om:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd