racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
OKASAN NO HATSU KOI – PART 17
(my mom's first love)
“Iya Mbak…”
“Kok bisa kenal?”
“Bisa-bisa aja… Emang ga boleh kenal?” duh, kok senewen gini sih aku.
“Sewot amat sih, yang ditanya Rendra kan?”
“Hehehe… Iya mbak… Saya kenal sama dia…..”
“Waktu pekan olahraga sekolah tengah semester.....” aku potong aja deh.
“Oh, gimana kenalnya?”
“Saya nonton bulutangkis, kelas saya, lawan kelasnya Haruko… Terus wakil kelas saya dibantai habis-habisan sama dia hahaha” dih, Kak Rendra ketawa. Aneh banget, pas nonton waktu itu, dia malah katanya seneng liat aku main badminton. Padahal, wakil kelasnya dia aku hancur-hancurin di babak itu.
“Oh, inget, Haruko pernah cerita, katanya juara satu ya dia?”
“Cerita ngebantainya?”
“Bukan, cerita kalo juara satunya” Mbak Alika malah ketawa-ketiwi gak jelas gini.
“Jago banget sih dia”
“Terus kenalnya gimana?” selidik Mbak Alika, terus-terusan.
“Anu…”
“Abis aku bantai wakil kelasnya, dia ngajakin kenalan” aku jawab aja biar cepet. Kakiku goyang-goyang, rasanya gelisah. Duh. Apa-apaan sih. Rasanya gak enak banget. Dan sejak saat itu aku bisa dibilang akrab sama Kak Rendra. Dia suka ngajakin ngobrol kalau pas lagi di kantin. Terus kadang kalo aku tanding di luar sekolah suka nonton.
Gak nyaman tapi. Gak nyaman bukan karena gak suka. Tapi karena selalu deg-degan tiap kali ada dia.
“Oh…. Abis kenalan?”
“Ya kenal” jawab Kak Rendra asal, sambil makan, dan dia sambil senyum. Ngapain juga senyum segala sih? Aneh amat orang ini.
“Ooo” Mbak Alika cuma mesem-mesem sendiri. Dia ngangguk-ngangguk, makanannya dianggurin dari tadi. Kayaknya dia penasaran banget sama Kak Rendra. Entah apa pula yang mau dipenasaranin. Gak ada yang aneh kok sebenernya. Biasa aja semuanya. Cuman kakak kelas yang kenalan sama aku aja kan waktu dulu, terus dia suka ngajak ngobrol dan bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla. Gak ada yang spesial. Biasa aja.
Terus aku kaget. Ada suara handphone. Tapi bukan ringtone ku atau Mbak Alika. Ya, saking akrabnya, aku sampe apal ringtonenya Mbak Alika.
“Eh..” Kak Rendra ngeluarin handphone dari sakunya. Handphonenya kecil banget. Aku udah sering liat handphone itu dia genggam kalo kita lagi ngobrol pas jam istirahat sekolah.
“Bentar, saya ada telepon” dia angkat telponnya, terus dia masuk ke dalam telephone booth yang ada di restoran itu. Di sana, orang gak bisa denger kamu teleponan kayak apa, jadi bebas mau ngomong apapun, kalo kamu pengen privasi kamu lebih terjaga. Gitu kira-kira.
“Hahaha” Mbak Alika mendadak ketawa sambil makan.
“Kok ketawa mbak” aku kayaknya kesel banget sama situasi hari ini.
“Kamu suka ya sama dia?” tembak Mbak Alika.
“HAH!! APA APAAN SIH!”
“Ih, keliatan tau”
“MBAK ALIKA APA SIHHHHH”
“Hus, biasa aja kali…. Wajar kan udah umurnya… Yah, kamu kan udah kelas 1 SMA, masa ga punya orang yang disuka sih?”
“Berisik ah”
“Lho kok jadi ngambek?”
“Udah ah males” aku makan aja sambil kesel. Mbak Alika apa-apaan sih.
“Dia juga keliatannya suka banget sama kamu”
“UDAH”
“Haha….. Kok sewot gitu sih sayang? Kamu kan udah mau gede bentar lagi…. Wajar lah kalo suka-sukaan gitu…. Lucu banget sih kamu… Kalo jadian kita nanti double date, gimana?”
“Mbak…. Udah ah, gak lucuuuu” kesel banget aku dengernya. Mbak Alika apa-apaan sih, gak ada bedanya sama temen-temen sekelasku.
Tiap-tiap aku ngobrol sama Kak Rendra, apalagi di sekolah, ada aja yang nge cie-cie in. Padahal kan, biasa aja. Aku pengennya biasa aja. Gak kepikiran pacaran. Aku cuman mikirin gimana kalo misal ntar aku gak bisa masuk PON beberapa tahun lagi, atau masalah mendasar siswa atlet, mau lanjut di sekolah konvensional kayak sekarang, atau taun depan pindah ke Ragunan.
Gak ada sama sekali mikirin pacaran gitu-gitu. Geli ah. Gandengan sama cowok yang gak dikenal. Bilang sayang ke orang lain selain Papa dan Okasan. Terus… Ciuman… Iyuhh……… Geli banget.
“Mikirin apa kamu kok bengong begitu?” bisik Mbak Alika, dan Kak Rendra udah selesai neleponnya.
“Maaf tadi lama… Biasa, ada temen ngajakin nongkrong entah di mana, ditolaknya susah”
“Oh, jadi ganggu nih kita” senyum Mbak Alika.
“Enggak kok, malah enakan begini, bisa kenal sama keluarganya Haruko, bisa ngobrol-ngobrol lama, gak kayak waktu istirahat sekolah, cuman bentar doang” tawa Kak Rendra.
“Tuh kan bener apa yang aku bilang” bisik Mbak Alika keras.
“APAAN SIH!” teriakku tertahan sambil melotot. Mukaku pasti merah.
Nyebelin banget sumpah. Gak kebayang sih, pacaran. Gak kebayang banget. Entah gimana dulu Papa sama Okasan gimana, soalnya mereka mesra banget. Terus mendadak jadi geli banget sih… Ngebayangin Papa sama Okasan, mesra-mesraan sama orang laen sebelom mereka nikah.
Dih. Geliiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.
==================
==================
Kyoko duduk di pinggir lapangan basket, tanpa Kana dan Marie. Hari itu Sabtu sore, dan dia sedang menonton Hiroshi sedang main three on three di lapangan itu. Hiroshi memang anak basket sejati. Ketika dia kuliah di sebuah Senmon Gakkou, alias sekolah kejuruan setingkat diploma yang sama sekali tidak punya ekstra kurikuler kegiatan mahasiswa, dia berhasil mengumpulkan beberapa teman dari angkatan yang sama untuk minimal bisa main basket three on three.
Kyoko tersenyum di pinggir lapangan, di sebelah beberapa perempuan lainnya.
Mereka adalah pacar-pacar atau entah siapanya dari teman-teman yang ikut main basket bareng bersama Hiroshi. Mereka ada yang kuliah di tempat lain atau langsung bekerja setelah lulus dari SMA. Ada juga yang masih menjadi ronin, alias orang yang gagal di ujian masuk universitas manapun tahun itu, dan mengikuti prep school atau bimbingan belajar, mengejar pendaftaran universitas tahun depan.
Kenalan baru lagi, pikir Kyoko. Tapi tampaknya dia agak kurang bisa akrab dengan perempuan-perempuan ini, karena memang mereka pasti hanya bisa bertemu minimum 2 minggu sekali, sesuai dengan jadwal yang diatur Hiroshi untuk main basket bersama.
Hari ini Kyoko senang sekali, karena selain bisa melihat Hiroshi dalam bentuk olahragawan, sehabis ini dia juga akan berlatih memasak lagi bersama Hiroshi di rumahnya.
Hiroshi tampak gagah dengan kaos tanpa lengan, celana basket dan sepatu basket yang sudah setengah belel itu. Tampangnya serius pada saat sedang bermain, seakan-akan seperti sedang memasak sesuatu yang sangat penting. Beberapa kali dia menembak three point dan masuk dengan mulusnya. Pada saat dia menguasai bola, pasti sulit direbut. Memang tidak salah pengakuannya, kalau dia adalah kapten tim basket SMA-nya.
Hiroshi kini sedang menjaga seseorang yang tampaknya kesulitan untuk melewatinya. Kyoko mungkin lupa, ketika tadi dia bertanya ke Hiroshi, posisinya apa di tim basket. Dia lupa karena dia memang tidak menyukai basket. Dia hanya suka melihat Hiroshi bergerak dengan jantannya , menguasai setengah lapangan.
Point Guard. Itu posisi Hiroshi. Tugasnya adalah mendistribusikan bola, dan dia benar-benar terlihat nyaman di posisi itu. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak lain yang ikut bermain basket sekarang. Tapi dia cepat, punya tembakan yang jitu, dan lompatannya sangat tinggi.
Lepas. Pemain yang dijaga Hiroshi lepas dan berusaha mengoper ke temannya.
Bola tersebut tidak dapat ditangkap dengan sempurna oleh yang menerima dan ditepis oleh orang yang menjaganya.
Bola tersebut melayang dengan deras ke arah kumpulan para pasangan yang menunggu.
Kyoko kaget dan menutupi wajahnya dengan refleks. Tapi, bola tidak datang-datang. Rupanya bola tersebut ditepis oleh Hiroshi agar terbang ke arah lain. Kyoko masih kaget, tapi mendadak, rasanya lega. Lega karena Hiroshi menyelamatkan mereka dari bola nyasar, dan pacarnya itu tersenyum ke arah Kyoko.
Kyoko tersenyum balik.
Ini pria yang selalu menggandengnya, menciumnya, menyayanginya, dan kini, menyelamatkan dirinya dari bola nyasar.
Hari ini benar-benar sempurna!
------------------------------
“AAAARRRGGHHHHHH” Kyoko kesal dan membanting adonan itu ke meja.
“Hei, yang sabar….” bisik Hiroshi, agak takut-takut amarah Kyoko meluap ke dirinya.
Hari ini ternyata tidak sempurna. Adonan pasta yang Kyoko buat, pecah saat dibentuk. Hiroshi, yang tidak ahli membuat pasta, kini sudah jago. Entah apa yang ada di dalam tubuhnya, mungkin gen dari ahli masak, ataupun mungkin dia adalah titisan dari dewa masak yang sudah diberkati oleh keahlian masak yang gila-gilaan.
“Pecah terus” kesal Kyoko. Kyoko duduk di kursi, dan membuka celemeknya. Dia kepalkan celemek itu dan dia buang entah kemana dengan napas yang marah.
“Tadi mungkin salah komposisinya?” tanya Hiroshi dengan sabar.
“Benar kok”
“Salah cara mengaduknya?”
“Tidak tahu”
“Atau kurang telaten ketika masuk mesin press?”
“Sudah kubilang tidak tahu….”
“Coba lagi, untung kita takarannya kecil ya?”
“Tidak mau”
“Lho… Kok…”
“Capek… Memangnya aku kamu, berbakat masak…..” Kyoko merengut, sambil memainkan adonan gagal yang ada di depannya.
“Terus ini jangan dibuang-buang dong, kalau kotor bagaimana” Hiroshi memungut celemek Kyoko yang sudah tak berbentuk itu.
“Nnnnggggg”
“Jangan begitu, kalau memang capek, kita sudahi saja… Ini kan masih awal-awal semester dua, masih jauh menuju ujian….”
“Kamu enak sekali bicara begitu….” kesal Kyoko.
“Lho” waduh, si ceweknya ngambek.
“Kamu tak usah banyak belajar lagi….. Sedangkan aku, susah membuat adonan, kamu tahu kan, teknik membuat adonan dipakai di kelas kontinental untuk pasta, di kelas asia untuk mie dan kulit pangsit… Di kelas dasar jepang, dipakai untuk membuat bahan dasar ramen, udon, sebagainya… Belum kelas pastry yang seratus persen adonan…. Kamu awalnya tidak bisa, sama seperti aku, sekarang sudah jagoan… Lihat adonan siapa yang dari tadi bisa jadi pasta dengan sempurna? Kan punya kamu semua” Kyoko meracau, mengeluh, dan aura kekesalan benar-benar terlontar dari mulutnya.
“Nah itu…”
“Sudah ah… Capek aku… Kalau memang tidak bakat, mau apa lagi…”
Hiroshi tersenyum, dan dia mencuci tangannya di keran. Selesai membersihkan tangannya, dia lantas duduk di sebelah Kyoko. Dia menarik kursi agar dia bisa duduk benar-benar dekat dengan Kyoko. Posisinya, dia menghadap Kyoko, dan Kyoko sedang membenamkan mukanya di meja, dia menyembunyikan kepalanya di lipatan tangannya.
“Hei, istirahat saja ya? Nanti kamu coba-coba sendiri kalau sudah tidak kesal”
“Nggg”
“Jangan merengut begitu dong, aku jadi sedih” bisik Hiroshi.
“Nnnngg”
“Kyoko”
“NG!”
“Ahahaha…. Sudah ya, kita istirahat saja, kita cari makan di luar bagaimana? Atau kamu mau makan di sini? Aku masakkan sekalian untuk ibumu?” Hiroshi mengusap-ngusap bahu Kyoko.
“Nnnn”
“Atau kita keluar sebentar, makan cake di cake shop kesukaan kamu?”
“Nnnnnnnn”
“Aku traktir?”
“Nn?”
Kyoko mengintip dari sela-sela rambutnya ke arah Hiroshi.
“Ahahaha… Dipancingnya sama cake”
“Kamu jahil sekali”
“Tidak, aku cuma ingin agar kamu tidak merasa kesal karena hari ini”
“Kamu nakal, Hiroshi”
“Tidak”
“Kenapa dekat sekali muka kamu?”
“Tidak terlalu dekat kok” bisik Hiroshi. Dia tersenyum kepada pacarnya. Di dapur yang sepi itu, mereka bertatapan. Dan Hiroshi maju selangkah lagi. Bibirnya akan meraih bibir Kyoko, yang pasrah, malah cenderung menunggu pacarnya mencium bibirnya.
Dalam gerakan lambat, bibir mereka berdua akan bertemu, saling merasakan kehangatan dan kelembutan masing-masing di malam musim gugur yang indah itu.
Detik demi detik berlalu dan bibir mereka makin mendekat.
“TADAIMAAA”
Dengan gerakan refleks, mereka menarik kepala mereka agar menjauh, dan cepat-cepat menoleh ke tempat datangnya suara.
“O.. Okaerinasai…” jawab Kyoko.
“Oh, Ada Tanabe” senyum Kyou-Kun. Dia baru datang, entah dari mana.
“Bukannya Nii San ada acara manggung malam ini?”
“Gagal, ada masalah teknis di panggung… Kamu tidak suka ya aku pulang, mengganggu jadwal pacaran kamu?” goda sang kakak.
“Bicara apa sih” kesal Kyoko.
“Tidak”
“Yasudah”
“Aku lapar”
“Makan saja sana”
“Mana makanan hasil masakan kamu? Aku lama-lama jadi suka masakan kamu, Kyoko…. Entah karena kamu semakin lama semakin jago, atau aku yang semakin lama semakin toleran sama rasa masakan kamu yang tidak enak…. Mungkin?” ledek sang kakak.
“Sana makan di luar saja, atau bantu Okasan, siapa tahu ada sisa roti atau kue yang tidak habis sama pelanggan” jawab Kyoko ketus. Hiroshi hanya nyengir kuda saja, ada di tengah arena ledek-ledekan kakak beradik itu.
“Ah, aku bantu Okasan saja deh…. Susah memang kalau mengharapkan kamu… Padahal tadi aku puji”
“Bukan memuji itu namanya” Kyoko memicingkan matanya.
“Hehehe” Hiroshi tertawa, sambil melihat sang kakak menyalakan rokok dan berlalu ke dalam.
“Huh” Kyoko tampak kesal. Dia mengulum bibirnya sendiri, tanda suasana hatinya sedang buruk.
“Oh iya, kan di café keluargamu juga banyak kue-kue enak kan? Kamu ambil saja dan kamu makan” sambung Hiroshi. “Mungkin bisa membuat suasana hati kamu membaik”
“Tidak”
“Kenapa?”
“Bukan favoritku”
“Terus favoritmu yang mana?”
"Yang dekat stasiun"
“Ayo pergi ke sana”
“Malas”
“Mau aku belikan ke sana?” tanya Hiroshi dengan manisnya.
“Mau.”
“Oke kalau begitu”
“Jangan pergi” Kyoko mendadak menggandeng tangan Hiroshi.
“Lho? Kok? Aku bagaimana bisa beli kue kalau ditahan” tawa Hiroshi.
“Beli sana”
“Iya lepaskan dulu tanganku”
“Tidak mau”
“Kalau begitu ikut?” Hiroshi tersenyum melihat pacarnya yang tampak bad mood ini.
“Sudah kubilang malas”
“Hahaha, ayolah, perjalanan dengan bus, sambil melihat daun yang mulai merah, pasti akan membuat suasana hatimu membaik”
“Sudah malam, pasti gelap di jalanan” kesal Kyoko.
“Iya, tapi kan ada lampu jalan… Mitaka kan bukan kuburan, gelap gelap begitu”
“Jangan menakut-nakuti aku”
“Eh, tidak…. Ayo, pergi….”
“Tidak”
“kan sudah bilang, kutraktir” bujuk Hiroshi.
“Belikan”
“Iya, dibelikan, tapi jangan pegangi tanganku terus, bagaimana aku bisa beli” Hiroshi kegelian, oleh sikap Kyoko yang manja seperti ini.
“Pokoknya belikan. tapi jangan pergi”
“Hoi! Sampai kapan kalian mau bicara seperti orang tolol begitu?” mendadak Kyou-Kun nongol di pintu dapur. “Pergi sana. Capek mendengarnya” kesal sang kakak sambil mengembuskan asap rokok banyak-banyak.
“Yasudah, pergi” Kyoko berdiri dan merengut ke arah kakaknya. Hiroshi melepas celemeknya, melipatnya dengan rapi di atas meja, dan bersiap untuk pergi.
“Aku titip ya. Apapun yang kamu makan, belikan untuk aku… Bawakan buat Okasan juga” sambung Kyou-Kun.
“Tidak mau”
“Ini untuk Okasan lho”
“Untuk Okasan kubelikan, kalau Nii-San tidak”
“Kurang ajar memang kamu” kesal Kyou-Kun.
“Terserah”
“Sudah, yuk pergi…. Nanti kamu marah-marah terus” Hiroshi.
“Bawa dia Tanabe, supaya tidak mengamuk ngamuk seperti anak kecil begitu” tawa kakaknya Kyoko sambil berlalu ke dalam rumah. Kyoko hanya cemberut, menunggu Hiroshi menariknya ke toko kue, agar hatinya tenang kembali.
------------------------------
Sudah tengah malam. Besok masih hari Minggu. Mungkin Kyoko besok akan berlatih sendiri, mencoba membuat berbagai jenis adonan. Ini lagi-lagi tantangan berkuliah di Senmon Gakkou. Di pelajaran selain praktik memasak, Kyoko melewatinya tanpa kesulitan sama sekali. Kyoko, dari SD sampai SMA, memang merupakan salah satu murid yang pintar, tidak pernah turun dari ranking 5 besar.
Tak heran, teman-temannya selama di SMA bingung, kenapa dia ingin melanjutkan ke Senmon Gakkou.
Tapi itu adalah pilihannya, untuk menimba ilmu di bisnis kuliner, dan bisa secepatnya membantu ibunya di balik coffee machine.
Dia sedang berguling-guling dengan bodohnya di kamar tidurnya, sambil berkirim mail kepada Marie.
“Kesal sekali hari ini, adonanku kacau balau terus….. Mau jadi apa aku kalau tidak lulus semua mata kuliah praktik memasak” ketiknya tadi, dan dia sedang menunggu jawaban dari temannya itu.
Tak berapa lama, jawabannya datang.
“Yang sabar, Kyoko Chan… Sering-sering berlatih dengan Hiro-Tan tentu akan membuat kamu jadi semakin ahli bukan? Dan semua ahli pasti melewati fase bodoh dulu… Lebih baik berlatih berdua dengan pacarmu, sambil bermesraan… <3” balas Marie Taniguchi.
Kyoko tersenyum dengan tololnya, sambil tetap berguling-guling di atas kasurnya. Dia mengetik balasan ke Marie.
“Ah… Tapi aku benar-benar stress membuat adonan… Rasanya ingin menangis, setiap selesai mencampur, mengaduk, dan ketika membentuk, adonannya hancur… Salah di mana aku…. Harusnya hari ini berhenti di menonton Hiroshi main basket saja, lalu nongkrong di café, atau ke apartemennya, mendengarkan lagu-lagu favoritku” balas Kyoko dengan gemas.
Kyoko melingkar, sambil menunggu balasan. Dia berguling-guling di kegelapan, mirip seperti anak kucing overacting yang sedang menunggu ibunya pulang, membawa bangkai binatang untuk dimainkan. Ah, andai ada kucing di rumah ini, pikir Kyoko. Pasti akan dia bawa tidur, dia sayang, dan dia permainkan dengan senang hati.
Tapi dia tidak mau membeli kucing, dia memilih untuk menunggu kucing liar yang khilaf dan menjadikan rumah Kyoko sebagai tempat singgah. Tiba-tiba dia ingat animasi karya studio Ghibli, yang ia tonton waktu dia SMP. Mononoke Hime alias Princess Mononoke. Di film animasi itu, ada makhluk penjaga hutan, alias roh-roh penjaga yang bentuknya lucu dan menggemaskan.
Di dalam gelap, mahluk-mahluk itu menyala. Dan waktu itu, Kyoko begitu gemas menontonnya.
“Ah, kalau aku punya kucing, akan kuberi nama Kodama” gumam Kyoko sendiri, merujuk ke nama roh-roh penjaga hutan dari film animasi Mononoke Hime itu.
Dan handphonenya berbunyi lagi, ada balasan dari Marie.
“Mendengarkan musik di apartemen Hiro-Tan? Terdengar mesra… Jangan-jangan kalian mendengarkan musik sambil melakukan ‘itu’ ya? Nakal sekali Kyoko-chan ku ini…. Baru pacaran beberapa bulan sudah mampir-mampir apartemen lelaki…. Pasti sudah melakukan ‘ecchi-suru’ ya kamu?”
Membacanya, Kyoko jadi kesal. Dia menutup handphonenya, malas menjawab. Duh, apa sih yang ada di pikiran Marie. Kenapa dia tidak memikirkan nasibnya yang masih single saja, daripada memikirkan apa yang sudah dilakukan oleh Kyoko dan Hiroshi.
Kyoko mencoba menutup matanya, sambil membayangkan yang indah-indah. Dia membayangkan menonton Hiroshi bermain basket, lalu membayangkan mereka berdua berkencan, dan dia membayangkan ciumannya dengan Hiroshi. Ciuman yang lembut itu.
Dia tersenyum sendiri. Ah, membayangkan Hiroshi Tanabe, memang selalu bisa membuat suasana hati Kyoko membaik. Dan kini, tinggal menunggu tubuh memanggilmu ke alam tidur.
------------------------------
BERSAMBUNG